NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-18
Puspa Dewi menghadapi serangan itu dengan tenang. Setelah menerima
gemblengan selama setahun dari Sang Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi.
selalu tenang dan waspada. Ia tidak marah diserang orang yang sedang
kesetanan ini, apa lagi mendengar orang itu memakl-maki orang Wengker
dan Wura-wuri, Ini berarti bahwa laki-laki Ini menjadi musuh orang
Wengker dan Wura-wuri.
Ketika sepasang golok itu menyambar-nyambar, Puspa Dewi menggunakan keringanan dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak. Kalau saja ia menghendaki, tentu ia dapat membalas dengan serangan ampuh untuk melukai atau menewaskan orang itu. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya karena maklum bahwa orang ini mengamuk kesetanan karena dilanda duka yang amat berat, apa lagi orang ini memusuhi Wengker dan Wura-wuri.
Bagaimana pun juga, serangan Ki Tejoranu cukup berbahaya. Kalau Puspa Dewi tidak memiliki gerakan yang amat cepat, ia tentu terancam bahaya. Karena tidak ingin mencelakai orang yang mengamuk ini, Puspa Dewi tidak mencabut pedangnya. Akan tetapi setelah mendapat kesempatan baik, ia mendorongkan tangan kirinya sambil membentak.
"Tahan! Aku mau bicara!" Tangannya mendorong ke arah tubuh Ki Tejoranu.
Angin dahsyat menyambar dan Ki Tejoranu tidak mampu bertahan terhadap dorongan angin dahsyat itu. Dia terhuyung-huyung ke belakang dan hanya dengan pok-sai (salto) tiga kali dia dapat mencegah tubuhnya terbanting ke atas tanah. Tentu saja dia terkejut bukan main karena apa yang dilakukan gadis tadi membuktikan bahwa ia memiliki tenaga sakti yang hebat!
"Kisanak, tenang dan bersabarlah dahulu. Aku tidak mengenalmu dan engkau pun tidak mengenalku, di antara kita tidak ada urusan apa pun juga. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Apa engkau ingin membunuh orang yang sama sekali tak bersalah padamu?"
"Hemm, engkau tentu orang Wengker atau Wura-wuri!" Ki Tejoranu membentak sambil menyilangkan goloknya di depan dada, siap untuk menyerang lagi.
"Engkau keliru, Kisanak. Aku justru dimusuhi orang Wengker dan Wura-wuri. Aku malah hendak bertanya kepadamu, apakah engkau melihat orang-orang Wengker membawa lari ibuku..."
"Ibumu..." Ki Tejoranu memotong. "Ibumu itu Nyi Lasmi?"
Puspa Dewi girang sekali. "Engkau mengenal Ibuku? Di mana dia? Apakah yang terjadi dengan Ibuku dan siapakah engkau ini, siapa pula wanita yang meninggal dan jenazahnya engkau perabukan itu?"
Ki Tejoranu menengok ke arah api yang masih berkobar membakar jenazah adiknya. Lalu ia memandang iagi kepada Puspa Dewi. Dia teringat akan cerita Nyi Lasmi bahwa puteri wanita itu adalah seorang gadis yang sakti dan bernama Puspa Dewi.
"Engkau yang bernama Puspa Dewi?"
"Benar, Kisanak. Aku puteri Ibu Lasmi. Engkau melihat ia? Di mana ia sekarang?"
"Bibi Lasmi selamat dan ia berada bersama Ki Patih Narotama." jawab Ki Tejoranu singkat dan dia sudah menyimpan kembali sepasang goloknya lalu duduk di atas tanah memandang kobaran api yang membakar jenazah adiknya.
Lega rasanya hati Puspa Dewi mendengar bahwa ibunya dalam keadaan selamat, apa lagi bersama Ki Patih Narotama. Hatinya lega dan girang. Akan tetapi la ingin sekali tahu apa yang terjadi dan bagaimana orang yang bicaranya pelo (cadel) ini dapat mengenal ibunya, bahkan tahu namanya.
"Apa yang telah terjadi, Kisanak? Engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenal namamu. Siapakah engkau?"
Ki Tejoranu mengerutkan alisnya. "Nona, aku sedang dilanda duka dan sekarang sedang memperabukan jenazah adikku tersayang. Jika engkau mau bicara, harap suka menanti sampai aku selesai mengurus jenazah adikku. Apa bila engkau tidak sabar menunggu, tinggalkan saja aku."
"Maaf," kata Puspa Dewi dan ia dapat memaklumi orang ini. "Aku akan menunggu." Ia lalu pergi menjauh dan duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah api yang berkobar membakar jenazah yang kini sudah kehilangan bentuknya itu.
Menjelang tengah hari, perabuan jenazah itu pun selesai. Dapat berlangsung cepat karena Ki Tejoranu selalu menambahkan kayu kering sehingga api selalu berkobar. Setelah api padam, Ki Tejoranu menyingkirkan arang dan abu kayu, mengumpulkan abu jenazah yang warnanya keputihan. Dia bingung mencari tempat untuk abu adiknya dan teringat bahwa dia malam tadi meninggalkan semua buntalan pakaian di rumah kelurahan. Dia lalu membuka baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk membungkus abu jenazah.
Setelah abu dibungkus lalu dia talikan di punggung, Ki Tejoranu menoleh ke arah Puspa Dewi yang masih duduk bersila di bawah pohon. Ki Tejoranu menghampiri gadis itu dan duduk di atas akar pohon yang menonjol di tanah. Mereka duduk berhadapan.
"Sekarang aku dapat menceritakan semua apa yang ingin engkau ketahui, Nona."
"Terima kasih, Kisanak. Pertama aku ingin mengetahui, siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal Ibuku." kata Puspa Dewi, tidak memberondongkan banyak pertanyaan seperti tadi.
"Namaku Tejoranu, dahulu namaku The Jiauw Lan dan..." dia menepuk buntalan abu di punggungnya. "...ini adalah abu adikku, The Kim Lan. Kami berdua sedang melakukan perjalanan beberapa hari yang lalu dan di tengah perjaianan kami melihat seorang wanita dibawa dengan paksa oleh serombongan orang dari Wengker..."
"Ibuku...!"
"Benar, wanita itu Bibi Lasmi. Kami berdua lalu turun tangan menolongnya dan berhasil mengusir orang-orang jahat dari Wengker itu. Kami lalu mengantar ibumu menuju ke Karang Tirta. Akan tetapi muncul belasan orang, yaitu orang-orang dari Wengker yang telah kami usir bersama orang-orang dari Wura-wuri. Kami dikeroyok dan pada saat kami kerepotan menghadapi pengeroyokan banyak orang tangguh itu, Bibi Lasmi dilarikan dua orang warok dari Wengker dan kami tidak dapat menghalangi karena kami dikeroyok dengan ketat."
"Hemm, mereka memang jahat dan curang!" kata Puspa Dewi sambil mengerutkan alis dengan khawatir mendengar ibunya dilarikan orang sedangkan kakak beradik itu tidak dapat menghalangi.
"Kami berdua memang terdesak hebat karena di antara orang-orang Itu terdapat beberapa orang sakti dan tangguh sekali. Akan tetapi kami mempertahankan diri sekuat dan semampu kami. Pada saat yang gawat bagi kami itu, muncullah Ki Patih Narotama yang ternyata telah berhasil menolong Bibi Lasmi. Ki Patih Narotama lalu membantu kami dan orang-orang jahat dari Wengker dan Wura-wuri itu melarikan diri."
"Ah, sukurlah, kalian berdua tertolong dan ibuku selamat. Akan tetapi mengapa Adikmu..." Puspa Dewi menunjuk ke arah buntalan abu di punggung Ki Tejoranu.
Ki Tejoranu mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Sinar matanya menjadi sayu, wajahnya muram dan dia tampak sedih sekali. Dia tidak mau menceritakan bahwa adiknya tergila-gila mencinta Ki Patih Narotama namun cintanya ditolak patih itu. Dia menjawab dengan lirih dan singkat.
"Kami berempat lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Malam tadi kami menginap di rumah Ki Lurah Magel. Kemudian datang orang-orang hendak menyerang dan membunuh Ki Patih Narotama. Kim Lan segera naik ke atas atap untuk menyambut orang-orang jahat itu biarpun Ki Patih Narotama sudah melarangnya karena musuh-musuh itu amat sakti. Aku segera mengikutinya dan ketika tiba di atas genteng, kami melihat dua orang dan kami segera bertanding melawan dua orang yang ternyata tangguh sekali itu. Dan dalam perkelahian ini... Adikku... Kim Lan... terkena tikaman keris terbang di punggungnya sehingga ia tewas..." Ki Tejoranu berhenti bercerita karena kesedihan telah menekannya kembali.
"Ahh...!" Puspa Dewi ikut merasa terharu. "Akan tetapi, apakah Ki Patih Narotama tidak membantu kalian? Bukankah dia sakti mandraguna?"
"Ki Patih Narotama sendiri sibuk menghadapi serangan ilmu sihir yang berbahaya. Dia memang kemudian muncul, namun telah terlambat. Dia mengusir penjahat-penjahat itu, akan tetapi Kim Lan sudah roboh terluka parah dan akhirnya ia meninggal..."
Sunyi mengikuti akhir cerita Ki Tejoranu. Ki Tejoranu diam tenggelam ke dalam lautan duka, sedangkan Puspa Dewi terdiam karena terharu dan kasihan. Dari penuturan itu tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menolong ibunya dan penolong itu sekarang sedang menderita duka yang amat mendalam karena kematian adiknya. "Ki Tejoranu" akhirnya Puspa Dewi berkata lirih dan lembut. "Apakah engkau akan membawa abu jenazah Kim Lan itu kepada keluargamu?"
"Keluargaku? Ah, Adikku inilah satu-satunya keluargaku di dunia ini. Aku hanya hidup berdua dengan adikku, merantau di sini, jauh dari negeri Cina dari mana kami berasal, ia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan sekarang... sekarang..." Ki Tejoranu terisak, lalu dia bangkit berdiri lari meninggalkan Puspa Dewi.
"Ki Tejoranu...!" Puspa Dewi memanggil namun laki-laki itu terus berlari dengan cepat. Kalau ia mau, tentu Puspa Dewi akan dapat menyusulnya. Ia ingin minta keterangan lebih jelas di mana ibunya kini berada. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Ki Tejoranu dan tidak mau mengganggunya.
Apa lagi tadi Ki Tejoranu telah menceritakan bahwa peristiwa semalam itu terjadi di rumah kelurahan Magel. Maka Puspa Dewi juga segera meninggalkan tempat itu dan akhirnya ia memperoleh keterangan di mana adanya kelurahan Magel. Setelah ia tiba di dusun Magel dan mencari ke kelurahan, ia mendapat kabar bahwa ibunya bersama Ki Patih Narotama baru saja telah meninggalkan Magel menuju ke Karang Tirta.
Puspa Dewi segera melakukan pengejaran dan tak lama kemudian ia dapat menyusul Ki Patih Narotama yang menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain yang ditunggangi Nyi Lasmi. Karena Ibunya tidak pandai menunggang kuda, tentu saja perjalanan itu dilakukan lambat-lambat saja.
"Ibu...!" Puspa Dewi berseru.
Ki Patih Narotama sudah menghentikan kudanya dan Nyi Lasmi yang mendengar suara itu, walau pun ia belum melihat orangnya, sudah berseru girang, "Puspa Dewi...!"
"Bagus sekali Andika datang, Puspa Dewi." kata Ki Patih Narotama sambil melompat turun dari atas kudanya.
Puspa Dewi menurunkan ibunya dan berangkulan. Ia lalu memberi sembah hormat kepada Ki Patih Narotama.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas pertolongan Paduka kepada ibu hamba." kata Puspa Dewi dengan hormat.
"Bagaimana engkau bisa mendapatkan kami di sini?" Tanya Ki Patih Narotama.
"Tadi pagi hamba bertemu dengan Ki Tejoranu, Gusti Patih."
Mendengar ini, Ki Patih Narotama tertarik, dan bertanya dengan suara ingin tahu sekali. "Ah, benarkah? Lalu bagaimana dengan dia?"
"Engkau melihat Ki Tejoranu, Puspa Dewi? Lalu apakah engkau melihat... jenazah Kim Lan...?" Nyi Lasmi ikut bertanya karena ia merasa amat iba kepada kakak beradik yang sudah akrab sekali dengannya itu.
"Hamba melihat Ki Tejoranu sedang memperabukan jenazah adiknya di atas sebuah bukit. Ketika hamba mendekati dia mengamuk dengan sepasang goloknya, merontokkan daun-daun dan ranting-ranting pohon. Ketika melihat hamba, dia malah menyerang hamba dengan goloknya mengira bahwa hamba orang Wengker atau orang Wura-wuri. Setelah hamba jelaskan, dia lalu menceritakan tentang kematian adiknya oleh penjahat Wengker dan Wurawuri dan dialah yang menceritakan di mana adanya Ibu dan Paduka. Maka hamba lalu menyusul ke dusun Magel dan akhirnya dapat menyusul ke sini."
Ki Patih Narotama memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan betapa sedihnya hati Ki Tejoranu sehingga dia mengamuk dengan sepasang goloknya!
"Kebetulan sekali Andika datang, Puspa Dewi. Sekarang engkau dapat mengantarkan ibumu ke Karang Tirta dan berboncengan kuda sehingga perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Aku masih mempunyai urusan lain. Nah, kita berpisah di sini." Ki Patih Narotama lalu melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.
"Aduh, kasihan sekali orang-orang muda itu. Betapa sering kali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke dalam lembah kekecewaan dan kedukaan."
"Apa maksud Ibu?" tanya Puspa Dewi yang mengira bahwa ibunya menyinggung keadaan ibunya dengan ucapan itu.
"Puspa Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan ke Karang Tirta. Kasihan keluarga Ki Lurah Pujosaputro. Nanti dalam perjalanan akan kuceritakan semua pengalamanku dan engkau juga menceritakan pengalamanmu selama kita berpisah."
Puspa Dewi lalu mengangkat ibunya ke atas punggung kuda dan ia sendiri meloncat dan duduk di belakangnya. Agar mereka dapat bicara dengan leluasa, ia hanya menjalankan kudanya lambat-lambat.
"Ibu, aku telah mendengar di Karang Tirta bahwa Ibu dibawa lari orang-orang Wengker, lalu aku melakukan pengejaran ke Wengker dan mendengar bahwa Ibu dibawa ke Wura-wuri. Dari Ki Tejoranu aku mendengar bahwa Ibu telah ditolong oleh dia dan Adiknya, lalu ditolong pula oleh Gusti Patih Narotama. Nah, apa yang sesungguhnya terjadi, Ibu?"
"Semua itu ulah Suramenggala yang sekarang menjadi tumenggung di Wengker. Dia hendak memaksa aku kembali menjadi keluarganya. Aku teguh menolak dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim aku dan menyerahkannya ke Wura-wuri dengan maksud untuk memaksa engkau menyerahkan diri kepada Adipati Wura wuri."
"Hemm, aku sudah menduga begitu, Ibu. Sekarang aku sudah jelas mengetahui apa yang ibu alami ketika diculik. Akan tetapi apa maksud kata-kata ibu tadi yang mengatakan bahwa seringkali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke alam lembah kedukaan?"
Nyi Lasmi menghela napas panjang. "Yang kumaksudkan adalah mengenai diri The Kim Lan."
"Mengapa dengan Kim Lan, Ibu?"
"Sesungguhnya, gadis yang malang itu, yang amat akrab dengan ku, seperti -anak sendiri, ia sengaja menyambut musuh yang sakti untuk membela Gusti Patih Narotama, sama dengan membunuh diri."
"Eh? Apa maksud ibu?"
"Begini, Anakku. Kim Lan malam itu berterus terang kepadaku bahwa ia jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan Ia ingin agar diterima suwita, menjadi selir Gusti Patih. Akan tetapi, Gusti Patih Narotama agaknya menolaknya sehingga gadis itu putus asa. Ia sendiri bilang kepadaku bahwa kalau tidak dapat menjadi isteri Ki Patih Narotama, hidup tiada artinya lagi dan ia lebih suka mati. Ketika ada musuh sakti menyerang, ia nekat menyambut sehingga ia terluka dan tewas."
"Ahhh... menyedihkan sekali, Ibu. Dan bagaimana dengan Kakaknya?"
"Tejoranu? Tentu saja hatinya hancur lebur dan dia lari membawa jenazah Adiknya. Mungkin dia juga menyesal bahwa cinta dan penyerahan diri adiknya kepada Gusti Patih Narotama ditolak. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu Puspa Dewi."
"Cerita dari pengalamanku berbeda jauh dengan apa yang kau alami, Ibu. Pengalamanku sungguh menggembirakan dan membahagiakan kita semua."
"Hemm, bagaimana ceritanya? Apakah engkau telah bertemu dengan Kakang Prasetyo?"
"Bukan hanya Ayah, aku telah bertemu dengan mereka semua! Ayah, Ibu Dyah Mularsih, Niken Harni puteri mereka, juga Kakek Tumenggung Jayatanu dan isterinya. Dan tahukah Ibu, mereka menyambut kedatanganku dengan gembira dan ramah sekali! Agaknya Ibu salah paham terhadap mereka. Kakek Tumenggung Jayatanu baik sekali dan merasa menyesal bahwa dia telah menyebabkan Ibu berpisah dari Ayah. Nenek Jayatanu juga amat baik. Dan Ibu Dyah Mularsih dan puterinya, Niken Harni, mereka baik sekali, Ibu. Ibu Dyah Mularsih menganggap aku sebagai anaknya sendiri dan Niken Harni sangat sayang kepadaku. Ibu, mereka semua itu merasa menyesal bahwa Ibu telah meninggalkan Ayah. Mereka selalu berusaha untuk mencari Ibu, namun tidak berhasil. Dan sekarang mereka telah menanti di Karang Tirta!"
"Apa?" Nyi Lasmi terkejut. "Mereka di Karang Tirta?"
"Semua keluarga itu tidak mau ketinggalan, ikut bersama Ayah yang datang ke Karang Tirta untuk menyambut dan memboyong kita ke kota raja!"
"Ah, tidak...!"
"Ibu, percayalah. Mereka semua itu dengan hati tulus menginginkan ibu dan aku tinggal bersama mereka, menjadi satu keluarga dan Ibu akan dianggap tetap sebagai isteri pertama ayah. Ayah sekarang telah menjadi seorang Senopati Kahuripan, Ibu."
"Tidak, anakku... tidak...!" Nyi Lasmi lalu menangis.
Puspa Dewi menahan kudanya dan ia merangkul Ibunya dari belakang.
"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu menolak diboyong Ayah ke kota raja? Bukankah Ibu amat mencinta Ayah?"
Di antara tangisnya Nyi Lasmi pun berkata, "Justeru karena aku sangat mencintai dan menghormatinya, aku tidak bisa dan tidak boleh menerima ajakannya itu. Bahkan aku tidak boleh bertemu muka dengan Kakang Prasetyo...!" Tangisnya semakin mengguguk.
Puspa Dewi melompat turun dari atas kuda dan menurunkan ibunya. Nyi Lasmi mendeprok di atas rumput sambil menangis sedih. Puspa Dewi merangkulnya.
"Ibu, katakan, mengapa ibu berpendapat begitu? Apakah ibu tidak percaya omonganku bahwa mereka semua amat baik dan ramah, semua mengharapkan Ibu tinggal serumah dengan mereka sebagai anggauta keluarga? Sesungguhnya, ibu. Aku sama sekali tidak berbohong!"
"Ohh... aku tidak berharga lagi, Puspa Dewi. Aku tidak pantas bertemu muka dengan Ayahmu! Aku sudah kotor dan hina Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu muka dengan Kakang Prasetyo? Kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi selir Ki Suramenggala yang jahat! Ah, kalau keluarga Tumenggung Jayatanu, kalau Isteri Kakang Prasetyo tahu, betapa malunya aku! Mereka tentu akan mencemooh dan menghinaku habis-habisan! Tidak, Puspa Dewi, lebih baik aku mati daripada menghadapi semua penghinaan itu. Aku tidak sanggup menghadapinya...!"
Puspa Dewi mengusap air mata yang membasahi muka ibunya. "Mereka tidak akan memandang rendah kepadamu, Ibu. Apa ibu mengira aku berdiam diri saja kalau ada orang menghina dan memandang rendah kepada ibu? Mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu, mereka bahkan merasa kasihan sekali kepada Ibu yang hidup menderita. Ayah dan semua keluarga sudah tahu, Ibu. Aku sudah memberitahu kepada mereka, menceritakan semua pengalaman ibu. Ayah tidak menyalahkan Ibu, bahkan semakin menyesali sikapnya sendiri dulu. Semua akan menerima Ibu dan menghormati Ibu. Aku yakin akan hal Ini. Mereka sekarang sedang menanti di Karang Tirta."
"Apa...? Mereka..Ayahmu... sudah tahu bahwa aku pernah menjadi selir Suramenggala?"
"Benar, ibu. Aku sudah menceritakan semuanya dan mereka sama sekali tidak menyalahkan ibu. Semua keluarga mengikuti aku datang ke Karang Tirta dan ketika kami mendengar bahwa ibu diculik dan keluarga Paman Lurah Pujosaputro dibunuh penjahat, mereka semua marah sekali dan aku tidak tahu apa yang sekarang mereka lakukan karena aku meninggalkan mereka di sana untuk mengejar dan mencari Ibu. Marilah, Ibu. Aku yang menanggung bahwa tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan menghina Ibu."
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki banyak kuda datang ke arah mereka. Puspa Dewi siap siaga.
"Ibu, duduklah di bawah pohon itu dan jangan takut. Aku akan menghajar mereka yang berani mengganggumu!" Gadis itu dengan gagah berdiri di tengah jalan, menanti munculnya rombongan berkuda itu.
Senopati Yudajaya atau Prasetyo yang memimpin selusin orang prajurit pengawal itu menahan kudanya dan mengangkat tangan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti ketika dia melihat Puspa Dewi berdiri tegak di tengah jalan.
"Puspa Dewi...!" Serunya dan dia melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri gadis itu.
"Ayah...!" Puspa Dewi berseru, lega melihat bahwa rombongan berkuda itu adalah prajurit pengawal yang dipimpin Senopati Yudajaya.
"Puspa Dewi, bagaimana hasil pengejaranmu?"
Puspa Dewi hanya menjawab dengan gerakan ibu jarinya menuding ke arah ibunya.
"Diajeng Lasmi...!" Senopati Yudajaya berseru ketika dia melihat Lasmi duduk di bawah pohon dan wanita itu menangis. Dia lalu berlari menghampiri dan sudah berlutut dekat Nyi Lasmi.
"Diajeng Lasmi, bertahun-tahun aku mencarimu..." kata Yudajaya dengan suara terharu dan dia memegang kedua tangan bekas isterinya itu.
"Jangan...!" Nyi Lasmi melepaskan kedua tangannya dan bangkit berdiri. "Kakang Prasetyo..., jangan sentuh aku... aku... aku tidak pantas..."
"Hushh, Diajeng. Jangan bicara begitu, tak baik didengar para prajurit. Mari, mari kita ke Karang Tirta, semua keluarga menantimu. Di sana nanti kita bicara, Diajeng."
Puspa Dewi menghampiri mereka. "Ayah benar, ibu. Mari kita berangkat sekarang ke Karang Tirta."
Nyi Lasmi hanya mengangguk dan ketika beradu pandang dengan bekas suaminya, Nyi Lasmi merasa jantungnya berdebar. Betapa ia amat mencinta suaminya. Bahkan sampai sekarang pun! Memandang wajah suaminya yang kini Nampak kurus dan tua itu, ia merasa kasihan dan terharu sekali. Akan tetapi ia juga melihat dengan jelas betapa sinar mata Prasetyo masih seperti dulu kalau memandangnya, masih mengandung penuh kasih sayang.
Puspa Dewi tetap memboncengkan ibunya dan rombongan itu lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta dengan cepat. Senopati Yudajaya yang menunggang kuda di samping Puspa Dewi bertanya kepada gadis itu.
"Puspa Dewi, apakah engkau tidak melihat Nlken Harni?"
"Niken? Aku tidak melihatnya. Ia ke manakah, Ayah?"
"Hemm, itulah yang merisaukan hati. Ketika mendengar engkau pergi melakukan pengejaran terhadap para penculik dari Wengker itu, Niken Harni pergi tanpa pamit. Kami semua menduga bahwa ia tentu melakukan pengejaran pula untuk membantu mu menghadapi orang-orang Wengker."
"Ah, mengapa ia begitu sembrono?" Puspa Dewi berseru kaget. "Di Wengker terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna! Sungguh amat berbahaya kalau ia melakukan pengejaran memasuki Kadipaten Wengker!"
"Hemm, Niken Harni memang anak yang keras hati dan tidak mengenal takut. Aku khawatir sekali akan keselamatannya. Puspa Dewi, lalu bagaimana baiknya sekarang? Apakah aku bersama seregu pengawal ini akan melanjutkan saja ke Wengker mencari Niken Harni?" Senopati Yudajaya memberi isyarat untuk berhenti. Semua kuda berhenti. Mendengar ini, Nyi Lasmi berkata kepada puterinya.
"Puspa Dewi, sebaiknya engkau yang memiliki kesaktian dan dapat menjaga diri, segera pergi mencari Adikmu Niken Harni."
"Dan bagaimana dengan Ibu?" tanya Puspa Dewi.
"Ibumu akan kembali ke Karang Tirta bersama kami. Atau, kau pikir aku membawa seregu prajurit ini membantumu? Kalau begitu, biar dua orang prajurit mengantar Diajeng Lasmini pulang ke Karang Tirta dan aku bersama para prajurit pengawal ikut denganmu mencari Niken Harni."
"Ah, tidak, Ayah. Aku lebih leluasa kalau pergi sendiri. Aku akan mencari Adik Niken sampai dapat kutemukan dan kami akan segera pulang. Sebaiknya sekarang Ayah dan Ibu kembali ke Karang Tirta dan langsung saja pulang ke kota raja. Aku hanya titip ibuku, agar ia dapat berbahagia bersama Ayah dan semua keluarga di kota raja. Nah, aku pergi, Ayah. Ibu, aku pergi mencari Niken Harni."
Nyi Lasmi merangkul puterinya. "Hati-hatilah, Puspa Dewi, dan cari Adikmu sampai dapat ditemukan dengan selamat."
Puspa Dewi meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda menuju ke arah yang berlawanan. Setelah bayangan gadis dan kudanya lenyap di tikungan, Senopati Yudajaya menghampiri Nyi Lasmi.
"Aku kira anak kita Puspa Dewi sudah menceritakan semua kepadamu tentang kami sekeluarga."
Nyi Lasmi mengangguk.
"Kalau begitu, Diajeng. Mari kita segera kembali ke Karang Tirta, di sana keluarga kita telah menanti dengan hati gelisah."
Melihat para prajurit berada ditempat yang agak jauh dari situ, Nyi Lasmi berbisik. "Akan tetapi, Kakang Prasetyo, aku sudah tidak berharga, aku pernah menjadi selir Suramenggala..."
"Kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Diajeng. Dan kami sama sekali tidak menganggap engkau tidak berharga. Engkau melakukan hal itu dalam keadaan terpaksa ketika Puspa Dewi hilang diculik orang. Sudahlah, Diajeng, bagi kami, terutama bagi aku, engkau tetap Diajeng Lasmi yang dulu. Aku berjanji untuk menebus semua kesalahanku dahulu dengan membahagiakan mu, Diajeng. Tenangkan hatimu dan percayalah. Dyah Mularsih dan orang tuanya juga amat menantikanmu, mereka akan berbahagia sekali menerimamu karena hal itu akan membuat mereka merasa bebas dari kesalahan terhadap dirimu."
Lega rasa hati Lasmi mendengar ucapan suaminya yang dikeluarkan dengan nada sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar bermanis bibir untuk menghiburnya itu. Timbul keberaniannya untuk bertemu dengan madunya, Dyah Mularsih dan keluarga madunya itu. Ia pun tidak merasa canggung atau malu-malu lagi ketika ia diboncengkan suaminya duduk di atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, dikawal dua belas orang prajurit menuju ke Karang Tirta.
Mula-mula, karena dilihat selusin orang prajurit, ada juga rasa sungkan dan malu diboncengkan Prasetyo duduk berhimpitan di atas punggung kuda, akan tetapi setelah ia menyadari bahwa yang memboncengkannya itu adalah Prasetyo, suaminya yang sah, rasa sungkannya perlahan-lahan menghilang dan perasaan bahagia yang amat mendalam membuat ia tidak dapat menahan mengalirnya berbutir-butir air mata ke atas pipinya.
Senopati Yudajaya atau Prasetyo menyentuh pundak Lasmi dengan tangan kirinya. Sentuhan lembut lalu terdengar pertanyaannya dengan suara lembut pula.
"Diajeng Lasmi, mengapa engkau menangis?" Dia tidak mendengar tangisan yang bersuara, akan tetapi dari guncangan pundak Nyi Lasmi membuat dia menjenguk dan melihat betapa kedua pipi isterlnya basah oleh air mata yang menetes-netes dari kedua mata wanita itu.
Nyi Lasmi meletakkan tangan kirinya di atas tangan suaminya yang menyentuh pundaknya dan menggunakan tangan kanannya untuk mengusap air mata dari kedua pipinya, dan ia tersenyum.
"Kakang... aku... aku merasa berbahagia sekali..."
Tangan Prasetyo meremas lembut pundaknya, kemudian melepaskannya untuk memegang kendali kuda dan dia membalapkan kudanya. Dua belas orang prajurit yang mengiringkan di belakangnya juga membedal kuda mereka.
Akan tetapi setelah memasuki Dusun Karang Tirta dan kuda mereka menuju ke rumah Ki Lurah Pujosaputro yang bersama keluarganya telah dibantai gerombolan penjahat, kembali Nyi Lasmi merasa sungkan dan malu sehingga jantungnya berdebar penuh ketegangan. Rasanya ia sungkan dan khawatir sekali harus berhadapan muka dengan Tumenggung Jayatanu, Nyi Tumenggung, dan Dyah Mularsih. Ia merasa begitu rendah, seorang dusun bertemu dengan keluarga bangsawan, seorang miskin bertemu dengan keluarga kaya, dan ia bahkan pernah menjadi selir laki-laki lain pula! la merasa rendah dan tak berharga. Prasetyo merasa betapa tubuh yang duduk di depannya itu gemetar.
"Engkau mengapa, Diajeng?"
"Kakang... aku... aku malu, aku takut..."
"He-heh, mengapa malu dan takut, Diajeng? Engkau isteriku dan mereka semua akan menyambutmu dengan gembira. Engkau akan diterima dengan hormat. Percayalah, kalau mereka tidak akan bersikap demikian, tentu aku tidak berani mengajakmu pulang ke sini."
Ucapan suaminya ini agak membangkitkan keberanian Nyi Lasmi dan ketika kuda mereka memasuki halaman rumah mendiang Ki Lurah Pujosaputro, ia pun turun dan dengan tabah ia melangkah di samping suaminya menuju ke pendopo rumah kelurahan itu.....
Ketika sepasang golok itu menyambar-nyambar, Puspa Dewi menggunakan keringanan dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak. Kalau saja ia menghendaki, tentu ia dapat membalas dengan serangan ampuh untuk melukai atau menewaskan orang itu. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya karena maklum bahwa orang ini mengamuk kesetanan karena dilanda duka yang amat berat, apa lagi orang ini memusuhi Wengker dan Wura-wuri.
Bagaimana pun juga, serangan Ki Tejoranu cukup berbahaya. Kalau Puspa Dewi tidak memiliki gerakan yang amat cepat, ia tentu terancam bahaya. Karena tidak ingin mencelakai orang yang mengamuk ini, Puspa Dewi tidak mencabut pedangnya. Akan tetapi setelah mendapat kesempatan baik, ia mendorongkan tangan kirinya sambil membentak.
"Tahan! Aku mau bicara!" Tangannya mendorong ke arah tubuh Ki Tejoranu.
Angin dahsyat menyambar dan Ki Tejoranu tidak mampu bertahan terhadap dorongan angin dahsyat itu. Dia terhuyung-huyung ke belakang dan hanya dengan pok-sai (salto) tiga kali dia dapat mencegah tubuhnya terbanting ke atas tanah. Tentu saja dia terkejut bukan main karena apa yang dilakukan gadis tadi membuktikan bahwa ia memiliki tenaga sakti yang hebat!
"Kisanak, tenang dan bersabarlah dahulu. Aku tidak mengenalmu dan engkau pun tidak mengenalku, di antara kita tidak ada urusan apa pun juga. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Apa engkau ingin membunuh orang yang sama sekali tak bersalah padamu?"
"Hemm, engkau tentu orang Wengker atau Wura-wuri!" Ki Tejoranu membentak sambil menyilangkan goloknya di depan dada, siap untuk menyerang lagi.
"Engkau keliru, Kisanak. Aku justru dimusuhi orang Wengker dan Wura-wuri. Aku malah hendak bertanya kepadamu, apakah engkau melihat orang-orang Wengker membawa lari ibuku..."
"Ibumu..." Ki Tejoranu memotong. "Ibumu itu Nyi Lasmi?"
Puspa Dewi girang sekali. "Engkau mengenal Ibuku? Di mana dia? Apakah yang terjadi dengan Ibuku dan siapakah engkau ini, siapa pula wanita yang meninggal dan jenazahnya engkau perabukan itu?"
Ki Tejoranu menengok ke arah api yang masih berkobar membakar jenazah adiknya. Lalu ia memandang iagi kepada Puspa Dewi. Dia teringat akan cerita Nyi Lasmi bahwa puteri wanita itu adalah seorang gadis yang sakti dan bernama Puspa Dewi.
"Engkau yang bernama Puspa Dewi?"
"Benar, Kisanak. Aku puteri Ibu Lasmi. Engkau melihat ia? Di mana ia sekarang?"
"Bibi Lasmi selamat dan ia berada bersama Ki Patih Narotama." jawab Ki Tejoranu singkat dan dia sudah menyimpan kembali sepasang goloknya lalu duduk di atas tanah memandang kobaran api yang membakar jenazah adiknya.
Lega rasanya hati Puspa Dewi mendengar bahwa ibunya dalam keadaan selamat, apa lagi bersama Ki Patih Narotama. Hatinya lega dan girang. Akan tetapi la ingin sekali tahu apa yang terjadi dan bagaimana orang yang bicaranya pelo (cadel) ini dapat mengenal ibunya, bahkan tahu namanya.
"Apa yang telah terjadi, Kisanak? Engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenal namamu. Siapakah engkau?"
Ki Tejoranu mengerutkan alisnya. "Nona, aku sedang dilanda duka dan sekarang sedang memperabukan jenazah adikku tersayang. Jika engkau mau bicara, harap suka menanti sampai aku selesai mengurus jenazah adikku. Apa bila engkau tidak sabar menunggu, tinggalkan saja aku."
"Maaf," kata Puspa Dewi dan ia dapat memaklumi orang ini. "Aku akan menunggu." Ia lalu pergi menjauh dan duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah api yang berkobar membakar jenazah yang kini sudah kehilangan bentuknya itu.
Menjelang tengah hari, perabuan jenazah itu pun selesai. Dapat berlangsung cepat karena Ki Tejoranu selalu menambahkan kayu kering sehingga api selalu berkobar. Setelah api padam, Ki Tejoranu menyingkirkan arang dan abu kayu, mengumpulkan abu jenazah yang warnanya keputihan. Dia bingung mencari tempat untuk abu adiknya dan teringat bahwa dia malam tadi meninggalkan semua buntalan pakaian di rumah kelurahan. Dia lalu membuka baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk membungkus abu jenazah.
Setelah abu dibungkus lalu dia talikan di punggung, Ki Tejoranu menoleh ke arah Puspa Dewi yang masih duduk bersila di bawah pohon. Ki Tejoranu menghampiri gadis itu dan duduk di atas akar pohon yang menonjol di tanah. Mereka duduk berhadapan.
"Sekarang aku dapat menceritakan semua apa yang ingin engkau ketahui, Nona."
"Terima kasih, Kisanak. Pertama aku ingin mengetahui, siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal Ibuku." kata Puspa Dewi, tidak memberondongkan banyak pertanyaan seperti tadi.
"Namaku Tejoranu, dahulu namaku The Jiauw Lan dan..." dia menepuk buntalan abu di punggungnya. "...ini adalah abu adikku, The Kim Lan. Kami berdua sedang melakukan perjalanan beberapa hari yang lalu dan di tengah perjaianan kami melihat seorang wanita dibawa dengan paksa oleh serombongan orang dari Wengker..."
"Ibuku...!"
"Benar, wanita itu Bibi Lasmi. Kami berdua lalu turun tangan menolongnya dan berhasil mengusir orang-orang jahat dari Wengker itu. Kami lalu mengantar ibumu menuju ke Karang Tirta. Akan tetapi muncul belasan orang, yaitu orang-orang dari Wengker yang telah kami usir bersama orang-orang dari Wura-wuri. Kami dikeroyok dan pada saat kami kerepotan menghadapi pengeroyokan banyak orang tangguh itu, Bibi Lasmi dilarikan dua orang warok dari Wengker dan kami tidak dapat menghalangi karena kami dikeroyok dengan ketat."
"Hemm, mereka memang jahat dan curang!" kata Puspa Dewi sambil mengerutkan alis dengan khawatir mendengar ibunya dilarikan orang sedangkan kakak beradik itu tidak dapat menghalangi.
"Kami berdua memang terdesak hebat karena di antara orang-orang Itu terdapat beberapa orang sakti dan tangguh sekali. Akan tetapi kami mempertahankan diri sekuat dan semampu kami. Pada saat yang gawat bagi kami itu, muncullah Ki Patih Narotama yang ternyata telah berhasil menolong Bibi Lasmi. Ki Patih Narotama lalu membantu kami dan orang-orang jahat dari Wengker dan Wura-wuri itu melarikan diri."
"Ah, sukurlah, kalian berdua tertolong dan ibuku selamat. Akan tetapi mengapa Adikmu..." Puspa Dewi menunjuk ke arah buntalan abu di punggung Ki Tejoranu.
Ki Tejoranu mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Sinar matanya menjadi sayu, wajahnya muram dan dia tampak sedih sekali. Dia tidak mau menceritakan bahwa adiknya tergila-gila mencinta Ki Patih Narotama namun cintanya ditolak patih itu. Dia menjawab dengan lirih dan singkat.
"Kami berempat lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Malam tadi kami menginap di rumah Ki Lurah Magel. Kemudian datang orang-orang hendak menyerang dan membunuh Ki Patih Narotama. Kim Lan segera naik ke atas atap untuk menyambut orang-orang jahat itu biarpun Ki Patih Narotama sudah melarangnya karena musuh-musuh itu amat sakti. Aku segera mengikutinya dan ketika tiba di atas genteng, kami melihat dua orang dan kami segera bertanding melawan dua orang yang ternyata tangguh sekali itu. Dan dalam perkelahian ini... Adikku... Kim Lan... terkena tikaman keris terbang di punggungnya sehingga ia tewas..." Ki Tejoranu berhenti bercerita karena kesedihan telah menekannya kembali.
"Ahh...!" Puspa Dewi ikut merasa terharu. "Akan tetapi, apakah Ki Patih Narotama tidak membantu kalian? Bukankah dia sakti mandraguna?"
"Ki Patih Narotama sendiri sibuk menghadapi serangan ilmu sihir yang berbahaya. Dia memang kemudian muncul, namun telah terlambat. Dia mengusir penjahat-penjahat itu, akan tetapi Kim Lan sudah roboh terluka parah dan akhirnya ia meninggal..."
Sunyi mengikuti akhir cerita Ki Tejoranu. Ki Tejoranu diam tenggelam ke dalam lautan duka, sedangkan Puspa Dewi terdiam karena terharu dan kasihan. Dari penuturan itu tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menolong ibunya dan penolong itu sekarang sedang menderita duka yang amat mendalam karena kematian adiknya. "Ki Tejoranu" akhirnya Puspa Dewi berkata lirih dan lembut. "Apakah engkau akan membawa abu jenazah Kim Lan itu kepada keluargamu?"
"Keluargaku? Ah, Adikku inilah satu-satunya keluargaku di dunia ini. Aku hanya hidup berdua dengan adikku, merantau di sini, jauh dari negeri Cina dari mana kami berasal, ia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan sekarang... sekarang..." Ki Tejoranu terisak, lalu dia bangkit berdiri lari meninggalkan Puspa Dewi.
"Ki Tejoranu...!" Puspa Dewi memanggil namun laki-laki itu terus berlari dengan cepat. Kalau ia mau, tentu Puspa Dewi akan dapat menyusulnya. Ia ingin minta keterangan lebih jelas di mana ibunya kini berada. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Ki Tejoranu dan tidak mau mengganggunya.
Apa lagi tadi Ki Tejoranu telah menceritakan bahwa peristiwa semalam itu terjadi di rumah kelurahan Magel. Maka Puspa Dewi juga segera meninggalkan tempat itu dan akhirnya ia memperoleh keterangan di mana adanya kelurahan Magel. Setelah ia tiba di dusun Magel dan mencari ke kelurahan, ia mendapat kabar bahwa ibunya bersama Ki Patih Narotama baru saja telah meninggalkan Magel menuju ke Karang Tirta.
Puspa Dewi segera melakukan pengejaran dan tak lama kemudian ia dapat menyusul Ki Patih Narotama yang menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain yang ditunggangi Nyi Lasmi. Karena Ibunya tidak pandai menunggang kuda, tentu saja perjalanan itu dilakukan lambat-lambat saja.
"Ibu...!" Puspa Dewi berseru.
Ki Patih Narotama sudah menghentikan kudanya dan Nyi Lasmi yang mendengar suara itu, walau pun ia belum melihat orangnya, sudah berseru girang, "Puspa Dewi...!"
"Bagus sekali Andika datang, Puspa Dewi." kata Ki Patih Narotama sambil melompat turun dari atas kudanya.
Puspa Dewi menurunkan ibunya dan berangkulan. Ia lalu memberi sembah hormat kepada Ki Patih Narotama.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas pertolongan Paduka kepada ibu hamba." kata Puspa Dewi dengan hormat.
"Bagaimana engkau bisa mendapatkan kami di sini?" Tanya Ki Patih Narotama.
"Tadi pagi hamba bertemu dengan Ki Tejoranu, Gusti Patih."
Mendengar ini, Ki Patih Narotama tertarik, dan bertanya dengan suara ingin tahu sekali. "Ah, benarkah? Lalu bagaimana dengan dia?"
"Engkau melihat Ki Tejoranu, Puspa Dewi? Lalu apakah engkau melihat... jenazah Kim Lan...?" Nyi Lasmi ikut bertanya karena ia merasa amat iba kepada kakak beradik yang sudah akrab sekali dengannya itu.
"Hamba melihat Ki Tejoranu sedang memperabukan jenazah adiknya di atas sebuah bukit. Ketika hamba mendekati dia mengamuk dengan sepasang goloknya, merontokkan daun-daun dan ranting-ranting pohon. Ketika melihat hamba, dia malah menyerang hamba dengan goloknya mengira bahwa hamba orang Wengker atau orang Wura-wuri. Setelah hamba jelaskan, dia lalu menceritakan tentang kematian adiknya oleh penjahat Wengker dan Wurawuri dan dialah yang menceritakan di mana adanya Ibu dan Paduka. Maka hamba lalu menyusul ke dusun Magel dan akhirnya dapat menyusul ke sini."
Ki Patih Narotama memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan betapa sedihnya hati Ki Tejoranu sehingga dia mengamuk dengan sepasang goloknya!
"Kebetulan sekali Andika datang, Puspa Dewi. Sekarang engkau dapat mengantarkan ibumu ke Karang Tirta dan berboncengan kuda sehingga perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Aku masih mempunyai urusan lain. Nah, kita berpisah di sini." Ki Patih Narotama lalu melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.
"Aduh, kasihan sekali orang-orang muda itu. Betapa sering kali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke dalam lembah kekecewaan dan kedukaan."
"Apa maksud Ibu?" tanya Puspa Dewi yang mengira bahwa ibunya menyinggung keadaan ibunya dengan ucapan itu.
"Puspa Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan ke Karang Tirta. Kasihan keluarga Ki Lurah Pujosaputro. Nanti dalam perjalanan akan kuceritakan semua pengalamanku dan engkau juga menceritakan pengalamanmu selama kita berpisah."
Puspa Dewi lalu mengangkat ibunya ke atas punggung kuda dan ia sendiri meloncat dan duduk di belakangnya. Agar mereka dapat bicara dengan leluasa, ia hanya menjalankan kudanya lambat-lambat.
"Ibu, aku telah mendengar di Karang Tirta bahwa Ibu dibawa lari orang-orang Wengker, lalu aku melakukan pengejaran ke Wengker dan mendengar bahwa Ibu dibawa ke Wura-wuri. Dari Ki Tejoranu aku mendengar bahwa Ibu telah ditolong oleh dia dan Adiknya, lalu ditolong pula oleh Gusti Patih Narotama. Nah, apa yang sesungguhnya terjadi, Ibu?"
"Semua itu ulah Suramenggala yang sekarang menjadi tumenggung di Wengker. Dia hendak memaksa aku kembali menjadi keluarganya. Aku teguh menolak dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim aku dan menyerahkannya ke Wura-wuri dengan maksud untuk memaksa engkau menyerahkan diri kepada Adipati Wura wuri."
"Hemm, aku sudah menduga begitu, Ibu. Sekarang aku sudah jelas mengetahui apa yang ibu alami ketika diculik. Akan tetapi apa maksud kata-kata ibu tadi yang mengatakan bahwa seringkali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke alam lembah kedukaan?"
Nyi Lasmi menghela napas panjang. "Yang kumaksudkan adalah mengenai diri The Kim Lan."
"Mengapa dengan Kim Lan, Ibu?"
"Sesungguhnya, gadis yang malang itu, yang amat akrab dengan ku, seperti -anak sendiri, ia sengaja menyambut musuh yang sakti untuk membela Gusti Patih Narotama, sama dengan membunuh diri."
"Eh? Apa maksud ibu?"
"Begini, Anakku. Kim Lan malam itu berterus terang kepadaku bahwa ia jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan Ia ingin agar diterima suwita, menjadi selir Gusti Patih. Akan tetapi, Gusti Patih Narotama agaknya menolaknya sehingga gadis itu putus asa. Ia sendiri bilang kepadaku bahwa kalau tidak dapat menjadi isteri Ki Patih Narotama, hidup tiada artinya lagi dan ia lebih suka mati. Ketika ada musuh sakti menyerang, ia nekat menyambut sehingga ia terluka dan tewas."
"Ahhh... menyedihkan sekali, Ibu. Dan bagaimana dengan Kakaknya?"
"Tejoranu? Tentu saja hatinya hancur lebur dan dia lari membawa jenazah Adiknya. Mungkin dia juga menyesal bahwa cinta dan penyerahan diri adiknya kepada Gusti Patih Narotama ditolak. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu Puspa Dewi."
"Cerita dari pengalamanku berbeda jauh dengan apa yang kau alami, Ibu. Pengalamanku sungguh menggembirakan dan membahagiakan kita semua."
"Hemm, bagaimana ceritanya? Apakah engkau telah bertemu dengan Kakang Prasetyo?"
"Bukan hanya Ayah, aku telah bertemu dengan mereka semua! Ayah, Ibu Dyah Mularsih, Niken Harni puteri mereka, juga Kakek Tumenggung Jayatanu dan isterinya. Dan tahukah Ibu, mereka menyambut kedatanganku dengan gembira dan ramah sekali! Agaknya Ibu salah paham terhadap mereka. Kakek Tumenggung Jayatanu baik sekali dan merasa menyesal bahwa dia telah menyebabkan Ibu berpisah dari Ayah. Nenek Jayatanu juga amat baik. Dan Ibu Dyah Mularsih dan puterinya, Niken Harni, mereka baik sekali, Ibu. Ibu Dyah Mularsih menganggap aku sebagai anaknya sendiri dan Niken Harni sangat sayang kepadaku. Ibu, mereka semua itu merasa menyesal bahwa Ibu telah meninggalkan Ayah. Mereka selalu berusaha untuk mencari Ibu, namun tidak berhasil. Dan sekarang mereka telah menanti di Karang Tirta!"
"Apa?" Nyi Lasmi terkejut. "Mereka di Karang Tirta?"
"Semua keluarga itu tidak mau ketinggalan, ikut bersama Ayah yang datang ke Karang Tirta untuk menyambut dan memboyong kita ke kota raja!"
"Ah, tidak...!"
"Ibu, percayalah. Mereka semua itu dengan hati tulus menginginkan ibu dan aku tinggal bersama mereka, menjadi satu keluarga dan Ibu akan dianggap tetap sebagai isteri pertama ayah. Ayah sekarang telah menjadi seorang Senopati Kahuripan, Ibu."
"Tidak, anakku... tidak...!" Nyi Lasmi lalu menangis.
Puspa Dewi menahan kudanya dan ia merangkul Ibunya dari belakang.
"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu menolak diboyong Ayah ke kota raja? Bukankah Ibu amat mencinta Ayah?"
Di antara tangisnya Nyi Lasmi pun berkata, "Justeru karena aku sangat mencintai dan menghormatinya, aku tidak bisa dan tidak boleh menerima ajakannya itu. Bahkan aku tidak boleh bertemu muka dengan Kakang Prasetyo...!" Tangisnya semakin mengguguk.
Puspa Dewi melompat turun dari atas kuda dan menurunkan ibunya. Nyi Lasmi mendeprok di atas rumput sambil menangis sedih. Puspa Dewi merangkulnya.
"Ibu, katakan, mengapa ibu berpendapat begitu? Apakah ibu tidak percaya omonganku bahwa mereka semua amat baik dan ramah, semua mengharapkan Ibu tinggal serumah dengan mereka sebagai anggauta keluarga? Sesungguhnya, ibu. Aku sama sekali tidak berbohong!"
"Ohh... aku tidak berharga lagi, Puspa Dewi. Aku tidak pantas bertemu muka dengan Ayahmu! Aku sudah kotor dan hina Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu muka dengan Kakang Prasetyo? Kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi selir Ki Suramenggala yang jahat! Ah, kalau keluarga Tumenggung Jayatanu, kalau Isteri Kakang Prasetyo tahu, betapa malunya aku! Mereka tentu akan mencemooh dan menghinaku habis-habisan! Tidak, Puspa Dewi, lebih baik aku mati daripada menghadapi semua penghinaan itu. Aku tidak sanggup menghadapinya...!"
Puspa Dewi mengusap air mata yang membasahi muka ibunya. "Mereka tidak akan memandang rendah kepadamu, Ibu. Apa ibu mengira aku berdiam diri saja kalau ada orang menghina dan memandang rendah kepada ibu? Mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu, mereka bahkan merasa kasihan sekali kepada Ibu yang hidup menderita. Ayah dan semua keluarga sudah tahu, Ibu. Aku sudah memberitahu kepada mereka, menceritakan semua pengalaman ibu. Ayah tidak menyalahkan Ibu, bahkan semakin menyesali sikapnya sendiri dulu. Semua akan menerima Ibu dan menghormati Ibu. Aku yakin akan hal Ini. Mereka sekarang sedang menanti di Karang Tirta."
"Apa...? Mereka..Ayahmu... sudah tahu bahwa aku pernah menjadi selir Suramenggala?"
"Benar, ibu. Aku sudah menceritakan semuanya dan mereka sama sekali tidak menyalahkan ibu. Semua keluarga mengikuti aku datang ke Karang Tirta dan ketika kami mendengar bahwa ibu diculik dan keluarga Paman Lurah Pujosaputro dibunuh penjahat, mereka semua marah sekali dan aku tidak tahu apa yang sekarang mereka lakukan karena aku meninggalkan mereka di sana untuk mengejar dan mencari Ibu. Marilah, Ibu. Aku yang menanggung bahwa tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan menghina Ibu."
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki banyak kuda datang ke arah mereka. Puspa Dewi siap siaga.
"Ibu, duduklah di bawah pohon itu dan jangan takut. Aku akan menghajar mereka yang berani mengganggumu!" Gadis itu dengan gagah berdiri di tengah jalan, menanti munculnya rombongan berkuda itu.
Senopati Yudajaya atau Prasetyo yang memimpin selusin orang prajurit pengawal itu menahan kudanya dan mengangkat tangan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti ketika dia melihat Puspa Dewi berdiri tegak di tengah jalan.
"Puspa Dewi...!" Serunya dan dia melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri gadis itu.
"Ayah...!" Puspa Dewi berseru, lega melihat bahwa rombongan berkuda itu adalah prajurit pengawal yang dipimpin Senopati Yudajaya.
"Puspa Dewi, bagaimana hasil pengejaranmu?"
Puspa Dewi hanya menjawab dengan gerakan ibu jarinya menuding ke arah ibunya.
"Diajeng Lasmi...!" Senopati Yudajaya berseru ketika dia melihat Lasmi duduk di bawah pohon dan wanita itu menangis. Dia lalu berlari menghampiri dan sudah berlutut dekat Nyi Lasmi.
"Diajeng Lasmi, bertahun-tahun aku mencarimu..." kata Yudajaya dengan suara terharu dan dia memegang kedua tangan bekas isterinya itu.
"Jangan...!" Nyi Lasmi melepaskan kedua tangannya dan bangkit berdiri. "Kakang Prasetyo..., jangan sentuh aku... aku... aku tidak pantas..."
"Hushh, Diajeng. Jangan bicara begitu, tak baik didengar para prajurit. Mari, mari kita ke Karang Tirta, semua keluarga menantimu. Di sana nanti kita bicara, Diajeng."
Puspa Dewi menghampiri mereka. "Ayah benar, ibu. Mari kita berangkat sekarang ke Karang Tirta."
Nyi Lasmi hanya mengangguk dan ketika beradu pandang dengan bekas suaminya, Nyi Lasmi merasa jantungnya berdebar. Betapa ia amat mencinta suaminya. Bahkan sampai sekarang pun! Memandang wajah suaminya yang kini Nampak kurus dan tua itu, ia merasa kasihan dan terharu sekali. Akan tetapi ia juga melihat dengan jelas betapa sinar mata Prasetyo masih seperti dulu kalau memandangnya, masih mengandung penuh kasih sayang.
Puspa Dewi tetap memboncengkan ibunya dan rombongan itu lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta dengan cepat. Senopati Yudajaya yang menunggang kuda di samping Puspa Dewi bertanya kepada gadis itu.
"Puspa Dewi, apakah engkau tidak melihat Nlken Harni?"
"Niken? Aku tidak melihatnya. Ia ke manakah, Ayah?"
"Hemm, itulah yang merisaukan hati. Ketika mendengar engkau pergi melakukan pengejaran terhadap para penculik dari Wengker itu, Niken Harni pergi tanpa pamit. Kami semua menduga bahwa ia tentu melakukan pengejaran pula untuk membantu mu menghadapi orang-orang Wengker."
"Ah, mengapa ia begitu sembrono?" Puspa Dewi berseru kaget. "Di Wengker terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna! Sungguh amat berbahaya kalau ia melakukan pengejaran memasuki Kadipaten Wengker!"
"Hemm, Niken Harni memang anak yang keras hati dan tidak mengenal takut. Aku khawatir sekali akan keselamatannya. Puspa Dewi, lalu bagaimana baiknya sekarang? Apakah aku bersama seregu pengawal ini akan melanjutkan saja ke Wengker mencari Niken Harni?" Senopati Yudajaya memberi isyarat untuk berhenti. Semua kuda berhenti. Mendengar ini, Nyi Lasmi berkata kepada puterinya.
"Puspa Dewi, sebaiknya engkau yang memiliki kesaktian dan dapat menjaga diri, segera pergi mencari Adikmu Niken Harni."
"Dan bagaimana dengan Ibu?" tanya Puspa Dewi.
"Ibumu akan kembali ke Karang Tirta bersama kami. Atau, kau pikir aku membawa seregu prajurit ini membantumu? Kalau begitu, biar dua orang prajurit mengantar Diajeng Lasmini pulang ke Karang Tirta dan aku bersama para prajurit pengawal ikut denganmu mencari Niken Harni."
"Ah, tidak, Ayah. Aku lebih leluasa kalau pergi sendiri. Aku akan mencari Adik Niken sampai dapat kutemukan dan kami akan segera pulang. Sebaiknya sekarang Ayah dan Ibu kembali ke Karang Tirta dan langsung saja pulang ke kota raja. Aku hanya titip ibuku, agar ia dapat berbahagia bersama Ayah dan semua keluarga di kota raja. Nah, aku pergi, Ayah. Ibu, aku pergi mencari Niken Harni."
Nyi Lasmi merangkul puterinya. "Hati-hatilah, Puspa Dewi, dan cari Adikmu sampai dapat ditemukan dengan selamat."
Puspa Dewi meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda menuju ke arah yang berlawanan. Setelah bayangan gadis dan kudanya lenyap di tikungan, Senopati Yudajaya menghampiri Nyi Lasmi.
"Aku kira anak kita Puspa Dewi sudah menceritakan semua kepadamu tentang kami sekeluarga."
Nyi Lasmi mengangguk.
"Kalau begitu, Diajeng. Mari kita segera kembali ke Karang Tirta, di sana keluarga kita telah menanti dengan hati gelisah."
Melihat para prajurit berada ditempat yang agak jauh dari situ, Nyi Lasmi berbisik. "Akan tetapi, Kakang Prasetyo, aku sudah tidak berharga, aku pernah menjadi selir Suramenggala..."
"Kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Diajeng. Dan kami sama sekali tidak menganggap engkau tidak berharga. Engkau melakukan hal itu dalam keadaan terpaksa ketika Puspa Dewi hilang diculik orang. Sudahlah, Diajeng, bagi kami, terutama bagi aku, engkau tetap Diajeng Lasmi yang dulu. Aku berjanji untuk menebus semua kesalahanku dahulu dengan membahagiakan mu, Diajeng. Tenangkan hatimu dan percayalah. Dyah Mularsih dan orang tuanya juga amat menantikanmu, mereka akan berbahagia sekali menerimamu karena hal itu akan membuat mereka merasa bebas dari kesalahan terhadap dirimu."
Lega rasa hati Lasmi mendengar ucapan suaminya yang dikeluarkan dengan nada sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar bermanis bibir untuk menghiburnya itu. Timbul keberaniannya untuk bertemu dengan madunya, Dyah Mularsih dan keluarga madunya itu. Ia pun tidak merasa canggung atau malu-malu lagi ketika ia diboncengkan suaminya duduk di atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, dikawal dua belas orang prajurit menuju ke Karang Tirta.
Mula-mula, karena dilihat selusin orang prajurit, ada juga rasa sungkan dan malu diboncengkan Prasetyo duduk berhimpitan di atas punggung kuda, akan tetapi setelah ia menyadari bahwa yang memboncengkannya itu adalah Prasetyo, suaminya yang sah, rasa sungkannya perlahan-lahan menghilang dan perasaan bahagia yang amat mendalam membuat ia tidak dapat menahan mengalirnya berbutir-butir air mata ke atas pipinya.
Senopati Yudajaya atau Prasetyo menyentuh pundak Lasmi dengan tangan kirinya. Sentuhan lembut lalu terdengar pertanyaannya dengan suara lembut pula.
"Diajeng Lasmi, mengapa engkau menangis?" Dia tidak mendengar tangisan yang bersuara, akan tetapi dari guncangan pundak Nyi Lasmi membuat dia menjenguk dan melihat betapa kedua pipi isterlnya basah oleh air mata yang menetes-netes dari kedua mata wanita itu.
Nyi Lasmi meletakkan tangan kirinya di atas tangan suaminya yang menyentuh pundaknya dan menggunakan tangan kanannya untuk mengusap air mata dari kedua pipinya, dan ia tersenyum.
"Kakang... aku... aku merasa berbahagia sekali..."
Tangan Prasetyo meremas lembut pundaknya, kemudian melepaskannya untuk memegang kendali kuda dan dia membalapkan kudanya. Dua belas orang prajurit yang mengiringkan di belakangnya juga membedal kuda mereka.
Akan tetapi setelah memasuki Dusun Karang Tirta dan kuda mereka menuju ke rumah Ki Lurah Pujosaputro yang bersama keluarganya telah dibantai gerombolan penjahat, kembali Nyi Lasmi merasa sungkan dan malu sehingga jantungnya berdebar penuh ketegangan. Rasanya ia sungkan dan khawatir sekali harus berhadapan muka dengan Tumenggung Jayatanu, Nyi Tumenggung, dan Dyah Mularsih. Ia merasa begitu rendah, seorang dusun bertemu dengan keluarga bangsawan, seorang miskin bertemu dengan keluarga kaya, dan ia bahkan pernah menjadi selir laki-laki lain pula! la merasa rendah dan tak berharga. Prasetyo merasa betapa tubuh yang duduk di depannya itu gemetar.
"Engkau mengapa, Diajeng?"
"Kakang... aku... aku malu, aku takut..."
"He-heh, mengapa malu dan takut, Diajeng? Engkau isteriku dan mereka semua akan menyambutmu dengan gembira. Engkau akan diterima dengan hormat. Percayalah, kalau mereka tidak akan bersikap demikian, tentu aku tidak berani mengajakmu pulang ke sini."
Ucapan suaminya ini agak membangkitkan keberanian Nyi Lasmi dan ketika kuda mereka memasuki halaman rumah mendiang Ki Lurah Pujosaputro, ia pun turun dan dengan tabah ia melangkah di samping suaminya menuju ke pendopo rumah kelurahan itu.....
Komentar
Posting Komentar