NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-22
Pemuda itu bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta
melakukan perjalanan menuju ke dusun Singojajar untuk mencari orang
tuanya. Setelah tiba di Singojajar, dia mendengar bahwa baru saja Ki
Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri diculik pasukan Wura-wuri, dan
pembantu mereka bernama Pakem terbunuh. Mendengar Ini, Nurseta cepat
berlari melakukan pengejaran. Dia melihat seorang gadis perkasa yang
dikenalnya sebagai Puspa Dewi sedang dikeroyok banyak orang. Ketika dia
terjun ke dalam pertempuran hendak membantu, Puspa Dewi berseru.
"Jangan bantu aku, cepat tolong mereka yang dilarikan dengan kereta!"
Mendengar ini, Nurseta meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran. Dia tadi di Singojajar memang mendengar bahwa suami isteri itu diculik dan dilarikan dengan sebuah kereta. Karena dia melakukan pengejaran dengan Aji Bayu Sakti, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul dan melompat ke depan kereta menahan dua ekor kuda penariknya. Ketika kusir kereta itu membentak dan mengancamnya dengan cambuk, Nurseta berkata, "Turunlah engkau dari kereta! Kalian menculik orang-orang yang tidak bersalah!"
Prajurit itu marah dan pada saat itu, tiga orang prajurit lain yang tadi berada dalam kereta sudah berlompatan keluar. Prajurit yang menjadi kusir menggerakkan cambuknya, dipukulkan ke arah pemuda yang berada di depan kereta.
"Tarrr...!" Ujung cambuk menyambar ke arah kepala Nurseta. Pemuda itu dengan tenang menangkap ujung cambuk dan dengan sentakan kuat dia membuat kusir yang memegang cambuk tertarik dan terjungkal dari atas kereta, jatuh berdebuk di atas tanah. Kusir itu menyeringai kesakitan karena tulang pinggulnya terasa nyeri sekali.
Dharmaguna dan Endang Sawitri menguak tirai kereta dan memandang keluar, heran, kagum dan juga khawatir melihat betapa tiga orang prajurit itu dengan golok di tangan kini menerjang dan menyerang pemuda itu dengan buas.
Akan tetapi tubuh pemuda itu berkelebatan dengan gesit bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dan berturut-turut tiga orang prajurit itu berpelantingan kemudian mengaduh-aduh tanpa mampu bangkit kembali.
Nurseta menghampiri kereta, akan tetapi Endang Sawitri berkata, "Anakmas, cepat Andika bantu gadis yang tadi menolong kami karena ia dikeroyok banyak orang jahat."
"Tapi..." Nurseta menengok ke arah tiga orang yang telah dirobohkannya itu.
"Jangan khawatir, mereka bertiga tidak akan dapat mengganggu kami lagi!" kata Endang Sawitri dan dengan cekatan ia lalu mengambil sebatang golok milik prajurit yang tadi terlepas dari tangannya. Dengan golok di tangan, wanita itu menghampiri tiga orang prajurit dan siap untuk menyerang kalau mereka berani bangkit berdiri. Melihat gerakan wanita itu, maklumlah Nurseta bahwa ia boleh diandalkan. Dia masih sangsi walau pun hatinya menduga bahwa mereka adalah ayah ibunya.
Dia teringat akan keadaan Puspa Dewi yang dikeroyok banyak orang tadi, maka dia lalu berlari cepat ke tempat pertempuran tadi. Setelah dekat dia melihat kenyataan bahwa, gadis itu hanya mempertahankan dan melindungi diri saja. Agaknya Puspa Dewi tidak ingin membunuh para pengeroyoknya. Hal ini membuat Nurseta merasa heran. Dahulu dia mengenal Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang baik, akan tetapi berwatak keras. Mengapa sekarang, gadis itu seolah tidak mau membunuh para pengeroyoknya? Apakah karena para pengeroyoknya Itu orang Wura-wuri? Akan tetapi Nurseta mengenal Resi Bajrasakti dan dia semakin heran. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker.
Melihat Puspa Dewi sibuk juga menghadapi serangan dua puluh satu orang itu, terutama serangan cambuk Resi Bajrasakti dan pedang di tangan Gandarwo, Nurseta tidak sabar lagi dan dia segera menerjang para pengeroyok yang berada di bagian luar pengepungan Itu. Begitu kedua tangannya digerakkan menampar ke kanan kiri, empat orang pengeroyok terpelanting roboh. Tentu saja pengeroyokan itu menjadi kacau dan Resi Bajrasakti dan Gandarwo terkejut.
Ki Gandarwo yang memang memiliki watak jumawa dan selalu memandang rendah orang lain, menjadi marah dan dia melompat ke arah Nurseta sambil menggerakkan pedangnya, menyerang dahsyat. Pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta yang tidak memegang senjata. Melihat sambaran pedang, Nurseta dengan tenang menyambut dengan ayunan tangan kanannya menyambut. Tangannya menyambar ke depan, dengan miring seperti dibacokkan.
"Wuuttt...! Singgg...! Krakkk..!"
Pedang itu patah menjadi tiga potong dan Ki Gandarwo terhuyung ke belakang, mukanya pucat.
"Kita pergi...!" Tiba-tiba Resi Bajrasakti berseru dan Ki Gandarwo cepat melompat dan lari mengejar kawannya yang telah melarikan diri lebih dulu itu.
Sisa anak buah mereka juga melarikan diri. Mereka berlompatan di atas kuda dan melarikan diri secepatnya, meninggalkan belasan ekor kuda yang tadi ditunggangi para prajurit yang kini menderita patah tulang dan masih berada di situ.
"Nurseta! Bagaimana dengan suami isteri yang mereka tangkap tadi?" tanya Puspa Dewi.
"Mereka di sana!" kata Nurseta sambil lari menuju ke tempat di mana kereta dan suami isteri tadi ditinggalkan.
Puspa Dewi melompat dan mengejar. Sebentar saja mereka berdua tiba di tempat Itu dan ternyata empat orang prajurit yang tadi dirobohkan Nurseta telah pergi. Suami isteri itu masih berada di dekat kereta. Tadi ketika Nurseta menolong mereka dan pemuda itu lalu berlari cepat untuk membantu Puspa Dewi, Dharmaguna dan Endang Sawitri yang menjaga empat orang prajurit yang terluka dengan golok di tangan saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketegangan.
Empat orang prajurit itu ketakutan karena mereka telah dalam keadaan terluka dan Endang Sawitri kini memegang golok. Selain itu mereka sudah merasa gentar terhadap pemuda yang sakti tadi. Maka perlahan-lahan mereka merangkak menjauhi suami isteri itu, kemudian bangkit dan saling bantu meninggalkan tempat itu. Endang Sawitri mendiamkan saja karena ia pun hanya berjaga-jaga kalau mereka itu hendak mengganggu la dan suaminya.
"Kakangmas, apakah engkau melihat apa yang kulihat tadi?" tanya Endang Sawitri kepada suaminya.
"Melihat apa?"
"Pemuda yang menolong kita tadi...!"
Mereka saling pandang dan pandang mata mereka yang mewakili suara hati mereka. Dharmaguna mengangguk.
"Rasanya aku mengenal pemuda itu, Diajeng, wajahnya tidak asing bagiku."
"Ah, Kakangmas! Biarpun dia seorang pemuda dewasa yang sakti mandaraguna, akan tetapi matanya itu...! Mata itu akan selalu kukenal, Kakangmas, mata... Anak kita...!"
"Nurseta? Dia... Nurseta...?"
Endang Sawitri mengangguk.
"Tapi..., mengapa dia diam saja dan meninggalkan kita?"
"Gadis penolong kita itu perlu dibantu, Kakangmas. Selain itu... aku pun merasa bahwa sudah sepatutnya dia tidak mempedulikan kita... ah, kalau ku ingat betapa kita telah meninggalkan anak. kita di Karang Tirta..."
Melihat isterinya menangis, Dharmaguna menghiburnya.
"Akan tetapi, engkau tahu, Diajeng bahwa kita meninggalkan dia demi kebaikan dia sendiri. Kita tidak ingin anak kita ikut menjadi buruan dan terancam keselamatannya. Akan tetapi, kalau benar dugaanmu bahwa dia itu Nurseta, bagaimana mungkin dia menjadi seorang yang demikian digdaya?"
Endang Sawitri menghapus air matanya dan menghela napas panjang.
"Mungkin aku salah duga dan dia bukan Anak kita, Kakangmas... ah, itu dia datang bersama gadis panolong kita tadi."
Dharmaguna menoleh dan benar saja. Dia melihat pemuda dan gadis yang menolong mereka tadi datang dengan cepat sekali. Seperti terbang saja mereka itu datang dan sebentar kemudian sudah berada di depan mereka.
Nurseta mengamati wajah suami isteri itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi pun, sekali pandang saja dia tidak pangling (lupa). Mereka inilah Ayah Ibunya! Memang agak lebih tua, namun dia mengenal betul wajah mereka. Terutama Ibunya! Memang, wajah orang dewasa tidak banyak berubah dua belas tahun kemudian, akan tetapi dia yang ditinggalkan mereka dalam usia sepuluh tahun, masih seorang kanak-kanak, kini menjadi seorang pemuda dewasa tentu banyak berubah.
Kalau tadi setelah menolong suami isteri itu dari empat orang prajurit yang melarikan mereka lalu dia meninggalkan mereka adalah karena dia ingin membantu Puspa Dewi dan juga dia merasa terlalu tegang untuk segera memperkenalkan diri kepada orang tuanya. Empat orang itu sejenak saling pandang seperti terpukau dan tidak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Endang Sawitri mendahului berkata kepada dua orang muda itu.
"Kami berdua berterima kasih kepada Nakayu dan Nakmas yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Budi Andika berdua sungguh besar dan selamanya tidak akan pernah kami lupakan."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Bibi. Sudah sewajarnya kalau saya menghajar orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang itu. Akan tetapi siapakah Paman berdua dan mengapa pula menjadi tawanan orang-orang jahat tadi?" kata Puspa Dewi.
Sejak tadi Nurseta semakin yakin bahwa suami isteri itu adalah Ayah Ibunya. Suara Ibunya masih seperti dulu, bahasanya halus dan suaranya lembut. Hatinya tergetar dan terharu sehingga dia merasa betapa kedua matanya panas dan berair. Suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menyambung ucapan Puspa Dewi.
"Apakah Andika berdua yang tinggal di dusun Singojajar, bernama Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri?"
"Benar... benar sekali...! Anakmas... siapakah...!" Nyi Endang Sawitri bertanya dengan suara gemetar dan la menatap wajah Nurseta dengan penuh selidik. Sambil menahan getaran perasaannya, Nurseta.
"Benar-benarkah Andika tidak mengenal saya?"
Endang Sawitri terbelalak, mengembangkan kedua lengannya dan melangkah maju mendekati Nurseta.
"Engkau... engkau... Nurseta...??"
Nurseta tidak tega membiarkan Ibunya meragu lebih lama lagi. Hatinya sendiri merasa sangat terharu dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut menyembah.
"Kanjeng Ibu...!"
"Duh Gusti... Hyang Widhi... engkau benar-benar Nurseta! Nurseta... Anakku...." Nyi Endang Sawitri menjerit dan menubruk pemuda Itu, merangkul dan terkulai dalam rangkulan Nurseta, menangis tersedu-sedu. KI Dharmaguna juga menghampiri, berlutut merangkul Nurseta.
"Nurseta... aduh, Anakku... maafkan Ayah Ibumu yang telah meninggalkanmu hidup seorang diri ketika engkau masih kecil..." Dharmaguna juga menitikkan air mata karena merasa menyesal dan berdosa.
"Angger... Nurseta... Ibumu minta maaf... kami berdua telah bertindak kejam... kami meninggalkanmu seorang diri di Karang Tirta... ketika engkau... baru berusia sepuluh tahun..."
"Ayah dan Ibu tidak bersalah. Kepergian itu justru menyelamatkan saya... agar saya tidak terbawa-bawa menjadi buronan."
"Ah, engkau sudah tahu, Anakku...?"
"Saya sudah mendengar semua dari Eyang Senopati Sindukerta, Ibu."
"Aduh..., engkau sudah bertemu dengan Kanjeng Rama? Nurseta, bagaimana... kabarnya dengan Kanjeng Ibu...?"
"Eyang Senopati berdua sehat-sehat saja, Ibu. Hanya Eyang Puteri selalu berduka dan sering menangis karena merindukan Ibu..."
"Aduh... aku anak durhaka... anak tidak berbakti..." Nyi Endang Sawitri menangis sesenggukan. Akan tetapi ia menahan tangisnya ketika dihibur Nurseta.
"Bagaimana dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Ceritakan tentang mereka, Nurseta...!" Nyi Endang Sawitri mendesak puteranya. Akan tetapi Nurseta membimbing ayah ibunya untuk bangkit berdiri dan berkata.
"Nanti dulu, Ayah dan Ibu. Kita tidak boleh melupakan gadis ini yang tadi telah menyelamatkan Ayah dan Ibu." Nurseta mengingatkan.
Suami isteri itu baru menyadari bahwa tadi mereka sama sekali melupakan gadis yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu. Nyi Endang Sawitri lalu menghampiri Puspa Dewi dan memegang tangan gadis itu.
"Ah, maafkan kami, Nakayu. Saking gembira kami bertemu dengan Anak kami yang selama belasan tahun berpisah, baru sekarang dapat saling berjumpa. Maafkan kami telah melupakan Andika"
Sejak tadi Puspa Dewi menyaksikan pertemuan mengharukan itu dan ia teringat akan pertemuannya sendiri dengan ayah kandungya. Ia ikut merasa terharu.
"Tidak mengapa. Bibi. Aku ikut merasa gembira melihat Anak dan orang tuanya dapat bertemu kembali."
"Ayah dan Ibu tentu mengenal gadis ini. Ia adalah puteri Bibi Lasmi yang dulu juga tinggal di Karang Tirta." Kata Nurseta memperkenalkan.
"Aihh... Nyi Lasmi janda yang cantik itu? Kalau begitu Andika ini... eh, kalau tidak salah namamu Puspa Dewi, bukan?" kata Nyi Endang Sawitri yang dulu kenal baik dengan Nyi Lasmi.
"Benar, Bibi." kata Puspa Dewi.
"Ahh, tentu saja kami lupa. Engkau kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Ya, engkau mirip sekali dengan Nyi Lasmi! Sekarang aku ingat. Engkau telah menjadi seorang gadis cantik jelita, sakti mandaraguna dan baik budi!" Nyi Endang Sawitri memandang kagum.
"Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."
"Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?" tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.
"Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.
"Gadis yang hebat!" Endang Sawitri memuji kagum.
"Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"
Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!
"Ah, kalau saja..." Endang Sawitri tidak melanjutkan.
"Mengapa, Ibu?" Nurseta bertanya.
Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!" akan tetapi ia menahan diri dan menjawab. "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."
"Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?" tanya puia Dharmaguna.
"Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan prajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahuripan. Bahkan Eyang Puteri selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."
"Aduh, Kanjeng Ibu... ampunkan saya..." Nyi Endang Sawitri menangis.
"Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?" kata Ki Dharmaguna. "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."
"Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu mau pun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta ini."
Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu.
Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamurti, kemudian digembleng Bhagawan Ekadenta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.
"Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."
Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apa lagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahuripan.
Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.
Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apa lagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!
Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang prajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sindukerta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.
"Endang... ah, Endang anakku...!"
"Kanjeng Ibu...!" Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.
"Kanjeng Ibu... ah, Kanjeng Ibu...!" Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.
Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.
"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan." kata Dharmaguna.
Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.
"Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."
Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para prajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya.
Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindukerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan. Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya.
Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata, "Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamaku!"
"Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?" tanya Endang Sawitri dengan heran.
"Benar!" Senopati Sindukerta mengangguk-angguk. "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tumenggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."
"Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik." kata Endang Sawitri.
Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.
Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.
"Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!" sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.
"Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!" kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.
Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.
"Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"
Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya. "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"
"Benar, Paman."
"Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Syukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"
"Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna." Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagai sembah penghormatan,
"wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati!"
"Benarkah?" Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan kejutan yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walau pun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.
Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri.
"Mbakayu Endang...!"
"Kau... Dyah Mularsih!" Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.
"Lasmi... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"
Nyi Lasmi tersenyum.
"Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!" kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.
"Wah, kalian sudah saling mengenai?" tegur Tumenggung Jayatanu heran.
"Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."
Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.....
"Jangan bantu aku, cepat tolong mereka yang dilarikan dengan kereta!"
Mendengar ini, Nurseta meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran. Dia tadi di Singojajar memang mendengar bahwa suami isteri itu diculik dan dilarikan dengan sebuah kereta. Karena dia melakukan pengejaran dengan Aji Bayu Sakti, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul dan melompat ke depan kereta menahan dua ekor kuda penariknya. Ketika kusir kereta itu membentak dan mengancamnya dengan cambuk, Nurseta berkata, "Turunlah engkau dari kereta! Kalian menculik orang-orang yang tidak bersalah!"
Prajurit itu marah dan pada saat itu, tiga orang prajurit lain yang tadi berada dalam kereta sudah berlompatan keluar. Prajurit yang menjadi kusir menggerakkan cambuknya, dipukulkan ke arah pemuda yang berada di depan kereta.
"Tarrr...!" Ujung cambuk menyambar ke arah kepala Nurseta. Pemuda itu dengan tenang menangkap ujung cambuk dan dengan sentakan kuat dia membuat kusir yang memegang cambuk tertarik dan terjungkal dari atas kereta, jatuh berdebuk di atas tanah. Kusir itu menyeringai kesakitan karena tulang pinggulnya terasa nyeri sekali.
Dharmaguna dan Endang Sawitri menguak tirai kereta dan memandang keluar, heran, kagum dan juga khawatir melihat betapa tiga orang prajurit itu dengan golok di tangan kini menerjang dan menyerang pemuda itu dengan buas.
Akan tetapi tubuh pemuda itu berkelebatan dengan gesit bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dan berturut-turut tiga orang prajurit itu berpelantingan kemudian mengaduh-aduh tanpa mampu bangkit kembali.
Nurseta menghampiri kereta, akan tetapi Endang Sawitri berkata, "Anakmas, cepat Andika bantu gadis yang tadi menolong kami karena ia dikeroyok banyak orang jahat."
"Tapi..." Nurseta menengok ke arah tiga orang yang telah dirobohkannya itu.
"Jangan khawatir, mereka bertiga tidak akan dapat mengganggu kami lagi!" kata Endang Sawitri dan dengan cekatan ia lalu mengambil sebatang golok milik prajurit yang tadi terlepas dari tangannya. Dengan golok di tangan, wanita itu menghampiri tiga orang prajurit dan siap untuk menyerang kalau mereka berani bangkit berdiri. Melihat gerakan wanita itu, maklumlah Nurseta bahwa ia boleh diandalkan. Dia masih sangsi walau pun hatinya menduga bahwa mereka adalah ayah ibunya.
Dia teringat akan keadaan Puspa Dewi yang dikeroyok banyak orang tadi, maka dia lalu berlari cepat ke tempat pertempuran tadi. Setelah dekat dia melihat kenyataan bahwa, gadis itu hanya mempertahankan dan melindungi diri saja. Agaknya Puspa Dewi tidak ingin membunuh para pengeroyoknya. Hal ini membuat Nurseta merasa heran. Dahulu dia mengenal Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang baik, akan tetapi berwatak keras. Mengapa sekarang, gadis itu seolah tidak mau membunuh para pengeroyoknya? Apakah karena para pengeroyoknya Itu orang Wura-wuri? Akan tetapi Nurseta mengenal Resi Bajrasakti dan dia semakin heran. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker.
Melihat Puspa Dewi sibuk juga menghadapi serangan dua puluh satu orang itu, terutama serangan cambuk Resi Bajrasakti dan pedang di tangan Gandarwo, Nurseta tidak sabar lagi dan dia segera menerjang para pengeroyok yang berada di bagian luar pengepungan Itu. Begitu kedua tangannya digerakkan menampar ke kanan kiri, empat orang pengeroyok terpelanting roboh. Tentu saja pengeroyokan itu menjadi kacau dan Resi Bajrasakti dan Gandarwo terkejut.
Ki Gandarwo yang memang memiliki watak jumawa dan selalu memandang rendah orang lain, menjadi marah dan dia melompat ke arah Nurseta sambil menggerakkan pedangnya, menyerang dahsyat. Pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta yang tidak memegang senjata. Melihat sambaran pedang, Nurseta dengan tenang menyambut dengan ayunan tangan kanannya menyambut. Tangannya menyambar ke depan, dengan miring seperti dibacokkan.
"Wuuttt...! Singgg...! Krakkk..!"
Pedang itu patah menjadi tiga potong dan Ki Gandarwo terhuyung ke belakang, mukanya pucat.
"Kita pergi...!" Tiba-tiba Resi Bajrasakti berseru dan Ki Gandarwo cepat melompat dan lari mengejar kawannya yang telah melarikan diri lebih dulu itu.
Sisa anak buah mereka juga melarikan diri. Mereka berlompatan di atas kuda dan melarikan diri secepatnya, meninggalkan belasan ekor kuda yang tadi ditunggangi para prajurit yang kini menderita patah tulang dan masih berada di situ.
"Nurseta! Bagaimana dengan suami isteri yang mereka tangkap tadi?" tanya Puspa Dewi.
"Mereka di sana!" kata Nurseta sambil lari menuju ke tempat di mana kereta dan suami isteri tadi ditinggalkan.
Puspa Dewi melompat dan mengejar. Sebentar saja mereka berdua tiba di tempat Itu dan ternyata empat orang prajurit yang tadi dirobohkan Nurseta telah pergi. Suami isteri itu masih berada di dekat kereta. Tadi ketika Nurseta menolong mereka dan pemuda itu lalu berlari cepat untuk membantu Puspa Dewi, Dharmaguna dan Endang Sawitri yang menjaga empat orang prajurit yang terluka dengan golok di tangan saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketegangan.
Empat orang prajurit itu ketakutan karena mereka telah dalam keadaan terluka dan Endang Sawitri kini memegang golok. Selain itu mereka sudah merasa gentar terhadap pemuda yang sakti tadi. Maka perlahan-lahan mereka merangkak menjauhi suami isteri itu, kemudian bangkit dan saling bantu meninggalkan tempat itu. Endang Sawitri mendiamkan saja karena ia pun hanya berjaga-jaga kalau mereka itu hendak mengganggu la dan suaminya.
"Kakangmas, apakah engkau melihat apa yang kulihat tadi?" tanya Endang Sawitri kepada suaminya.
"Melihat apa?"
"Pemuda yang menolong kita tadi...!"
Mereka saling pandang dan pandang mata mereka yang mewakili suara hati mereka. Dharmaguna mengangguk.
"Rasanya aku mengenal pemuda itu, Diajeng, wajahnya tidak asing bagiku."
"Ah, Kakangmas! Biarpun dia seorang pemuda dewasa yang sakti mandaraguna, akan tetapi matanya itu...! Mata itu akan selalu kukenal, Kakangmas, mata... Anak kita...!"
"Nurseta? Dia... Nurseta...?"
Endang Sawitri mengangguk.
"Tapi..., mengapa dia diam saja dan meninggalkan kita?"
"Gadis penolong kita itu perlu dibantu, Kakangmas. Selain itu... aku pun merasa bahwa sudah sepatutnya dia tidak mempedulikan kita... ah, kalau ku ingat betapa kita telah meninggalkan anak. kita di Karang Tirta..."
Melihat isterinya menangis, Dharmaguna menghiburnya.
"Akan tetapi, engkau tahu, Diajeng bahwa kita meninggalkan dia demi kebaikan dia sendiri. Kita tidak ingin anak kita ikut menjadi buruan dan terancam keselamatannya. Akan tetapi, kalau benar dugaanmu bahwa dia itu Nurseta, bagaimana mungkin dia menjadi seorang yang demikian digdaya?"
Endang Sawitri menghapus air matanya dan menghela napas panjang.
"Mungkin aku salah duga dan dia bukan Anak kita, Kakangmas... ah, itu dia datang bersama gadis panolong kita tadi."
Dharmaguna menoleh dan benar saja. Dia melihat pemuda dan gadis yang menolong mereka tadi datang dengan cepat sekali. Seperti terbang saja mereka itu datang dan sebentar kemudian sudah berada di depan mereka.
Nurseta mengamati wajah suami isteri itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi pun, sekali pandang saja dia tidak pangling (lupa). Mereka inilah Ayah Ibunya! Memang agak lebih tua, namun dia mengenal betul wajah mereka. Terutama Ibunya! Memang, wajah orang dewasa tidak banyak berubah dua belas tahun kemudian, akan tetapi dia yang ditinggalkan mereka dalam usia sepuluh tahun, masih seorang kanak-kanak, kini menjadi seorang pemuda dewasa tentu banyak berubah.
Kalau tadi setelah menolong suami isteri itu dari empat orang prajurit yang melarikan mereka lalu dia meninggalkan mereka adalah karena dia ingin membantu Puspa Dewi dan juga dia merasa terlalu tegang untuk segera memperkenalkan diri kepada orang tuanya. Empat orang itu sejenak saling pandang seperti terpukau dan tidak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Endang Sawitri mendahului berkata kepada dua orang muda itu.
"Kami berdua berterima kasih kepada Nakayu dan Nakmas yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Budi Andika berdua sungguh besar dan selamanya tidak akan pernah kami lupakan."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Bibi. Sudah sewajarnya kalau saya menghajar orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang itu. Akan tetapi siapakah Paman berdua dan mengapa pula menjadi tawanan orang-orang jahat tadi?" kata Puspa Dewi.
Sejak tadi Nurseta semakin yakin bahwa suami isteri itu adalah Ayah Ibunya. Suara Ibunya masih seperti dulu, bahasanya halus dan suaranya lembut. Hatinya tergetar dan terharu sehingga dia merasa betapa kedua matanya panas dan berair. Suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menyambung ucapan Puspa Dewi.
"Apakah Andika berdua yang tinggal di dusun Singojajar, bernama Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri?"
"Benar... benar sekali...! Anakmas... siapakah...!" Nyi Endang Sawitri bertanya dengan suara gemetar dan la menatap wajah Nurseta dengan penuh selidik. Sambil menahan getaran perasaannya, Nurseta.
"Benar-benarkah Andika tidak mengenal saya?"
Endang Sawitri terbelalak, mengembangkan kedua lengannya dan melangkah maju mendekati Nurseta.
"Engkau... engkau... Nurseta...??"
Nurseta tidak tega membiarkan Ibunya meragu lebih lama lagi. Hatinya sendiri merasa sangat terharu dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut menyembah.
"Kanjeng Ibu...!"
"Duh Gusti... Hyang Widhi... engkau benar-benar Nurseta! Nurseta... Anakku...." Nyi Endang Sawitri menjerit dan menubruk pemuda Itu, merangkul dan terkulai dalam rangkulan Nurseta, menangis tersedu-sedu. KI Dharmaguna juga menghampiri, berlutut merangkul Nurseta.
"Nurseta... aduh, Anakku... maafkan Ayah Ibumu yang telah meninggalkanmu hidup seorang diri ketika engkau masih kecil..." Dharmaguna juga menitikkan air mata karena merasa menyesal dan berdosa.
"Angger... Nurseta... Ibumu minta maaf... kami berdua telah bertindak kejam... kami meninggalkanmu seorang diri di Karang Tirta... ketika engkau... baru berusia sepuluh tahun..."
"Ayah dan Ibu tidak bersalah. Kepergian itu justru menyelamatkan saya... agar saya tidak terbawa-bawa menjadi buronan."
"Ah, engkau sudah tahu, Anakku...?"
"Saya sudah mendengar semua dari Eyang Senopati Sindukerta, Ibu."
"Aduh..., engkau sudah bertemu dengan Kanjeng Rama? Nurseta, bagaimana... kabarnya dengan Kanjeng Ibu...?"
"Eyang Senopati berdua sehat-sehat saja, Ibu. Hanya Eyang Puteri selalu berduka dan sering menangis karena merindukan Ibu..."
"Aduh... aku anak durhaka... anak tidak berbakti..." Nyi Endang Sawitri menangis sesenggukan. Akan tetapi ia menahan tangisnya ketika dihibur Nurseta.
"Bagaimana dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Ceritakan tentang mereka, Nurseta...!" Nyi Endang Sawitri mendesak puteranya. Akan tetapi Nurseta membimbing ayah ibunya untuk bangkit berdiri dan berkata.
"Nanti dulu, Ayah dan Ibu. Kita tidak boleh melupakan gadis ini yang tadi telah menyelamatkan Ayah dan Ibu." Nurseta mengingatkan.
Suami isteri itu baru menyadari bahwa tadi mereka sama sekali melupakan gadis yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu. Nyi Endang Sawitri lalu menghampiri Puspa Dewi dan memegang tangan gadis itu.
"Ah, maafkan kami, Nakayu. Saking gembira kami bertemu dengan Anak kami yang selama belasan tahun berpisah, baru sekarang dapat saling berjumpa. Maafkan kami telah melupakan Andika"
Sejak tadi Puspa Dewi menyaksikan pertemuan mengharukan itu dan ia teringat akan pertemuannya sendiri dengan ayah kandungya. Ia ikut merasa terharu.
"Tidak mengapa. Bibi. Aku ikut merasa gembira melihat Anak dan orang tuanya dapat bertemu kembali."
"Ayah dan Ibu tentu mengenal gadis ini. Ia adalah puteri Bibi Lasmi yang dulu juga tinggal di Karang Tirta." Kata Nurseta memperkenalkan.
"Aihh... Nyi Lasmi janda yang cantik itu? Kalau begitu Andika ini... eh, kalau tidak salah namamu Puspa Dewi, bukan?" kata Nyi Endang Sawitri yang dulu kenal baik dengan Nyi Lasmi.
"Benar, Bibi." kata Puspa Dewi.
"Ahh, tentu saja kami lupa. Engkau kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Ya, engkau mirip sekali dengan Nyi Lasmi! Sekarang aku ingat. Engkau telah menjadi seorang gadis cantik jelita, sakti mandaraguna dan baik budi!" Nyi Endang Sawitri memandang kagum.
"Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."
"Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?" tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.
"Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.
"Gadis yang hebat!" Endang Sawitri memuji kagum.
"Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"
Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!
"Ah, kalau saja..." Endang Sawitri tidak melanjutkan.
"Mengapa, Ibu?" Nurseta bertanya.
Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!" akan tetapi ia menahan diri dan menjawab. "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."
"Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?" tanya puia Dharmaguna.
"Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan prajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahuripan. Bahkan Eyang Puteri selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."
"Aduh, Kanjeng Ibu... ampunkan saya..." Nyi Endang Sawitri menangis.
"Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?" kata Ki Dharmaguna. "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."
"Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu mau pun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta ini."
Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu.
Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamurti, kemudian digembleng Bhagawan Ekadenta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.
"Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."
Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apa lagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahuripan.
Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.
Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apa lagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!
Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang prajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sindukerta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.
"Endang... ah, Endang anakku...!"
"Kanjeng Ibu...!" Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.
"Kanjeng Ibu... ah, Kanjeng Ibu...!" Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.
Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.
"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan." kata Dharmaguna.
Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.
"Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."
Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para prajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya.
Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindukerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan. Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya.
Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata, "Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamaku!"
"Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?" tanya Endang Sawitri dengan heran.
"Benar!" Senopati Sindukerta mengangguk-angguk. "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tumenggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."
"Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik." kata Endang Sawitri.
Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.
Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.
"Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!" sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.
"Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!" kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.
Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.
"Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"
Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya. "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"
"Benar, Paman."
"Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Syukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"
"Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna." Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagai sembah penghormatan,
"wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati!"
"Benarkah?" Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan kejutan yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walau pun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.
Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri.
"Mbakayu Endang...!"
"Kau... Dyah Mularsih!" Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.
"Lasmi... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"
Nyi Lasmi tersenyum.
"Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!" kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.
"Wah, kalian sudah saling mengenai?" tegur Tumenggung Jayatanu heran.
"Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."
Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.....
Komentar
Posting Komentar