NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-14


Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbelalak sehingga sisa kantuknya menghilang. "Adipati Wengker? Hemm, tampan juga!"
Kini Linggawijaya yang melebarkan matanya. Tidak salah dengarkah dia? Gadis itu begitu saja memuji ketampanannya.

"Nimas, terima kasih atas pujianmu bahwa aku tampan!" katanya gembira.
"Wih! Jangan ge-er (gede rasa), ya? Aku sama sekali tidak memuji, hanya terheran. Aku mendengar bahwa pria di Wengker, itu rata-rata buruk mukanya, akan tetapi engkau yang jadi adipatinya tidak buruk!"
Wajah Linggawijaya agak kemerahan, akan tetapi dia tidak marah, bahkan merasa betapa lucunya gadis yang bersikap galak dan ugal-ugalan ini.
"Nimas, engkau cantik manis merak ati, juga gagah dan lucu sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa nama Andika dan mengapa Andika membikin ribut di Wengker?" pertanyaan itu lembut, bahkan merayu.
Niken Harni cemberut. "Namaku Niken Harni. Sebenarnya aku tidak ingin membikin ribut. Akan tetapi mereka itu tidak mau mengatakan di mana adanya Nyi Lasmi, maka terpaksa kuhajar!"
"Niken Harni, nama yang indah sekali, sesuai benar dengan orangnya. Bila mana orang-orangku bersikap tidak semestinya, aku yang mintakan maaf, Nimas Niken. Akan tetapi mengapa Andika mencari Nyi Lasmi?"
"Mengapa aku mencari Nyi Lasmi? Tentu saja aku mencarinya! Dia adalah Ibuku yang dibawa lari orang-orang Wengker yang jahat!"
Linggawijaya terbelalak heran. Apakah Puspa Dewi mempunyai adik? Sungguh mustahil! Setahunya Nyi Lasmi hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Puspa Dewi!
"Anak Nyi Lasmi? Benarkah ia itu Ibumu? Bagaimana mungkin?"
"Eh, engkau tidak percaya, Adipati Linggawijaya? Kau kira aku berbohong? Selama hidupku aku tidak pernah berbohong kecuali... kecuali dulu ketika masih kecil!"
"Hemm, ketika kecil suka bohong, ya?
"Tentu saja! Kalau aku melakukan kesalahan, aku berbohong agar jangan dihukum Ayah."
"Akan tetapi, Nimas Niken Harni. Setahu ku, Nyi Lasmi tidak mempunyai anak lain. Puterinya hanya seorang saja, yaitu Puspa Dewi."
"Mbakayu Puspa Dewi itu kakakku, Kakak tiriku."
"Tidak mungkin!"
"Heh, Adipati Wengker, jangan main-main engkau! Aku tidak berbohong. Aku memang anak tiri Nyi Lasmi!"
"Nimas, aku bilang tidak mungkin bukan tidak percaya kepadamu, aku hanya merasa bingung dan heran sekali karena aku mengenal benar Nyi Lasmi itu. Ia adalah Ibu tiriku!"
"Eh? Ibu tirimu? Mana mungkin...!"
"Hemm, agaknya Mbakayumu Puspa Dewi belum menceritakannya kepadamu. Ketahuilah bahwa Nyi Lasmi pernah menjadi isteri Ayah kandungku selama lima tahun."
"Benarkah? Siapa itu Ayah kandungmu?"
"Ayahku adalah Tumenggung Suramenggala!"
"Jadi engkau anak Suramenggala yang jahat itu? Kebetulan sekali kalau engkau anak Suramenggala. Hayo katakan dimana adanya Nyi Lasmi yang diculik Suramenggala!"
"Tenanglah, Nimas Niken Harni. Agaknya kau tidak mengetahui persoalannya dan hanya mendengarkan dari satu pihak saja yang menjelek-jelekkan kami. Sarungkan pedangmu. Engkau berhadapan dengan sahabat, bukan musuh. Mari kita bicara dari hati ke hati dan kuperkenalkan engkau kepada Ayah kandungku." Ucapan Linggawijaya begitu lembut dan mengandung bujukan kuat sehingga biarpun tadinya ia ragu-ragu, akan tetapi akhirnya Niken Harni menyarungkan pedangnya.
"Baik, aku akan mendengarkan apa yang hendak kau bicarakan."
Adipati Linggawijaya lalu menoleh dan memberi isyarat kepada Ki Suramenggala untuk memasuki pendopo. Para pengawal tinggal di bawah. Setelah Tumenggung Suramenggala berada di situ, Adipati Linggawijaya memperkenalkan.
"Nimas Niken Harni, inilah Ayahku, Tumenggung Suramenggala, suami Nyi Lasmi. Kanjeng Rama, ini adalah Nimas Niken Harni yang mengaku sebagai anak tiri Ibu Lasmi."
"Ah, benarkah?" Tumenggung Suramenggala yang tadi sudah mendengarkan percakapan mereka, memandang gadis itu dengan senyum ramah. "Niken Harni, bagaimana ceritanya bahwa Andika adalah anak tiri Diajeng Lasmi?"
"Nimas, mari kita duduk dan bicara dengan enak di ruangan dalam." ajak Linggawijaya dengan suara lembut dan sikap halus.
Niken Harni yang masih hijau dan sama sekali belum berpengalaman, hanya melihat sikap dan kata-kata orang untuk menilai baik buruknya orang itu, semakin tertarik dan ia menganggap pemuda yang telah menjadi Adipati Wengker itu seorang yang amat baik dan ramah, sopan pula. Maka bagaikan seekor domba yang tidak menyadari bahwa ia digiring memasuki rumah jagal, ia mengikuti ayah dan anak itu masuk ke ruangan dalam. Setelah berada di ruangan dalam yang cukup mewah dari gedung tumenggungan itu, Niken Harni dipersilakan duduk menghadapi sebuah meja besar dan dua orang ayah dan anak itu duduk di seberang meja.
"Nah, apa yang hendak engkau bicarakan dengan aku, dan katakan di mana adanya Nyi Lasmi sekarang!"
"Sabar, Nimas. Mari kuceritakan dari permulaannya agar engkau mengetahui duduknya perkara. Kurang lebih enam tujuh tahun yang lalu, Ayahku ini menjadi lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi ketika itu tinggal dl Karang Tirta sebagai seorang janda dengan seorang anak, yaitu Puspa Dewi. Kami saling mengenal dengan baik karena tinggal sedusun. Kemudian, Nyi Lasmi menjadi isteri Ayahku, maka dengan sendirinya Nyi Lasmi adalah Ibu tiriku. Selama lima tahun Nyi Lasmi menjadi anggota keluarga kami sampai setahun lebih yang lalu terpaksa Nyi Lasmi berpisah dari kami."
"Hemm, aku sudah mendengar. Ki Suramenggala dicopot sebagai lurah oleh Gusti Patih Narotama dan diusir keluar dari Karang Tirta, bukan?"
"Benar, akan tetapi peristiwa itu terjadi karena ayahku difitnah oleh beberapa orang dusun yang iri hati dan hendak merampas kedudukannya sebagai Lurah. Mereka itu antara lain Ki Pujosaputro yang kemudian berhasil menjadi lurah. Ayahku difitnah sehingga Ki Patih Narotama tertipu dan mengusir Ayah dan sekeluarga kami. Atas bujukan Ki Pujosaputro pula, Ibu tiriku, Nyi Lasmi, tidak ikut keluarga kami yang pindah ke sini. Nah, tentu saja Ayahku merasa sakit hati kepada Ki Pujosaputro dan setelah Ayahku menjadi tumenggung di Wengker ini, Ayah lalu mengirim orang-orang untuk membalas dendam, membunuh Ki Pujosaputro sekeluarga dan mengajak Ibu Lasmi ke sini karena ia memang isteri Ayah."
Mendengar cerita yang diucapkan Linggawijaya dengan gaya meyakinkan itu, Niken Harni menjadi ragu.
"Kalau begitu, benar Ibu Lasmi berada di sini? Di mana ia? Aku ingin bertemu dan menanyakan kebenaran ceritamu itu kepadanya!"
"Nanti dulu, Nimas. Ceritaku belum selesai. Sudah kuceritakan tadi bahwa Ibu Lasmi mempunyai seorang puteri, yaitu Puspa Dewi. Nah, ketika guru Puspa Dewi yang bernama Nyi Dewi Durgakumala menjadi permaisuri di Wura wuri, Puspa Dewi dengan sendirinya menjadi Sekar Kedaton (Puteri Istana) karena ia telah dianggap anak sendiri oleh Nyi Durgakumala. Maka, ketika terjadi perang antara Wura-wuri bersama kadipaten lain termasuk Wengker ini, Puspa Dewi sebagai Sekar Kedaton Wura-wuri menjadi wakil Wura-wuri untuk bekerja sama dengan kadipaten lain dalam usaha kami merobohkan Kahuripan. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Puspa Dewi telah membalik, membela Kahuripan dan mengkhianati persekutuan kami, terutama mengkhianati Kerajaan Wura-wuri."
"Hemm, sudah sepantasnya kalau Mbakayu Puspa Dewi membela Kahuripan karena ia adalah seorang kawula Kahuripan!"
"Engkau benar, Nimas. Akan tetapi jangan lupa bahwa ia sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri dan menjadi wakil Wura-wuri untuk menentang Kahuripan. Akan tetapi kemudian ia membalik dan ini berarti pengkhianatan bagi Wura-wuri. Tentu saja gurunya, Nyi Dewi Durgakumala marah sekali dan ia sudah mengancam akan menangkap murid atau anak angkat yang berkhianat itu untuk dihukum. Maka, setelah Ibu Lasmi berada di sini dan mendengar akan ancaman dari Wura-wuri terhadap puterinya Itu, Ibu Lasmi gelisah sekali. Akhirnya, setelah kami sekeluarga merundingkannya, Ibu Lasmi lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wura-wuri, menemui Nyi Dewi Durgakumala, disertai surat dari aku dan Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala, dan mintakan maaf untuk Puspa Dewi. Nah, begitulah ceritanya, Nimas."
"Jadi sekarang ini Ibu Lasmi tidak berada di sini?"
"Beliau sedang pergi ke Wura-wuri, dikawal oleh sepasukan prajurit."
"Wah, kalau begitu aku akan menyusul kesana!"
"Nanti dulu, Nimas. Kami kira, hal itu amat tidak tepat dan bahkan dapat membahayakan Ibu Lasmi. Kalau engkau pergi ke Sana lalu terjadi kesalahpahaman, tentu usaha Ibu Lasmi mintakan maaf atas kesalahan Puspa Dewi menjadi gagal dan bukan mustahil beliau sendiri akan dijatuhi hukuman."
"Eh, lalu bagaimana baiknya?"
"Nimas, menurut perhitungan kami, dalam satu dua hari ini Ibu Lasmi pasti pulang ke sini. Sebaiknya kalau engkau menanti saja kembalinya di sini. Bagaimana pun juga engkau bukan orang lain bagi kami, masih terhitung sanak keluarga. Kita berdua sama-sama anak tiri Ibu Lasmi, bukan?"
"Hemm... kau pikir begitu sebaiknya?"
"Tidak ada jalan lebih baik, Nimas. Mari kita makan dan selagi menanti para pelayan mempersiapkan makanan, kami ingin sekali mendengar tentang hubunganmu dengan Ibu Lasmi. Bagaimana duduknya perkara sehingga beliau kau sebut sebagai Ibu tirimu?"
Niken Harni sudah benar-benar terpengaruh oleh sikap dan kata-kata Linggawijaya. Tumenggung Suramenggala sejak tadi hanya mendengarkan dan tidak mau ikut bicara, khawatir kalau-kalau dia salah omong. Dia mendengarkan dan merasa girang dan kagum sekali akan kecerdikan puteranya.
"Begini ceritanya. Ibu Lasmi dulu adalah isteri dari Ayahku. Ketika itu, Ibu Lasmi tinggal di dusun dan Ayah bekerja di kota raja Kahuripan. Di kota raja Ayah menikah lagi dengan Ibuku. Hal ini membuat Ibu Lasmi meninggalkan dusun bersama puterinya, yaitu Mbakayu Puspa Dewi. Ayahku, dan seluruh keluarga Ibuku mencari-carinya tanpa hasil. Baru setelah Mbakayu Puspa Dewi datang mencari Ayah, kami tahu bahwa Ibu Lasmi berada di Karang Tirta. Kami semua pergi ke Karang Tirta dan ternyata terjadi peristiwa hilangnya Ibu Lasmi. Mbakayu Puspa Dewi melakukan pengejaran, dan aku menyusulnya. Apakah Mbakayu Puspa Dewi belum tiba disini?"
Linggawijaya sudah mendengar pelaporan para prajurit yang dipaksa mengaku oleh Puspa Dewi dan prajurit terakhir yang ditangkap gadis itu melaporkan bahwa dia terpaksa memberitahu bahwa Nyi Lasmi dikawal pasukan ke Wurawuri. Maka, Linggawijaya dapat menduga bahwa tentu Puspa Dewi langsung melakukan pengejaran ke Wura-wuri. Bagaimana pun juga, Puspa Dewi merupakan ancaman dan kalau sekarang dia dapat menahan Niken Harni, dia dapat mempergunakan gadis ini sebagai sandera.
"Ya, Puspa Dewi adikku itu sudah sampai di sini dan mendengar bahwa ibunya pergi ke Wura-wuri, ia menjadi khawatir dan pergi menyusulnya. Maka dari itu, Niken Harni, adikku yang manis, engkau menunggu saja di sini. Aku yakin besok atau lusa, Ibu Lasmi dan Adik Puspa Dewi tentu akan datang ke sini. Baru engkau dapat melihat sendiri betapa baik dan akrabnya hubungan kami satu sama lain."
Niken Harni mengangguk-angguk. Memang dalam hatinya ia merasa bingung. Kalau menurut cerita mbakayu-nya itu, Ki Suramenggala dan Linggawijaya ini adalah orang-orang jahat. Akan tetapi sekarang ia melihat kenyataan bahwa pemuda ini sungguh halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan menarik pula. Mana yang benar?
"Biarlah aku menanti di sini dan melihat bagaimana hubungan antara kalian." katanya seperti menjawab pertanyaan hatinya sendiri.
Bukan main girangnya hati Linggawijaya dan Suramenggala. Tumenggung itu memesan para isterinya dan para pelayan untuk bersikap ramah dan baik terhadap Niken Harni, kemudian dia memperkenalkan keluarganya itu kepada Niken Harni. Tentu saja gadis ini semakin senang melihat keramahan mereka dan menganggap bahwa keluarga ini benar-benar baik hati. Sebuah kamar yang indah disediakan untuknya, dan keluarga itu mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan gadis ini.
Gembira juga hati Niken Harni diajak makan minum semeriah itu. Kemudian, setelah makan minum sampai puas, ia di persilakan membersihkan diri mandi, lalu diberi kesempatan untuk mengaso, tidur di kamar yang disediakan untuknya. Karena memang ia merasa lelah dan lapar, juga pakaiannya dan tubuhnya kotor oleh debu, maka sekarang setelah makan dan mandi, sebentar saja Niken Harni sudah tertidur pulas dalam kamar itu!
Menjelang sore hari Niken Harni terbangun. Ia merasa tubuhnya segar. Seorang Isteri selir Tumenggung Suramenggala memasuki kamar dan menaruh seperangkat pakaian di atas meja. Ia melangkah dengan hati-hati agar jangan membangunkan gadis itu. Akan tetapi Niken Harni sudah terbangun dan ia cepat bangkit duduk.
"Bibi, apakah itu?" tanyanya kepada wanita yang tadi sudah diperkenalkan kepadanya sebagai seorang di antara isteri-isteri Tumenggung Suramenggala.
Wanita itu terkejut karena tidak mengira gadis itu sudah terbangun.
"Ah, engkau sudah bangun?" katanya sambil mengambil pakaian tadi dari atas meja. "Nak Niken Harni, ini kami sediakan pakaian pengganti untukmu. Mandi dan berganti pakaianlah agar engkau merasa segar. Hari telah hampir senja."
"Wah, terima kasih, Bibi. Sungguh Andika sekalian di sini amat baik kepadaku, membuat aku menjadi sungkan."
"Mengapa sungkan, Niken? Bagaimana pun juga, biarpun bukan langsung, engkau masih terhitung sanak keluarga kami. Nah, sekarang mandi dan bertukar pakaianlah. Kami menantimu di ruangan makan."
"Makan lagi?" seru Niken Harni.
Wanita itu tersenyum. Manis sekali walau pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. "Tentu saja, Niken. Tadi kita makan siang, dan nanti makan malam."
"Wah, sudah setengah hari aku tertidur?" Niken Harni berseru kaget dan ia lalu berlari ke kamar mandi sambil membawa pakaian pengganti itu.
Selir Ki Suramenggala itu tertawa dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang lincah dan bersikap polos itu. Tak lama kemudian, dengan pakaian yang baru dan bersih, dan rias wajah sederhana, hanya rambut panjang yang habis dikeramas itu disisir dan digelung, kulit muka yang putih mulus itu dilapisi bedak tipis dan bibir yang merah alami tanpa gincu itu hanya dibasahi dengan lidah, sinom (anak rambut) halus melingkar di pelipis dan dahi, Niken Harni tampak cantik manis bukan main!
Semua orang, terutama Linggawijaya yang sudah datang lagi setelah tadi pulang ke kadipaten, memandang kagum. Kalau dibiarkan, mungkin Linggawijaya akan mengilar seperti seekor srigala kelaparan melihat seekor domba muda yang dagingnya lembut dan darahnya hangat! Sambil tersenyum manis kepada semua orang yang sudah berkumpul di ruangan dalam depan kamarnya, Niken Harni memasuki ruangan itu.
Adipati Linggawijaya bangkit berdiri menyambut Niken Harni dan berkata dengan ramah dan lembut. "Diajeng Niken Harni, mari kita makan malam bersama, sejak tadi sudah disediakan untuk kita."
"Sang Adipati... "
"Ahh, mengapa engkau menyebut aku begitu? Kita ini bagaimana pun juga masih terhitung kakak beradik, bukan? Engkau anak tiri Nyi Lasmi, akupun juga, maka engkau adalah Adikku dan sepatutnya engkau menyebut aku kakangmas!" tegur Linggawijaya.
"Hemm, baiklah, Kakangmas Adipati Linggawijaya!" kata gadis itu sambil tersenyum lucu, seolah-olah ucapannya itu hanya gurauan saja. "Akan tetapi, Kakang-mas, mengapa semua anggota tidak ikut makan seperti siang tadi?" katanya ketika melihat bahwa Linggawijaya hanya mengajak ia sendiri memasuki ruangan makan.
"Tidak, Diajeng. Siang tadi kami memang sengaja mengadakan penyambutan kepadamu sehingga seluruh keluarga hadir dan ikut dalam perjamuan makan. Akan tetapi malam ini, aku ingin kita makan berdua karena banyak yang ingin kubicarakan denganmu."
Niken Harni tidak membantah lagi karena tentu saja ia sebagai tamu hanya menurut saja kepada apa yang telah diatur oleh pihak tuan rumah. Dan Linggawijaya bukan tuan rumah sembarangan, melainkan Adipati Wengker, orang nomor satu di kadipaten itu!
Biarpun dia ingin sekali memiliki tubuh gadis ini, namun Linggawijaya tidak mau mempergunakan pembius. Dia ingin agar Niken Harni menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Dia tahu bahwa gadis ini masih hijau, tentu akan mudah dia jatuhkan dengan rayuan mautnya!
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap. "Diajeng Niken, tadi engkau sudah menceritakan tentang hubunganmu dengan ibu kita Nyi Lasmi. Akan tetapi engkau belum menceritakan dengan jelas siapa nama Ayahmu dan siapa pula Ibu kandungmu. Mengingat bahwa kita masih saudara, maka sudah sepatutnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang orang tuamu."
Sambil makan Niken Harni menceritakan keadaan orang tuanya. "Ayahku adalah senopati muda Kahuripan bernama Senopati Yudajaya, sebelum menjadi senopati bernama Prasetyo. Adapun Ibu kandungku bernama Dyah Mularsih, Puteri dari Eyang Tumenggung Jayatanu di Kahuripan. Kami semua tinggal di kota raja."
"Wah, kiranya engkau keturunan senopati dan tumenggung! Pantas saja engkau begini cantik, agung, dan sakti!" Linggawijaya memuji.
Niken Harni tersenyum, senang menerima pujian itu. Gadis mana yang tidak akan berbunga-bunga hatinya kalau mendapat pujian, apa lagi pujian yang keluar dari mulut seorang pemuda yang selain tampan dan sakti, juga seorang adipati?
"Ih, Kakangmas, bisa saja memuji orang. Engkau sendiri seorang raja, seorang adipati, yang berkuasa penuh di Wengker. Aku telah mengenalmu sebagai kakak, akan tetapi engkau belum memperkenalkan aku kepada keluargamu. Kakangmas Adipati. Isterimu tentu cantik jelita seperti bidadari!"
"Ah, jauh dari persangkaanmu, Diajeng. Isteriku yang bernama Dewi Mayangsari sudah tua, dibandingkan dengan engkau, ia jauh kalah cantik!"
Kedua pipi Niken Harni berubah kemerahan. Pujian ini sudah terlalu, pikirnya. Masa ia dipuji lebih cantik dari isteri adipati itu?
"Hemm, jangan bohong, Kakangmas."
"Tidak, Diajeng. Dewi Mayangsari permaisuriku itu sudah janda, usianya sudah hampir tiga puluh tahun sedangkan usiaku baru dua puluh satu tahun!"
"Akan tetapi selir-selirmu tentu masih muda-muda dan cantik jelita!"
"Salah lagi, Diajeng. Aku sama sekali tidak mempunyai seorang selir pun!"
"Ihh! Mana mungkin? Engkau seorang adipati! Sedangkan ayahmu yang hanya seorang tumenggung saja begitu banyak selirnya! Jangan bohong, ah!"
"Sungguh, Diajeng. Aku berani sumpah. Aku sungguh tidak mempunyai seorang pun selir. Siapa sih yang mau menjadi selir seorang seperti aku ini?"
"Wah, jangan terlalu merendahkan dirimu, Kakangmas. Siapa yang mau menjadi selirmu? Engkau seorang adipati, masih muda, tampan dan gagah perkasa! Aku yakin, setiap orang gadis akan senang sekali menjadi selirmu!"
Hati Linggawijaya girang sekali. Pancingannya mengena!
"Akan tetapi dl sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, Diajeng."
"Kalau begitu Andika bisa mencari di lain tempat!"
Percakapan terhenti, agaknya Linggawijaya tidak dapat menjawab, padahal sebenarnya dia mulai mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang dia pelajari dari Lasmini, bekas selir Ki Patih Narotama yang dulu pernah berlangen-asmara dengan dia ketika masih menjadi selir Ki Patih Narotama. Kini Linggawijaya mulai mengerahkan ajian itu untuk mempengaruhi Niken Harni. Setelah merasa bahwa pengerahan Aji Pengasihan atau Aji Pameletan itu sudah mencapai kekuatan puncak, baru dia bicara lagi. Ketika itu mereka telah selesai makan.
"Diajeng Niken Harni, dalam ruangan ini hawanya kurang enak. Mari kita bicara di dalam taman. Taman tumenggungan ini luas dan indah sekali, dan malam ini terang bulan, tahukah engkau?"
Dengan sepasang pipi berwarna kemerahan, Niken Harni memandang wajah adipati itu dengan mata berseri dan mulut tersenyum manis. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini! Ia tidak menyadari bahwa ini adalah pengaruh rayuan ditambahi aji pameletan yang di kerahkan Linggawijaya untuk mempengaruhinya.
Ketika pemuda itu mengajaknya keluar, ke taman, ia pun hanya mengangguk dan tersenyum. Bahkan ketika mereka berdua memasuki taman yang memang teratur indah, di malam terang bulan, tangan kanan Linggawijaya memegang tangan kirinya dan menggandengnya, Niken Harni tidak menolak. Hatinya berbisik, apa salahnya bergandengan tangan antara adik dan kakak?
Taman itu memang indah. Dihias lampu warna-warni di sana-sini dan berbagai macam bunga berkembang, semerbak harum. Ditambah lagi dengan sinar bulan, maka suasananya sungguh indah dan menggairahkan. Linggawijaya mengajak Niken Harni berjalan-jalan sampai ke tengah taman di mana terdapat sebuah pondok kecil mungil. Mereka duduk di atas bangku panjang di luar pondok, menghadapi kolam ikan emas, yang selaln tampak ikan berbagai warna berenang-renang, juga ditumbuhi beberapa tangkai bunga teratai merah.
Mereka duduk bersanding. Linggawijaya bersikap hati-hati, dan dia sudah melepaskan pegangan tangannya. Niken Harni duduk diam seperti terpesona. Ia masih merasakan daya tarik yang amat kuat keluar dari pemuda itu, daya tarik yang penuh cinta kasih. Akan tetapi ia menganggap hal itu sebagai kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Pendidikan moral yang ketat dan tinggi dari ayah, Ibu, dan kakeknya membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat walau pun benteng itu pada saat ini agak goyah oleh daya aji pameletan yang kuat.
"Diajeng, mari kita lanjutkan pembicaraan kita di ruangan makan tadi. Sampai di mana pembicaraan kita?"
Niken Harni mengingat-ingat, lalu tersenyum dan berkata.
"Engkau mengatakan bahwa di sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, dan aku berkata bahwa engkau dapat mencari di lain tempat, Kakangmas."
Linggawijaya menggeleng kepala. "Biarpun di lain daerah terdapat banyak wanita cantik, akan tetapi aku tidak suka, Diajeng. Aku tidak dapat jatuh cinta kepada mereka. Ahh, kalau saja ada seorang gadis seperti engkau, Diajeng, seorang saja yang mau menjadi teman hidupku, aku akan hidup berbahagia selamanya." Setelah berkata demikian, kembali tangan kanan Linggawijaya menggenggam tangan kiri Niken Harni. Gadis ini sama sekali belum pernah bergaul dekat dengan pria, maka ia tidak menyadari betapa pemuda di sampingnya itu telah terbakar nafsu berahinya sendiri. Biarpun jantungnya berdebar dan merasa aneh, Niken Harni masih membiarkan saja tangannya dipegang dan diam-diam ia merasa iba kepada pemuda yang mengaku masih sanak dengannya itu.
"Kakangmas, jangan putus asa. Aku yakin bahwa engkau pasti akan dapat menemukan seorang gadis yang pantas untuk menjadi selirmu."
"Tidak, Diajeng. Aku hanya menginginkan engkau seorang! Engkaulah yang pantas menjadi kawan hidupku!"
Melihat kini sinar mata pemuda itu memandang kepadanya seolah mata seekor harimau yang hendak menerkamnya, Niken Harni terkejut sekali.
"Kakangmas! Ingatlah, aku ini Adikmu! Kita masih bersaudara."
"Tidak mengapa, Diajeng. Kita berlainan Ibu berlainan Ayah. Kita tidak sedarah daging. Diajeng Niken Harni, aku cinta padamu, Diajeng. Begitu melihatmu, aku jatuh cinta padamu. Engkau seorang yang pantas menjadi selirku. Mari, Diajeng..!"
Kini Linggawijaya merangkul dengan penuh keyakinan bahwa gadis itu pasti tidak menolaknya karena telah terpengaruh aji pameletannya. Memang pada saat itu, hati dan pikiran Niken Harni telah terpikat dan kacau, namun jiwanya yang bersih menolongnya. Hati nuraninya mengatakan tidak dan menolak kemesraan yang akan dilakukan pemuda itu terhadap dirinya. Ia cepat meronta melepaskan diri dari rangkulan Linggawijaya dan melompat berdiri agak menjauh.
"Tidak! Aku tidak mau menjadi isterimu, Kakangmas. Aku tidak mau menjadi isteri siapa pun juga saat ini!" bentaknya dan ia mulai marah.
Akan tetapi nafsu dalam diri Linggawijaya telah berkobar membakar dirinya. Apa pun yang terjadi, dia harus memiliki gadis itu.
"Diajeng, jangan menolak aku!" bentaknya dan dia sudah menubruk dengan cepat sekali. Niken Harni marah dan hendak memukul, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tak dapat bergerak ketika Linggawijaya menepuk tengkuknya. Tentu saja di bandingkan kesaktian Linggawijaya, kepandaian gadis ini tidak ada artinya. Ia terkulai lemas dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan dengan tenaga besar. Linggawijaya merangkulnya dan pemuda ini merasa penasaran sekali. Bagaimana mungkin aji pameletannya gagal menunduk-kan gadis ini? Sebetulnya dia igin menundukkan gadis ini agar ia menyerahkan diri dengan suka rela, akan tetapi karena hal itu tidak mungkin, terpaksa dia akan menggunakan kekerasan! Bukan hanya karena berani yang membuat dia ingin menguasai Niken Harni, akan tetapi terutama untuk menggunakan sebagai perisai untuk memaksa Puspa Dewi tidak memusuhinya!
"Diajeng Niken Harni yang cantik manis, sekarang engkau akan menjadi Isteriku!" kata Linggawijaya dan dia memondong tubuh itu lalu melangkah menuju pintu pondok.
"Jahanam! Jahat engkau! Terkutuk!" Niken Harni hendak meronta, namun tenaganya tidak dapat ia kerahkan.
Linggawijaya merasa senang sekali ketika merasa betapa tubuh yang padat dan hangat itu meronta-ronta dengan lemah dalam pondongannya. Saking girangnya, dia tertawa bergelak sambil melangkah ke pintu pondok dan dorongan kakinya membuat daun pintu pondok itu terbuka lebar. Dalam pondok itu telah terdapat sebuah lampu gantung yang bernyala cukup terang karena memang sebelumnya Linggawijaya telah menyiapkannya.
Akan tetapi, tiba-tiba suara tawa Linggawijaya terhenti dan sepasang matanya terbelalak memandang ke dalam pondok. Dari dalam pondok itu tampak awan hitam melayang-layang dan berputaran menghadang sampai ke pintu pondok! Linggawijaya adalah seorang sakti. Melihat kejadian aneh ini, dia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan manusia.
"Hei, siapa yang berani main-main menggangguku? Aku adalah Sang Adipati Lingga-wijaya dari Kerajaan Wengker!" dia membentak dengan suara mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga suara ini saja mempunyai daya yang ampuh untuk melumpuhkan lawan.
Akan tetapi awan hitam itu tidak bergeming dan kini terdengar suara yang nyaring menusuk telinga.
"Linggawijaya, bebaskan gadis ini!" Nada suaranya memerintah dan suara itu kecil tinggi dan parau, suara seorang wanita tua.
"Jahanam, siapa engkau? Kalau bukan iblis, perlihatkan dirimu!" Linggawijaya yang selalu mengagulkan kepandaian dan kesaktiannya sendiri itu, membentak dan memaki.
Terdengar suara tawa cekikikan, makin lama semakin nyaring dan Linggawijaya terkejut bukan main ketika merasa betapa suara tawa itu mengguncang jantungnya. Cepat dia melepaskan tubuh Niken Harni yang jatuh terduduk di bawah anak tangga pondok, lalu Linggawijaya mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi jantung dan perasaannya.
Perlahan-lahan awan hitam itu menipis dan tampaklah sosok tubuh seorang wanita tua. Makin lama sosok itu semakin jelas dan Linggawijaya melihat seorang wanita tua berusia sekitar lima puluh tahun, masih ada bekas. Kecantikan wajahnya, tubuhnya agak kurus dan pakaiannya serba hitam. Sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan sangat menyeramkan. Melihat bahwa pengganggunya hanya seorang wanita tua, Linggawijaya memandang rendah dan dia menjadi marah sekali karena wanita itu mengganggu ke senangannya.
"Nenek jahat, siapa engkau? Pergilah dan jangan menggangguku, atau engkau akan menyesal nanti!"
"Hi-hi-hik!" Nenek itu tertawa dan giginya masih berderet rapi dan putih terkena sinar lampu. "Bocah sombong, engkau tidak berharga untuk mengenal namaku. Hayo engkau menggelinding pergi dan tinggalkan gadis itu!"
Dapat dibayangkan betapa marah hati Linggawijaya ketika mendengar ucapan yang amat memandang rendah bahkan menghinanya itu. Sementara itu Niken Harni yang mendengar ucapan nenek itu mengerti bahwa nenek itu hendak menolongnya, maka katanya dengan nyaring tanpa dapat menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh.
"Bibi yang baik, sikat saja! Orang ini jahat seperti ular berbisa! Curang licik seperti bajing (tupai)! Dia memang bajingan (makian, penjahat)!"
Linggawijaya sudah marah sekali dan sambil mengeluarkan bentakan menggelegar dia sudah menerjang dan memukul dengan Aji Gelap Sewu yang amat kuat.
"Syuuuttt...! Desss!"
Bukan main kagetnya hati Linggawijaya karena begitu pukulannya tiba dekat tubuh nenek itu, tiba tiba saja ada hawa yang luar biasa kuatnya menolak sehingga dia tidak mampu bertahan lagi, tubuhnya terlempar ke belakang dan bergulingan.
"Bagus! Dia benar-benar menggelinding seperti bola!" Niken Harni biarpun belum dapat bergerak, mengejek dan mentertawakan.
Linggawijaya merasa terkejut dan heran sekali. Bagaimana mungkin pukulannya dengan Aji Gelap Sewu itu dapat mental kembali seolah bertemu dengan sesuatu yang amat kuat dan lentur? Dia tidak percaya dan begitu dapat melompat bangun, dia sudah menerjang lagi, lebih hebat daripada tadi, karena kini dia menggunakan Aji Sihung Naga, pukulan tangannya yang teramat dahsyat sambil mengerahkan tenaga sakti Wisa Langking yang mengubah kedua tangannya yang memukul berubah hitam karena mengandung racun yang amat kuat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan