NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-07


"Orang muda, Andika siapakah?"
"Nama saya Nurseta, Eyang."
Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Teringat dia akan pertemuannya dengan Sang Empu Bharada, sahabat baiknya dan sama-sama tokoh yang setia kepada Kahuripan. Empu Bharada menceritakan tentang penglihatannya bahwa ada bahaya mengancam Kahuripan, dan sambil lalu Empu Bharada bercerita tentang seorang pemuda bernama Nurseta murid mendiang Empu Dewamurti yang menjadi sahabat baik Empu Bharada, yang dalam penglihatannya merupakan cahaya putih (Nur Seta) yang ikut mengusir kegelapan yang menyelubungi Kahuripan.
Juga bahwa Nurseta telah berjasa ketika Kahuripan dilanda kemelut dengan adanya pemberontakan yang dilakukan Pangeran Hendratama dibantu oleh persekutuan para kerajaan kecil. Bahkan lebih dari itu, Nurseta yang telah menemukan dan mengembalikan Sang Megatantra, keris pusaka yang telah puluhan tahun hilang dari kerajaan Mataram. Dan kini, tanpa di sengaja, pemuda itu telah duduk bersimpuh dan menyembahnya.
"Kulihat engkau telah memiliki kekuatan sehingga tidak terpengaruh kekuatar sihir yang amat ganas yang dipergunakan Nini Bumigarbo tadi. Siapakah gurumu, Nurseta?" Bhagawan Ekadenta bertanya untuk memperoleh keterangan dari pemuda itu sendiri sungguhpun dia sudah mendapat keterangan dari Empu Bharada.
"Saya pernah mendapat bimbingan dari mendiang Eyang Guru Empu Dewamurti, Eyang."
"Mendiang Kakang Empu Dewamurti adalah Kakak seperguruanku, Nurseta. Aku mendengar bahwa beliau wafat setelah terluka oleh pengeroyokan lima orang datuk sesat dari kerajaan-kerajaan Siluman Laut Kidul, Wengker dan Wurawuri. Bagaimana hal itu dapat terjadi dan apakah engkau tidak membela gurumu?"
"Ampun, Eyang. Ketika pengeroyokan tu terjadi, saya sedang tidak berada di pondok sehingga saya tidak sempat membela Eyang Guru."
"Hemm, dan engkau sama sekali tidak mencari mereka yang membunuh gurumu untuk membalas dendam?" Bhagawan ekadenta menguji.
"Tidak, Eyang. Mendiang Eyang Guru sudah menanamkan kesadaran kepada saya bahwa dendam kebencian merupakan racun bagi batin sendiri. Kalau saya mencari mereka dan membunuh mereka untuk membalas dendam, berarti saya telah mengingkari janji saya kepada Eyang Guru untuk menaati pesan terakhirnya."
Wajah Bhagawan Ekadenta berseri. "Sadhu-sadhu-sadhu, beruntung sekali Kakang Empu Dewamurti mempunyai engkau sebagai muridnya! Dan lebih beruntung lagi Kerajaan Kahuripan mempunyai seorang kawula seperti engkau, Nurseta. Engkau memiliki jiwa satria."
"Harap Eyang ketahui bahwa saya ini hanyalah seorang dusun dari desa Karang Tirta yang bodoh." kata Nurseta dengan rendah hati secara tulus, bukan berpura-pura. Melihat kakek ini tadi bertanding melawan Nini Bumigarbo, dia benar-benar merasa seperti seorang anak kecil yang lemah dan semua aji kanuragan yang di kuasai hanya sebagai mainan anak-anak belaka.
"Tidak Nurseta. Engkau adalah seorang satria dan mendiang Kakang Empu Dewamurti telah memberi bimbingan yang baik sekali kepadamu. Mungkin hanya kurang polesan saja."
"Saya mohon petunjuk Eyang."
"Baik, engkau memang berhak menerimanya. Mari kuberi polesan selama tiga bulan kepadamu, Nurseta."
Bukan main girangnya hati Nurseta. Dia lalu membangun sebuah pondok sederhana di mana dulu pondok gurunya berada. Semenjak hari itu, selama tiga bulan lamanya Bhagawan Ekadenta memberi petunjuk oleh memoles dan mematangkan semua aji kesaktian yang telah dikuasai Nurseta. Bukan itu saja, akan tetapi dia juga mendengar tentang Nini Bumigarbo yang amat sakti itu akan memperkuat Kerajaan Wengker agar kerajaan itu dapat menjatuhkan Kahuripan. Bahkan nenek itu telah mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Wengker, menjadi muridnya.
"Karena itu, kalau engkau membela Kahuripan, waspada dan berhati-hatilah terhadap Kerajaan Wengker karena mungkin kerajaan itulah yang akan merupakan musuh yang paling berbahaya bagi Kahuripan di samping tentu saja Kerajaan Parang Siluman karena di sana terdapat banyak orang sakti, terutama Lasmini dan Mandarl bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan Ki Nagakumala!
Setelah menerima gemblengan selami tiga bulan, kesaktian Nurseta meningkat dengan pesat. Pada malam terakhir, ketika Nurseta masih tidur, dia mendengar suara lapat-lapat namun jelas.
"Nurseta, kita berpisah. Aku melanjutkan perjalananku."
Itu adalah suara Bhagawan Ekadenta. Nurseta cepat melompat bangun, akan tetapi kakek itu sudah tidak berada dalam pondok itu lagi. Dia tahu bahwa percuma saja mencoba untuk mengejar atau mencari karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaiannya masih jauh selisihnya dibanding tingkat Sang Bhagawan itu…..
********************
Gadis itu melangkah santai memasuki gapura kota raja Kahuripan yang sudah dikenalnya dengan baik. Masih terbayang dalam ingatannya, seolah baru kemarin dulu terjadi, ketika ia diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga dan diterima oleh Puteri Mandari, ketika itu masih menjadi selir Sang Prabu Erlangga. Sebagai wakil Kerajaan Wura-wuri ia menyamar sebagai pelayan pribadi Puteri Mandari, namun akhirnya ia sadar dan membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak.
Puspa Dewi menghela napas panjang. Ia teringat kepada ibunya dan kembali menghela napas. Kasihan ibunya, hidup menderita sejak berpisah dari ayahnya. Setelah berpisah dari Sang Maha Resi Satyadarma yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, ia langsung saja pergi ke kota raja untuk melanjutkan keinginannya yang ia tunda selama tiga bulan. Keinginan itu adalah menemui ayah kandungnya dan menegurnya karena telah menyia-nyiakan ibunya.
Akan tetapi hati Puspa Dewi sudah berubah sama sekali semenjak ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma. Kalau dulu ia merasa penasaran dan ingin memberi teguran kepada ayahnya, kini kemarahannya sudah tidak berbekas lagi. Ia hanya ingin bertemu dan melihat ayahnya, juga ia ingin menceritakan kepada ayahnya tentang penderitaan ibunya selama ini. Biarpun masih ada sisa ketegasan dalam sikap Puspa Dewi, jujur dan terbuka, namun sifatnya yang liar kini sudah berubah, la lembut dan suka tersenyum ramah, juga pandai dan kuat menahan gejolak perasaannya.
Setelah bertanya-tanya, dengan mudah Puspa Dewi mendapat keterangan di mana gedung tempat tinggal Tumenggung Jayatanu, senopati Kahuripan. Juga ia mendapat keterangan bahwa Prasetyo kini telah menjadi seorang senopati pula, akan tetapi tetap tinggal di rumah mertuanya, yaitu Tumenggung Jayatanu. Prasetyo telah memperoleh kedudukan dan kini menjadi Senopati Yudajaya.
Setelah mengetahui di mana tempat tinggal ayah kandungnya, yaitu Prasetyo yang kini bernama Senopati Yudajaya, ia segera mencari rumah itu. Tak lama kemudian ia sudah berdiri di tepi jalan, tepat di depan sebuah gedung besar yang bagian depannya memiliki pekarangan luas dan di belakang pintu gapura terdapat sebuah gardu di mana terdapat beberapa orang prajurit melakukan penjagaan.
Sampai lama Puspa Dewi berdiri di situ. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi juga merasa betapa janggalnya keadaan itu. Ayah kandungnya hidup di gedung yang besar dan megah ini sebagai seorang senopati yang memiliki kekuasaan, harta, dan kemuliaan. Rumah tempat tinggalnya saja dijaga selusin orang prajurit. Akan tetapi ibunya? Terlunta-lunta, miskin dan papa. Ibunya rela hidup sengsara, berkorban demi cintanya kepada pria yang namanya Prasetyo, yang kini menjadi Senopati Yudajaya. Panas juga rasa hatinya mengingat akan keadaan ibunya, akan tetapi sekali menarik napas panjang saja ia sudah menenangkan hatinya kembali.
Matahari pagi telah naik cukup tinggi sehingga sinarnya menerangi pekarangan yang terhias hamparan rumput hijau sehingga tertimpa cahaya matahari tampak hijau indah dan menyegarkan pandang mata. Selusin orang prajurit penjaga itu agaknya juga terpengaruh kecerahan pagi yang mendatangkan kegembiraan dalan hati mereka sehingga mereka duduk bergerombol dan bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, agaknya mereka bersenda-gurau di antara mereka.
Puda saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda berbulu putih yang besar dan bagus sekali muncul dari belakang, melalui sisi sebelah kiri gedung. Para prajurit penjaga memandang dan mereka menghentikan percakapan, memandang kagum. Juga Puspa Dewi memandang dengan kagum. Bukan hanya kagum kepada kuda yang indah itu akan tetapi lebih kagum lagi melihat orang yang menunggang kuda itu.
Penunggang kuda putih itu seorang gadis yang usianya sekitar delapan belas tahun. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul, agak berombak dan ketika diterpa angin, berkibar dan sebagian rambutnya menyapu dan menutupi sebelah mukanya yang berkulit putih. Wajah itu cantik jelita dan anggun, terutama sepasang matanya yang seperti bintang dan bibirnya yang merah membasah. Tubuhnya sintal padat dengan pinggang ramping.
Kedua kaki yang telanjang dari betis ke bawah itu putih dan halus mulus, tampak kekuningan ketika menempel ketat di kanan kiri perut kuda berbulu putih itu. Pakaian..gadis Itu jelas menunjukkan bahwa ia seorang gadis bangsawan. Akan tetapi cara ia menunggang kuda, memegang kendali dengan sebelah tangan kiri dan tangan kanannya menepuk-nepuk punggung kuda sambil bicara dengan suara nyaring.
"Hirr... bagus, Nagadenta, hayo loncat...!"
Kedua kakinya menendang-nendang perut kuda di kanan kiri dan kuda putih besar yang terlatih itu lalu berlari congklang setengah berlompatan di atas lapangan rumput di pekarangan luas itu. Kuda itu dilarikan congklahg mengitari pekarangan. Tubuh yang indah itu duduknya tegak, bergerak lentur mengikuti gerakan kuda, menandakan bahwa gadis itu memang mahir menunggang kuda. Tampak serasi sekali antara gadis dan kuda itu sehingga tampak indah sekali. Puspa Dewi sendiri kagum melihatnya.
"Heii, Nimas, mau apa Andika sejak tadi berdiri di situ? Harap segera tinggalkan tempat ini karena sikap Andika dapat menimbulkan kecurigaan." kepala pasukan jaga yang usianya sekitar empat puluh tahun menegur dengan suara halus namun tegas.
Puspa Dewi yang tadinya tertarik dan menonton gadis penunggang kuda itu melarikan kudanya memutari pekarangan, kini menghadapi kepala jaga itu. Ia melihat betapa semua prajurit jaga kini memandang dan memperhatikannya.
"Maaf, Paman." kata Puspa Dewi halus dan orang yang setahun lalu mengenalnya akan terheran menyaksikan sikapnya dan mendengar suaranya yang lembut ramah, tidak seperti biasanya lincah dan galak. "Saya hendak mencari seorang laki-laki bernama Prasetyo."
"Prasetyo...?" Kepala jaga itu mengerutkan alisnya, memejamkan matanya, mengingat-ingat. Lalu dia membuka matanya kembali, memandang kepada Puspa Dewi dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo. Hei, kawan-kawan, apakah kalian mengenal seorang bernama Prasetyo?" Sebelas orang perajurif itu berbisik-bisik lalu menggelengkan kepala mereka.
"Tidak ada yang mengenal siapa Prasetyo itu, Kakang Jiman!" kata seseorang kepada kepala jaga.
"Sayang sekali, Ninmas. Kami tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo itu. Di mana rumahnya?"
Puspa Dewi menuding ke arah rumah gedung itu. "Rumahnya di sini."
Para prajurit itu saling pandang dan ada yang tertawa geli, bahkan ada yang mulai memandang Puspa Dewi dengan alis berkerut, mengira bahwa gadis itu tentu tidak waras! Si kepala jaga bernama Jiman itu pun mengerutkan alis dan memandang wajah Puspa Dewi dengan aneh karena menduga gadis cantik itu agak miring ingatannya.
"Engkau keliru, Nimas atau mungkin engkau sedang bingung! Semua orang di kota raja ini tahu belaka bahwa gedung ini adalah milik Gusti Tumenggung Jayatanu, senopati tua Kerajaan Kahuripan!"
"Ya-ya... Tumenggung Jayatanu. Aku mencari Prasetyo, mantu Sang Tumenggung itu!"
Kepala jaga itu semakin yakin bahwa gadis cantik di depannya ini memang agak miring alias tidak waras ingatannya. Dia memandang dengan pandang mata mengandung iba. Sayang, pikirnya, gadis yang begini cantik jelita ternyata setengah gila?
"Sadarlah, Nimas. Engkau salah masuk dan salah sangka. Mantu Gusti Tumenggung Jayatanu bernama Senopati Yudajaya!"
Puspa Dewi tertegun. Kelirukah dia? Ah, tidak mungkin. "Paman, tentu ada mantunya yang bernama Prasetyo."
"Tidak ada! Mantunya hanya seorang saja karena puterinya memang hanya seorang dan nama mantunya adalah Senopati Yudajaya. Ah, pergilah, Nimas, engkau menjadi tontonan orang nanti. Pulanglah ke rumahmu." Kepala jaga itu membujuk.
"Kalau begitu, aku ingin, bertemu dengan Senopati Yudajaya itu, Paman. Hadapkan aku padanya!"
Ki Jiman mengaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia menjadi serba salah menghadapi gadis yang agaknya gendeng (idiot) ini! Kalau dia melapor kepada Senopati Yudajaya dan mempertemukan Sang Senopati itu dengan seorang gadis gila, tentu dia akan mendapat marah besar dan juga mendapat malu. Akan tetapi kalau tidak, gadis ini agaknya nekat dan bagaimana kalau gadis gila ini mengamuk?”
"Wah, tidak begitu mudah, Nimas," dia membujuk. "Tidak mudah menghadap dan bertemu dengan Senopati Yudajaya. kami tidak berani mengganggunya karena kami tentu akan mendapat marah!" Dia lalu membujuk lagi. "Karena itu pulanglah saja, Nimas. Orang tuamu tentu sedang mencarimu."
Kesabaran Puspa Dewi menipis, la sudah mencoba untuk membujuk dan mendesak. Namun kepala jaga ini agaknya kukuh tidak mau mempertemukannya dengan Senopati Yudajaya, bahkan melihat sikap nya seolah meragukan kewarasan otaknyal
"Sudahlah, kalau kalian tidak dapat menolongku, biar aku mencari dan menghadap sendiri!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi lalu melangkah masuk dan ingin pergi menyeberangi pekarangan menuju ke rumah besar itu.
"Hee! Perlahan dulu!" Kepala jaga itu berseru dan dua belas orang prajurit itu lalu menghadang dan melintangkan tombak mereka untuk mencegah Puspa Dewi melangkah maju.
"Andika tidak boleh masuk!" kata kepala jaga. Kini agak marah karena jengkel harus melayani gadis yang jelas agak gila ini.
"Hemm, kalian tidak mau melaporkan ke dalam, tidak mau menolongku dan ketika aku hendak mencari dan menghadap sendiri, kalian menghalangi aku! Minggirlah kalian!"
"Nimas, lebih baik engkau keluar dan pulanglah, jangan membikin kekacauan di sini. Kami tidak ingin bersikap kasar kepada seorang wanita. Keluarlah!" Kepala jaga itu bersama teman-temannya, menggunakan tombak yang dillntangkan untuk memaksa dan mendorong Puspa Dewi keluar dari dalam pintu gapura itu.
Melihat betapa selusin orang itu berkeras hendak mendorongnya keluar, Puspa Dewi lalu mendorongkan kedua tangannya yang menangkap tombak Ki Jirnan yang didorongkan kepadanya.
"Wuuuttt...!" Bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin, dua belas orang prajurit itu terlempar ke belakang dan berpelantingan. Tentu saja mereka terkejut bukan main. Terdengar derap kaki kuda dan kuda putih itu sudah tiba di situ. Agaknya tadi ketika mengitari pekarangan, gadis penunggang kuda itu melihat peristiwa ini dan ia cepat melarikan kuda menghampiri.
"Apa yang terjadi di sini, Paman Jiman?"
Sambil merangkak bangun seperti juga teman-temannya yang tidak terluka, hanya terkejut saja, Ki Jiman berkata, "Den Roro, gadis pengacau ini memaksa kami untuk melaporkan kepada Gusti Senopati Yudajaya bahwa ia ingin bertemu. Ia hendak nekad masuk dan ketika kami menghalanginya, la mendorong kami."
Gadis itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Atas isyarat gadis itu, seorang prajurit yang paling dekat segera melompat dan menerima kendali kuda. Dia segera membawa kuda itu menjauh. Sejenak gadis itu mengamati Puspa Dewi dari kepala sampai ke kaki. Tubuh mereka sama sintal padat, sama ramping. Wajah mereka juga sama-sama cantik jelita, walau pun bentuknya berlainan. Setelah cukup mengamati Puspa Dewi, gadis itu bertanya, suaranya dan sikapnya menunjukkan kebangsawanannya, anggun dan agak tinggi hati.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau mencari Ayahku?"
"Ayahmu?"
"Senopati Yudajaya, dia adalah Ayahku. Mengapa engkau hendak bertemu dengan dia? Siapa engkau?"
Puspa Dewi tertegun dan kini ia yang mengamati gadis di depannya itu dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. Gadis ini puteri ayah kandungnya?
"Kau... kau puteri Senopati Yudajaya?" tanyanya dengan suara tidak percaya.
"Hemm, seluruh penduduk Kahuripan mengenal siapa aku. Aku adalah Niken Harni, puteri tunggal Senopati Yudajaya dan engkau agaknya tidak percaya? Manusia aneh, siapa sih engkau ini?"
"Aku... namaku Puspa Dewi." kata Puspa Dewi, agak bingung karena kini ia berhadapan dengan puteri ayahnya, berarti gadis ini adalah Adik tirinya, satu ayah berlainan ibu.
Inilah agaknya anak dari Dyah Mularsih seperti yang diceritakan ibunya. Dyah Mularsih puteri Senopati Jayatanu yang menjadi isteri ke dua ayahnya! Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, gagah dan tegak di atas kudanya, memasuki gapura dan melihat ribut-ribut, dia melompat turun. Gerakannya masih sigap dan melihat pakaiannya tentu dia seorang berpangkat.
"Hei, ada apa ribut-ribut ini? Niken, ada terjadi apakah?" tanya orang itu yang bukan lain adalah Tumenggung Jayatanu, Kakek dari Niken Harni.
Dengan suara manja Niken Harni mendekati kakek itu dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Puspa Dewi.
"Gadis itu, Kanjeng Eyang, membikin kacau dan berkeras hendak menemui Ayah, namanya Puspa Dewi."
"Puspa Dewi...??" Senopati Tumenggung Jayatanu cepat memandang dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat Puspa Dewi, kemudian dia cepat mencabut kerisnya dan berseru.
"Benar! Ia Puspa Dewi, mata-mata Wura-wuri yang dulu menyelundup ke istana dan menjadi pelayan pribadi selir Mandari yang berkhianat! Para pengawal, tangkap ia! Kalau melawan bunuh mata-mata ini, karena tentu ia berniat buruk terhadap kita!"
Seorang prajurit memukul kentungan dan dari dalam gedung datang berlarian belasan orang pengawal yang memegang senjata klewang atau tombak. Mendengar perintah Sang Tumenggung, mereka semua yang berjumlah sekitar dua puluh lima orang bersama regu penjaga, mengepung Puspa Dewi dengan senjata siap menyerang.
"Puspa Dewi, menyerahlah kami tangkap agar kami tidak perlu menggunakan tangan kejam membunuhmu!" bentak seorang perwira pengawal, lalu dia sendiri bersama dua orang memasuki kepungan dengan niat untuk menangkap Puspa Dewi. Dua orang prajurit itu lalu menjulurkan tangan hendak menelikung kedua lengan Puspa Dewi. Akan tetapi gadis ini hanya tersenyum saja dan sebelum tangan-tangan itu menyentuhnya, ia menggerakkan kedua tangannya dan dua orang itu bersama Sang Perwira terpelanting keras sampai terguling-guling!
Melihat ini. Tumenggung Jayatanu menjadi marah. Dia merasa yakin bahwa gadis yang dia dengar merupakan Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri itu tentu akan mengamuk dan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Maka dia membentak memberi aba-aba.
"Serbu! Bunuh mata-mata Wura-wuri ini!"
Dua puluh lebih orang itu segera menerjang dengan senjata mereka. Belasan batang tombak, klewang dan keris menyambar-nyambar bagaikan hujan ke arah tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi tetap tenang dan tersenyum.
Kalau saja dirinya dikeroyok seperti itu setahun yang lalu, tentu dia akan marah dan mengamuk. Entah betapa banyak pengeroyok yang akan roboh tewas. Akan tetapi sekarang ia tidak membiarkan nafsu amarah mempengaruhinya. Apa lagi para pengeroyok itu bukan orang-orang jahat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan tubuhnya.
Kedua tangannya berkelebatan dan dari kedua tangan itu menyambar angin yang kuat sekali sehingga mereka yang berani mendekat tentu terpelanting dan roboh dengan tubuh babak bundas (lecet-lecet) akan tetapi tidak ada yang terluka berat, apa lagi tewas. Namun, setelah dua puluh lima orang itu terpelanting roboh, mereka merasa jerih dan maklum bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebatl
Niken Harni yang sejak kecil sudah mempelajari aji kanuragan, melihat semua prajurit berpelantingan, menjadi marah. Ia mencabut sebatang patrem (keris kecil) dan melontarkannya ke arah Puspa Dewi. Melempar patrem ini merupakan satu di antara keahlian gadis cantik ini. Pernah ia merobohkan seekor harimau dengan lontaran patremnya yang tepat mengenai leher harimau itu.
Pada saat hampir berbareng, Tumenggung Jayatanu juga sudah melontarkan sebatang tombak ke arah Puspa Dewi. Dua buah senjata itu meluncur dengan cepat, terutama tombak itu mengeluarkan suara berdesing dan menyambar seperti kilat ke arah perut Puspa Dewi, sedangkan patrern itu menyambar ke arah lehernya!
Puspa Dewi tidak marah, la dapat mengerti mengapa Tumenggung Jayatanu langsung saja memusuhinya. Tentu Tumenggung Jayatanu tidak tahu bahwa dulu itu ia membela Kahuripan dan masih saja dianggap sebagai Sekar Kedaton Wengker yang ikut dalam persekutuan pemberontak. Yang tahu akan hal itu hanyalah Ki Patih Narotama, Nurseta, dan Dyah Untari, selir Sang Prabu Erlangga. Agaknya Sang Prabu Erlangga tentu mengetahui pula, mendengar dari laporan Dyah Untari.
Selain mereka, mungkin hanya beberapa orang senopati atau pejabat tinggi yang dekat dengan raja dan patih itu yang mengetahuinya. Kalau hanya mendengar bahwa ia adalah wakil Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak itu, tentu saja ia akan dimusuhi, seperti sikap Tumenggung Jayatanu ini. Ketika patrem dan tombak itu menyambar ke arahnya, kedua tangan Puspa Dewi bergerak dan ia sudah menyambar dan menangkap dua buah senjata yang menyerangnya itu.
"Krek-krek-krek...!"
Dengan tenang saja kedua tangan gadis itu lalu mematah-matahkan patrem dan tombak itu, demikian mudahnya seperti orang mematah-matahkan dua batang lidi saja! Tentu saja Tumenggung Jayatanu dan cucunya, Niken Harni, terbelalak memandang dengan muka pucat.
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berwajah tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang perwira, berlari cepat memasuki pintu gapura itu. Dia melihat dua puluh lima orang prajurit yang masih tampak ketakutan dan babak belur itu, lalu melihat Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni berdiri terbelalak dan muka mereka pucat memandang kepada seorang gadis cantik. Dia segera maju menghampiri dan pandang matanya seperti melekat kepada Puspa Dewi. Puspa Dewi juga memandang kepada laki-laki itu.
"Ayah, perempuan ini datang mengacau dan mengancam kita!" kata Niken Harni kepada laki-laki yang baru datang.
Akan tetapi Senopati Yudajaya atau ketika dahulu bernama Prasetyo, seolah tidak mendengar ucapan puterinya dan tetap memandang kepada Puspa Dewi seperti terpesona. Setelah tiba di depan Puspa Dewi dalam jarak sekitar tiga tombak, dia berhenti melangkah dan berdiri dengan mata tetap terbelalak.
“Lasmi... engkau... Lasmi..." dia berseru perlahan dan terputus-putus.
Hati Puspa Dewi merasa terharu sekali, akan tetapi juga merasa penasaran dan kecewa. "Hemm, masih ada orang yang ingat kepada Nyi Lasmi? Selama, sembilan belas tahun ia hidup terlantar, terlunta-lunta dan sengsara, akibat ulah seorang laki-laki kejam bernama Prasetyo!"
Prasetyo, atau Senopati Yudajaya, menjadi pucat wajahnya dan dia mengamati wajah dan bentuk tubuh Puspa Dewi penuh selidik. Kini baru dia menyadari bahwa wanita di depannya ini tidak mungkin Lasmi yang sekarang tentu jauh lebih tua.
"Andika... siapakah? Di mana kini... Lasmi isteriku?"
"Prasetyo, gadis ini adalah seorang telik sandi dari Wura wuri! la dahulu mewakili Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak pimpinan Pangeran Hendratama. la ini sekar Kedaton dari Wura-wuri yang jahat!"
"Benar, Ayah! Puspa Dewi ini jahat dan hendak membunuh Ayah!" kata Niken Harni.
Tubuh Prasetyo gemetar dan wajahnya menjadi pucat ketika dia menatap Puspa Dewi dengan mata terbelalak.
"Puspa Dewi... kau Puspa Dewi... puteri dari Lasmi...?"
Puspa Dewi tersenyum. "Hemm, Andika masih ingat kepada Ibu dan Anak yang telah Andika telantarkan, Andika tinggal begitu saja dengan kejam karena Andika mabok kesenangan dan kedudukan? Begitukah sikap seorang satria, seorang suami dan Ayah yang bertanggung jawab?"
Tubuh Prasetyo gemetar seolah lumpuh semua urat dan syarafnya dan dia terkulai dan jatuh berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"...aduhh... Lasmi... ampunkan aku... ampunkan aku..." Laki-laki yang gagah petkasa itu menangis tanpa suara dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, tubuhnya terguncang.
"Ayah...!" Niken Harni menubruk ayahnya. Kemudian ia meloncat berdiri dengan muka merah dan mata berkilat memandang kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi! Jangan sembarangan menuduh Ayahku! Kalau engkau hendak menghina dan membunuh Ayahku, langkahi dulu mayatku!"
Dengan gagah Niken Harni menantang Puspa Dewi, sungguhpun ia tahu benar betapa saktinya gadis itu. Tumenggung Jayatanu maju menghampiri Puspa Dewi.
"Andika keliru kalau menuduh Prasetyo seorang suami dan Ayah yang tidak bertanggung jawab. Selama ini dia juga menderita dan sudah berusaha mencari Lasmi tanpa hasil. Kalau mau mencari siapa yang bersalah, akulah yang bersalah."
Hati Puspa Dewi seperti diremas-remas. Ia sudah merasa terharu dan kasihan melihat laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu, menangis menyesali perbuatannya dan minta ampun, ditambah lagi pembelaan adik tirinya yang menantang maut untuk membela ayahnya, dan sikap Tumenggung Jayatanu yang mengakui bersalah. Tak dapat ditahannya lagi, beberapa butir air mata mengalir turun dari sepasang matanya, la lalu melangkah menghampiri Prasetyo yang masih berlutut dan kepala menunduk dan kedua tangan menutupi mukanya.
Niken Harni dan Tumenggung Jayatanu mengikuti Puspa Dewi dengan khawatir, siap untuk melindungi Prasetyo kalau-kalau akan diserang Puspa Dewi. Dalam jarak satu tombak Puspa Dewi berhenti dan berdiri di depan ayahnya, memandang laki-laki yang masih berlutut dan menangis tanpa suara itu. Air mata semakin deras keluar dari kedua matanya, mengalir di atas kedua pipinya.
"Ayah... bangunlah..." katanya lirih.
Prasetyo atau Senopati Yudajaya menurunkan kedua tangannya, mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata itu memandang kepada Puspa Dewi dan dengan kaki gemetar dia bangkit berdiri. Ayah dan anak ini sejenak saling pandang.
"Engkau... engkau Puspa Dewi, anak Lasmi... kau... anakku..."
"Ayah...!" Mereka saling tubruk dan saling rangkul, keduanya menangis. Prasetyo mendekap kepala itu ke dadanya, menengadah dengan mata basah.
"Duh Gusti... terima kasih atas anugerah yang membahagiakan ini...! Puspa Dewi, anakku, engkau mau memaafkan Ayahmu ini?"
Puspa Dewi tidak dapat menjawab dengan suara karena keharuan serasa mencekik lehernya, la hanya mengangguk dalam rangkulan ayahnya.
"Ibumu di mana?"
Sebelum Puspa Dewi menjawab. Tumenggung Jayatanu berkata. "Sebaiknya kita masuk dan bicara di dalam. Tidak enak dan tidak leluasa bicara di sini."
Prasetyo teringat bahwa di situ banyak prajurit yang kini memandang ke arah mereka dengan heran. "Mari, Anakku, kita bicara di dalam."
Puspa Dewi tidak membantah dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki gedung tumenggungan itu. Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni mengikuti dari belakang. Hati kakek dan cucunya ini merasa lega bahwa Puspa Dewi tidak jadi mengamuk seperti yang mereka kira.
Nyai Tumenggung menyambut dan ketika ia mendengar bahwa gadis yang datang itu adalah puteri Prasetyo dan Lasmi, ia memegang kedua tangan Puspa Dewi dan berkata lembut. "Ah, Cucuku! Engkau Cucuku juga karena sudah lama Ayahmu mencari-carimu sehingga kami juga merasa prihatin sekali."
Pada saat itu seorang wanita berusia sekitar tiga puluh enam tahun yang berwajah lembut muncul. Ketika ia mendengar bahwa gadis itu adalah Puspa Dewi, ia merangkulnya dan suaranya serak karena terharu ketika bicara.
"Aduh, Anakku! Kami semua merasa bingung memikirkan Ibumu. Ayahmu selalu merasa menyesal dan berduka kalau teringat kepada Ibumu dan engkau. Mengapa Mbakyu Lasmi tidak mau tinggal di sini? Di mana adanya Mbakyu Lasmi sekarang dan mengapa ia tidak ikut datang ke sini?"
Puspa Dewi merasa sangat terharu dan diam-diam dia harus mengakui bahwa keluarga Tumenggung Jayatanu adalah orang-orang yang baik hati, tidak seperti yang semula ia duga. Biarpun mereka adalah orang-orang bangsawan, namun sama sekali tidak angkuh, bahkan ibu tirinya yang tadinya ia benci karena ia anggap wanita itu merebut ayahnya dari samping ibunya, bersikap demikian ramah dan baik.,,,,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan