NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-21
Maka, setelah orang-orangnya hanya berhasil membantai Ki Lurah
Pujosaputro sekeluarganya dan Nyi Lasmi yang telah berada di tangannya
itu akhirnya terlepas, dia tetap menyuruh kaki tangannya mengawasi dan
memata-matai Karang Tirta. Maka, ketika Pakem yang menunggang kuda tiba
di Karang Tirta, dua orang mata-mata dari Wengker itu mengetahuinya.
Mereka mengintai dan melihat betapa pendatang asing itu berkunjung ke
rumah Ki Tejomoyo.
Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain.
Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu. Pakem yang merupakan penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apa lagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.
"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"
Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.
"Ampun, Denmas... saya bukan penjahat..., saya hanya utusan..."
"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kau lakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"
"Ampun, Denmas... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."
"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl" dua orang itu membentak.
"Saya... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta..."
Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.
"Hayo ikut dengan kami!"
"Ampun, Denmas... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat..."
"Plakk!" Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.
"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"
Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.
"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"
"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati." kata Dewi Mayangsarl. "Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."
"Heh-heh, itu benar sekail!" kata Resi Bajrasakti. "Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"
"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi." kata Tumenggung Suramenggala.
"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu." kata Adipati Linggawijaya.
Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang prajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.
Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.
"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."
"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!" kata Adipati Bhismaprabhawa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman." kata Resi Bajrasakti.
"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.
Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.
"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an." kata Dewi Mayangsari. "Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"
"Wah, kami setuju sekalil" kata Nyi Dewi Durgakumala.
"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"
Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin prajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.
Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua lusin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin prajurit Wurawuri sendiri.
Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.
Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.
Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.
Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.
Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walau pun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!
Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.
"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"
Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.
"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."
"Tapi... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?" Nyi Endang Sawitri bertanya.
"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku." jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.
"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"
"Kenal..., kenal...!" kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.
"Sahabat kalian?"
"Ya, sahabat baik, ha-ha, sahabat baik sekali!"
"Tapi... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"
"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"
"Tapi... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?" tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.
"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kalian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku." Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.
"Lepaskan aku" Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.
"Jangan kurang ajar! Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.
"Bukk...!" Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan.
"Kakangmas...!" Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.
Kereta dihentikan dan rombongan itu menahan kuda mereka ketika melihat dua orang suami isteri itu keluar dari kereta. Ki Gandarwo marah sekali. Dia yang bertugas menjaga suami isteri itu di daiam kereta, tentu saja merasa malu kepada para prajurit, terutama kepada Resi Bajrasakti, karena suami isteri itu keluar dari kereta seolah dia tidak mampu menahan mereka. Dia pun melompat keluar menghampiri Ki Dharmaguna yang bangkit dibantu isterinya.
Melihat Gandarwo menghampiri mereka, Nyi Endang Sawitri yang mengira suaminya akan diganggu, menyambut dengan serangan nekat! Akan tetapi, pukulan tangan wanita itu ditangkis dan pertemuan kedua tangan itu membuat Nyi Endang Sawitri yang jauh kalah kuat itu terpelanting. Pada saat itu, Ki Dharmaguna cepat menghampiri isterinya untuk menolongnya, akan tetapi Gandarwo yang sudah marah sekali, maju dan menampar dengan tangannya ke arah kepala Dharmaguna.
"Plakk!" Tangan Gandarwo yang menampar itu bertemu dengan tangan Resi Bajrasakti yang menangkisnya.
"Anakmas Gandarwo, apakah Andika hendak merusak rencana kita? Suami isteri ini harus ditawan, bukan dibunuh!"
Resi Bajrasaktl menegur dan Gandarwo menyadari kesalahannya yang tadi terdorong oleh kemarahan. Gandarwo mengangguk dengan muka berubah merah.
"Saya mengerti, Paman. Saya tidak ingin membunuhnya, hanya memberi hajaran agar mereka jangan banyak tingkah!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri menghalang di depan Gandarwo yang agaknya hendak memberi hajaran kepada suami isteri itu.
"Gandarwo keparat busuk! Di mana-mana engkau menyebar kejahatan!" bentak gadis itu.
"Puspa Dewi...!" Gandarwo terkejut dan wajahnya berubah pucat karena gentar. Akan tetapi hanya sebentar karena dia ingat bahwa dia ditemani Resi Bajrasakti dan dua losin orang prajurit pengawal sehingga keberanian dan kesombongannya muncul dengan cepat, membuat mukanya menjadi merah karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang maju, tangan kanannya yang disaluri tenaga sakti sepenuhnya menampar ke arah kepala Puspa Dewil Puspa Dewi sudah tahu akan kekuatan Gandarwo. Senopati Muda Wura-wuri ini pernah mengeroyoknya bersama Cekel Aksomolo dan tiga orang senopati Wura-wuri lain, yaitu Tri Kala. Maka, melihat serangan tangan Gandarwo yang menamparnya, ia menangkis dan sekaligus mendorong.
"Wuuuuttt... desss...!"
Tubuh Gandarwo terlempar ke belakang sekitar dua tombak dan jatuh terjengkang, terbanting ke atas tanah sampai terdengar suara berdebuk dan debu mengebul. Dia bangkit duduk sambil mengelus pantatnya dan meringis kesakitan, malu, dan marah. Resi Bajrasakti melompat ke depan dan berhadapan dengan Puspa Dewi.
"Heh-heh-heh!" Kakek tinggi besar itu terkekeh sambil menatap wajah Puspa Dewi. "Kiranya Andika. Bukankah Andika ini Puspa Dewi, Sekar Kedaton Wura-wuri, murid dan anak angkat Nyi Dewi Durgakumala permaisuri Wura-wuri? Andika yang mengkhianati Wura-wuri dan berbalik membantu keturunan Mataram, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?"
"Resi Bajrasakti, ternyata sejak dulu sampai sekarang Andika tetap menjadi seorang datuk sesat yang jahat. Dulu Andika pernah menculik aku, dan sekarang Andika menculik Paman dan Bibi ini. Dari dulu sampai sekarang Andika tukang menculik orang, betapa rendahnya perbuatanmu. Aku bukan Sekar Kedaton Wura-wuri, juga bukan anak Dewi Durgakumala yang pernah menjadi guruku. Karena melihat Wura-wuri dan sekutunya semua jahat dan angkara-murka, maka aku tidak sudi membantu. Aku lebih suka membela Kahuripan, karena aku kawula Kahuripan dan lebih suka membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bijaksana"
Selagi Resi Bajrasakti dan Puspa Dewi bicara, diam-diam Gandarwo menyuruh seorang prajurit untuk cepat pergi mencari bala bantuan dan empat orang lain yang memiliki kedigdayaan cukup, dia suruh menyergap dan menangkap Dharmaguna dan Endang Sawitri. Kemudian, sambil mencabut pedangnya dan memberi aba-aba kepada Sembilan belas prajurit yang lain dia berseru nyaring.
"Bunuh pengkhianat Wura-wuri ini"
Akan tetapi Resi Bajrasakti mempunyai pendapat lain. Kalau dia dapatmenangkap hidup-hidup gadis ini dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala, tentu permaisuri Wura-wuri itu akan senang sekali dan berterima kasih sehingga hal ini akan mempererat hubungan antara Wura-wuri dan Wengker.
"Anakmas Gandarwo, jangan bunuh Puspa Dewi. Kita memerlukan ia hidup-hidup!" katanya dengan suara yang berpengaruh.
Mendengar bentakan Itu, Ki Gandarwo teringat bahwa Puspa Dewi adalah murid dan anak angkat Permaisuri Dewi Durgakumala yang telah memberontak terhadap Wurawuri, maka kalau dapat menangkapnya hidup-hidup dan menyeretnya ke depan kaki permaisuri itu, tentu akan menyenangkan hatinya. Biar permaisuri sendiri yang akan menghukum gadis pengkhianat ini. Maka dia pun memberi aba-aba baru.
"Tangkap pengkhianat ini hidup-hidup!"
Resi Bajrasakti mulai dengan serangan yang mengandung kekuatan sihir. Dia membentak dan bentakan ini menggelegar, mengandung getaran yang amat kuat, yang khusus ditujukan kepada Puspa Dewi. Datuk Wengker yang sakti mandraguna ini agaknya memandang rendah kepada Puspa Dewi karena menganggap bahwa gadis itu hanya murid Nyi Dewi Durgakumala. Kalau gurunya hanya setingkat dengan dia, maka muridnya tentulah merupakan lawan yang lunak, begitu pikirnya maka ia menyerang dengan kekuatan sihirnya untuk melumpuhkan lawan.
"Puspa Dewi, menyerah dan berlututlah engkau!"
Akan tetapi Resi Bajrasakti salah perhitungan. Nyi Dewi Durgakumaja telah menurunkan seluruh ilmunya kepada Puspa Dewi yang amat disayangnya dan karena Puspa Dewi berbadan bersih tidak seperti Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi hamba nafsunya sendiri, juga karena Puspa Dewi jauh lebih muda.
Karena itu, tidaklah mengherankan apabila setelah tamat belajar dari Nyi Dewi Durgakumala, tingkat gadis Itu sudah melebihi tingkat gurunya. Apa lagi la bertemu dengan Sang Maha Resi Satyadharma dan digembleng oleh guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini selama tiga bulan. Tentu saja tingkat kepandaian gadis itu sudah melonjak tinggi, jauh melampaui tingkat Nyi Dewi Durgakumala.
Sebelum digembleng Maha Resi Satyadharma la telah memiliki kekuatan sihir dari ajaran Nyi Dewi Durgakumala yang dapat menandingi kekuatan sihir Resi Bajrasakti. Maha Resi Satyadharma sama sekali tidak mengajarkan jlmu sihir yang dianggap ilmu yang berbahaya dan condong menyeret pemiliknya ke arah perbuatan jahat.
Dia hanya memberi pelajaran menghimpun tenaga sakti yang datang sebagai anugerah Sang Hyang Widhi dan kekuatan ini mampu menghalau segala macam kekuatan sihir yang. menyerangnya. Karena itu, ketika Resi Bajrasakti menyerangnya dengan sihir, Puspa Dewi sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang kekuatan sihir yang menerpanya itu tidak lebih dari angin semilir lalu saja.
Melihat serangan dengan sihir itu tidak mempengaruhi Puspa Dewi, Resi Bajrasakti menjadi penasaran. Dia lalu mengerahkan Aji Panglimutan. Dengan pengerahan aji kesaktian ini, biasanya dia dapat menghilang, atau tidak tampak oleh lawan sehingga dia akan dapat dengan mudah meringkus gadis itu.
Setelah mengerahkan Aji Panglimutan, Resi Bajrasakti lalu menubruk dan hendak meringkus tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi menggerakkan tangannya, menampar kakek yang maju hendak meringkusnya itu. Ternyata Aji Panglimutan itu pun tidak dapat mempengaruhinya dan ia tetap dapat melihat lawan yang hendak meringkusnya itu, maka ia menyambut dengan tamparan. Resi Bajrasakti terkejut dan cepat dia menggerakkan tangan menangkis tamparan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Wuuuttt... dukkk!"
Tubuh Resi Bajrasakti terhuyung karena ketika lengan mereka beradu, dia merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari tangan gadis itu!
Melihat betapa Resi Bajrasakti terhuyung, Ki Gandarwo berseru kepada sembilan belas orang prajurit.
"Kepung, tangkap gadis ini!"
Puspa Dewi dikeroyok. Tangan-tangan yang besar berbulu itu seolah berlomba untuk menangkap dan meringkusnya. Puspa Dewi menggerakkan kaki tangannya dengan cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang dan ke mana pun kaki atau tangannya mencuat, tentu seorang pengeroyok telah dapat ia robohkan.
Teriakan demi teriakan terdengar disusul tubuh para pengeroyok berpelantingan. Biarpun Puspa Dewi tidak memberi pukulan maut kepada mereka, namun mereka menderita patah tulang dan juga kehilangan nyali, tidak berani lagi berdiri dan hanya mendekam dan merintih memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan atau tendangan yang dahsyat, bagaikan petir menyambar. Dalam waktu singkat delapan orang prajurit telah roboh dan sisanya yang sebelas orang menjadi jerih untuk mendekati gadis sakti mandraguna itu.
Pada saat itu prajurit yang diutus Gandarwo mencari bala bantuan sudah pergi jauh dan empat orang prajurit yang diutus mengamankan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri sudah cepat turun tangan meringkus suami isteri itu. Percuma saja Nyi Endang Sawitri melawan. Ia tidak dapat menandingi empat orang prajurit yang rata-rata memiliki tenaga kuat itu dan sebentar saja suami isteri itu telah dapat diringkus, dinaikkan kereta yang segera dilarikan cepat meninggalkan tempat itu
Puspa Dewi yang sedang dikepung dan dikeroyok banyak orang tidak melihat hal ni. Pula, ia memang tidak mengenal suami isteri itu. Kalau tadi ia turun tangan, adalah karena melihat suami isteri itu diperlakukan kasar. Ketika Kl Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri tinggal di Karang Tirta, ia sendiri masih kecil. Bahkan ketika suami lsterl itu diam-diam meninggalkan Karang Tirta, la baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun, sehingga tentu saja ia tidak mengenal suami isteri itu.
Sementara itu, Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo terkejut bukan main melihat betapa sebagian anak buah mereka berpelantingan dihajar tendangan dan tamparan gadis perkasa itu. Merasa bahwa sekarang malah pihak mereka yang terancam bahaya, Resi Bajrasakti lalu berseru, "Pergunakan senjata! Bunuh gadis ini!" Dia sendiri sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cambuk bergagang gading.
"Tar-tar-tarr...!" Resi Bajrasakti memutar-mutar cambuk itu di atas kepalanya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika ujung cambuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan asap.
Melihat rekannya sudah mengeluarkan senjata, Ki Gandarwo juga mencabut pedangnya. Demikian pula, sisa prajurit yang masih ada sebelas orang itu mencabut senjata golok mereka dan mengepung Puspa Dewi.
Puspa Dewi maklum bahwa kini la menghadapi lawan yang cukup berat. Kalau berkelahi dengan mereka hanya menggunakan tangan kosong, ia masih, dapat mengandaikan kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga saktinya. Akan tetapi semua orang itu memegang senjata, apa lagi Resi Bajrasakti amat berbahaya dengan cambuknya dan Ki Gandarwo juga bukan lawan ringan kalau sudah menggunakan pedangnya.
Untuk dapat menjaga dan membela diri dengan baik, Puspa Dewi lalu menggerakkan tangannya ke arah punggung dan begitu ia mencabut, tampak sinar hitam dari pedang pusakanya Cadrasa Langking, pemberian guru pertamanya yang juga merupakan ibu angkatnya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.
Kini terjadilah perkelahian hebat. Setelah mereka semua memegang golok, sebelas orang prajurit pengawal itu menjadi berani dan mereka mengepung dan menyerang Puspa Dewi secara bertubi-tubi dengan cara menyerang lalu melompat menjauh. Yang bertanding dengan seru melawan Puspa Dewi adalah Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo.
Resi Bajrasakti sekarang baru menyadari bahwa Puspa Dewi telah menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, sakti mandraguna dan pemberani. Karena sekarang dia melihat betapa gadis Ini harus dirobohkan kalau terpaksa dibunuh, maka selain menggunakan cambuknya untuk menyerang, dia juga mempergunakan berbagai aji kesaktiannya untuk merobohkan gadis yang amat tangguh itu.
Mula-mula dia menyelingi serangan cambuknya dengan menyambitkan senjata rahasia pasir sakti Bramara Sewu. Pasir itu seolah berubah menjadi sekawanan lebah yang menyerang seluruh tubuh bagian depan Puspa Dewi. Akan tetapi, pedang Candrasa Langlang yang membentuk perisai gulungan sinar hitam meruntuhkan semua pasir sakti itu.
Melihat serangan pasir saktinya gagal, berturut-turut Resi Bajrasakti mengerah-kan berbagal aji pukulannya yang ampuh. Dengan tangan kirinya dia menyelingi sambaran cambuknya dengan A}1 Wlsa Langking. Tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang mengandung racun hitam, namun uap hitam yang menyambar ke arah Puspa Dewi Itu ambyar (pecah berantakan) ketika disambar hawa pukulan tangan kiri Puspa Dewi.
Berturut-turut Resi Bajrasakti menyerang dengan AJI Pukulan Gelap Sewu dan Sihung Naga, namun semua Itu tidak berhasil karena dapat dihadang oleh dorongan tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung Aji Guntur Genl yang sudah dipoles gemblengan Maha Resi Satyadharma. Akhirnya, Resi Bajrasakti mencurahkan semua perhatian dan mengerahkan. seluruh tenaganya untuk menyerang dengan cambuknya yang memainkan Aji Pecut Tatit Geni.
Ki Gandarwo juga mengirim serangan-serangan maut dengan pedangnya, dibantu sebelas orang prajurit dengan golok mereka. Delapan orang prajurit yang terluka dan tidak mampu mengeroyok lagi kini sudah menjauhi tempat perkelahian. Dikeroyok demikian banyaknya orang, Puspa Dewi tidak merasa kerepotan. Akan tetapi karena ia tidak ingin membunuh orang, maka pedangnya hanya ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan senjata itu. Ia bagaikan seekor harimau betina yang dikeroyok segerombolan srigala.
Sementara itu, ketika kereta yang membawa Dharmaguna dan Endang Sawitri belum jauh dilarikan empat orang prajurit Wura-wuri, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang pemuda menghadang di depan kereta. Dua ekor kuda penarik kereta terkejut dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas, akan tetapi pemuda itu dengan sigap menangkap kendali dua ekor kuda dan menariknya ke bawah. Dua ekor kuda itu berdiri, tidak mampu meronta lagi, tubuh mereka gemetaran seperti ketakutan. Prajurit yang menjadi kusir terkejut dan segera membentak marah.....
Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain.
Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu. Pakem yang merupakan penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apa lagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.
"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"
Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.
"Ampun, Denmas... saya bukan penjahat..., saya hanya utusan..."
"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kau lakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"
"Ampun, Denmas... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."
"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl" dua orang itu membentak.
"Saya... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta..."
Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.
"Hayo ikut dengan kami!"
"Ampun, Denmas... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat..."
"Plakk!" Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.
"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"
Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.
"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"
"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati." kata Dewi Mayangsarl. "Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."
"Heh-heh, itu benar sekail!" kata Resi Bajrasakti. "Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"
"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi." kata Tumenggung Suramenggala.
"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu." kata Adipati Linggawijaya.
Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang prajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.
Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.
"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."
"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!" kata Adipati Bhismaprabhawa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman." kata Resi Bajrasakti.
"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.
Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.
"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an." kata Dewi Mayangsari. "Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"
"Wah, kami setuju sekalil" kata Nyi Dewi Durgakumala.
"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"
Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin prajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.
Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua lusin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin prajurit Wurawuri sendiri.
Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.
Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.
Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.
Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.
Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walau pun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!
Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.
"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"
Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.
"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."
"Tapi... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?" Nyi Endang Sawitri bertanya.
"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku." jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.
"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"
"Kenal..., kenal...!" kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.
"Sahabat kalian?"
"Ya, sahabat baik, ha-ha, sahabat baik sekali!"
"Tapi... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"
"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"
"Tapi... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?" tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.
"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kalian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku." Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.
"Lepaskan aku" Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.
"Jangan kurang ajar! Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.
"Bukk...!" Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan.
"Kakangmas...!" Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.
Kereta dihentikan dan rombongan itu menahan kuda mereka ketika melihat dua orang suami isteri itu keluar dari kereta. Ki Gandarwo marah sekali. Dia yang bertugas menjaga suami isteri itu di daiam kereta, tentu saja merasa malu kepada para prajurit, terutama kepada Resi Bajrasakti, karena suami isteri itu keluar dari kereta seolah dia tidak mampu menahan mereka. Dia pun melompat keluar menghampiri Ki Dharmaguna yang bangkit dibantu isterinya.
Melihat Gandarwo menghampiri mereka, Nyi Endang Sawitri yang mengira suaminya akan diganggu, menyambut dengan serangan nekat! Akan tetapi, pukulan tangan wanita itu ditangkis dan pertemuan kedua tangan itu membuat Nyi Endang Sawitri yang jauh kalah kuat itu terpelanting. Pada saat itu, Ki Dharmaguna cepat menghampiri isterinya untuk menolongnya, akan tetapi Gandarwo yang sudah marah sekali, maju dan menampar dengan tangannya ke arah kepala Dharmaguna.
"Plakk!" Tangan Gandarwo yang menampar itu bertemu dengan tangan Resi Bajrasakti yang menangkisnya.
"Anakmas Gandarwo, apakah Andika hendak merusak rencana kita? Suami isteri ini harus ditawan, bukan dibunuh!"
Resi Bajrasaktl menegur dan Gandarwo menyadari kesalahannya yang tadi terdorong oleh kemarahan. Gandarwo mengangguk dengan muka berubah merah.
"Saya mengerti, Paman. Saya tidak ingin membunuhnya, hanya memberi hajaran agar mereka jangan banyak tingkah!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri menghalang di depan Gandarwo yang agaknya hendak memberi hajaran kepada suami isteri itu.
"Gandarwo keparat busuk! Di mana-mana engkau menyebar kejahatan!" bentak gadis itu.
"Puspa Dewi...!" Gandarwo terkejut dan wajahnya berubah pucat karena gentar. Akan tetapi hanya sebentar karena dia ingat bahwa dia ditemani Resi Bajrasakti dan dua losin orang prajurit pengawal sehingga keberanian dan kesombongannya muncul dengan cepat, membuat mukanya menjadi merah karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang maju, tangan kanannya yang disaluri tenaga sakti sepenuhnya menampar ke arah kepala Puspa Dewil Puspa Dewi sudah tahu akan kekuatan Gandarwo. Senopati Muda Wura-wuri ini pernah mengeroyoknya bersama Cekel Aksomolo dan tiga orang senopati Wura-wuri lain, yaitu Tri Kala. Maka, melihat serangan tangan Gandarwo yang menamparnya, ia menangkis dan sekaligus mendorong.
"Wuuuuttt... desss...!"
Tubuh Gandarwo terlempar ke belakang sekitar dua tombak dan jatuh terjengkang, terbanting ke atas tanah sampai terdengar suara berdebuk dan debu mengebul. Dia bangkit duduk sambil mengelus pantatnya dan meringis kesakitan, malu, dan marah. Resi Bajrasakti melompat ke depan dan berhadapan dengan Puspa Dewi.
"Heh-heh-heh!" Kakek tinggi besar itu terkekeh sambil menatap wajah Puspa Dewi. "Kiranya Andika. Bukankah Andika ini Puspa Dewi, Sekar Kedaton Wura-wuri, murid dan anak angkat Nyi Dewi Durgakumala permaisuri Wura-wuri? Andika yang mengkhianati Wura-wuri dan berbalik membantu keturunan Mataram, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?"
"Resi Bajrasakti, ternyata sejak dulu sampai sekarang Andika tetap menjadi seorang datuk sesat yang jahat. Dulu Andika pernah menculik aku, dan sekarang Andika menculik Paman dan Bibi ini. Dari dulu sampai sekarang Andika tukang menculik orang, betapa rendahnya perbuatanmu. Aku bukan Sekar Kedaton Wura-wuri, juga bukan anak Dewi Durgakumala yang pernah menjadi guruku. Karena melihat Wura-wuri dan sekutunya semua jahat dan angkara-murka, maka aku tidak sudi membantu. Aku lebih suka membela Kahuripan, karena aku kawula Kahuripan dan lebih suka membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bijaksana"
Selagi Resi Bajrasakti dan Puspa Dewi bicara, diam-diam Gandarwo menyuruh seorang prajurit untuk cepat pergi mencari bala bantuan dan empat orang lain yang memiliki kedigdayaan cukup, dia suruh menyergap dan menangkap Dharmaguna dan Endang Sawitri. Kemudian, sambil mencabut pedangnya dan memberi aba-aba kepada Sembilan belas prajurit yang lain dia berseru nyaring.
"Bunuh pengkhianat Wura-wuri ini"
Akan tetapi Resi Bajrasakti mempunyai pendapat lain. Kalau dia dapatmenangkap hidup-hidup gadis ini dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala, tentu permaisuri Wura-wuri itu akan senang sekali dan berterima kasih sehingga hal ini akan mempererat hubungan antara Wura-wuri dan Wengker.
"Anakmas Gandarwo, jangan bunuh Puspa Dewi. Kita memerlukan ia hidup-hidup!" katanya dengan suara yang berpengaruh.
Mendengar bentakan Itu, Ki Gandarwo teringat bahwa Puspa Dewi adalah murid dan anak angkat Permaisuri Dewi Durgakumala yang telah memberontak terhadap Wurawuri, maka kalau dapat menangkapnya hidup-hidup dan menyeretnya ke depan kaki permaisuri itu, tentu akan menyenangkan hatinya. Biar permaisuri sendiri yang akan menghukum gadis pengkhianat ini. Maka dia pun memberi aba-aba baru.
"Tangkap pengkhianat ini hidup-hidup!"
Resi Bajrasakti mulai dengan serangan yang mengandung kekuatan sihir. Dia membentak dan bentakan ini menggelegar, mengandung getaran yang amat kuat, yang khusus ditujukan kepada Puspa Dewi. Datuk Wengker yang sakti mandraguna ini agaknya memandang rendah kepada Puspa Dewi karena menganggap bahwa gadis itu hanya murid Nyi Dewi Durgakumala. Kalau gurunya hanya setingkat dengan dia, maka muridnya tentulah merupakan lawan yang lunak, begitu pikirnya maka ia menyerang dengan kekuatan sihirnya untuk melumpuhkan lawan.
"Puspa Dewi, menyerah dan berlututlah engkau!"
Akan tetapi Resi Bajrasakti salah perhitungan. Nyi Dewi Durgakumaja telah menurunkan seluruh ilmunya kepada Puspa Dewi yang amat disayangnya dan karena Puspa Dewi berbadan bersih tidak seperti Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi hamba nafsunya sendiri, juga karena Puspa Dewi jauh lebih muda.
Karena itu, tidaklah mengherankan apabila setelah tamat belajar dari Nyi Dewi Durgakumala, tingkat gadis Itu sudah melebihi tingkat gurunya. Apa lagi la bertemu dengan Sang Maha Resi Satyadharma dan digembleng oleh guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini selama tiga bulan. Tentu saja tingkat kepandaian gadis itu sudah melonjak tinggi, jauh melampaui tingkat Nyi Dewi Durgakumala.
Sebelum digembleng Maha Resi Satyadharma la telah memiliki kekuatan sihir dari ajaran Nyi Dewi Durgakumala yang dapat menandingi kekuatan sihir Resi Bajrasakti. Maha Resi Satyadharma sama sekali tidak mengajarkan jlmu sihir yang dianggap ilmu yang berbahaya dan condong menyeret pemiliknya ke arah perbuatan jahat.
Dia hanya memberi pelajaran menghimpun tenaga sakti yang datang sebagai anugerah Sang Hyang Widhi dan kekuatan ini mampu menghalau segala macam kekuatan sihir yang. menyerangnya. Karena itu, ketika Resi Bajrasakti menyerangnya dengan sihir, Puspa Dewi sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang kekuatan sihir yang menerpanya itu tidak lebih dari angin semilir lalu saja.
Melihat serangan dengan sihir itu tidak mempengaruhi Puspa Dewi, Resi Bajrasakti menjadi penasaran. Dia lalu mengerahkan Aji Panglimutan. Dengan pengerahan aji kesaktian ini, biasanya dia dapat menghilang, atau tidak tampak oleh lawan sehingga dia akan dapat dengan mudah meringkus gadis itu.
Setelah mengerahkan Aji Panglimutan, Resi Bajrasakti lalu menubruk dan hendak meringkus tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi menggerakkan tangannya, menampar kakek yang maju hendak meringkusnya itu. Ternyata Aji Panglimutan itu pun tidak dapat mempengaruhinya dan ia tetap dapat melihat lawan yang hendak meringkusnya itu, maka ia menyambut dengan tamparan. Resi Bajrasakti terkejut dan cepat dia menggerakkan tangan menangkis tamparan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Wuuuttt... dukkk!"
Tubuh Resi Bajrasakti terhuyung karena ketika lengan mereka beradu, dia merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari tangan gadis itu!
Melihat betapa Resi Bajrasakti terhuyung, Ki Gandarwo berseru kepada sembilan belas orang prajurit.
"Kepung, tangkap gadis ini!"
Puspa Dewi dikeroyok. Tangan-tangan yang besar berbulu itu seolah berlomba untuk menangkap dan meringkusnya. Puspa Dewi menggerakkan kaki tangannya dengan cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang dan ke mana pun kaki atau tangannya mencuat, tentu seorang pengeroyok telah dapat ia robohkan.
Teriakan demi teriakan terdengar disusul tubuh para pengeroyok berpelantingan. Biarpun Puspa Dewi tidak memberi pukulan maut kepada mereka, namun mereka menderita patah tulang dan juga kehilangan nyali, tidak berani lagi berdiri dan hanya mendekam dan merintih memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan atau tendangan yang dahsyat, bagaikan petir menyambar. Dalam waktu singkat delapan orang prajurit telah roboh dan sisanya yang sebelas orang menjadi jerih untuk mendekati gadis sakti mandraguna itu.
Pada saat itu prajurit yang diutus Gandarwo mencari bala bantuan sudah pergi jauh dan empat orang prajurit yang diutus mengamankan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri sudah cepat turun tangan meringkus suami isteri itu. Percuma saja Nyi Endang Sawitri melawan. Ia tidak dapat menandingi empat orang prajurit yang rata-rata memiliki tenaga kuat itu dan sebentar saja suami isteri itu telah dapat diringkus, dinaikkan kereta yang segera dilarikan cepat meninggalkan tempat itu
Puspa Dewi yang sedang dikepung dan dikeroyok banyak orang tidak melihat hal ni. Pula, ia memang tidak mengenal suami isteri itu. Kalau tadi ia turun tangan, adalah karena melihat suami isteri itu diperlakukan kasar. Ketika Kl Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri tinggal di Karang Tirta, ia sendiri masih kecil. Bahkan ketika suami lsterl itu diam-diam meninggalkan Karang Tirta, la baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun, sehingga tentu saja ia tidak mengenal suami isteri itu.
Sementara itu, Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo terkejut bukan main melihat betapa sebagian anak buah mereka berpelantingan dihajar tendangan dan tamparan gadis perkasa itu. Merasa bahwa sekarang malah pihak mereka yang terancam bahaya, Resi Bajrasakti lalu berseru, "Pergunakan senjata! Bunuh gadis ini!" Dia sendiri sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cambuk bergagang gading.
"Tar-tar-tarr...!" Resi Bajrasakti memutar-mutar cambuk itu di atas kepalanya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika ujung cambuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan asap.
Melihat rekannya sudah mengeluarkan senjata, Ki Gandarwo juga mencabut pedangnya. Demikian pula, sisa prajurit yang masih ada sebelas orang itu mencabut senjata golok mereka dan mengepung Puspa Dewi.
Puspa Dewi maklum bahwa kini la menghadapi lawan yang cukup berat. Kalau berkelahi dengan mereka hanya menggunakan tangan kosong, ia masih, dapat mengandaikan kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga saktinya. Akan tetapi semua orang itu memegang senjata, apa lagi Resi Bajrasakti amat berbahaya dengan cambuknya dan Ki Gandarwo juga bukan lawan ringan kalau sudah menggunakan pedangnya.
Untuk dapat menjaga dan membela diri dengan baik, Puspa Dewi lalu menggerakkan tangannya ke arah punggung dan begitu ia mencabut, tampak sinar hitam dari pedang pusakanya Cadrasa Langking, pemberian guru pertamanya yang juga merupakan ibu angkatnya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.
Kini terjadilah perkelahian hebat. Setelah mereka semua memegang golok, sebelas orang prajurit pengawal itu menjadi berani dan mereka mengepung dan menyerang Puspa Dewi secara bertubi-tubi dengan cara menyerang lalu melompat menjauh. Yang bertanding dengan seru melawan Puspa Dewi adalah Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo.
Resi Bajrasakti sekarang baru menyadari bahwa Puspa Dewi telah menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, sakti mandraguna dan pemberani. Karena sekarang dia melihat betapa gadis Ini harus dirobohkan kalau terpaksa dibunuh, maka selain menggunakan cambuknya untuk menyerang, dia juga mempergunakan berbagai aji kesaktiannya untuk merobohkan gadis yang amat tangguh itu.
Mula-mula dia menyelingi serangan cambuknya dengan menyambitkan senjata rahasia pasir sakti Bramara Sewu. Pasir itu seolah berubah menjadi sekawanan lebah yang menyerang seluruh tubuh bagian depan Puspa Dewi. Akan tetapi, pedang Candrasa Langlang yang membentuk perisai gulungan sinar hitam meruntuhkan semua pasir sakti itu.
Melihat serangan pasir saktinya gagal, berturut-turut Resi Bajrasakti mengerah-kan berbagal aji pukulannya yang ampuh. Dengan tangan kirinya dia menyelingi sambaran cambuknya dengan A}1 Wlsa Langking. Tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang mengandung racun hitam, namun uap hitam yang menyambar ke arah Puspa Dewi Itu ambyar (pecah berantakan) ketika disambar hawa pukulan tangan kiri Puspa Dewi.
Berturut-turut Resi Bajrasakti menyerang dengan AJI Pukulan Gelap Sewu dan Sihung Naga, namun semua Itu tidak berhasil karena dapat dihadang oleh dorongan tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung Aji Guntur Genl yang sudah dipoles gemblengan Maha Resi Satyadharma. Akhirnya, Resi Bajrasakti mencurahkan semua perhatian dan mengerahkan. seluruh tenaganya untuk menyerang dengan cambuknya yang memainkan Aji Pecut Tatit Geni.
Ki Gandarwo juga mengirim serangan-serangan maut dengan pedangnya, dibantu sebelas orang prajurit dengan golok mereka. Delapan orang prajurit yang terluka dan tidak mampu mengeroyok lagi kini sudah menjauhi tempat perkelahian. Dikeroyok demikian banyaknya orang, Puspa Dewi tidak merasa kerepotan. Akan tetapi karena ia tidak ingin membunuh orang, maka pedangnya hanya ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan senjata itu. Ia bagaikan seekor harimau betina yang dikeroyok segerombolan srigala.
Sementara itu, ketika kereta yang membawa Dharmaguna dan Endang Sawitri belum jauh dilarikan empat orang prajurit Wura-wuri, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang pemuda menghadang di depan kereta. Dua ekor kuda penarik kereta terkejut dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas, akan tetapi pemuda itu dengan sigap menangkap kendali dua ekor kuda dan menariknya ke bawah. Dua ekor kuda itu berdiri, tidak mampu meronta lagi, tubuh mereka gemetaran seperti ketakutan. Prajurit yang menjadi kusir terkejut dan segera membentak marah.....
Komentar
Posting Komentar