NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-03
Akan tetapi kini, sejak setahun yang lalu ketika Linggajaya dibawa Resi
Bajrasakti menghadap Sang Adipati, la sudah tertarik oleh ketampanan dan
kegagahan pemuda itu. Bahkan la yang mengusulkan kepada suaminya untuk
mengangkat Linggajaya menjadi senopati dengan nama Llnggawijaya.
Dan kini, baru sekali ini mereka duduk bercakap-cakap berdua saja, ia semakin tertarik karena terdapat persamaan perasaan dan pendapat. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang terang-terangan menyatakan kekaguman dan cinta dari pemuda itu, ia merasa jantungnya berdegup tegang.
''Maksud saya, Gusti Puteri. Kalau Paduka yang memegang kendali atau memimpin langsung Kerajaan Wengker Ini, maka kita dapat menghimpun kekuatan dan kerajaan kitalah yang akan mampu menghancurkan Kahuripan dan membinasakan Erlangga dan Narotama!"
"Kita...?" Permaisuri itu mendesak dan memandang tajam penuh selidik ke arah wajah Linggajaya.
"Ya, Paduka dan saya, kita ini. Saya akan membantu Paduka dengan setia dan saya rela berkorban nyawa untuk membantu Paduka!"
Dewi Mayangsari mulai terpikat. Linggajaya memang seorang pemuda yang ganteng dan tutur bahasanya juga lembut, sopan dan memikat. Ditambah lagi dengan sinar matanya yang mengandung daya meruntuhkan hati wanita, senyumnya yang menawan. Hati Dewi Mayangsari yang memang sedang jengkel melihat ulah suaminya, segera terpikat.
"Lingga, katakan terus terang, mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku? Mengapa? Hayo jawab, Lingga."
Pemuda itu menundukkan mukanya, tampak rikuh. "Saya... saya tidak berani menjawab Gusti Puteri. Saya takut Paduka akan marah kepada saya."
Cuaca mulai gelap. Senja telah tua dan cuaca remang-remang, malam mulai menjelang. Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang menggetarkan jantung Dewi Mayangsari. Agar dapat melihat lebih jelas wajah dan sinar mata pemuda itu. Dewi Mayangsari menggeser duduknya mendekat dan la emegang sebelah tangan Linggajaya. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan keduanya merasa kehangatan yang menggairahkan menyelinap dari tangan itu ke seluruh tubuh.
Melihat pemuda Itu diam saja seolah ketakutan, Dewi Mayangsari berkata lirih. "Jangan takut, Lingga. Bagaimana aku dapat marah kepada engkau yang begini setia kepadaku? Katakan sajalah terus terang karena aku ingin sekali mengetahui. Mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku?"
"Karena... karena saya... hemm, maafkan saya... sesungguhnya saya mencinta Paduka dengan seluruh jiwa raga saya!"
Pernyataan cinta itu terdengar seperti bunyi gamelan dari sorgaloka bagi telinga Dewi Mayangsari. Betapa Indahnya! Dewi Mayangsari dibakar gairah berahi yang belum pernah ia rasakan sehingga sukar dikatakan siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi tahu-tahu dua orang itu saling rangkul dengan mesra. Dua orang itu tenggelam dalam gelora nafsu sehingga mereka lupa segala.
Dewi Mayangsari lupa bahwa ia adalah seorang permaisuri, isteri Sang Adipati, sedangkan Linggajaya lupa bahwa dia seorang ponggawa, diangkat oleh Sang Adipati Adhamapanuda yang kini dia khianati. Selagi keduanya berasyik-masyuk seperti mabok sehingga kehilangan kewaspadaan, mereka tidak tahu kalau ada bayangan tinggi besar menghampiri mereka sampai dekat.
"Hordah!" orang bertubuh raksasa itu membentak. "Siapa Andika, berani mencuri masuk tamansari?"
Dewi Mayangsari dan Linggajaya terkejut. Buaian asmara tadi membuat mereka mabok dan lengah. Mereka mengenal suara yang membentak itu. Suara Limantoko, pengawal pribadi Adipati Adhamapanuda yang bertubuh raksasa dan memiliki tenaga sekuat gajah. Akan tetapi jagoan ini pernah dikalahkan Linggajaya ketika pemuda itu baru datang di Wengker menghadap Sang Adipati kemudian dia diuji dan dihadapkan kepada raksasa ini. Karena selagi bermesraan tadi mereka ketahuan Limantoko, maka Dewi Mayangsari berbisik kepada kekasihnya.
"Lingga, bunuh dia!"
Tanpa diperintah dua kali, Linggajaya melompat dan bagaikan seekor harimau kelaparan, dia menerkam dan menerjang pengawal pribadi Sang Adipati itu. Karena dia menyerang untuk membunuh maka dia sudah mencabut kerisnya yang luk tiga belas, yaitu keris pusaka Kyai Candalamanik pemberian Resi Bajrasakti. Serangannya demikian tiba-tiba dan cepat datangnya sehingga Limantoko tidak sempat menghindar lagi.
"Capp...!" Keris pusaka yang mengandung racun itu memasuki rongga dada Limantoko dan mengenai jantungnya.
"Auggghhh...!" Limantoko terhuyung sambil mendekap luka di dada yang mengucurkan darah. Akan tetapi selagi dia hendak berteriak, Linggajaya sudah menyusulkan sebuah tamparan Aji Siung Naga ke arah kepalanya.
"Wuuutt... prakkk" Kepala itu pecah berantakan. Tubuh Limantoko terpelanting dan dia tewas seketika.
"Bagus, Lingga." Dewi Mayangsari memuji. "Kebetulan sekali. Kelancangan Limantoko ini menguntungkan kita. Dengarkan baik-baik, Lingga. Kita harus segera lakukan Ini."
Dewi Mayangsari mendekati kekasihnya, merangkul pundaknya dan menempelkan mulutnya dekat telinga Linggajaya. Pemuda itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Kecerdikan Mayangsari membuatnya kagum. Dia mencium bibir wanita itu dan berbisik.
"Akan kulakukan semua perintahmu, Dewi. Mari kita laksanakan seperti yang kaurencanakan itu." Kini sikap dan kata-kata Linggajaya terhadap Dewi Mayangsari sudah berubah sama sekail, bukan sikap seorang bawahan terhadap atasan atau junjungannya, melainkan sikap dan kata-kata seorang laki-laki terhadap kekasihnya.
Terjadi kesibukan di malam yang gelap itu. Sang Adipati Adhamapanuda sendiri masih tenggelam ke dalam pesta poranya, makan minum sepuasnya sambil menonton para penari menggoyang pundak dan pinggul sambil bernyanyi gembira. Seperti biasa, para selir Sang Adipati, tujuh orang jumlahnya, melayani suami mereka dan ikut pula makan minum dengan gembira.
Dari permaisuri dan tujuh orang selirnya. Adipati Adhamapanuda hanya mempunyai dua orang putera yang dilahirkan dua orang selirnya. Dua orang puteranya itu bernama Rajendra dan Mahendra, berusia sepuluh dan delapan tahun. Karena dua orang kakak dan adik ini tidak mempunyai saudara lain, maka mereka akrab sekali dan tidur pun mereka minta agar sekamar.
Mereka memiliki sebuah kamar sendiri, kamar yang cukup luas dan mewah. Dan mereka ditemani seorang inang pengasuh, seorang wanita setengah tua berusia empat puluhan tahun. Pada malam hari itu, seperti biasa, Raden Rajendra dan Raden Mahendra sudah berada dalam kamar mereka. Mereka memang tidak diperbolehkan ikut hadir dalam pesta Sang Adipati Adhamapanuda. Mereka bermain-main dalam kamar ditemani Nyai Ranu, sang inang pengasuh. Suara gamelan terdengar sampai ke kamar mereka.
Seperti biasa pada malam-malam pesta yang lalu, para penghuni istana kadipaten tertarik untuk nonton pesta itu, walau pun tidak hadir di ruangan itu. Tujuan mereka tertarik untuk menonton dan mendengarkan para penari yang berjoget sambil bertembang. Karena perhatian para pelayan dan pengawal tertuju ke arah ruangan pesta, maka suasana dalam istana itu menjadi sunyi.
Tiba-tiba daun pintu kamar kedua orang pangeran muda itu terbuka dari luar. Linggajaya melompat masuk sambil membawa sebuah ruyung besar. Nyai Ranu terkejut dan menjerit. Akan tetapi hanya satu kali saja ia menjerit karena ruyung Itu telah menyambar dan terdengar suara gaduh ketika kepalanya disambar ruyung dan tubuhnya terbanting ke atas lantai, tewas seketika! Dua orang pangeran kecil itu terbelalak lalu berloncatan berdiri dengan muka pucat. Melihat pengasuh mereka roboh mandi darah, mereka lalu menjerit minta tolong.
Akan tetapi Linggajaya sudah bergerak cepat, ruyungnya menyambar-nyambar dan dua orang pangeran kecil itu pun roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Setelah itu, Linggajaya cepat keluar, menyeret mayat Limantoko, setelah berada dalam kamar dia menaruh ruyung ke dalam tangan pengawal pribadi Sang Adipati itu dan dia sendiri berdiri dengan keris pusaka Candalamanik di tangan kanan!
Jeritan-jeritan itu memancing datangnya para pengawal dan pelayan. Mereka terkejut sekali ketika memasuki kamar Pangeran. Setelah mendengar dari Linggajaya bahwa Limantoko membunuh dua Pangeran dan pengasuh mereka, para pengawal segera lari melaporkan mala petaka ini kepada Sang Adipati Adahamapanuda.
Mendengar laporan mengerikan itu, Sang Adipati dan tujuh orang selirnya berlari-lari menuju ke kamar itu. Tampak pula Sang Permaisuri Dewi Mayangsari keluar dari kamarnya dan ikut berlarian bersama mereka.
Dua orang selir Sang Adipati, ibu kandung dua orang Pangeran itu, menjerit-jerit, menubruk mayat anak-anak mereka dan meraung-raung. Para selir lain dan para pelayan wanita juga ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dan menyedihkan.
Sang Adipati Adhamapanuda yang setengah mabok itu berdiri dengan wajah pucat memandang ke arah mayat kedua orang puteranya, lalu kepada mayat Limantoko. Dia terhuyung akan roboh, akan tetapi Dewi Mayangsari cepat menangkap lengannya dan diajaknya suaminya itu keluar kamar. Ia menarik Sang Adipati duduk di atas bangku yang terdapat di luar kamar, lalu berteriak memanggil.
"Senopati Linggawijaya, Andika ke sinilah!" Sang Permaisuri memanggil.
Linggajaya yang sedang bercerita kepada para pengawal, cepat keluar dan menjatuhkan diri duduk bersila menghadap Sang Adipati. Akan tetapi, saking kaget dan sedihnya, Adipati Adhamapanuda tidak dapat bicara dan diam saja sambil memandang Linggajaya dengan bingung. Dewi Mayangsari yang bertanya kepada Linggajaya dengan suara lantang.
"Hei, Senopati Linggawijaya! Cepat ceritakan selengkapnya dengan jelas, apa yang telah terjadi di sini? Andika menjadi saksi tunggal, awas, jangan berbohong!"
Karena pertanyaan itu diajukan dengan suara lantang, semua orang mendengarnya dan kini mereka yang berada dalam kamar pun keluar untuk mendengarkan jawaban Senopati Linggawijaya.
Linggajaya lalu berkata dengan sikap hormat kepada Adipati Adhamapanuda.
"Maafkan hamba, Gusti Adipati dan Gusti Puteri, hamba sungguh menyesal sekali bahwa hamba terlambat dan tidak dapat menyelamatkan kedua orang Gusti Pangeran Alit (kecil) dari mala petaka yang membawa maut. Tadi hamba keluar dari kamar hamba dengan maksud menonton tarian. Akan tetapi hamba melihat berkelebatnya bayangan dan ketika hamba membayanginya, bayangan itu lenyap. Hamba menjadi curiga dan hamba kembali ke kamar untuk mengambil keris pusaka hamba. Ketika hamba keluar lagi dari kamar, hamba mendengar jeritan-jeritan dari kamar Gusti Pangeran ini, maka hamba cepat berlari ke sini. Ternyata hamba melihat Limantoko telah membunuh kedua orang Gusti Pangeran dan inang pengasuh mereka. Hamba segera menyerangnya dengan keris, lalu memukulnya dengan tangan kiri sehingga dia roboh dan tewas. Begitulah, Gusti, apa yang telah terjadi dan hamba menyesal sekali bahwa hamba terlambat menyelamatkan para Gusti Pangeran."
"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Adipati Adhamapanuda mengeluh dengan suaranya yang biasanya besar itu menjadi semakin parau. "Mengapa Limantoko dapat melakukan kekejian ini? Padahal, sudah lama dia menjadi pengawal pribadiku yang setia. Mengapa dia lakukan ini? Apa dia sudah gila...?"
Resi Bajrasakti yang baru saja datang ke tempat itu, menghampiri Sang Adipati, menyentuh lengannya dan berkata dengan suaranya yang penuh wibawa.
"Harap Paduka tenang, Adimas Adipati. Kematian adalah hak Sang Yamadipati dan sudah ditentukan oleh para dewa. Saya dapat menduga mengapa Limantoko melakukan perbuatan ini."
"Mengapa, Kakang Resi? Mengapa dia membunuh putera-puteraku?"
"Tentu saja bukan keluar dari hatinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menguntungkan dia dengan membunuh kedua orang putera Paduka. Maka jelaslah bahwa dia pasti dipengaruhi orang lain dan siapa orang yang begitu membenci Paduka sehingga tega melakukan pembunuhan ini? Hanya ada satu orang, yaitu Sang Prabu Erlangga! Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Kahuripan, maka saya merasa yakin bahwa peristiwa ini pasti didalangi oleh Raja Kahuripan itu."
Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Adipati Adhamapanuda mengeluarkan teriakan parau seperti seekor binatang buas terluka. "Jahanam engkau Erlangga"
Setelah berteriak seperti itu, Adipati Adhamapanuda terkulai lemas dan jatuh pingsan. Dewi Mayangsari, dibantu para selir, segera mengangkat Sang Adipati ke dalam kamarnya. Sejak saat itu, Adipati Adhamapanuda jatuh sakit. Tidak ada dukun yang dapat mengobatinya. Makin hari penyakitnya semakin parah. Dewi Mayangsari, permaisurinya, turun tangan sendiri merawat Sang Adipati siang malam. Bahkan ia tidak memperbolehkan selir-selir Sang Adipati menggantikannya merawat suami mereka. Permaisuri ini merawat suaminya dengan penuh ketekunan dan tampaknya amat mencinta Sang Adipati!
Sementara itu. ketika Adipati Adhamapanuda sakit berat, yang menggantikannya untuk sementara menangani urusan pemerintahan kadipaten adalah penasihatnya, Sang Resi. Bajrasakti dibantu Senopati Muda Linggawijaya. Dan ternyata dua orang ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Bahkan mengadakan perubahan-perubahan dan perombakan, terutama sekali ditujukan untuk memperkuat Kerajaan wengker.
Menambah jumlah pasukan dengan menerima para sukarelawan, memperbesar upah para prajurit, menambah kesejahteraan mereka. Tentu saja tindakan Senopati Muda Linggawijaya itu mendapat sambutan gembira oleh pasukan Wengker dan dia memperoleh dukungan banyak pihak. Kurang lebih setengah bulan sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, Sang Adipati Adhamapanuda meninggal dunia karena penyakitnya yang tak dapat disembuhkan oleh para dukun dan ahli pengobatan.
Menurut kebiasaan atau peraturan yang sudah-sudah, kematian seorang raja atau adipati biasanya disusul dengan pengangkatan seorang adipati baru yang diambil dari seorang puteranya. Akan tetapi karena dua orang putera Adipati Adhamapanuda sudah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan oleh permaisurinya, apa lagi mengingat bahwa Dewi Mayangsari seorang yang sakti mandraguna.
Akan tetapi, Dewi Mayangsari secara suka rela menyerahkan kedudukan adipati kepada Linggajaya. Usul Dewi Mayangsari ini disetujui dan didukung pula oleh Sang Resi Bajrasakti. Kalau dua orang yang tadinya memang telah merupakan orang-orang yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati mendukung pengangkatan Linggajaya sebagal Adipati baru di Wengker, siapa yang berani menentang? Akhirnya semua ponggawa menyetujui pengangkatan itu dan mulai hari itu, Linggajaya dinobatkan sebagai Adipati Wengker dengan nama Sang Adipati Linggawijaya!
Penobatan sebagai adipati itu dirayakan oleh semua orang, dari para ponggawa, para prajurit dan juga rakyat Wengker. Akan tetapi malam harinya, tiga orang mengadakan pesta sendiri yang hanya dihadiri mereka bertiga. Mereka adalah adipati baru, Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti yang merasa gembira sekali. Siasat mereka berhasil dengan baik sekali. Tidak sukar bagi kita untuk menduga apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah Linggajaya dan Dewi Mayangsari membunuh Limantoko karena pengawal itu memergoki mereka bermain asmara, lalu Dewi Mayangsari dan Linggajaya melaksanakan siasat mereka yang amat kejam. Linggajaya membunuh dua orang pangeran kecil dan inang pengasuh mereka dengan menjatuhkan fitnah kepada Limantoko yang mayatnya dibawa ke kamar pangeran itu dan ruyungnya dipakai Linggajaya untuk melakukan pembunuhan.
Kemudian tiba giliran Dewi Mayangsari yang mencampurkan racun dalam minuman Adipati Adhamapanuda. Sebagai murid Nini Bumigarbo tentu saja la pandai menggunakan racun, apa lagi dibantu oleh Resi Bajrasakti sehingga tidak ada seorang pun ahli pengobatan yang dapat mengetahui bahwa Sang Adipati sakit karena keracunan. Setelah Adipati Adhamapanuda tewas, giliran Resi Bajrasakti untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya sebagai penasihat adipati, untuk mendukung usul Dewi Mayangsari agar Linggajaya yang menggantikan kedudukan sebagai Adipati Wengker yang baru!
Setelah Adipati Linggawijaya menjadi penguasa Kerajaan Wengker, dia lalu mengangkat Dewi Mayangsari menjadi permaisurinya. Kenyataan itu pun tidak mengherankan karena semua orang tahu bahwa biarpun usia wanita itu sudah dua puluh delapan tahun, namun ia masih amat cantik jelita dan tampaknya tidak lebih tua daripada Sang Adipati baru. Tidak ada seorang pun, kecuali para bekas selir Adipati Adhamapanuda, yang menentang pengangkatan Dewi Mayangsari ini. Tentu saja para bekas selir itu pun tidak ada yang berani berkutik.
Sang Resi Bajrasakti tentu saja mendapat kedudukan yang terhormat, bukan saja sebagai penasihat agung, akan tetapi juga sebagai guru Sang Adipati. Tercapailah apa yang dikejar dan diinginkan tiga orang ini sehingga mereka mendapatkan kesenangan besar dalam hati mereka.
Mereka merasa senang? Mungkin, akan tetapi seperti segala macam kesenangan di dunia ini, hanya sementara saja dan biasanya tidak bertahan lama. Kesenangan sebagai buah dari pohon (perbuatan) kejahatan seringkali menjadi kutukan yang mendatangkan penderitaan. Kesenangan duniawi hanya kesenangan jasmani dan apa yang menyenangkan jasmani biasanya disusul kebosanan karena hati akal pikiran segera mengejar yang lain lagi yang dianggap akan lebih menyenangkan daripada yang sudah diperoleh dan yang mulai membosankan itu.
Kesenangan memang dapat dicari dari dikejar, didapatkan lalu mendatangkan kebosanan dan disusul pengejaran lagi kepada kesenangan yang lain. Demikian selanjutnya selama hidup. Manusia dipermainkan dan dipancing kuasa kegelapan dengan umpan berupa kesenangan dan kenikmatan, yang membuat kita mata gelap dan untuk mencapai kesenangan itu kita terjang apa saja yang menghalangi kita untuk mendapatkannya. Bahkan kita rela melakukan perbuatan sejahat apa pun.!
Padahal yang dikejar-kejar Itu hanyalah kosong dan yang lambat laun membosankan. Kalau kita sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu angkara murka ini, kita tidak dapat menikmati apa pun yang telah kita miliki dan selalu membayangkan bahwa apa yang belum kita dapatkan dan yang sedang kita kejar-kejar Itulah yang akan menyenangkan sekali!
Hidup kita ini hanya akan menjadi serangkaian kesenangan semu, disusul kebosanan lalu keinginan mengejar kesenangan lain, kebosanan lagi dan demikian selanjutnya. Pengejaran ini mendatangkan persaingan, perebutan, permusuhan, penghalalan segala cara, semakin menebalnya si-aku yang menipiskan bahkan menghilangkan kasih terhadap sesama kita serta pelanggaran terhadap larangan-larangan yang difirmankan dalam agama-agama.
Berbahagialah mereka yang dapat menerima apa pun yang mereka dapatkan, besar atau kecil, banyak atau sedikit, bahkan baik atau buruk, dengan puji syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi karena hanya mereka inilah yang dapat apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu.
Lihatlah di sana, seorang buruh petani menghadapi nasi dengan ikan asin dan sambal yang dibawa isterinya, makan dengan lahap dan lezatnya sungguh pun hampir setiap hari makannya hanya itu-itu juga, berikut sekendi ari. Dan tak jauh di sana, si pemilik sawah, menghadapi nasi dan masakan daging ayam beberapa macam, berikut minuman kopi panas dan teh kental, bersungut-sungut ketika makan, sama sekali tidak dapat menikmati makanannya, mengomel kepada isterinya, mencela makanan itu mengapa lauknya daging ayam bukan daging kambing. Si juragan ini hampir setiap hari mengomel, tidak pernah dapat menikmati apa yang dihadapinya!
Memang, syarat menikmati makanan adalah perut lapar, tubuh lelah, badan sehat. Akan tetapi yang lebih utama adalah hati akal pikiran yang tenteram dan ketenteraman itu hanya dapat dirasakan orang yang selalu berserah diri dan memanjatkan puji syukur dan terima kasih dalam hatinya kepada Sang Hyang Widhi atas semua Kasih dan Berkah yang diiimpahkan-Nya kepada kita…..
********************
Setelah Puspa Dewi berada di rumah Ki Lurah Pusosaputro di dusun Karang Tirta, ia banyak duduk diam melamun keadaan dirinya dan ibunya. Ibunya, ketika ia berusia lima tahun dan diculik Nyi Dewi Durgakumala, telah menjadi seorang janda muda. Ibunya tentu saja merasa berduka dan putus asa ketika ia hilang dan akhirnya karena membutuhkan perlindungan dan hiburan, ibunya terbujuk oleh Ki Lurah Suramenggala dan menjadi selir lurah yang wataknya kejam dan jahat Itu. Kemudian, ketika Ki Suramenggala dipecat sebagai lurah oleh Ki Patih Narotama dan diusir dari Karang Tirta, Nyi Lasmi, ibunya itu, tidak mau ikut dan untuk sementara tinggal di rumah kelurahan yang kini dihuni lurah baru yang diangkat Ki Patih Narotama, yaitu Ki Lurah Pujosaputro. Berarti kini ibunya dan ia mondok di rumah Ki Pujosaputro itu.
Ia sendiri mengalami banyak hal yang saling bertentangan dengan batinnya. Sejak berusia lima tahun, ia diambil murid, bahkan kemudian diaku sebagai anak, oleh datuk wanita Nyi Dewi Durgakumala itu. Ia dilatih aji kanuragan, juga disayang oleh Nyi Dewi Durgakumala. Biarpun ia merasa benci kalau melihat gurunya itu berbuat kejam dan hina, menculik dan mempermainkan pria-pria muda, namun karena gurunya amat sayang kepadanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menegurnya. Saking sayang kepadanya, gurunya itu kadang-kadang menurut kalau ia tegur agar menghentikan perbuatannya yang jahat.
Kemudian, ibu angkat atau gurunya itu menjadi permaisuri Sang Adipati Bhismaprabawa, Raja Wura-wuri. Dengan sendirinya ia sebagai puteri permaisuri Wura-wuri, lalu menjadi Sekar Kedaton (Bunga Istana) Kerajaan Wura-wuri. Ketika Kerajaan Wura-wuri ikut pula dalam persekutuan empat kerajaan kecil berusaha membantu Pangeran Hendratama memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga, Adipati Bhismaprabawa mengangkat puteri angkatnya itu, Puspa Dewi menjadi utusan dan wakil Wura-wuri.
Sebetulnya dalam hatinya, Puspa Dewi tidak setuju dengan gerakan memusuhi Kahuripan ini, akan tetapi karena merasa berhutang budi kepada gurunya yang menganggap ia puterinya sendiri, terpaksa ia menerima tugas itu dan bergabunglah ia dengan persekutuan pemberontakan itu.
Akan tetapi, pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Patih Narotama dan Nurseta satria Karang Tirta murid mendiang Empu Dewamurti itu menambah kesadarannya bahwa dengan menjadi wakil Wura-wuri berarti ia membantu pihak yang jahat dan bersalah. Sikap dan nasihat kedua orang itu menambah kuat keyakinannya bahwa tidak semestinya ia membela Wurawuri yang bersekutu dengan kerajaan-kerajaan lain yang dipimpin dan diwakili orang-orang jahat.
Maka, dalam gerakan itu, ia membalik dan bahkan membantu pihak Kahuripan. La menyadari bahwa sebagai orang yang lahir di Karang Tirta wilayah Kahuripan, ia adalah kawula Kahuripan dan tidak semestinya ia membantu pihak jahat yang hendak memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang arif bijaksana itu.
Setelah perang usai dan persekutuan pemberontak dapat dihancurkan oleh Kahuripan, tentu saja Puspa Dewi tidak berani kembali ke Kerajaan Wura-wuri. Ia tahu bahwa Adipati Wura-wuri dan juga gurunya yang menjadi permaisuri Wurawuri pasti marah sekali kepadanya. Karena itu, setelah perang usai, ia kembali ke dusun Karang Tirta.
Bukan main lega dan girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandungnya kini telah melepaskan diri dari Ki Suramenggala dan ibunya mondok di rumah lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama. Ia memang tidak suka kepada Ki Suramenggala itu, juga kepada putera sang lurah itu, ialah Linggajaya yang la kenal sebagai seorang pemuda yang berkelakuan buruk itu.
Seperti telah diceritakan terdahulu, Puspa Dewi telah berada di rumah Ki Lurah Pujosaputro dimana ibunya mondok ketika Linggajaya menyerbu kelurahan itu Puspa Dewi melawannya dan Linggajaya melarikan diri melihat ratusan orang penduduk mengancam hendak mengeroyoknya. Puspa Dewi menghela napas panjang ketika teringat akan semua itu.
Dua bulan telah lewat semenjak Linggajaya menyerbu kelurahan. Ia merasa bosan berdiam diri di rumah itu, juga merasa tidak enak. Ia dan ibunya mondok di rumah orang. Apakah ibunya tidak mempunyai keluarga? Juga keluarga dari pihak ayahnya? Ia sendiri sampai sekarang belum tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya yang oleh ibunya dahulu dikatakan telah tiada, telah meninggal dunia.
Pasti ada keluarga, baik dari pihak ibunya ataupun dari pihak ayahnya. Jauh lebih baik menumpang di rumah keluarga sendiri daripada di rumah orang lain. Ia merasa, sungkan sekali terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga yang bersikap baik sekali.
"Dewi, mengapa engkau menghela napas?" tiba-tiba suara Ibunya yang lembut menariknya keluar dari dunia lamunannya.
"Oh, Ibu. Duduklah Ibu. Kebetulan sekali, aku ingin bercakap-cakap dengan Ibu."
Puspa Dewi menggandeng tangan Ibunya dan diajaknya duduk di atas bangku panjang yang berada di kamar mereka. Waktu itu, malam dingin memasuki kamar menembus jendela kamar Itu. Dari jendela yang terbuka, mereka duduk menghadap keluar dan dapat melihat bulan tiga perempat mengambang di langit yang cerah.
Dua orang wanita Ini mempunyai wajah yang mirip. Puspa Dewi yang berusia sekitar sembilan belas tahun itu bertubuh padat ramping, dengan kulit yang putih kuning mulus seperti kulit ibunya. Ibunya, Nyi Lasmi, juga masih cantik walau pun usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih. Bagi orang yang tidak mengenal mereka, melihat mereka duduk berduaan itu pasti mengira bahwa mereka itu kakak dan adiknya, bukan ibu dan puterinya.
"Ibu," kata Puspa Dewi dengan hati-hati dan suaranya lirih, "sejak tadi aku melamun dan memikirkan keadaan kita, Ibu. Terus terang saja, aku merasa rikuh (sungkan) sekali kepada Paman Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Apakah kita akan mondok seperti ini terus dan merepotkan mereka?"
Nyi Lasml merangkul anaknya dan tersenyum. "Tentu saja tidak, Dewi. Kalau tadinya aku mondok di sini, itu adalah karena desakan Ki Lurah sekeluarga mengingat bahwa aku hidup seorang diri. Setelah sekarang engkau pulang, tentu saja kita akan mencari tempat tinggal lain dan tidak lagi mondok di sini menyusahkan mereka. Akan tetapi aku masih bingung, Dewi. Kemana kita harus pindah? Ketahuilah bahwa ketika melepaskan diri dari Suramenggala, aku tidak membawa apa-apa. Selama ini, sandang pangan (pakaian dan makan) dan semua keperluanku ditanggung oleh Ki Lurah sekeluarga."
Puspa Dewi menghibur Ibunya. "Untuk itu harap Ibu tidak khawatir. Aku menyimpan banyak perhiasan yang lebih dari cukup untuk membeli rumah dan pekarangan. Perhiasan itu kudapat dari Kerajaan Wura-wuri di mana aku dijadikan puteri istana. Akan tetapi, sudah kuceritakan kepada Ibu bahwa aku tidak akan kembali ke sana karena aku pasti akan ditangkap dan dihukum berat. Juga aku tidak ingin tinggal di Karang Tirta, Ibu. Aku ingin pergi bersama Ibu dan pindah ke tempat yang jauh dari sini."
"Hemm, ke manakah, Anakku?"
"Ibu, apakah Ibu tidak mempunyai saudara? Kakak atau Adik, atau Paman dan Bibi? Juga orang tua Ibu atau orang tua Ayah? Tidak mungkin kalau Ibu dan mendiang Ayahku tidak mempunyai keluarga sama sekali. Mari kita ke sana, Ibu, ke rumah keluarga ibu atau Ayah. Aku ingin mengenal keluarga orang tuaku, Ibu. Ibu, engkau mengapa?"
Puspa Dewi merangkul Ibunya ketika melihat betapa Nyi Lasmi menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Ibu, mengapa Ibu menangis?" Gadis itu merasa heran sekali, juga khawatir karena tidak biasanya Ibunya bersikap cengeng, apa lagi menangis tanpa sebab. Nyi Lasmi berusaha menahan tangisnya. Puspa Dewi membantunya menghapus air matanya yang membasahi Kedua pipi Ibunya.
"Nah, tenangkanlah hatimu, Ibu. Ceritakanlah kepadaku, Ibu, agar kalau ada hal yang membuat Ibu berduka aku dapat ikut merasakannya."
Nyi Lasmi sudah dapat menghentikan tangisnya. Ia kini telah lebih tenang dan ia memegang kedua tangan puterinya seolah mencari perlindungan atau kekuatan.....
Dan kini, baru sekali ini mereka duduk bercakap-cakap berdua saja, ia semakin tertarik karena terdapat persamaan perasaan dan pendapat. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang terang-terangan menyatakan kekaguman dan cinta dari pemuda itu, ia merasa jantungnya berdegup tegang.
''Maksud saya, Gusti Puteri. Kalau Paduka yang memegang kendali atau memimpin langsung Kerajaan Wengker Ini, maka kita dapat menghimpun kekuatan dan kerajaan kitalah yang akan mampu menghancurkan Kahuripan dan membinasakan Erlangga dan Narotama!"
"Kita...?" Permaisuri itu mendesak dan memandang tajam penuh selidik ke arah wajah Linggajaya.
"Ya, Paduka dan saya, kita ini. Saya akan membantu Paduka dengan setia dan saya rela berkorban nyawa untuk membantu Paduka!"
Dewi Mayangsari mulai terpikat. Linggajaya memang seorang pemuda yang ganteng dan tutur bahasanya juga lembut, sopan dan memikat. Ditambah lagi dengan sinar matanya yang mengandung daya meruntuhkan hati wanita, senyumnya yang menawan. Hati Dewi Mayangsari yang memang sedang jengkel melihat ulah suaminya, segera terpikat.
"Lingga, katakan terus terang, mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku? Mengapa? Hayo jawab, Lingga."
Pemuda itu menundukkan mukanya, tampak rikuh. "Saya... saya tidak berani menjawab Gusti Puteri. Saya takut Paduka akan marah kepada saya."
Cuaca mulai gelap. Senja telah tua dan cuaca remang-remang, malam mulai menjelang. Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang menggetarkan jantung Dewi Mayangsari. Agar dapat melihat lebih jelas wajah dan sinar mata pemuda itu. Dewi Mayangsari menggeser duduknya mendekat dan la emegang sebelah tangan Linggajaya. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan keduanya merasa kehangatan yang menggairahkan menyelinap dari tangan itu ke seluruh tubuh.
Melihat pemuda Itu diam saja seolah ketakutan, Dewi Mayangsari berkata lirih. "Jangan takut, Lingga. Bagaimana aku dapat marah kepada engkau yang begini setia kepadaku? Katakan sajalah terus terang karena aku ingin sekali mengetahui. Mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku?"
"Karena... karena saya... hemm, maafkan saya... sesungguhnya saya mencinta Paduka dengan seluruh jiwa raga saya!"
Pernyataan cinta itu terdengar seperti bunyi gamelan dari sorgaloka bagi telinga Dewi Mayangsari. Betapa Indahnya! Dewi Mayangsari dibakar gairah berahi yang belum pernah ia rasakan sehingga sukar dikatakan siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi tahu-tahu dua orang itu saling rangkul dengan mesra. Dua orang itu tenggelam dalam gelora nafsu sehingga mereka lupa segala.
Dewi Mayangsari lupa bahwa ia adalah seorang permaisuri, isteri Sang Adipati, sedangkan Linggajaya lupa bahwa dia seorang ponggawa, diangkat oleh Sang Adipati Adhamapanuda yang kini dia khianati. Selagi keduanya berasyik-masyuk seperti mabok sehingga kehilangan kewaspadaan, mereka tidak tahu kalau ada bayangan tinggi besar menghampiri mereka sampai dekat.
"Hordah!" orang bertubuh raksasa itu membentak. "Siapa Andika, berani mencuri masuk tamansari?"
Dewi Mayangsari dan Linggajaya terkejut. Buaian asmara tadi membuat mereka mabok dan lengah. Mereka mengenal suara yang membentak itu. Suara Limantoko, pengawal pribadi Adipati Adhamapanuda yang bertubuh raksasa dan memiliki tenaga sekuat gajah. Akan tetapi jagoan ini pernah dikalahkan Linggajaya ketika pemuda itu baru datang di Wengker menghadap Sang Adipati kemudian dia diuji dan dihadapkan kepada raksasa ini. Karena selagi bermesraan tadi mereka ketahuan Limantoko, maka Dewi Mayangsari berbisik kepada kekasihnya.
"Lingga, bunuh dia!"
Tanpa diperintah dua kali, Linggajaya melompat dan bagaikan seekor harimau kelaparan, dia menerkam dan menerjang pengawal pribadi Sang Adipati itu. Karena dia menyerang untuk membunuh maka dia sudah mencabut kerisnya yang luk tiga belas, yaitu keris pusaka Kyai Candalamanik pemberian Resi Bajrasakti. Serangannya demikian tiba-tiba dan cepat datangnya sehingga Limantoko tidak sempat menghindar lagi.
"Capp...!" Keris pusaka yang mengandung racun itu memasuki rongga dada Limantoko dan mengenai jantungnya.
"Auggghhh...!" Limantoko terhuyung sambil mendekap luka di dada yang mengucurkan darah. Akan tetapi selagi dia hendak berteriak, Linggajaya sudah menyusulkan sebuah tamparan Aji Siung Naga ke arah kepalanya.
"Wuuutt... prakkk" Kepala itu pecah berantakan. Tubuh Limantoko terpelanting dan dia tewas seketika.
"Bagus, Lingga." Dewi Mayangsari memuji. "Kebetulan sekali. Kelancangan Limantoko ini menguntungkan kita. Dengarkan baik-baik, Lingga. Kita harus segera lakukan Ini."
Dewi Mayangsari mendekati kekasihnya, merangkul pundaknya dan menempelkan mulutnya dekat telinga Linggajaya. Pemuda itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Kecerdikan Mayangsari membuatnya kagum. Dia mencium bibir wanita itu dan berbisik.
"Akan kulakukan semua perintahmu, Dewi. Mari kita laksanakan seperti yang kaurencanakan itu." Kini sikap dan kata-kata Linggajaya terhadap Dewi Mayangsari sudah berubah sama sekail, bukan sikap seorang bawahan terhadap atasan atau junjungannya, melainkan sikap dan kata-kata seorang laki-laki terhadap kekasihnya.
Terjadi kesibukan di malam yang gelap itu. Sang Adipati Adhamapanuda sendiri masih tenggelam ke dalam pesta poranya, makan minum sepuasnya sambil menonton para penari menggoyang pundak dan pinggul sambil bernyanyi gembira. Seperti biasa, para selir Sang Adipati, tujuh orang jumlahnya, melayani suami mereka dan ikut pula makan minum dengan gembira.
Dari permaisuri dan tujuh orang selirnya. Adipati Adhamapanuda hanya mempunyai dua orang putera yang dilahirkan dua orang selirnya. Dua orang puteranya itu bernama Rajendra dan Mahendra, berusia sepuluh dan delapan tahun. Karena dua orang kakak dan adik ini tidak mempunyai saudara lain, maka mereka akrab sekali dan tidur pun mereka minta agar sekamar.
Mereka memiliki sebuah kamar sendiri, kamar yang cukup luas dan mewah. Dan mereka ditemani seorang inang pengasuh, seorang wanita setengah tua berusia empat puluhan tahun. Pada malam hari itu, seperti biasa, Raden Rajendra dan Raden Mahendra sudah berada dalam kamar mereka. Mereka memang tidak diperbolehkan ikut hadir dalam pesta Sang Adipati Adhamapanuda. Mereka bermain-main dalam kamar ditemani Nyai Ranu, sang inang pengasuh. Suara gamelan terdengar sampai ke kamar mereka.
Seperti biasa pada malam-malam pesta yang lalu, para penghuni istana kadipaten tertarik untuk nonton pesta itu, walau pun tidak hadir di ruangan itu. Tujuan mereka tertarik untuk menonton dan mendengarkan para penari yang berjoget sambil bertembang. Karena perhatian para pelayan dan pengawal tertuju ke arah ruangan pesta, maka suasana dalam istana itu menjadi sunyi.
Tiba-tiba daun pintu kamar kedua orang pangeran muda itu terbuka dari luar. Linggajaya melompat masuk sambil membawa sebuah ruyung besar. Nyai Ranu terkejut dan menjerit. Akan tetapi hanya satu kali saja ia menjerit karena ruyung Itu telah menyambar dan terdengar suara gaduh ketika kepalanya disambar ruyung dan tubuhnya terbanting ke atas lantai, tewas seketika! Dua orang pangeran kecil itu terbelalak lalu berloncatan berdiri dengan muka pucat. Melihat pengasuh mereka roboh mandi darah, mereka lalu menjerit minta tolong.
Akan tetapi Linggajaya sudah bergerak cepat, ruyungnya menyambar-nyambar dan dua orang pangeran kecil itu pun roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Setelah itu, Linggajaya cepat keluar, menyeret mayat Limantoko, setelah berada dalam kamar dia menaruh ruyung ke dalam tangan pengawal pribadi Sang Adipati itu dan dia sendiri berdiri dengan keris pusaka Candalamanik di tangan kanan!
Jeritan-jeritan itu memancing datangnya para pengawal dan pelayan. Mereka terkejut sekali ketika memasuki kamar Pangeran. Setelah mendengar dari Linggajaya bahwa Limantoko membunuh dua Pangeran dan pengasuh mereka, para pengawal segera lari melaporkan mala petaka ini kepada Sang Adipati Adahamapanuda.
Mendengar laporan mengerikan itu, Sang Adipati dan tujuh orang selirnya berlari-lari menuju ke kamar itu. Tampak pula Sang Permaisuri Dewi Mayangsari keluar dari kamarnya dan ikut berlarian bersama mereka.
Dua orang selir Sang Adipati, ibu kandung dua orang Pangeran itu, menjerit-jerit, menubruk mayat anak-anak mereka dan meraung-raung. Para selir lain dan para pelayan wanita juga ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dan menyedihkan.
Sang Adipati Adhamapanuda yang setengah mabok itu berdiri dengan wajah pucat memandang ke arah mayat kedua orang puteranya, lalu kepada mayat Limantoko. Dia terhuyung akan roboh, akan tetapi Dewi Mayangsari cepat menangkap lengannya dan diajaknya suaminya itu keluar kamar. Ia menarik Sang Adipati duduk di atas bangku yang terdapat di luar kamar, lalu berteriak memanggil.
"Senopati Linggawijaya, Andika ke sinilah!" Sang Permaisuri memanggil.
Linggajaya yang sedang bercerita kepada para pengawal, cepat keluar dan menjatuhkan diri duduk bersila menghadap Sang Adipati. Akan tetapi, saking kaget dan sedihnya, Adipati Adhamapanuda tidak dapat bicara dan diam saja sambil memandang Linggajaya dengan bingung. Dewi Mayangsari yang bertanya kepada Linggajaya dengan suara lantang.
"Hei, Senopati Linggawijaya! Cepat ceritakan selengkapnya dengan jelas, apa yang telah terjadi di sini? Andika menjadi saksi tunggal, awas, jangan berbohong!"
Karena pertanyaan itu diajukan dengan suara lantang, semua orang mendengarnya dan kini mereka yang berada dalam kamar pun keluar untuk mendengarkan jawaban Senopati Linggawijaya.
Linggajaya lalu berkata dengan sikap hormat kepada Adipati Adhamapanuda.
"Maafkan hamba, Gusti Adipati dan Gusti Puteri, hamba sungguh menyesal sekali bahwa hamba terlambat dan tidak dapat menyelamatkan kedua orang Gusti Pangeran Alit (kecil) dari mala petaka yang membawa maut. Tadi hamba keluar dari kamar hamba dengan maksud menonton tarian. Akan tetapi hamba melihat berkelebatnya bayangan dan ketika hamba membayanginya, bayangan itu lenyap. Hamba menjadi curiga dan hamba kembali ke kamar untuk mengambil keris pusaka hamba. Ketika hamba keluar lagi dari kamar, hamba mendengar jeritan-jeritan dari kamar Gusti Pangeran ini, maka hamba cepat berlari ke sini. Ternyata hamba melihat Limantoko telah membunuh kedua orang Gusti Pangeran dan inang pengasuh mereka. Hamba segera menyerangnya dengan keris, lalu memukulnya dengan tangan kiri sehingga dia roboh dan tewas. Begitulah, Gusti, apa yang telah terjadi dan hamba menyesal sekali bahwa hamba terlambat menyelamatkan para Gusti Pangeran."
"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Adipati Adhamapanuda mengeluh dengan suaranya yang biasanya besar itu menjadi semakin parau. "Mengapa Limantoko dapat melakukan kekejian ini? Padahal, sudah lama dia menjadi pengawal pribadiku yang setia. Mengapa dia lakukan ini? Apa dia sudah gila...?"
Resi Bajrasakti yang baru saja datang ke tempat itu, menghampiri Sang Adipati, menyentuh lengannya dan berkata dengan suaranya yang penuh wibawa.
"Harap Paduka tenang, Adimas Adipati. Kematian adalah hak Sang Yamadipati dan sudah ditentukan oleh para dewa. Saya dapat menduga mengapa Limantoko melakukan perbuatan ini."
"Mengapa, Kakang Resi? Mengapa dia membunuh putera-puteraku?"
"Tentu saja bukan keluar dari hatinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menguntungkan dia dengan membunuh kedua orang putera Paduka. Maka jelaslah bahwa dia pasti dipengaruhi orang lain dan siapa orang yang begitu membenci Paduka sehingga tega melakukan pembunuhan ini? Hanya ada satu orang, yaitu Sang Prabu Erlangga! Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Kahuripan, maka saya merasa yakin bahwa peristiwa ini pasti didalangi oleh Raja Kahuripan itu."
Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Adipati Adhamapanuda mengeluarkan teriakan parau seperti seekor binatang buas terluka. "Jahanam engkau Erlangga"
Setelah berteriak seperti itu, Adipati Adhamapanuda terkulai lemas dan jatuh pingsan. Dewi Mayangsari, dibantu para selir, segera mengangkat Sang Adipati ke dalam kamarnya. Sejak saat itu, Adipati Adhamapanuda jatuh sakit. Tidak ada dukun yang dapat mengobatinya. Makin hari penyakitnya semakin parah. Dewi Mayangsari, permaisurinya, turun tangan sendiri merawat Sang Adipati siang malam. Bahkan ia tidak memperbolehkan selir-selir Sang Adipati menggantikannya merawat suami mereka. Permaisuri ini merawat suaminya dengan penuh ketekunan dan tampaknya amat mencinta Sang Adipati!
Sementara itu. ketika Adipati Adhamapanuda sakit berat, yang menggantikannya untuk sementara menangani urusan pemerintahan kadipaten adalah penasihatnya, Sang Resi. Bajrasakti dibantu Senopati Muda Linggawijaya. Dan ternyata dua orang ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Bahkan mengadakan perubahan-perubahan dan perombakan, terutama sekali ditujukan untuk memperkuat Kerajaan wengker.
Menambah jumlah pasukan dengan menerima para sukarelawan, memperbesar upah para prajurit, menambah kesejahteraan mereka. Tentu saja tindakan Senopati Muda Linggawijaya itu mendapat sambutan gembira oleh pasukan Wengker dan dia memperoleh dukungan banyak pihak. Kurang lebih setengah bulan sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, Sang Adipati Adhamapanuda meninggal dunia karena penyakitnya yang tak dapat disembuhkan oleh para dukun dan ahli pengobatan.
Menurut kebiasaan atau peraturan yang sudah-sudah, kematian seorang raja atau adipati biasanya disusul dengan pengangkatan seorang adipati baru yang diambil dari seorang puteranya. Akan tetapi karena dua orang putera Adipati Adhamapanuda sudah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan oleh permaisurinya, apa lagi mengingat bahwa Dewi Mayangsari seorang yang sakti mandraguna.
Akan tetapi, Dewi Mayangsari secara suka rela menyerahkan kedudukan adipati kepada Linggajaya. Usul Dewi Mayangsari ini disetujui dan didukung pula oleh Sang Resi Bajrasakti. Kalau dua orang yang tadinya memang telah merupakan orang-orang yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati mendukung pengangkatan Linggajaya sebagal Adipati baru di Wengker, siapa yang berani menentang? Akhirnya semua ponggawa menyetujui pengangkatan itu dan mulai hari itu, Linggajaya dinobatkan sebagai Adipati Wengker dengan nama Sang Adipati Linggawijaya!
Penobatan sebagai adipati itu dirayakan oleh semua orang, dari para ponggawa, para prajurit dan juga rakyat Wengker. Akan tetapi malam harinya, tiga orang mengadakan pesta sendiri yang hanya dihadiri mereka bertiga. Mereka adalah adipati baru, Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti yang merasa gembira sekali. Siasat mereka berhasil dengan baik sekali. Tidak sukar bagi kita untuk menduga apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah Linggajaya dan Dewi Mayangsari membunuh Limantoko karena pengawal itu memergoki mereka bermain asmara, lalu Dewi Mayangsari dan Linggajaya melaksanakan siasat mereka yang amat kejam. Linggajaya membunuh dua orang pangeran kecil dan inang pengasuh mereka dengan menjatuhkan fitnah kepada Limantoko yang mayatnya dibawa ke kamar pangeran itu dan ruyungnya dipakai Linggajaya untuk melakukan pembunuhan.
Kemudian tiba giliran Dewi Mayangsari yang mencampurkan racun dalam minuman Adipati Adhamapanuda. Sebagai murid Nini Bumigarbo tentu saja la pandai menggunakan racun, apa lagi dibantu oleh Resi Bajrasakti sehingga tidak ada seorang pun ahli pengobatan yang dapat mengetahui bahwa Sang Adipati sakit karena keracunan. Setelah Adipati Adhamapanuda tewas, giliran Resi Bajrasakti untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya sebagai penasihat adipati, untuk mendukung usul Dewi Mayangsari agar Linggajaya yang menggantikan kedudukan sebagai Adipati Wengker yang baru!
Setelah Adipati Linggawijaya menjadi penguasa Kerajaan Wengker, dia lalu mengangkat Dewi Mayangsari menjadi permaisurinya. Kenyataan itu pun tidak mengherankan karena semua orang tahu bahwa biarpun usia wanita itu sudah dua puluh delapan tahun, namun ia masih amat cantik jelita dan tampaknya tidak lebih tua daripada Sang Adipati baru. Tidak ada seorang pun, kecuali para bekas selir Adipati Adhamapanuda, yang menentang pengangkatan Dewi Mayangsari ini. Tentu saja para bekas selir itu pun tidak ada yang berani berkutik.
Sang Resi Bajrasakti tentu saja mendapat kedudukan yang terhormat, bukan saja sebagai penasihat agung, akan tetapi juga sebagai guru Sang Adipati. Tercapailah apa yang dikejar dan diinginkan tiga orang ini sehingga mereka mendapatkan kesenangan besar dalam hati mereka.
Mereka merasa senang? Mungkin, akan tetapi seperti segala macam kesenangan di dunia ini, hanya sementara saja dan biasanya tidak bertahan lama. Kesenangan sebagai buah dari pohon (perbuatan) kejahatan seringkali menjadi kutukan yang mendatangkan penderitaan. Kesenangan duniawi hanya kesenangan jasmani dan apa yang menyenangkan jasmani biasanya disusul kebosanan karena hati akal pikiran segera mengejar yang lain lagi yang dianggap akan lebih menyenangkan daripada yang sudah diperoleh dan yang mulai membosankan itu.
Kesenangan memang dapat dicari dari dikejar, didapatkan lalu mendatangkan kebosanan dan disusul pengejaran lagi kepada kesenangan yang lain. Demikian selanjutnya selama hidup. Manusia dipermainkan dan dipancing kuasa kegelapan dengan umpan berupa kesenangan dan kenikmatan, yang membuat kita mata gelap dan untuk mencapai kesenangan itu kita terjang apa saja yang menghalangi kita untuk mendapatkannya. Bahkan kita rela melakukan perbuatan sejahat apa pun.!
Padahal yang dikejar-kejar Itu hanyalah kosong dan yang lambat laun membosankan. Kalau kita sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu angkara murka ini, kita tidak dapat menikmati apa pun yang telah kita miliki dan selalu membayangkan bahwa apa yang belum kita dapatkan dan yang sedang kita kejar-kejar Itulah yang akan menyenangkan sekali!
Hidup kita ini hanya akan menjadi serangkaian kesenangan semu, disusul kebosanan lalu keinginan mengejar kesenangan lain, kebosanan lagi dan demikian selanjutnya. Pengejaran ini mendatangkan persaingan, perebutan, permusuhan, penghalalan segala cara, semakin menebalnya si-aku yang menipiskan bahkan menghilangkan kasih terhadap sesama kita serta pelanggaran terhadap larangan-larangan yang difirmankan dalam agama-agama.
Berbahagialah mereka yang dapat menerima apa pun yang mereka dapatkan, besar atau kecil, banyak atau sedikit, bahkan baik atau buruk, dengan puji syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi karena hanya mereka inilah yang dapat apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu.
Lihatlah di sana, seorang buruh petani menghadapi nasi dengan ikan asin dan sambal yang dibawa isterinya, makan dengan lahap dan lezatnya sungguh pun hampir setiap hari makannya hanya itu-itu juga, berikut sekendi ari. Dan tak jauh di sana, si pemilik sawah, menghadapi nasi dan masakan daging ayam beberapa macam, berikut minuman kopi panas dan teh kental, bersungut-sungut ketika makan, sama sekali tidak dapat menikmati makanannya, mengomel kepada isterinya, mencela makanan itu mengapa lauknya daging ayam bukan daging kambing. Si juragan ini hampir setiap hari mengomel, tidak pernah dapat menikmati apa yang dihadapinya!
Memang, syarat menikmati makanan adalah perut lapar, tubuh lelah, badan sehat. Akan tetapi yang lebih utama adalah hati akal pikiran yang tenteram dan ketenteraman itu hanya dapat dirasakan orang yang selalu berserah diri dan memanjatkan puji syukur dan terima kasih dalam hatinya kepada Sang Hyang Widhi atas semua Kasih dan Berkah yang diiimpahkan-Nya kepada kita…..
********************
Setelah Puspa Dewi berada di rumah Ki Lurah Pusosaputro di dusun Karang Tirta, ia banyak duduk diam melamun keadaan dirinya dan ibunya. Ibunya, ketika ia berusia lima tahun dan diculik Nyi Dewi Durgakumala, telah menjadi seorang janda muda. Ibunya tentu saja merasa berduka dan putus asa ketika ia hilang dan akhirnya karena membutuhkan perlindungan dan hiburan, ibunya terbujuk oleh Ki Lurah Suramenggala dan menjadi selir lurah yang wataknya kejam dan jahat Itu. Kemudian, ketika Ki Suramenggala dipecat sebagai lurah oleh Ki Patih Narotama dan diusir dari Karang Tirta, Nyi Lasmi, ibunya itu, tidak mau ikut dan untuk sementara tinggal di rumah kelurahan yang kini dihuni lurah baru yang diangkat Ki Patih Narotama, yaitu Ki Lurah Pujosaputro. Berarti kini ibunya dan ia mondok di rumah Ki Pujosaputro itu.
Ia sendiri mengalami banyak hal yang saling bertentangan dengan batinnya. Sejak berusia lima tahun, ia diambil murid, bahkan kemudian diaku sebagai anak, oleh datuk wanita Nyi Dewi Durgakumala itu. Ia dilatih aji kanuragan, juga disayang oleh Nyi Dewi Durgakumala. Biarpun ia merasa benci kalau melihat gurunya itu berbuat kejam dan hina, menculik dan mempermainkan pria-pria muda, namun karena gurunya amat sayang kepadanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menegurnya. Saking sayang kepadanya, gurunya itu kadang-kadang menurut kalau ia tegur agar menghentikan perbuatannya yang jahat.
Kemudian, ibu angkat atau gurunya itu menjadi permaisuri Sang Adipati Bhismaprabawa, Raja Wura-wuri. Dengan sendirinya ia sebagai puteri permaisuri Wura-wuri, lalu menjadi Sekar Kedaton (Bunga Istana) Kerajaan Wura-wuri. Ketika Kerajaan Wura-wuri ikut pula dalam persekutuan empat kerajaan kecil berusaha membantu Pangeran Hendratama memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga, Adipati Bhismaprabawa mengangkat puteri angkatnya itu, Puspa Dewi menjadi utusan dan wakil Wura-wuri.
Sebetulnya dalam hatinya, Puspa Dewi tidak setuju dengan gerakan memusuhi Kahuripan ini, akan tetapi karena merasa berhutang budi kepada gurunya yang menganggap ia puterinya sendiri, terpaksa ia menerima tugas itu dan bergabunglah ia dengan persekutuan pemberontakan itu.
Akan tetapi, pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Patih Narotama dan Nurseta satria Karang Tirta murid mendiang Empu Dewamurti itu menambah kesadarannya bahwa dengan menjadi wakil Wura-wuri berarti ia membantu pihak yang jahat dan bersalah. Sikap dan nasihat kedua orang itu menambah kuat keyakinannya bahwa tidak semestinya ia membela Wurawuri yang bersekutu dengan kerajaan-kerajaan lain yang dipimpin dan diwakili orang-orang jahat.
Maka, dalam gerakan itu, ia membalik dan bahkan membantu pihak Kahuripan. La menyadari bahwa sebagai orang yang lahir di Karang Tirta wilayah Kahuripan, ia adalah kawula Kahuripan dan tidak semestinya ia membantu pihak jahat yang hendak memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang arif bijaksana itu.
Setelah perang usai dan persekutuan pemberontak dapat dihancurkan oleh Kahuripan, tentu saja Puspa Dewi tidak berani kembali ke Kerajaan Wura-wuri. Ia tahu bahwa Adipati Wura-wuri dan juga gurunya yang menjadi permaisuri Wurawuri pasti marah sekali kepadanya. Karena itu, setelah perang usai, ia kembali ke dusun Karang Tirta.
Bukan main lega dan girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandungnya kini telah melepaskan diri dari Ki Suramenggala dan ibunya mondok di rumah lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama. Ia memang tidak suka kepada Ki Suramenggala itu, juga kepada putera sang lurah itu, ialah Linggajaya yang la kenal sebagai seorang pemuda yang berkelakuan buruk itu.
Seperti telah diceritakan terdahulu, Puspa Dewi telah berada di rumah Ki Lurah Pujosaputro dimana ibunya mondok ketika Linggajaya menyerbu kelurahan itu Puspa Dewi melawannya dan Linggajaya melarikan diri melihat ratusan orang penduduk mengancam hendak mengeroyoknya. Puspa Dewi menghela napas panjang ketika teringat akan semua itu.
Dua bulan telah lewat semenjak Linggajaya menyerbu kelurahan. Ia merasa bosan berdiam diri di rumah itu, juga merasa tidak enak. Ia dan ibunya mondok di rumah orang. Apakah ibunya tidak mempunyai keluarga? Juga keluarga dari pihak ayahnya? Ia sendiri sampai sekarang belum tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya yang oleh ibunya dahulu dikatakan telah tiada, telah meninggal dunia.
Pasti ada keluarga, baik dari pihak ibunya ataupun dari pihak ayahnya. Jauh lebih baik menumpang di rumah keluarga sendiri daripada di rumah orang lain. Ia merasa, sungkan sekali terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga yang bersikap baik sekali.
"Dewi, mengapa engkau menghela napas?" tiba-tiba suara Ibunya yang lembut menariknya keluar dari dunia lamunannya.
"Oh, Ibu. Duduklah Ibu. Kebetulan sekali, aku ingin bercakap-cakap dengan Ibu."
Puspa Dewi menggandeng tangan Ibunya dan diajaknya duduk di atas bangku panjang yang berada di kamar mereka. Waktu itu, malam dingin memasuki kamar menembus jendela kamar Itu. Dari jendela yang terbuka, mereka duduk menghadap keluar dan dapat melihat bulan tiga perempat mengambang di langit yang cerah.
Dua orang wanita Ini mempunyai wajah yang mirip. Puspa Dewi yang berusia sekitar sembilan belas tahun itu bertubuh padat ramping, dengan kulit yang putih kuning mulus seperti kulit ibunya. Ibunya, Nyi Lasmi, juga masih cantik walau pun usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih. Bagi orang yang tidak mengenal mereka, melihat mereka duduk berduaan itu pasti mengira bahwa mereka itu kakak dan adiknya, bukan ibu dan puterinya.
"Ibu," kata Puspa Dewi dengan hati-hati dan suaranya lirih, "sejak tadi aku melamun dan memikirkan keadaan kita, Ibu. Terus terang saja, aku merasa rikuh (sungkan) sekali kepada Paman Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Apakah kita akan mondok seperti ini terus dan merepotkan mereka?"
Nyi Lasml merangkul anaknya dan tersenyum. "Tentu saja tidak, Dewi. Kalau tadinya aku mondok di sini, itu adalah karena desakan Ki Lurah sekeluarga mengingat bahwa aku hidup seorang diri. Setelah sekarang engkau pulang, tentu saja kita akan mencari tempat tinggal lain dan tidak lagi mondok di sini menyusahkan mereka. Akan tetapi aku masih bingung, Dewi. Kemana kita harus pindah? Ketahuilah bahwa ketika melepaskan diri dari Suramenggala, aku tidak membawa apa-apa. Selama ini, sandang pangan (pakaian dan makan) dan semua keperluanku ditanggung oleh Ki Lurah sekeluarga."
Puspa Dewi menghibur Ibunya. "Untuk itu harap Ibu tidak khawatir. Aku menyimpan banyak perhiasan yang lebih dari cukup untuk membeli rumah dan pekarangan. Perhiasan itu kudapat dari Kerajaan Wura-wuri di mana aku dijadikan puteri istana. Akan tetapi, sudah kuceritakan kepada Ibu bahwa aku tidak akan kembali ke sana karena aku pasti akan ditangkap dan dihukum berat. Juga aku tidak ingin tinggal di Karang Tirta, Ibu. Aku ingin pergi bersama Ibu dan pindah ke tempat yang jauh dari sini."
"Hemm, ke manakah, Anakku?"
"Ibu, apakah Ibu tidak mempunyai saudara? Kakak atau Adik, atau Paman dan Bibi? Juga orang tua Ibu atau orang tua Ayah? Tidak mungkin kalau Ibu dan mendiang Ayahku tidak mempunyai keluarga sama sekali. Mari kita ke sana, Ibu, ke rumah keluarga ibu atau Ayah. Aku ingin mengenal keluarga orang tuaku, Ibu. Ibu, engkau mengapa?"
Puspa Dewi merangkul Ibunya ketika melihat betapa Nyi Lasmi menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Ibu, mengapa Ibu menangis?" Gadis itu merasa heran sekali, juga khawatir karena tidak biasanya Ibunya bersikap cengeng, apa lagi menangis tanpa sebab. Nyi Lasmi berusaha menahan tangisnya. Puspa Dewi membantunya menghapus air matanya yang membasahi Kedua pipi Ibunya.
"Nah, tenangkanlah hatimu, Ibu. Ceritakanlah kepadaku, Ibu, agar kalau ada hal yang membuat Ibu berduka aku dapat ikut merasakannya."
Nyi Lasmi sudah dapat menghentikan tangisnya. Ia kini telah lebih tenang dan ia memegang kedua tangan puterinya seolah mencari perlindungan atau kekuatan.....
Komentar
Posting Komentar