NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-02


Kerajaan atau Kadipaten Wengker, ibu kotanya, sudah tidak seberapa jauh lagi dan dia terhalang oleh sungai ini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang bertembang, suara seorang lelaki, suaranya biasa saja namun mengandung getaran yang menyentuh kalbu dan amat menarik perhatian sehingga Linggajaya menghentikan langkahnya dan mendengarkan penuh perhatian. Tembang Dandang Gendis.
"Poma-poma, den gatekna kaki.
Uripira ana ing ngalam donya.
Saka Sibe Hyang jektine
mulo kono tan suwung
ing tumindak kang sarwa becik
srana panembahira
mring Hyang kang maha Gung
mula yekti nyatanira
maka Gusti yen mulih bali mring Gusti mengkono karsanira
."
Linggajaya tertegun. Bagaikan kilat isi tembang itu menyusup ke dalam benaknya. Dia tahu arti kata-kata itu yang kalau diterjemahkan kurang lebih begini.
"Camkan dan perhatikanlah, nak.
Hidupmu di dalam dunia ini
sesungguhnya berkat Kasih Hyang Widhi
Karena itu jangan kosongkan hidupmu
dari tindakan yang serba baik (bajik)
disertai penyembahanmu kepada Hyang Maha Agung.
Maka sungguh kenyataannya datang dari Tuhan berpulang kepada Tuhan.
Demikianlah kehendak-Nya.
"
Mulut Linggajaya menyeringai. Huh, omong kosong orang-orang lemah, cemoohnya dan dia segera melangkah ke arah datangnya suara. Akhirnya dia menemukan orang yang bertembang tadi. Dia seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, Tubuhnya tinggi kurus namun tampak sehat dengan kulitnya yang halus kemerahan. Wajahnya tampak lembut dan terang tampak agung dan penuh wibawa dengan jenggotnya yang panjang. Rambutnya digelung ke atas dan pakaiannya sederhana, seperti pakaian pertapa. Laki-laki itu memegang sebatang walesan (tangkai pancing) dan duduk di atas perahunya diam tak bergerak seperti patung.
"Hai, orang tua! Keluarlah dari perahumu dan kesinilah, aku mau bicara denganmu!" kata Linggajaya, suaranya terdengar memerintah.
Laki-laki setengah tua itu menoleh dan tersenyum. Diam-diam Linggajaya terkejut melihat sepasang mata yang sekilas mencorong seperti mata harimau di tempat gelap, akan tetapi segera berubah lembut.
"Ada keperluan apakah dengan aku orang muda?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Keluarlah dari perahumu dan naiklah ke sini. Jangan banyak membantah atau engkau kulemparkan ke air!"
Orang itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perahunya, melangkah ke darat lalu mendaki, meninggalkan perahunya yang diikat pada batu di tepi sungai. Linggajaya memandang kepada kakek yang kelihatan ringkih (lemah) itu, lalu tersenyum.
"Nah, engkau tunggu saja di sini, aku mau memakai perahumu menyeberang."
Dia lalu melompat ke dalam perahu, melepaskan ikatannya dan mendayung perahu ke tengah tanpa menoleh lagi kepada kakek pemilik perahu yang ditinggalkannya itu. Karena arus air yang memenuhi Kali Watu itu agak kuat, Linggajaya mengerahkan tenaganya untuk mendayung. Akhirnya dia tiba di seberang dan tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya.
"Tinggalkan saja perahu itu, biar aku yang akan mengikatnya pada batang pohon itu."
Linggajaya terkejut dan dia menoleh ke belakang. Matanya terbelalak lebar ketika dia melihat kakek pemilik perahu tadi berjalan mengikuti perahunya. Berjalan di atas air! Saking heran dan kagetnya, dia melompat dari perahu itu ke darat. Dia melihat betapa dengan tenang kakek itu menarik tali perahu dan mengikatkan perahunya kepada akar sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai, lalu kakek itu melangkah ke darat.
Sekarang Linggajaya maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti mandraguna. Gurunya, Sang Resi Bajrasakti, pernah bercerita kepadanya bahwa di nusantara itu terdapat beberapa orang yang demikian saktinya sehingga dapat berjalan di atas air. Sekarang dia melihat dengan mata sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri menyembah di depan kaki orang itu.
"Heh-heh, apa yang kau lakukan ini orang muda?"
"Paman yang mulia, saya Linggajaya mohon sudilah kiranya Paman menerima saya sebagai murid Paman."
"Hemm, Linggajaya, apa yang ingin kau pelajari dari orang seperti aku ini?"
"Paman, saya ingin mempelajari aji-aji kesaktian dari Paman."
"Aji kesaktian? Untuk apa? Kulihat engkau seorang pemuda yang sakti mandraguna. Untuk apa engkau ingin menambah kesaktianmu?"
"Untuk melawan mereka yang pernah mengalahkan saya, Paman, Untuk dapat memenuhi cita-cita saya dan untuk mencapai semua cita-cita itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak dapat dikalahkan siapa pun juga."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa geli. "Betapa pun saktinya seorang manusia, dalam dunia ini kesaktian itu tiada lain hanya seperti permainan kanak-kanak, Linggajaya. Tidak ada manusia paling sakti di dunia ini. Betapa pun saktinya manusia tidak mampu menentang datangnya usia tua dan penyakit yang datang dan membuat dia lemah, juga tidak berdaya terhadap datangnya Sang Yama-dipati (Dewa Maut) yang mengambil nyawanya. Linggajaya, untuk mengalahkan semua musuh di dunia ini, caranya hanya satu."
"Apakah caranya itu, Paman?"
"Mari kita duduk di sana agar lebih santai kita bicara." Kakek itu mengajak Linggajaya duduk di atas rumput tebal. Kemudian dia melanjutkan. "Cara untuk mengalahkan semua musuhmu hanya satu, yaitu engkau harus lebih dulu dapat mengalahkan dirimu sendiri."
"Diri saya sendiri?"
"Ya, dirimu yang palsu, yang mengaku-aku sebagai jati dirimu, yaitu hati akal pikiran berikut seluruh anggauta tubuhmu yang telah dikuasai nafsu-nafsu setan. Jasmanimu yang selalu haus akan kenikmatan, lapar akan kesenangan yang menimbulkan dendam, kemarahan, kebencian, iri hati, angkara murka. Nah, jasmanimu yang kotor berasal dari debu itulah yang harus kau kalahkan lebih dulu. Dengan demikian, rohanimu yang tumbuh, bersatu dengan Kekuasaan Sang Hyang Widhi sehingga segala tindakanmu akan terbimbing oleh-Nya dan segala tindakan, ucapanmu, pikiranmu hanya menjadi alat yang dipilih oleh-Nya untuk menyalurkan berkat kepada sesama hidupmu di dunia ini."
"Wah, saya tidak mengerti, Paman. Saya ini seorang manusia hidup, untuk apa kalau tidak mengejar kebahagiaan hidup? Dan kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh kalau kita mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kekuasaan, memiliki harta benda berlimpah, dan untuk mendapatkan itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak terkalahkan untuk memusnahkan semua musuh dan saingan saya!"
Kakek itu menghela napas panjang. "Jagad Dewa Bathara! Gusti, segala Kehendak dan Rencana Paduka pasti terjadi, hamba tidak kuasa mengubahnya." Ucapan ini dia keluarkan lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Kemudian dia memandang kepada Linggajaya.
"Linggajaya, ceritakan dulu siapa dirimu dan apa kedudukanmu."
Karena dia menemukan kakek ini di daerah Kadipaten Wengker, bahkan tempat itu pun sudah dekat dengan ibu kota Wengker, tanpa ragu lagi Linggajaya lalu membuat pengakuan. "Ketahuilah, Paman. Saya adalah senopati muda Linggajaya Kerajaan Wengker, murid Sang Resi Bajrasakti yang menjadi penasehat Sang Adipati Wengker. Baru-baru ini saya mengalami kegagalan di Kahuripan dan saya ingin membalas kekalahan itu. Akan saya hancurkan dan tundukkan Kerajaan Kahuripan, akan saya binasakan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, musuh-musuh besar saya. Untuk itu saya harus memiliki aji kesaktian yang lebih tinggi daripada mereka. Maka, demi kejayaan Kerajaan Wengker, bantulah saya, Paman. Terimalah saya menjadi murid Paman untuk mempelajari semua aji kesaktian yang Paman kuasai!"
"Jagad Dewa Bathara...! Andika telah keliru memahami hidup ini, Angger. Keliru, sungguh keliru kalau engkau berpendapat bahwa kedudukan, kekuasaan dan harta benda menjadi sarana manusia merasakan kebahagiaan hidup. Sarana kesenangan, mungkin. Akan tetapi apakah artinya kesenangan? Kesenangan itu tipis dan rapuh sekali, orang muda. Saat kepala atau sakit gigi saja sudah dapat mengusir semua kesenangan!
Jenguklah orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya raya. Betapa mereka itu selalu dikejar rasa gelisah dan takut kehilangan kekuasaan, kedudukan atau harta benda. Makanan mewah hanya terasa lezat dalam bayangan seorang yang tidak mampu mengadakannya. Rumah dan istana mewah megah hanya terasa indah dan nyaman dalam bayangan seorang yang rumahnya kecil dan sederhana. Tengok keadaan mereka yang berkedudukan tinggi dan yang kaya-raya, dan lihatlah kenyataannya!
Mereka yang setiap hari mendapat hidangan yang serba mahal dan mewah, sama sekali tidak merasakan kenikmatan hidangan itu, bahkan merasa bosan dan merindukan hidangan sederhana yang biasa dimakan para petani sederhana! Mereka yang tinggal dalam istana megah tidak lagi merasakan keindahannya, tidak merasakan kenyamanannya karena mereka merasa jenuh, mungkin mereka merindukan lapangan terbuka dimana mereka dapat bermandikan cahaya matahari, menghirup udara pegunungan segar dan berteduh di bawah pohon yang rindang!
Kenikmatan hanya dapat dirasakan orang yang hatinya tenteram dan damai, Angger. Dan rasa tenteram dan damai itu hanya dapat dirasakan orang yang setiap saat berserah diri terhadap Kekuasaan Hyang Widhi. Penyerahan diri ini akan mendatangkan bimbingan kepada kita sehingga apa pun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan pasti didasari Kasih yang datangnya dari Hyang Widhi Wasa dan kalau semua gerakan hati akal pikiran dan tubuh ini didasari Kasih atas bimbingan-Nya, sudah pasti benar dan baik. Kalau sudah begitu, ketenteraman dan kedamaian itu ada, sehingga Kebahagiaan selalu berada bersama kita."
"Wah, Paman. Saya ingin berguru kepada Paman mempelajari aji-aji kesaktian, bukan untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang memusingkan itu." kata Linggajaya sambil mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar penasaran dan hilang kesabarannya.
"Hemm, jawablah dulu, Senopati Linggawijaya! Seorang murid sudah semestinya menaati semua perintah gurunya. Nah, kalau Andika ingin menjadi muridku, siapkah Andika untuk menaati perintahku?"
Setelah diam meragu sesaat, Linggajaya yang ingin sekali memperoleh aji kesaktian dari kakek ini, menjawab.
"Tentu saja, saya siap dan bersedia menaati perintah Bapa Guru." Dia langsung saja menyebut bapa guru.
"Bagus, kalau begitu perintahku yang pertama adalah begini. Mulai saat ini, berhentilah menjadi Senopati Kerajaan Wengker dan jangan lagi memusuhi Sang Prabu Erlangga."
Mendengar ini, Linggajaya bangkit berdiri. Mukanya merah, alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Apa? Kiranya engkau adalah seorang pembela Kahuripan?" teriaknya penasaran.
"Aku tidak mencampuri permusuhan antara kerajaan. Aku hanya membela siapa saja yang benar, membela keadilan dan kebenaran dan menentang yang jahat."
"Keparat, kiranya engkau pun seorang pengkhianat, kawula Wengker akan tetapi membela Kahuripan!" Dengan marah sekali Linggajaya lalu melompat ke depan dan mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam ke arah kepala kakek itu dengan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuttt... wirrr...!"
Tubuh Linggajaya terpental ke belakang seolah diterbangkan angin taufan! Tadi dia memukul, akan tetapi pukulannya seolah mengenai perisai lunak yang tidak kelihatan, yang membuat tenaga pukulannya membalik dan tubuhnya terlempar ke belakang lalu terbanting jatuh! Linggajaya terbelalak, merasa dadanya agak sesak. Dia cepat bangkit berdiri, memandang ke arah kakek itu yang masih duduk bersila di atas rumput dengan sikap tenang dan mulut tersenyum sabar.
Linggajaya bukan bodoh. Dia maklum bahwa orang itu memiliki kesaktian luar biasa dan dia mengerti pula bahwa kalau dia menyerang lagi dengan menggunakan senjata, tentu akibatnya akan semakin parah baginya.
"Orang tua, aku yang muda sekarang mengaku kalah. Akan tetapi katakan siapa namamu agar lain kali aku dapat mencarimu untuk menebus kekalahan ini!"
Kakek setengah tua itu masih tersenyum. "Senopati Linggajaya, aku adalah Bhagawan Ekadenta. Aku menasihati engkau agar tidak memusuhi Sang Prabu Erlangga karena kalau engkau lanjutkan akibatnya akan buruk bagi dirimu sendiri. Keangkara-murkaan hanya tampak unggul pada permulaannya saja, akan tetapi pada akhirnya akan hancur. Camkanlah kata-kataku ini."
Akan tetapi Linggajaya tidak mau mendengarkan lagi. Dia sudah melompat jauh dan melarikan diri menuju ibu kota Wengker. Dia tidak akan melupakan nama Bhagawan Ekadenta. Biarpun orang sakti mandraguna itu tidak mengaku sebagai pendukung atau pembela Kahuripan, namun jelas dia tidak akan berpihak kepada Wengker kalau terjadi perang antara kedua kerajaan itu. Berarti, Bhagawan Ekadenta termasuk jajaran orang-orang yang tidak disuka dan harus dimusuhinya…..
********************
Kegagalan yang dialami persekutuan para tokoh kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Kerajaan Laut Kidul, membuat Adipati Adhamapanuda, Raja Wengker, menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk menentang Kahuripan. Dan untuk menghibur hatinya karena kekecewaannya itu, hampir setiap hari Sang Adipati Adhamapanuda mengadakan pesta untuk dirinya sendiri.
Permaisurinya yang cantik genit diperintahkan untuk mempersiapkan segala keperluan untuk bersenang-senang itu. Pesta itu diadakan hampir setiap malam, dengan menghidangkan bermacam-macam masakan daging bermacam hewan, bukan saja daging hewan ternak, melainkan dia memerintahkan agar dimasakkan daging binatang-binatang yang tidak umum dimakan orang.
Yang menjadi kesukaan Adipati Adhamapanuda adalah daging macan dipanggang setengah matang, bahkan lebih mentah daripada matang, dengan darah masih merah basah. Minum-minuman tuak dan arak yang memabukkan juga menjadi kegemarannya. Sambil makan minum dilayani Dewi Mayangsari, permaisuri yang cantik genit, dibantu pula oleh tujuh orang selirnya, Adipati Adhamapanuda nonton dan mendengarkan para waranggana berjoget dan bertembang.

Joget para penari di Kadipaten Wengker sungguh jauh bedanya dengan tarian para penari Kahuripan yang tariannya lembut dan sopan. Tarian para penari Wengker ini kasar dan gerakannya menggairahkan, penuh daya tarik membangkitkan berahi dengan memutar-mutar pundak, perut dan pinggul. Kalau sudah makan kenyang dan minum sampai mabok, Adipati Adhamapanuda lalu bersenang-senang dengan para selirnya.
Akan tetapi, keadaan ini amat tidak menyenangkan hati Dewi Mayangsari. Dialah yang selalu mendesak suaminya agar menentang Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Kini melihat suaminya setelah persekutuan menentang Kahuripan itu gagal lalu setiap malam bersenang-senang, sama sekali tidak ada semangat untuk menentang Kahuripan, ia menjadi kesal dan marah. Ia selalu menolak kalau suaminya mengajaknya bersenang-senang, tidak mau menanggapi kalau suaminya mengajaknya memadu kasih dalam kamarnya. Ia mewakilkan kepada para selir muda untuk melayani Sang Adipati.
Dewi Mayangsari berusia hampir tiga puluh tahun, cantik jelita dengan tubuh padat langsing, tampak jauh lebih muda. Dalam usia dua puluh tahun, ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda yang ketika itu berusia tiga puluh tujuh tahun. Sekarang ia berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Delapan tahun menjadi permaisuri Adipati Adahamapanuda dan belum mempunyai keturunan.
Dewi Mayangsari sejak kecil mendapat pendidikan aji kanuragan karena ia adalah puteri seorang tokoh warok yang sakti, yaitu Ki Surogeni yang menjadi guru para warok di Wengker. Di antara para murid itu adalah Ki Wirobento dan Wirobandrek. Akan tetapi, tingkat kepandaian Dewi Mayangsari kini jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena selama tiga tahun ia mendapat guru baru. Gurunya itu adalah Nini Bumigarbo yang di waktu mudanya bernama Ni Gayatri. Nini Bumigarbo ini seorang datuk wanita yang sakti mandraguna.
Pada suatu malam, tiga tahun lebih yang lalu, Nini Bumigarbo secara aneh tiba-tiba muncul dalam kamar Dewi Mayangsari. Tentu saja permaisuri ini terkejut bukan main. Akan tetapi segera ia mengerti bahwa nenek yang muncul secara aneh seperti setan ini adalah seorang yang amat sakti yang memilih ia menjadi murid. Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari sebagai murid dengan syarat bahwa Dewi Mayangsari harus berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan suaminya agar memerangi Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!
Setelah digembleng dengan tekun selama tiga tahun, Dewi Mayangsari menguasai ilmu-ilmu yang dahsyat, juga pandai menggunakan ilmu sihir yang menyeramkan. Nini Bumigarbo kembali mengulang pesannya agar muridnya ini berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
"Harap Kanjeng Ibu Guru tidak khawatir. Saya pasti akan memusuhi Kahuripan dan akan berusaha agar dapat membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Tanpa perintah itu pun, sejak dahulu memang Kerajaan Wengker menjadi musuh besar Kahuripan. Akan tetapi mengapa Ibu Guru menghendaki kematian mereka berdua?"
Nini Bumigarbo menghela napas panjang. "Aku menaruh dendam sakit hati kepada guru mereka, yaitu Resi Satyadharma. Karena membunuh resi yang amat sakti mandraguna itu tidak mungkin dapat kulakukan, maka aku sudah puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya itu."
"Akan tetapi Paduka memiliki kesaktian demikian tinggi, mengapa tidak Paduka bunuh saja mereka berdua itu sejak dulu?"
"Ah, kalau saja aku ada kesempatan untuk itu. Akan tetapi, tidak, Dewi Mayangsari, aku tidak dapat membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Karena itulah maka aku memilih engkau untuk mewakili aku membunuh mereka."
"Mengapa tidak dapat?"
"Itu merupakan rahasiaku. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Engkau sudah berjanji akan membunuh mereka, dan dengan bantuan pasukan Wengker dan juga orang-orang pandai di Wengker seperti Resi Bajrasakti, Senopati Linggawijaya dan lain-lain, engkau pasti akan berhasil." Nini Bumigarbo tentu saja tidak mau menceritakan bahwa ia sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta untuk tidak membunuh raja dan patihnya itu, maka ia tidak dapat turun tangan sendiri.
Kemudian Nini Bumigarbo berpamit dan meninggalkan istana Wengker. Demikianlah mengapa Dewi Mayangsari menjadi kesal hatinya melihat suaminya agaknya tidak mau lagi menyerang Kahuripan dan kini hanya bersenang-senang saja. Kalau pasukan Wengker tidak dikerahkan untuk menyerang Kahuripan, bagaimana mungkin ia akan dapat memenuhi perintah gurunya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?
Sore itu, seperti biasa, Adipati Adhamapanuda yang berusia empat puluh lima tahun itu mulai dengan pesta poranya. Kini Dewi Mayangsari tidak lagi melayaninya makan. Sudah beberapa hari ia tidak mau ikut berpesta dengan suaminya. Bahkan sore itu ia keluar dari istana memasuki tamansari yang indah. Matahari telah condong ke barat dan Dewi Mayangsari duduk termenung di atas bangku taman.
Sinar matahari yang kemerahan mengelus wajahnya. Sepasang pipi yang berkulit halus dan putih kuning itu menjadi kemerahan oleh sinar matahari. Alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut, bibir yang mungil kemerahan itu cemberut dan sinar matanya sayu, terkadang menyinarkan kemarahan.
Hidung yang kecil mancung itu berkali-kali menarik napas panjang. Ia semakin muak dan benci kepada suaminya, Sang Adipati Adhamapanuda. Dulu ia mau menjadi isterinya karena sebagai puteri seorang warok ia menjadi permaisuri adipati, berarti naik derajatnya. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mencinta Adipati Adhamapanuda yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan tubuhnya berbulu seperti monyet, suaranya parau besar menjemukan.
Kini ia merasa kecewa, maka ia semakin muak dan benci kepada orang yang menjadi suaminya itu. Suaminya itu mulai bermalas-malasan dan setiap malam makan minum bersenang-senang dengan para selirnya setelah mendengar pelaporan Linggajaya tentang kegagalan usaha persekutuan membantu pemberontak menggulingkan Sang Prabu Erlangga!
Sementara itu, di bagian lain dari bangunan istana itu, Linggajaya berunding dengan gurunya, Sang Resi Bajrasakti.
"Engkau benar, Linggajaya. Kerajaan Wengker harus dijadikan sebuah kerajaan yang besar dan jaya dan sekarang inilah saatnya. Aku mendukung rencanamu itu. Adipati Adhamapanuda sudah sepatutnya disingkirkan. Dia lemah dan dibawah pimpinannya, tidak dapat diharapkan Wengker akan dapat menjatuhkan Kahuripan. Rencanamu yang pertama dan kedua harus kaulaksanakan sendiri dan engkau harus berhati-hati sekali karena Dewi Mayangsari sekarang bukan seperti dulu lagi. Ingat, ia adalah murid Nini Bumigarbo, walau pun aku sendiri belum tahu ajian apa saja yang ia dapatkan dari datuk wanita itu, namun aku yakin ia tentu memiliki kepandaian tinggi sekarang. Engkau harus pandai-pandai menarik dan menguasai hatinya. Nanti pada tahap ke tiga dan terakhir, akulah yang akan membantumu dan memperkuat kedudukanmu."
"Terima kasih, Bapa Guru!" kata Linggajaya girang. "Harap jangan khawatir, rencana kita pasti berhasil."
"Sudahlah, cepat berangkat dan laksanakan!"
Sore itu, selagi Adipati Adhamapanuda mulai dengan pestanya makan minum sambil mendengarkan alunan suara pesinden dan menonton para penari bertubuh sintal memutar-mutar pinggul mereka, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya tahu bahwa Permaisuri Dewi Mayangsari tidak ikut berpesta. Dia sudah tahu bahwa permaisuri cantik itu diam-diam tidak suka dengan pesta pora yang dilakukan suaminya dan kini tengah duduk makan angin sejuk di dalam taman.
Linggajaya telah mandi sehingga tubuhnya segar, wajahnya yang tampan berseri. Dia mengenakan pakaian baru, bersolek sehingga bertambah ganteng. Pakaiannya menyiarkan bau harum cendana. Ketika memasuki taman dan melihat Sang Permaisuri duduk termenung seorang diri di atas bangku taman yang panjang sambil memandang ke arah kolam di depannya, di mana tumbuh bunga-bunga teratai merah dan putih, dan banyak ikan berwarna hitam, putih, kuning dan merah berenang hilir mudik, Linggajaya menghampiri dari belakang. Diam-diam dia berkemak-kemik membaca mantera Aji Pameletan Mimi-Mintuna.
Setelah membaca mantera, dia mengerahkan tenaganya dan meniup ke arah tubuh Dewi Mayangsari dari belakang, dalam jarak satu tombak lebih. Dewi Mayangsari yang sedang melamun merasa ada angin menghembus tengkuknya dan hidungnya mencium harum cendana. Jantungnya berdebar dan ia merasa ada sesuatu ketidak wajaran yang membuat tubuhnya terasa panas dingin dan jantungnya berdegup kencang, la lalu bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Dewi Mayangsari tidak pantas menjadi murid Nini Bumigarbo kalau ia begitu mudah tunduk oleh aji pengasihan.
Ia segera dapat menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya ini tentu menggunakan aji pengasihan. Ia mengerahkan tenaga batinnya dan pengaruh aji pengasihan yang membuat tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar itu pun lenyap.
"Hemm, Senopati Linggawijaya. Biar digunakan seribu satu macam aji pengasihan, kalau aku menolak, siapa akan mampu memaksaku? Sebaliknya, tanpa aji pengasihan, kalau aku mau, siapa pula yang akan melarangnya?"
Wajah Linggajaya berubah kemerahan. Gurunya benar. Dia harus berhati-hati terhadap wanita ini. Jelas bahwa aji pengasihannya yang amat kuat itu dapat ditolaknya! Akan tetapi dia tidak putus asa, bahkan mendapatkan harapan baik. Bukankah permaisuri itu tadi juga mengatakan bahwa tanpa pengasihan sekalipun, kalau ia mau, siapa yang dapat melarangnya? Maka dia segera tersenyum manis dan membungkuk dengan sembah ke depan dada.
"Maafkan saya, Gusti Puteri. Kalau kehadiran saya mengganggu peristirahan Paduka, biarlah saya mengundurkan diri."
"Tidak, Linggajaya. Kebetulan engkau datang. Aku ingin mengajakmu bicara tentang Kahuripan."
"Ah, terima kasih, Gusti Puteri. Saya akan senang sekali kalau dapat menceritakan dengan jelas apa yang Paduka ingin ketahui." Setelah berkata demikian Linggajaya yang pandai mengambil hati itu lalu duduk di atas rumput di depan permaisuri. "Nah, saya siap mendengarkan dan melaksanakan semua perintah Paduka."
"Ah, engkau adalah senopati muda kami. Tidak perlu merendahkan diri seperti seorang hamba sahaya, Linggajaya. Duduklah di bangku ini agar kita dapat lebih leluasa dan enak bicara."
"Saya tidak berani, Gusti Puteri."
"Hayolah, takut apa? Aku yang memerintah mu. Bangkit dan duduk di bangku ini."
Linggajaya tidak membantah lagi lalu duduk di atas bangku, memilih di ujung sana. Tentu saja hatinya girang sekali akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegembiraan itu dan bersikap sopan dan penuh hormat kepada permaisuri yang sedang dipikatnya itu.
"Linggawijaya, bagaimana menurut pendapatmu. Apakah Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama itu benar-benar amat tangguh sehingga tidak mungkin ditaklukkan?"
Linggajaya berpikir sejenak, lalu mengerutkan alisnya dan berkata, "Menurut pendapat saya, Gusti Puteri, mereka itu juga manusia-manusia biasa saja dan pasukan Kahuripan tidaklah tangguh benar sehingga mereka itu pasti dapat ditaklukkan!"
Suaranya mengandung ketegasan dan keyakinan.
"Hemm, kalau begitu, Senopati Linggawijaya, mengapa pemberontakkan Pangeran Hendratama yang didukung para tokoh yang mewakili Empat Kerajaan termasuk engkau sendiri, gagal sama sekali?"
"Kegagalan itu disebakan oleh beberapa hal, Gusti Puteri. Pertama, Pangeran Hendratama itu tidak becus menghimpun laskar sehingga pasukan Kahuripan yang dapat dibujuk untuk mendukungnya hanya sedikit dan tidak setia sehingga ketika bertempur, banyak yang cepat menyerah dan melarikan diri. Kedua, di antara para wakil Empat Kerajaan ada yang berkhianat, yaitu Puspa Dewi, murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi Permaisuri Wura-wuri. Ia berkhianat dengan berbalik membela Kahuripan dan lebih dari itu, ia sengaja mengirim laporan terlambat sehingga Wura-wuri terlambat pula mengirim bantuan pasukan. Dan yang ke tiga, sungguh menggemaskan, dua orang puteri Parang Siluman itu, agaknya mereka yang telah menjadi selir-selir Sang Prabu Erlangga dan Ki patih Narotama..."
"Maksudmu Puteri Mandari dan Lasmini?"
"Benar, Gusti Puteri. Mereka itu menjemukan sekali, agaknya mereka tidak tega kepada raja dan patihnya itu, atau mungkin karena terlanjur mencinta mereka sehingga tidak melakukan usaha sungguh-sungguh, bahkan mereka melarikan diri lebih dulu kembali ke Parang Siluman. Kalau saja ketiga hal itu tidak terjadi, sudah pasti sekarang Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah dapat dibinasakan dan Kahuripan dapat ditaklukkan."
"Ya, sayang sekali. Akan tetapi setelah usaha itu gagal, mengapa sama sekali tidak ada gerakan dari semua Empat Kerajaan?"
"Itulah yang membuat saya merasa jengkel dan juga menyesal, Gusti Puteri. Mereka itu mungkin ketakutan terhadap Kahuripan setelah kegagalan itu sehingga tidak ada yang peduli lagi. Bahkan ada yang bersembunyi di balik pelesir berfoya-foya, mungkin agar tidak diketahui bahwa di dalam hati, mereka itu sebenarnya ketakutan. Ah, maafkan saya, Gusti Puteri! Bukan maksud saya untuk... maksud saya... saya tidak menyinggung Gusti Adipati..."
Dewi Mayang Sari tersenyum memandang wajah pemuda itu.
"Tidak, Senopati Llnggawijaya, aku tidak menyalahkan engkau. Memang apa yang kaukatakan itu benar dan tepat sekalli cocok dengan suara hatiku. Mereka itu memang orang-orang pengecut! Termasuk Adipati Adhamapanudal. Ketahuilah Llnggawijaya, tidak ada orang yang merasa lebih penasaran lebih benci dan muak, daripada aku sendiri melihat ulah Adipati Adhamapanuda yang setiap hari hanya berpesta pora, mabok-mabokan, sedikit pun tidak mempunyai semangat untuk menentang musuh besar kita Kahuripan. Sungguh aku merasa muak dan benci sekali padanya!"
"Maaf, Gusti Puteri. Kalau Paduka tidak pernah mengeluarkan isi hati seperti itu, tentu saya tidak akan berani mengusulkan ini. Akan tetapi kalau Paduka menderita batin melihat semua foya-foya yang menyakitkan hati itu, mengapa Paduka tidak memegang sendiri kendalinya?"
"Lingga... apa maksudmu?"
Berdebar rasa jantung Lingga jaya mendengar namanya disebut Lingga saja dan terdengar begitu mesra. Dia menatap wajah wanita itu dan sepasang matanya membayangkan kemesraan dan cinta yang jelas sekali tampak, apa lagi oleh seorang wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun usianya, sudah mengenal betul apa yang terpancar dari dalam hati pria melalui pandang matanya. Maka, permaisuri cantik itu pun segera mengetahui bahwa Sang Senopati muda ini tergila-gila kepadanya.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan