NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-16
"Bibi Gayatri, aku merasa ikut bersedih. Maukah engkau menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi dengan dirimu? Engkau seorang yang begini sakti mandraguna, siapa yang akan dapat mengganggumu, Bibi?"
"Orang lain tidak dapat menggangguku, Niken. Akan tetapi hatiku sendiri, keinginanku sendiri, alangkah kuatnya, membuat aku gila, membuat aku merana selama hidupku..."
Niken Harni menjadi semakin tertarik. "Kalau Bibi tidak merasa keberatan, aku ingin mendengar bagaimana kisahnya sampai Bibi menderita seperti ini..."
"Baik, akan kuceritakan padamu, Niken. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu engkau mau menjadi muridku!"
"Hemm, aku senang sekali, Bibi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Orang tua dan keluargaku tentu akan menjadi gelisah kalau terlalu lama aku tidak pulang."
"Bisa beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Tergantung bakat dan jodohmu denganku sejauh mana. Nah, dengar ceritaku karena setelah ini aku tidak akan mau menceritakan lagi kepada siapa pun juga."
Niken Harni duduk kembali di atas batu hitam di hadapan Nini Bumigarbo, mendengarkan dengan penuh perhatian.....
Nini Bumigarbo lalu bercerita. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih seorang gadis dewasa bernama Ni Gayatri, ia menjadi murid seorang pertapa yang tidak pernah muncul di dunia ramai dan terkenal sejak kecil hanya bertapa sehingga disebut sebagai manusia setengah dewa! Pertapa itu hanya dikenai dengan nama Sang Resi Dewakaton dan jarang ada orang dapat bertemu dengannya karena hanya terkadang saja dia berada di puncak Gunung Semeru yang sulit didatangi manusia biasa.
Sang Resi Dewakaton ini sudah amat tua, tak seorang pun mengetahui berapa usianya. Menurut dongeng orang-orang tua, ketika mereka masih kecil mereka sudah mendengar akan nama Sang Resi Dewakaton ini sehingga kalau dihitung dari usia mereka maka tentu usia pertapa itu sudah mendekati dua ratus tahun.
Muridnya hanya dua orang, yaitu Ni Gayatri dan kakak seperguruannya, yang bernama Ki Ekadenta. Mungkin karena mereka bergaul sejak kecil, tidak mengherankan; kalau gadis yang cantik dan pemuda yang tampan itu saling jatuh cinta. Cinta mereka begitu mendalam sehingga keduanya sudah saling berjanji kelak akan hidup berdampingan selama hidup mereka sebagai suami isteri. Kemudian terjadilah peristiwa yang sama sekali mengubah keadaan hidup Ni Gayatri.
"Kakang Ekadenta bertemu dengan seorang resi dari Gunung Agung, Bali-dwipa dan berguru mengenai kejiwaan kepada Sang Resi. Setelah berguru kepada resi itu, sikap Kakang Ekadenta terhadap diriku sama sekali berubah, bahkan terhadap kehidupan duniawi. Dia tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi, termasuk tidak mau menikah! Akibatnya, dia menjauhkan diri dariku dan tidak mau lagi terikat perjodohan denganku." Setelah berkata demikian, wajah nenek itu tampak kecewa bukan main.
"Dia meninggalkanmu dan tidak cinta lagi padamu, Bibi?"
"Dia bilang tetap cinta padaku, bahkan cintanya lebih murni menurut dia, cinta suci yang tanpa pamrih, tanpa keinginan untuk mengambil aku sebagai isteri. Siapa butuh cinta macam itu?"
Niken Harni juga merasa penasaran. "Mengapa cinta seperti itu? Kalau mencinta tentu ingin menjadi suami isteri! Dia telah menyakiti hatimu, Bibi. Kalau aku bertemu dengan Si Ekadenta itu, akan kutegur dan kumarahi dia!"
Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Sukar menyadarkan dia, Niken. Selama tiga puluh tahun ini aku membujuknya dengan halus sampai kasar, namun dia sama sekali tidak tergerak dan berkukuh tidak mau menikah dengan aku atau dengan siapa pun juga. Aku menjadi marah sekali dan mulai membencinya, akan tetapi dia tetap bersikap lembut kepadaku. Berkali-kali aku menyerangnya, akan tetapi aku selalu kalah olehnya."
"Wah, kalau engkau kalah olehnya, berarti dia tentu amat sakti mandraguna, Bibi Gayatril" Niken Harni terkejut.
"Memang dia sakti mandraguna. Setiap kali aku kalah olehnya, aku lalu tekun memperdalam semua aji-ajiku, akan tetapi setiap kali aku maju lagi, aku tetap saja kalah lagi. Agaknya setiap kali dia pun memperdalam ilmu-ilmunya."
"Apakah Bibi menyerang untuk membunuhnya?"
"Ah, tidak sama sekali. Aku mencintanya dengan segenap jiwa ragaku, itulah kelemahanku. Mana mungkin aku tega membunuhnya? Tadinya aku menyerangnya untuk mengalahkannya dan memaksa dia mengawini aku. Kemudian, aku setiap kali menyerangnya membuat perjanjian. Kalau aku kalah, aku tidak akan turun tangan sendiri membunuh Erlangga dan Narotama. Akan tetapi kalau dia yang kalah, aku akan membunuh raja dan patih Kahuripan itu dan dia tidak boleh menghalangikul Akan tetapi itulah, aku selalu kalah!"
"Ah, aneh sekail perjanjian itu, Bibil Apa hubungannya Sang Prabu Erlangga dan Kl Patih Narotama dari Kahurlpan dengan urusan Bibi dan Ekadenta itu?"
"Hubungannya erat sekali! Resi yang mengajarkan kejiwaan kepada Kakang Ekadenta yang membuat Kakang Ekadenta tidak mau menikah, adalah Sang Resi Satyadharma yang bertapa di Gunung Agung Bali-dwipa. Jelas dialah biang keladinya sehingga Kakang Ekadenta tidak jadi menikah dengan aku. Untuk membalas sakit hati ini kepada Resi Satyadharma tidak mungkin karena dia memiliki kesaktian yang tidak akan dapat aku tandingi. Maka aku lalu mengalihkan dendamku kepada dua orang muridnya, yaitu Erlangga dan Narotama! Aku ingin membunuh mereka agar Resi Satyadharma menderita kehilangan orang-orang yang dicintanya seperti yang telah kurasakan. Akan tetapi di sana ada Kakang Ekadenta yang selalu menghalangi aku! Aku tidak berdaya... ah, aku tidak berdaya mengobati sakit hati yang bernyala-nyala selama puluhan tahun..." Nini Bumigarbo menangis lagi.
"Bibi Gayatri, kurasa masih tidak adil kalau Bibi berusaha membalas dendam kepada Resi Satyadharma dengan cara membunuh dua orang muridnya, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Mereka itu sama sekali tidak bersalah apa-apa. Yang bersalah atau yang membuat engkau menderita adalah Resi Satyadharma. Entah kalau memang engkau mempunyai permusuhan dengan Kahuripan."
Nini Bumigarbo menggeleng kepalanya. "Aku tidak mencampuri urusan kerajaan dan kadipaten. Aku tidak berpihak kepada siapa pun juga dan tidak mau terlibat tidak mau ikut campur. Yang kubenci hanyalah Erlangga dan Narotama karena mereka itu murid-murid Resi Satyadharma. Aku ingin membunuh mereka untuk membuat resi itu menderita!"
"Kalau begitu, mengapa tidak membalas kepada Resi Satyadharma secara langsung saja, Bibi?"
"Huh, kau tahu apa! Biar aku memperdalam ilmu-ilmuku selama puluhan tahun lagi, masih tidak mudah untuk mengalahkan resi yang sakti mandraguna itu."
"Akan tetapi, Bibi. Mengapa Bibi tidak minta bantuan guru Bibi yang merupakan manusia setengah dewa itu? Kalau dia mau membantu, tentu Bibi dapat membalas dendam Bibi terhadap Resi Satyadharma."
"Huh, kau kira aku begitu bodoh untuk tidak berpikir sampai ke sana? Dahulu pun, begitu Kakang Ekadenta memutuskan hubungan dan mengambil keputusan untuk tidak menikah, aku sudah menghadap Bapa Guru dan menangis di hadapannya, menceritakan segala sakit hatiku dan keinginanku untuk membalas dendam kepada Resi Satyadharma. Akan tetapi tahukah engkau apa yang Bapa Guru katakan? Dia mengatakan bahwa Resi Satyadharma tidak bersalah dan dia sendiri akan merasa malu kalau aku membalas dendam kepada Sang Resi itu. Selain itu, Bapa Guru mengatakan bahwa dia yakin tidak akan menang melawan Resi Satyadharma, bukan karena kalah sakti, melainkan karena berada di pihak yang salah. Siapa salah akhirnya akan kalah, begitu kata Bapa Guru. Tentu saja aku menjadi semakin penasaran dan mencari jalan untuk menimpakan pembalasan dendamku kepada dua orang murid Resi Satyadharma itu."
Kembali hening karena dua orang wanita itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Niken Harni merasa iba sekali kepada nenek itu yang kini menundukkan mukanya yang muram, akhirnya ia berkata.
"Bibi Gayatri, lalu cara atau jalan apa yang Bibi temukan untuk membalas dendam itu?"
"Aku telah melatih beberapa orang murid, di antaranya Dewi Mayangsari permaisuri Wengker dengan syarat agar mereka itu berusaha untuk menyerang Kahuripan dan kalau mungkin membunuh Erlangga dan Narotama, atau setidaknya menggulingkan kedudukan mereka!"
"Dan mengapa engkau membawa aku ke tempat Ini? Kalau engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat seperti itu, aku tidak mau menjadi muridmu! Kakekku adalah seorang tumenggung, ayahku seorang senopati, mereka adalah pejabat-pejabat Kahuripan dan aku adalah kawula Kahuripan. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pengkhianat memusuhi Kerajaan Kahuripan sendiri? Aku tidak mau, Bibi, lebih baik engkau bunuh saja aku!"
Sikap Niken Harni yang berani menantang agar dibunuh ini kembali membuat nenek itu tersenyum! Lenyaplah kemuraman wajahnya dan ia memandang gadis itu dengan mata bersinar.
"Tidak, Niken. Ketika aku melihatmu yang demikian gigih menentang Linggawijaya dan kuat menahan bujuk rayu dan ketampanannya, aku mendapat gagasan baru untuk membalas dendam. Kini bukan membalas dendam kepada Resi Satyadharma dan para muridnya, melainkan membalas dendam kepada Kakang Ekadenta yang telah menyia-nyiakan cintaku dan menghancurkan kehidupanku!"
"Apa?" Niken Harni terbelalak. "Engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat agar aku membunuh Ekadenta kakak seperguruanmu itu? Bagaimana mungkin, Bibi? Sedangkan engkau sendiri pun tidak pernah menang melawannya!"
"Hemm, aku tidak begitu bodoh, Niken. Bukan, bukan membalas dendam ini kepada Kakang Ekadenta. Akan tetapi kepada semua laki-laki di dunia ini! Engkau akan kuajari ilmu dan engkaulah yang akan mewakili aku membalas dendam kepada semua laki-laki, membuat mereka tergila-gila, rindu, dan hancur hatinya, menderita dan merana seperti. yang telah kualami!" Suara Nenek itu meninggi dan tampak ia gembira sekali seolah telah membayangkan terjadinya apa yang di inginkannya itu.
"Eh? Aku harus menghancurkan kebahagiaan hidup semua laki-laki? Apa maksudmu itu, Bibi? Aku tidak mengerti."
"Begini, Niken. Aku sendiri tidak dapat melakukannya karena aku sudah tua. Akan tetapi engkau bisa! Engkau muda belia, cantik jelita dan menarik, semua pria tentu akan tergila-gila melihatmu. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmu kepadamu dan kau hadapi para pria itu, terutama yang muda dan tampan. Kalau mereka tertarik dan suka kepadamu, bersikaplah seolah-olah engkau juga mencinta mereka. Buat agar mereka itu tergila-gila dan sesudah mereka berada dalam keadaan kasmaran (jatuh cinta) sampai sedalam-dalamnya, nah, itu saatnya engkau menghancurkannya dengan mentertawakannya dan meninggalkannya. Biar mereka tahu rasa, biar merasakan betapa sakitnya diputus cinta, merasa rindu dan menderita selama hidupnya, seperti yang kualami!"
"Lalu apa hubungannya para pria itu dengan sakit hatimu terhadap Ekadenta?"
"Mereka semua itu laki-laki dan mereka memang kejam dan cintanya palsu terhadap kaum wanita. Kalau wanita mencinta dengan sepenuh jiwa, siap mengorbankan diri, laki-laki hanya mencari kesenangannya sendiri. Nah, engkau yang akan mewakili aku menghancurkan kebahagiaan hidup para pria itu, Niken Harni!"
"Kalau aku tidak mau bagaimana?"
Tiba-tiba muka nenek itu berubah menyeramkan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
"Tidak mau...??"
Akan tetapi Niken Harni tidak takut. "Ingat, Bibi Gayatri. Aku bukan orang yang takut ancaman. Aku tidak takut mati!" Ia menantang.
Nini Bumigarbo tiba-tiba terkekeh. "Hi-hi-hik? Tidak mau? Kalau begitu, engkaulah yang akan menderita, melebihi aku. Engkau bukan hanya akan kehilangan kebahagiaan hidupmu, bahkan engkau akan menderita sengsara yang hebat. Aku tidak akan membunuhmu, Niken. Aku hanya akan meninggalkanmu di sini! Hidup disini seorang diri, tidak bertemu dengan orang-orang yang kau kasihi, tidak bergaul dengan seorang pun manusia. Engkau akan hidup terus disini, tahun demi tahun sampai engkau menjadi tua renta dan karatan, remuk sedikit demi sedikit. Dan aku terkadang akan menjenguk mu untuk mentertawakan mu, he-he-heh-heh!"
Diam-diam Niken Harni merasa ngeri juga. Ia tidak takut mati akan tetapi kalau ditinggal sendiri di situ, tak pernah dapat meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan menua dan membusuk di situ, sungguh bayangan itu amat mengerikan. Ia seorang gadis yang cerdik, maka ia tidak kehilangan akal dan harapan.
"Kalau aku mau, lalu berapa lama aku harus belajar ilmu darimu di tempat ini?"
"Bisa beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun, semua itu tergantung dari kesungguhan dan ketekunanmu sendiri. Engkau belajar di sini sampai engkau ada kemampuan untuk pergi meninggalkan tempat ini."
Niken Harni berpikir cepat. Sekali waktu nenek itu pasti turun dari puncak untuk mencari persediaan makanan kalau habis, dan ia dapat memperhatikan dan mempelajari. Akhirnya, tidak sampai makan waktu lama ia pasti akan dapat turun pula dan bebas. Maka dengan tegas ia berkata.
"Baik, aku mau belajar dengan syarat Itu, Bibi Gayatri!"
"Benarkah? Nah, kalau begitu ucapkan janjimu bahwa engkau akan melaksanakan syarat yang kuajukan tadi!"
Tanpa ragu Niken Harni bangkit berdiri dan mengucapkan janjinya.
"Aku akan mempelajari ilmu-ilmu dari Bibi Gayatri dengan syarat bahwa sesudah rampung aku akan mewakilinya menghancurkan kebahagiaan hidup para pria yang jatuh cinta kepadaku."
"Berlagak membalas cinta mereka, kemudian meninggalkan mereka begitu saja sehingga mereka menjadi patah hati dan hancur kebahagiaan hidupnya!" Nenek itu mendikte. Niken Harni mengulang kata-kata itu dengan suara mantap.
Setelah selesai mengucapkan janji, Nini Bumigarbo merangkul gadis itu dengan gembira. "Engkau sama benar dengan aku, aku yakin engkaulah yang akan dapat mewakili aku, memuaskan hatiku, membuat laki-laki seperti Kakang Ekadenta merana hidupnya! Ingat, melanggar janji akan membuat engkau menjadi manusia yang paling rendah dan hina, Niken."
"Aku tidak akan melanggar janji, Bibi...!"
Demikianlah, mulai hari itu Niken Harni menerima gemblengan ilmu-ilmu yang hebat dari Nini Bumigarbo. Bahkan nenek itu mengajarkan Aji Pengasihan dan Aji Pamelet yang amat ampuh dan kuat. Dan saking sukanya kepada gadis itu, Nini Bumigarbo bahkan pada suatu hari mengoperkan tenaga sakti tingkat tinggi kepada Niken Harni, hal yang belum pernah ia berikan kepada para murid. Bahkan Dewi Mayangsari pun tidak memperoleh pengoperan tenaga sakti ini. Tentu saja kepandaian Niken Harni meningkat dengan amat cepat, apa lagi gadis itu memang berbakat baik dan tekun pula…..
********************
Rombongan itu berhenti di sebuah dusun dan seperti biasa, Ki Patih Narotama mengajak rombongannya yang terdiri dari Ki Tejoranu, Nyi Lasmi, dan The Kim Lan untuk bermalam di rumah kepala dusun yang tentu saja menyambut K i Patih Narotama dengan penuh kehormatan. Setelah dijamu makan oleh Lurah Desa Magel, rombongan Itu lalu mengaso dalam kamar masing-masing. Ki Patih Narotama dan ki Tejoranu mendapatkan sebuah kamar masing-masing, adapun Nyi Lasmi dan The Kim Lan tidur sekamar.
Ki Patih Narotama, seperti biasa, dalam kesempatan itu didaulat oleh keluarga Lurah Desa Magel yang memohon agar Ki Patih Narotama suka memberi wejangan kepada keluarganya, terutama belasan orang muda-mudi remaja, yaitu anak-anaknya dan keponakan-keponakannya. Seperti biasa, setiap kali berada di sebuah dusun, Ki Patih Narotama selalu memenuhi permintaan lurah dusun untuk memberi wejangan tenteng tugas para pamong praja, tentang cara hidup yang baik dan benar.
Sekali ini, Ki Patih Narotama mendengar dari Kl Lurah bahwa di dusun Magel sedang terjadi banyak penyelewengan dan kesesatan yang dilakukan para muda mudi. Agaknya nafsu berahi sedang mengamuk di kalangan para muda mudi Magel itu sehingga terjadi banyak pelanggaran berupa perkosaan, perjinaan dan sebagainya.
Mendengar ini, Ki Patih Narotama minta agar Ki Lurah mengumpulkan muda-mudi di keluarahan itu. Lebih dari lima puluh orang pemuda remaja dan tiga puluh gadis remaja pada malam itu berkumpul di balai desa. Mereka semua duduk bersila atau bersimpuh di atas lantai, menghadap Ki Patih Narotama yang juga duduk bersila di atas sebuah bangku sehingga dapat kelihatan oleh para muda mudi itu. Karena yang dilanggar oleh para muda mudi itu adalah kesusilaan, maka Ki Patih Narotama memberi penerangan tentang arti kesusilaan sebagai bagian penting dari kebudayaan.
"Kita manusia dikatakan sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya, satu antara lain adalah karena manusia mengenal kesusilaan. Kalau kesusilaan ini dilanggar, maka derajat manusia menurun banyak mendekati derajat binatang. Aku mendengar bahwa di dusun kalian ini terdapat banyak pelanggaran kesusilaan, terutama sekali perjinaan antara muda-mudi. Mereka yang melakukan hal ini membela diri dengan alasan bahwa mereka saling mencinta maka boleh saja mereka itu melakukan hubungan sanggama (persetubuhan). Kalau begitu halnya, mereka tidak ada bedanya dengan binatang. Binatang pun melakukan hal itu, baik karena saling suka atau dengan paksaan karena binatang memang tidak mempunyai peraturan atau kesusilaan. Maka kalau kita juga bertindak seperti itu, tidak ada bedanya antara kita dan binatang!"
Mendengar uraian yang agak menekan ini, para remaja, terutama pemudanya, mulai berbisik-bisik seolah tidak setuju dengan pendapat Ki Patih itu. Ki Patih Narotama membiarkan mereka berbisik-bisik beberapa saat lamanya, kemudian dia mengangkat tangan, dan semua remaja terdiam.
"Kita ini manusia yang di dalam segala hal dalam kehidupan ini mempunyai peraturan-peraturan yang telah diterima oleh masyarakat. Tanpa adanya peraturan yang harus dipatuhi, kehidupan menjadi kacau balau dan orang boleh bertindak sesuka hati masing-masing sehingga pasti menimbulkan bentrokan dan pertengkaran. Menaati peraturan dianggap baik dan melanggar peraturan dianggap buruk atau jahat. Bahkan pemerintah mengadakan peraturan hukuman bagi mereka yang melanggar peraturan. Ketahuilah kalian, adik-adik muda dan remaja. Kalian harus dapat membedakan antara cinta kasih dan nafsu berahi. Cinta kasih bukanlah nafsu berahi walau pun dalam cinta kasih antara suami isteri terkandung nafsu berahi yang wajar."
Ki Patih Narotama melihat betapa wajah para remaja itu tegang dan agaknya mereka mulai tertarik tidak ada suara berbisik sedikit pun. Dia lalu melanjutkan dengan suara lantang.
"Kalau ada seorang pemuda dan seorang gadis saling suka, saling mencinta, hal Itu adalah wajar dan baik-baik saja. Cinta kasih adalah soal perasaan hati setiap orang maka tidak ada yang dapat melarang orang jatuh cinta. Akan tetapi, kalau nafsu berahi menerkam dan menguasai hati sehingga mereka berdua melakukan sanggama di luar pernikahan, maka mereka telah melakukan pelanggaran kesusilaan dan cinta kasih mereka itu tidak murni lagi, tidak bersih lagi melainkan kotor. Dan akibatnya juga amat tidak baik bagi mereka berdua. Si gadis akan tertimpa aib sebagai bukan perawan lagi, dicemooh dan dihina masyarakat. Si pemuda yang dianggap jahat dan bukan tidak mungkin orang tua dan keluarga si gadis marah dan mengamuk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Keluarga pemuda membela dan terjadilah permusuhan. Ini bukan berarti bahwa aku hendak mengatakan bahwa perbuatan sanggama menuruti gejolak berahi adalah hal yang kotor dan buruk. Sama sekali tidak! Seperti nafsu-nafsu lain, nafsu berahi merupakan anugerah dari Sang Hyang Widi bagi manusia dan merupakan sesuatu yang bersih, bahkan suci karena merupakan sarana bagi perkembang-biakan manusia! Akan tetapi, pelakunya hanyalah suami isteri. Bagi suami isteri, perbuatan itu baik dan benar, bersih dan suci. Akan tetapi kalau perbuatan itu dilakukan oleh muda-mudi yang belum menjadi suami isteri, maka perbuatan itu menjadi kotor dan buruk. Perbuatan itu hanya merupakan dorongan nafsu berahi yang telah mencengkeram, menguasai dan memperhamba pelakunya. Apakah kalian semua sudah mengerti sekarang?"
Para muda-mudi itu mengangguk. Mereka teringat akan semua peristiwa semacam yang terjadi. Kebanyakan berakibat buruk sekali bagi pemuda dan gadis yang bersangkutan. Memang ada yang kemudian menjadi suami isteri yang cukup bahagia, akan tetapi betapa banyaknya yang berakhir dengan aib dan cemooh bagi para pelakunya, terutama bagi pemudinya. Bahkan ada pula beberapa orang pemuda yang melakukan hal itu kemudian tidak mau bertanggung jawab, dikejar dan dibunuh keluarg si gadis yang menjadi korban.
"Nah, sukurlah kalau kalian sudah tahu akan bahayanya. Untuk mempertegas lagi, mulai sekarang kami akan memerintahkan kepada Ki Lurah untuk menangkap dan menghukum para pelanggar kesusilaan!"
Pertemuan ini dibubarkan dan banyak orang tua mereka merasa lega karena peringatan Ki Patih Narotama itu setidaknya membuat para muda-mudi harus berpikir seratus kali sebelum nekat melakukan pelanggaran. Sementara itu di sebelah dalam rumah kelurahan itu, di dalam kamar Ki Tejoranu, The Kim Lan sedang bercakap-cakap dengan kakaknya dan tampaknya percakapan mereka amat serius. Ketika Kini Lan memasuki kamar kakaknya, ia langsung bertanya.
"Lan-ko, Bibi Lasmi bilang bahwa engkau memanggil aku ke sini?"
Ki Tejoranu mengangguk. "Duduklah,! Lam-moi (Adik Lan)."
Setelah mereka duduk di atas kursi saling berhadapan, Ki Tejoranu memandang wajah adiknya dengan tajam penuh selidik dan berkata, suaranya lembut lirih namun penuh kesungguhan.
"Adikku Kim Lan, benarkah apa yang kudengar dari Bibi Lasmi tadi? Menurut laporannya, engkau telah jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan ingin mengabdikan dirimu kepadanya? Dan engkau minta bantuan Bibi Lasmi untuk menyampaikan pengakuanmu itu kepadaku?"
Kim Lan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, lalu pucat, lalu merah kembali dan bibirnya gemetar. Agaknya terjadi pergolakan dalam hatinya, membuat ia ragu dan bingung. Akan tetapi akhirnya ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan ketegangan itu dan menjawab dengan suara gemetar lirih.
"Sesungguhnya, apa yang dilaporkan Bibi Lasmi itu benar belaka, Lan-ko (Kakak Lan). Selama hidupku, belum pernah aku mempunyai perasaan seperti ini. Kalau dia menerima pengabdianku, hidupku akan berbahagia sekali. Sebaliknya kalau hasratku ini tidak tercapai, rasanya hidupku akan hampa dan tidak ada artinya lagi."
Ki Tejoranu mengerutkan alisnya dan mengepal tangannya. Dia merasa tegang dan gelisah sekali. Kim Lan merupakan satu-satunya orang yang dipunyainya dalam dunia ini. Setelah bertemu dan berkumpul dengan Kim Lan, dia merasa berbahagia dan baru merasa betapa dia amat mencinta adik kandungnya ini. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk membela dan melindungi adiknya, kalau perlu dengan taruhan nyawanya sendiri. Hidupnya sendiri boleh saja merana, akan tetapi dia harus dapat membahagiakan kehidupan The Kim Lan, adik tunggal yang telah menyeberangi lautan luas dan amat jauh untuk mencari dia, kakak kandungnya, pengganti orang tuanya! Dan sekarang, Kim Lan menyatakan sesuatu yang dia anggap tidak mungkin terjadi dan dia khawatir sekali mendengar pengakuan adiknya tadi.
"Kim Lan, aku tidak menyalahkan engkau, Adikku. Jatuh cinta merupakan hal yang wajar saja bagi siapa pun juga. Akan tetapi, biarpun demikian harus juga disertai perhitungan yang bijaksana. Tidak ingatkah engkau siapa Gusti Patih Narotama itu? Dia adalah seorang yang sakti mandraguna dan berkedudukan tinggi. Dia itu orang besar, Adikku, patih dan menjadi orang kedua di Kahuripan! Sedangkan engkau, kita ini, kita ini orang-orang asing yang merantau ke sini, miskin dan papa. Aduh, Adikku yang tersayang terlampau tinggi jangkauan dan keinginanmu itu, Kim Lan. Jangan dilanjutkan, Adikku... hilangkan saja perasaan hatimu itu. Kelak engkau akan bertemu dengan jodohmu yang lebih tepat, lebih seimbang, lebih..."
"Cukup, Lan-ko!" Gadis itu memutuskan ucapan kakaknya. Wajahnya pucat dan matanya bersinar, membayangkan penasaran hatinya. "Apa sih bedanya antara orang berpangkat dan yang tidak berpangkat? Apakah bedanya antara orang besar dan kecil, antara orang kaya dan orang miskin? Kalau aku berniat menghambakan diri kepada Gusti Patih Narotama dan dia suka menerimaku, tidak ada masalah lain."
"Hmm, engkau keras hati, Adikku. Lalu apa yang kau kehendaki aku berbuat?"
"Apakah Bibi Lasmi belum menyampaikannya kepadamu, Lan-ko?"
"Bahwa aku harus menghadap Gusti Patih Narotama sekarang juga untuk menyampaikan keinginanmu itu, menyatakan terus terang bahwa engkau mencintanya dan ingin menghambakan diri menjadi seorang selirnya?"
Kedua pipi Kim Lan berubah merah akan tetapi ia mengangguk. "Benar"
Ki Tejoranu menghela napas panjang. "Aihh... Kim Lan...! Bagaimana aku dapat melakukannya? Mengapa bukan engkau sendiri saja yang menghadap dan bicara kepada Gusti Patih?"
"Lan-ko, aku seorang wanita, tidak pantas kalau aku menyampaikannya sendiri. Menurut kebiasaan bangsa kita pun, yang membicarakan urusan perjodohan adalah orang tua, dan engkau menjadi pengganti orang tuaku."
Ki Tejoranu kembali menghela napas panjang. "Sungguh merupakan tugas yang amat berat, Adikku."
"Apanya yang berat, Lan-ko? Engkau tinggal menghadap dan mengatakan hal itu kepada Gusti Patih. Mengapa ragu dan tampaknya engkau takut-takut?"
"Aku memang takut, Adikku. Takut kalau-kalau engkau ditolak, pengabdianmu tidak diterima."
"Aku yakin akan diterima, Lan-ko. Aku dapat melihat dari sikap dan bicaranya yang manis padaku, melihat sinar matanya yang lembut kalau memandangku. Aku yakin perasaan hatiku ini bukan hanya bertepuk sebelah tangan, Lan-ko."
"Hemm, baiklah, Lan-moi. Akan tetapi hanya dengan syarat, yaitu engkau ikut denganku menghadap Gusti patih!" Melihat adiknya terkejut, dia menyambung cepat. "Aku tidak mau kalau disangka bahwa semua ini kehendakku sendiri saja."
"Baik, Lan-ko. Aku harus berani menghadapi segala kenyataan dan akibatnya" jawab gadis itu dengan tegas.
Kakak beradik itu lalu menghadap Ki Patih Narotama. Ketika Ki Tejoranu menyatakan bahwa dia dan adiknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting dengan Ki Patih sendiri, Ki Patih Narotama lalu menerima mereka di ruangan dalam dan memesan kepada Ki Lurah agar jangan ada yang mengganggu pertemuannya dengan kakak beradik itu.....
Komentar
Posting Komentar