NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-04


"Anakku, Puspa Dewi, mendengar engkau bertanya tentang Ayah kandungmu, tentang keluarga kami, aku menjadi sedih. Maklumilah kelemahanku, Anakku, karena sejak bertahun-tahun ini aku selalu menekan perasaan ini. Sekarang, setelah engkau dewasa dan engkau menjadi seorang gadis yang sakti dan tangguh, kukira sudah tiba waktunya aku menceritakan semuanya kepadamu."
"Ceritakanlah, Ibu. Ceritakan tentang mendiang Ayahku." desak gadis itu. "Nama Ayah Prasetyo, Ibu? Nama yang bagus sekali. Tentu mendiang Ayahku seorang tampan dan gagah sekali!"
Nyi Lasmi menghela napas panjang.
"Sekarang akan kuceritakan semuanya, Dewi, tidak ada yang perlu kurahasiakan lagi. Dengarlah baik-baik. Dahulu sebagai seorang gadis berusia enam belas tahun aku tinggal di dusun Munggung, sebelah timur ibu kota Kahuripan."
"Wah, aku dapat membayangkan. Ibu tentu merupakan seorang gadis cantik jelita, menjadi kembang dusun Munggung!"
"Yaahh, kecantikan yang bagi seorang wanita terkadang lebih banyak mendatangkan godaan dan kesusahan daripada kesenangan. Aku memang dianggap sebagai kembang dusun Munggung, dan hal itulah yang mendatangkan kesengsaraan bagiku. Aku berkenalan dengan seorang perwira pasukan pengawal yang masih muda, berusia dua puluh tahun dan kami saling bertemu dan berkenalan ketika perwira itu mengawal Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan yang sedang berkunjung ke Munggung."
"Perwira itu tentu Prasetyo yang gagah!" kata Puspa Dewi.
"Engkau benar. Kami saling jatuh cinta dan setahun kemudian setelah kami berkenalan kami menikah dengan restu orang tua kami masing-masing. Aku ikut suamiku tinggal di kota raja, tinggal di rumah asrama yang disediakan Tumenggung Jayatanu untuk para perwira pasukan pengawalnya. Akan tetapi ketika aku mengandung dan kandunganku sudah delapan bulan, suamiku mengantar aku pulang ke Munggung agar kalau aku melahirkan, ada Ibuku yang merawatku"
"Dan yang Ibu kandung Itu adalah aku, bukan?"
"Benar, Anakku. Akan tetapi bersama dengan kelahiranmu yang mendatangkan kebahagiaan besar dalam hatiku, dating pula berita yang menghancurkan hatiku."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan memandang wajah ibunya dengan tajam penuh selidik. "Berita apakah Itu, Ibu?"
"Berita bahwa... bahwa Kakangmas Prasetyo, Ayah kandungmu itu... dia terpaksa menikah dengan Dyah Mularsih..."
"Eh...?" Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong. "Siapa itu Dyah Mularsih, Ibu?"
"Dyah, Mularsih Itu anak tunggal dari Tumenggung Jayatanu,"
"Akan tetapi, mengapa Ayah terpaksa harus menikah dengannya?"
"Karena... diam-diam Ayahmu, Kakangmas Prasetyo itu diam-diam memadu kasih dengan gadis bangsawan itu sehingga... Dyah Mularsih mengandung."
"Ah! Mengapa Ayah begitu. Ibu?"
"Aku tidak bisa menyalahkah Ayahmu. Dia seorang laki-laki muda yang gagah dan tampan. Sebetulnya puteri tumenggung itulah yang tergila-gila kepada Ayahmu dan selalu mengejarnya. Ayahmu ketika itu masih muda, dan aku sedang mengandung... maka tidak dapat aku menyalahkan kalau dia itu jatuh dan mengadakah hubungan sehingga Dyah Mularsih mengandung. Terpaksa dia harus bertang-gungjawab dan tidak dapat menolak ketika diharuskan menikah dengan gadis itu. Aku pun ketika itu menerima kenyataan dan menyabarkan hati, tidak merasa keberatan dimadu."
"Hmm, kalau begitu tidak ada persoalan lagi. Lalu mengapa Ayah meninggal dunia dalam usia muda, Ibu?"
"Nanti dulu, Dewi, biar kulanjutkan dulu ceritaku. Setelah menjadi mantu Tumenggung Jayatanu, tentu saja Kakangmas Prasetyo lalu diboyong dan pindah tinggal di rumah gedung Tumenggung Jayatanu. Aku merasa malu untuk ikut ke sana, Dewi. Ayahmu memang datang dan hendak memboyong kita berdua ke rumah mertuanya, akan tetapi aku menolak. Aku malu, Anakku, membayangkan bahwa aku harus mondok dirumah maduku."
"Ibu benar! Kita orang kecil dan miskin tidak perlu menyembah-nyembah dan menjilati kaki orang-orang berpangkat dan berharta! Lalu bagaimana, Ibu?"
"Penolakanku itu membuat Sang Tumenggung marah. Ketika Ayahmu datang ke rumah kita, Sang Tumenggung menyusul datang kemudian di hadapan orang tuaku dan aku, Tumenggung Jayatanu memaksa Ayahmu untuk memilih. Dia tetap menjadi perwira dan mantu Sang Tumenggung dan tinggal di katumenggungan, menceraikan aku, atau dia memilih hidup bersama aku dan tidak diaku lagi sebagai mantu Sang Tumenggung dan bercerai dari Dyah Mularsih!"
"Hemm, pilihan yang tegas dan adil juga. Lalu bagaimana, Ibu? Ayah memilih yang mana?"
"Ayahmu bingung, Dewi. Kalau dia memilih hidup bersamaku, berarti dia dipecat dari pangkatnya sebagai perwira, padahal Ayahmu berkeinginan keras untuk meningkatkan pangkatnya sampai mendapat kedudukan tinggi. Pula dia harus meninggalkan Dyah Mularsih yang sedang mengandung. Dia bingung sekali dan aku merasa iba kepadanya, Dewi. Aku terlalu mencinta Ayahmu dan rela berkorban. Maka aku menganjurkan dia untuk meninggalkan kita dan melanjutkan pekerjaannya di kota raja."
"Ah, Ibu...!"
"Itulah yang sebaiknya untuk Ayahmu, Dewi. Kalau dia melakukan anjuranku, berarti yang berkorban perasaan hanya aku seorang. Akan tetapi sebaliknya kalau dia memilih hidup bersamaku dan meninggalkan Dyah Mularsih dan kedudukannya, berarti yang berkorban dua orang, yaitu Dyah Mularsih dan calon anaknya yang ditinggal suami dan Ayah, juga Kakangmas Prasetyo sendiri yang selain berdosa karena meninggalkan anak isteri di tumenggungan, juga kehilangan kedudukannya yang baik. Aku terlalu mencinta Ayahmu, Dewi, tidak tega aku melihat dia sengsara dan berduka karena memilih hidup bersamaku."
"Aih, Ibu, engkau terlalu mulia..."
"Tidak, Dewi, aku hanya melakukan itu karena aku mencinta suamiku. Nah, sesudah aku mengambil keputusan bercerai dari Ayahmu, muncul mala petaka lain yang disebabkan pula oleh apa yang dinamakan kecantikan itu. Seorang laki-laki putera demang yang memang sejak dulu agaknya jatuh cinta padaku, akan tetapi niatnya memperisteri aku gagal karena aku sudah menjadi isteri Ayahmu, ketika mendengar bahwa aku telah berpisah dari Ayahmu, lalu mencoba mendekati aku. Aku menolaknya karena selain aku tidak cinta padanya, aku juga sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku tidak akan menikah lagi, akan hidup bersama engkau. Akan tetapi laki-laki itu menjadi penasaran dan hendak menggunakan paksaan. Dia datang bersama dua orang jagoannya dan hendak membawa aku dengan paksa. Ayahku melarangnya sehingga terjadi perkelahian dan tentu saja Ayahku tidak mampu melawan dua orang jagoan itu. Ayahku tertikam keris dan tewas..."
"Jahanam!" Puspa Dewi membentak dan mengepal tinju.
"Sabar dan tenanglah. Dewi, biar kulanjutkan. Sesudah Ayahku roboh dan Si Darsikun, putera demang itu menyeret aku yang menggendong engkau yang baru berusia enam bulan, dibantu oleh dua orang jagoannya, hendak memaksa aku masuk ke dalam keretanya, tiba-tiba muncul Kakangmas Prasetyo."
"Ayahku...!"
"Ya, ternyata kadang kala Ayahmu masih menjenguk kita. Dia bahkan masih memikirkan kebutuhan kita walau pun sudah bukan menjadi suamiku yang resmi lagi. Melihat aku diseret-seret tiga orang dan Ayahku tewas ditangisi Ibuku, Kakangmas Prasetyo marah dan mengamuk. Putera Demang itu, Si Darsikun dan dua orang anak buahnya, dihajar sampai mati."
"Bagus! Aku ikut bangga, Ayah ternyata masih melindungi Ibu!"
"Tetapi kematian Ayahku itu membuat Ibuku berduka sekali sehingga ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia sekitar sebulan setelah Ayahku meninggal. Dan aku mendengar berita bahwa Kakangmes Prasetyo mendapat marah dan teguran keras dari mertuanya. Tumenggung Jayatanu marah karena Ayahmu telah membunuh putera demang dan dua orang jagoannya itu, juga menegur aku karena pembunuhan itu dilakukan Kakangmas Prasetyo karena hendak membelaku. Aku tidak ingin menyusahkan Ayahmu, Dewi, maka setelah Ibuku meninggal aku lalu pergi meninggalkan desa Munggung. Aku tahu bahwa kalau aku masih tinggal di Munggung, tentu Kakangmas Prasetyo masih suka datang menjenguk kita dan hal ini tidak disuka oleh keluarga katumenggungan. Berarti aku akan mengganggu kebahagiaannya. Muka aku mengalah kemudian aku pergi meninggalkan Munggung tanpa pamit kepadanya."
"Ah, mengapa begitu, Ibu? Kasihan Ayah."
"Tidak, Dewi. Dia tadinya sudah disuruh memilih menceraikan aku atau menceraikan Dyah Mularsih. Dia memilih menceraikan aku karena berat meninggalkan kedudukannya. Dia sudah memilih dan dia harus bertanggung Jawab dan berani menanggung akibat pilihannya itu. Aku lalu pergi merantau sampai jauh dan akhirnya setelah berpindah-pindah tempat selama belasan tahun, aku dan engkau tinggal di Karang Tirta."
"Apakah Ibu tidak pergi ke keluarga yang lain. Apakah Ibu tidak mempunyai saudara?"
"Tidak, Dewi. Aku adalah anak tunggal. Selama belasan tahun aku bisa mempertahankan janjiku untuk tidak menikah lagi. Aku sudah merasa berbahagia hidup berdua denganmu dalam keadaan miskin dan seadanya. Akan tetapi kemudian terjadilah mala petaka Itu. Engkau diculik orang! Dunia terasa hancur bagiku, kebahagiaanku hilang dan aku merana, kehilangan pegangan dan bingung. Dalam keadaan seperti Itu, datang uluran tangan Ki Lurah Suramenggala yang mengalami nasib yang sama, yaitu puteranya juga diculik orang. Dialah yang menghiburku, membantuku sehingga akhirnya aku dapat terbujuk dan menjadi selirnya. Akan tetapi engkau tahu, aku tidak pernah merasa berbahagia menjadi selirnya, apa lagi setelah engkau pulang dan engkau kelihatan tidak suka melihat aku menjadi selir laki-laki yang kasar dan kejam itu."
"Memang aku merasa tidak suka, Ibu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka aku pun tidak berani menyatakan ketidaksenanganku."
"Aku mengerti, Dewi. Kemudian engkau pergi lagi dan pada waktu engkau tidak ada, datang Ki Patih Narotama dan Ki Suramenggala dipecat oleh Ki Patih Narotama, kemudian dia diusir dari Karang Tirta. Kesempatan itu aku pergunakan untuk melepaskan diri darinya karena sebelumnya, aku tidak berani melepaskan diri. Nah, aku lalu mondok di sini, Dewi, dan keluarga Ki Pujosaputro sekeluarga menerimaku dengan baik."
"Ibu, kalau begitu... mengapa Ayah meninggal dunia?"
"Tidak, Dewi. Setelah aku pergi meninggalkan Munggung, aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia dan tidak pernah mendengar beritanya."
"Akan tetapi Ibu... dulu selalu mengatakan bahwa Ayahku sudah meninggal?"
"Terpaksa aku berbohong padamu, Dewi, karena tidak mungkin kita pergi ke sana menemuinya, hal Itu akan mengganggu ketenteraman hidupnya."
"Jadi... dia masih hidup?" tanya Puspa Dewi setengah berteriak.
"Aku tidak tahu, Dewi. Mungkin dia masih hidup, tetapi tidak perlu kita membicarakan tentang dia. Tidak perlu mengganggu dia dan jangan sampai mengganggu kebahagiaan hidupnya."
Puspa Dewi bangkit berdiri, mengerutkan alisnya dan matanya menyinarkan kemarahan.
"Ibu terlalu lemahi Ibu menyiksa diri sendiri! Ibu bodoh!" ia membentak-bentak saking penasaran dan marah kepada Ayah kandungnya.
"Dewi, Ibumu ini mencinta Ayah kandungmu dan cinta sejati memerlukan pengorbanan. Aku rela sengsara asal dia bahagia, Dewi."
"Tidak bisa! Mungkin saja Ibu begitu lemah dan bodoh. Akan tetapi apakah Ibu tidak ingat aku? Aku ini juga anaknya, anak Prasetyo itu! Apakah aku juga harus berkorban? Ibu berkorban hidup sengsara dan menyeret aku pula, sedangkan Prasetyo itu enak-enakan, hidup bersenang-senang di kota raja! Tidak benar ini, Ibu. Aku yang akan menegurnya, aku yang akan membuka matanya, menyadarkan betapa besar dosanya terhadap Ibu!"
"Dewi..!" Nyi Lasmi mengeluh dan menangis.Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar rumah.
"Puspa Dewi, atas nama Gusti Adipati Bhismaprabhawa dan Gusti Puteri Dewi Durgakumala, kami perintahkan agar Andika keluar dan menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada beliau di Kerajaan Wura-wuri!" Suara itu terdengar menggelegar karena diteriakkan dengan dorongan tenaga dalam yang kuat.
Mendengar suara ini, Puspa Dewi yang sedang marah karena cerita Ibunya, segera mendengus marah dan tubuhnya berkelebat keluar rumah.
"Dewi...!" Nyi Lasmi berseru penuh kekhawatiran lalu terhuyung-huyung mengejar keluar.
Setibanya di pekarangan depan rumah kelurahan, Puspa Dewi berhadapan dengan lima orang laki-laki. Sinar lampu yang tergantung di depan pendopo menambah terangnya sinar bulan sehingga la segera mengenal siapa lima orang itu. Tiga orang di antara mereka adalah senopati-senopati yang terkenal dari Kerajaan Wura-wuri.
Mereka terkenal dengan julukan Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka meruncing seperti muka tikus, mulutnya cemberut wajahnya keruh, pakaiannya mewah seperti pakaian bangsawan. Orang ke dua adalah Kala Manik, berusia lima puluh lima tahun, tubuhnya gendut pendek, mulutnya tersenyum-senyum mengejek, di pinggangnya tergantung sebatang klewang (semacam golok), juga pakaiannya mewah.
Orang ke tiga adalah Kala Teja berusia sekitar lima puluh tahun, kepalanya gundul, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya bengis, di pinggangnya tergantung sebatang ruyung. Tri Kala ini adalah senopati-senopati Kerajaan Wura-wuri, terkenal sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja Puspa Dewi sama sekali tidak gentar terhadap mereka.
Dulu, ketika ia ditugaskan oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya yang baru, yaitu Nyi Dewi Durgakmala yang menjadi gurunya, ia pernah diuji kedigdayaannya oleh Sang Adipati yang menyuruh Tri Kala ini menghadangnya. Dalam pertandingan itu, ia dapat mengalahkan tiga orang senopati ini. Maka, melihat mereka, Puspa Dewi memandang rendah. Akan tetapi, selain tiga orang senopati Wura-wuri ini, ada dua orang lain menyertai mereka. Dua orang yang pernah bertemu dengannya, bahkan ia sempat bertanding melawan mereka.
Puspa Dewi teringat akan pengalaman nya sekitar setahun yang lalu ketika ia membantu Nurseta yang dikeroyok oleh tiga orang, yaitu Mayang Gupita yang menjadi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul, Dibyo Mamangkoro, dan Cekel Aksomolo, dua orang datuk sesat yang sakti. Ia dan Nurseta berhasil mengalahkan dan mengusir mereka. Kini, seorang di antara dua orang yang datang bersama Tri Kala adalah satu di antara mereka itu, yaitu Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian seperti pertapa, membawa seuntai tasbeh berwarna hitam.
Tubuhnya tinggi kurus, agak bongkok dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh penasehat Kurawa dalam cerita pewayangan yang bernama Bhagawan Durna. Adapun orang ke dua belum pernah dilihatnya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, pakaiannya juga mewah, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya cukup tampan dan gagah, matanya yang tajam itu memandang Puspa Dewi penuh gairah dan sinar matanya seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis itu, membuat Puspa Dewi mengerutkan alis dengan hati panas.
Pria gagah ini adalah Senopati Gandarwo, seorang senopati muda yang baru diangkat menjadi senopati di Wura-wuri. Biarpun dia senopati muda tapi tingkat kedigdayaannya melebihi Tri Kala! Ki Gandarwo ini adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sakti mandraguna.
Setelah diangkat menjadi senopati muda di Wura-wuri oleh Sang Adipati yang dibujuk oleh permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, Ki Gandarwo mengundang kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo untuk berkunjung ke Wurawuri dan membantu kerajaan itu. Ki Gandarwo ini adalah seorang yang wataknya mata keranjang dan dia memang diam-diam telah menjalin hubungan asmara gelap dengan Nyi Dewi Durgakumala.
"Hemm, kiranya Tri Kala yang datang membuat ribut!" kata Puspa Dewi dan suaranya yang merdu itu mengandung ancaman yang membuat Tri Kala merasa tergetar jantungnya dan gentar. "Aku tadi mendengar ada yang hendak menangkap aku? Hemm, coba ulangi, siapa keparat yang berani hendak menangkap aku?"
"Ha-ha, akulah yang diutus Kanjeng Adipati Bhismaprabhawa dan Kanjeng Puteri Dewi Durgakumala untuk memanggil engkau menghadap beliau ke Kerajaan Wura-wuri. Andika inikah yang bernama Puspa Dewi? Wah, ternyata Andika melampaui semua gambaran yang kudapatkan. Andika jauh lebih cantik jelita daripada yang dikabarkan orang. Puteri Puspa Dewi, karena Andika adalah sekar kedaton Wura-wuri, maka kami persilakan Andika untuk bersama kami pulang ke Wura-wuri, jangan sampai kami terpaksa harus menangkap Andika."
Makin dalam kerut sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Puspa Dewi merasa sebal melihat lagak dan gaya pemuda itu. "Kamu siapakah?" bentaknya ketus.
"Ha-ha-ha, Andika belum mengenal saya? Saya adalah seorang senopati baru, Ki Gandarwo namaku, aku masih perjaka dan belum beristeri."
Puspa Dewi tidak mampu menahan kemarahannya lagi. "Jahanam busuk, mampus kamu!" Gadis itu sudah melompat dan menerjang Ki Candarwo dengan aji pukulan Guntur Geni. Tangan gadis itu tampak kemerahan seperti bara api ketika tangannya menampar ke arah kepala Ki Gandarwo.
"Haiiittt...!" bentaknya melengking.
Ki Gandarwo terkejut setengah mati ketika merasa ada hawa panas menyambar dari tangan gadis itu. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ki Gandarwo adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sudah memiliki aji kanuragan yang cukup tinggi. Melihat datangnya pukulan yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia mengangkat tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Syuuuttt...! Desss...!"

Ki Gandarwo mengeluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terpental dan terbanting ke atas tanah karena terdorong tenaga yang amat kuat. Untung dia memiliki kekebalan dan dengan menggulingkan tubuhnya dia menjauhkan diri agar jangan disusuli serangan selanjutnya oleh Puspa Dewi.
Puspa Dewi memang mengejar dan hendak memukul lagi. Ia amat benci kepada pemuda yang ceriwis dan banyak lagak itu dan ingin membunuhnya. Akan tetapi pada saat itu, Tri Kala dan Cekel Aksomolo sudah menghadangnya. Puspa Dewi memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata berkilat.
"Minggir atau kubunuh juga kalian!"
"Gusti Puteri," kata Kala Muka yang cemberut. "Harap paduka tidak menyusahkan kami. Kami hanya melaksanakan perintah Gusti Adipati dan Gusti Puteri, Ibu Paduka."
"Cukup! Pergilah dan jangan ganggu aku lagi!"
"Heh-heh, agaknya puteri ini hendak memberontak terhadap Kadipaten Wura-wuri!" kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Tri Kala Kalau aku tidak mau ikut kalian ke Wura-wuri, habis kalian mau apa?" Puspa Dewi menantang.
"Gusti Adipati memerintahkan kami untuk membawa Paduka ke Wura-wuri, baik Paduka mau atau tidak. Kalau Paduka tidak mau, terpaksa kami mempergunakan kekerasan."
"Kalian kira aku takut terhadap kalian berlima? Majulah kalian, tambah lagi kalau kurang banyak! Aku tidak akan mundur selangkah pun!"
"Wah, galaknya! He-he-hi-hik! Mari, kita gempur gadis sombong ini" kata Cekel Aksomolo sambil memutar-mutar tasbeh hitam di tangannya sehingga terdengar bunyi berkeritikan tajam menembus telinga.
Bunyi biji-biji tasbeh yang diputar ini bukan sembarangan karena dapat dipergunakan untuk menyerang lawan melalui pendengarannya. Kalau lawan yang diserang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat, dia dapat roboh hanya karena diserang suara itu. Gendang telinganya dapat pecah dan jantungnya terguncang. Dan untaian tasbeh itu pun dapat menjadi senjata ampuh, bahkan biji-biji tasbeh itu dapat menjadi senjata rahasia yang disebut Ganitri (biji tasbeh) dan dapat mengejar lawan seperti tawon-tawon yang beracun.
Kala Muka juga sudah mencabut kerisnya. Kala Manik mempersiapkan klewang dan Kala Teja meloloskan ruyungnya. Ki Gandarwo juga sudah siap siaga dengan pedangnya. Lima orang itu, dengan senjata andalan masing masing di tangan, kini perlahan-lahan bergerak mengepung Puspa Dewi.
Namun gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu sama sekali tidak takut. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat dengan suara berdesing. Ia melintangkan pedangnya depan dada, berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun. Tentu saja ia tidak dapat melihat dua orang di antara lima pengeroyok itu yang mengepung di belakangnya. Akan tetapi, perasaan dan pendengaran Puspa Dewi dapat menggantikan penglihatannya.
Ki Gandarwo, senopati muda Wura-wuri yang bertindak sebagai pemimpin rombongan, dan pada saat itu sedang marah karena tadi dia terpental dan terbanting roboh ketika beradu tenaga melawan Puspa Dewi.
"Serang...!"
Dia memberi komando dan lima orang itu sudah bergerak menyerang dari depan, kanan, kiri dan belakang. Senjata mereka menyambar-nyambar dengan ganasnya. Puspa Dewi menggerakkan tubuhnya dan tampak sinar hitam bergulung-gulung di seputar dirinya ketika ia mainkan pedang hitam itu. Puspa Dewi bukan hanya melindungi dirinya dengan perisai sinar pedangnya, melainkan ia juga membagi-bagi serangan dengan pukulan jarak jauh, yaitu Aji Guntur Geni. Aji pukulan ini memang dahsyat sekali, menyambar-nyambar mengeluarkan hawa panas.
Akan tetapi lima orang lawannya juga bukan orang-orang lemah, terutama sekali Cekel Aksomolo dan Ki Gandarwo. Betapa pun juga, menghadapi amukan Puspa Dewi yang mengeluarkan seluruh kesaktiannya itu, mereka kewalahan juga. Mereka sudah mencoba untuk mendesak, namun senjata mereka selalu terpental apabila bertemu dengan gulungan sinar hitam itu. Selain itu, mereka harus waspada dan cepat mengelak apabila dorongan telapak tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung hawa panas itu menyambar ke arah muka.
"Cring-cring-trangg...!"
Bunyi dentingan nyaring dari bertemunya pedang hitam di tangan Puspa Dewi dengan senjata para pengeroyoknya diikuti percikan bunga api membuat orang-orang yang datang merasa ngeri. Penduduk dusun yang mendengar akan adanya keributan di pekarangan Lurah Karang Tirta, berbondong-bondong datang menonton.
Akan tetapi mereka hanya bergerombol di luar pekarangan, tidak berani masuk melihat betapa Puspa Dewi dikeroyok lima orang dan mereka bertanding dengan cepat sekali. Tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti pandang mata penduduk dusun itu.
"Puspa Dewi...!" tiba-tiba Nyi Lasmi yang sudah berada di ambang pintu depan berteriak, penuh kekhawatiran. Ia lalu berlari keluar dari pendopo, menghampiri medan perkelahian dengan nekat karena khawatir akan keselamatan puterinya.
"Ibu, jangan mendekat" teriak Puspa Dewi ketika melihat Ibunya mendekati tempat yang berbahaya bagi Ibunya itu.
Akan tetapi ia harus mencurahkan perhatiannya kepada para pengeroyoknya karena sedikit saja ia membagi perhatiannya tadi, nyaris pundaknya terkena sambaran ruyung di tangan Kala Teja. Cepat ia mengelebatkan pedangnya menangkis karena serangan ruyung itu diikuti tusukan keris di tangan Kala Muka.
"Trangg... cringgg...!"
Kala Teja dan Kala Muka terhuyung karena tangkisan pedang hitam itu kuat bukan main. Akan tetapi terdengar bunyi mendesing pedang Ki Candarwo sudah menyambar dengan bacokan ke arah lehernya dari belakang. Puspa Dewi memutar tubuh dan. karena pedangnya tidak keburu menangkis, ia menggunakan tangan kiri untuk menampar pedang yang menyambarnya itu.
"Wuuuttt... plakk!" Ki Gandarwo juga terhuyung ke belakang.
"Rrrik-tik-tik-tik...!" Tasbeh di tangan Cekel Aksomolo kini menyambar ganas, diikuti tikaman klewang di tangan Kala Manik.
Puspa Dewi kini sudah sempat mengelebatkan pedangnya yang sekaligus menangkis dua senjata itu.
"Trakk-tranggg...!" Dua senjata lawan itupun terpental dan selagi Puspa Dewi hendak membalas serangan, tiba-tiba ia mendengar ibunya menjerit.
"Ouhhh..., lepaskan aku, keparat!"
Puspa Dewi cepat melompat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Ia marah sekali melihat ibunya sudah diringkus Ki Gandarwo. Nyi Lasmi mencoba untuk melepaskan diri dengan meronta-ronta, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu berkutik melawan Ki Gandarwo yang kuat, kedua tangan Nyi Lasmi ditelikung ke belakang dan pergelangan kedua tangannya dicengkeram tangan kiri Ki Gandarwo yang menggunakan pedang di tangan kanannya untuk mengancam Nyi Lasmi dengan menempelkan pedangnya di leher wanita itu. Sepasang mata Puspa Dewi berkilat. Suaranya terdengar mengandung kekuatan dahsyat.
"Jahanam pengecut! Lepaskan Ibuku!"
"Puspa Dewi, menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu." kata Ki Gandarwo, tegang dan gentar hatinya beradu pandang mata dengan gadis itu.
"Lepaskan atau kubunuh kamu!" kembali Puspa Dewi membentak dan pedang hitam di tangannya sudah bergetar.
"Mungkin aku mati di tanganmu, akan tetapi Ibumu akan lebih dulu mati!" kata Ki Gandarwo sambil menempelkan pedangnya lebih ketat di leher Nyi Lasmi.
"Dewi, jangan mau menyerah! Tidak mengapa dia membunuhku. Ibumu tidak takut mati!" Nyi Lasmi berteriak. Ki Gandarwo tentu saja menjadi panik mendengar ini.
"Puspa Dewi, sekali lagi menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu!"
Kala Muka lalu berkata, "Gusti Puteri, sebaiknya Paduka menyerah saja dan membiarkan kami membawa Paduka menghadap Gusti Adipati."
Puspa Dewi merasa bingung dan tidak berdaya. Lalu la berpikir cepat. Yang terpenting sekarang adalah agar ibunya selamat. Biarlah ia menyerah dan ditangkap, karena kalau ibunya selamat ia sendiri nanti akan dapat mencari jalan untuk melepaskan diri.
"Baiklah, aku menyerah. Lepaskan Ibuku."
"Ho-ho-hi-hik, tidak mudah begitu saja Andika menipu kami, Puspa Dewi!" kata Cekel Aksomolo sambi! tertawa. "Jangan lepaskan dulu wanita itu, Gandarwo. Kalau ia dilepaskan, Puspa Dewi tentu akan melawan lagi. Puspa Dewi, kalau benar engkau mau menyerah,. lepaskan dulu pedangmu dan biarkan aku mengikat kedua tanganmu! Kalau engkau tidak menurut, terpaksa Ibumu kami bunuh dulu!"
Puspa Dewi maklum, bahwa percuma saja berbantahan dengan mereka. Ia benar-benar ingin menolong ibunya, maka ia melepaskan pedang Candrasa Langking sehingga pedang hitam itu jatuh ke atas tanah. Kemudian ia merangkap kedua tangan di belakang tubuhnya, menyerah untuk diikat!
Sambil terkekeh Cekel Aksomolo berkata kepada adik seperguruannya. "Gandarwo, hati-hati, jangan sampai wanita itu terlepas sebelum Puspa Dewi kuikat kedua tangannya. Kalau ia menyerang jangan ragu-ragu, bunuh saja Ibunya itu lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, Cekel Aksomolo melolos sebatang sabuk lawe kuning dari ikat pinggangnya dan mengikat kedua pergelangan tangan Puspa Dewi di belakang tubuhnya. Puspa Dewi tidak berdaya, tidak mau membahayakan keselamatan Ibunya. Akan tetapi ia juga merasa bahwa tali yang dipergunakan mengikat kedua pergelangan tangannya itu bukan tali biasa, melainkan sabuk lawe yang sudah dirajah, yaitu di-manterai dan diisi dengan kekuatan sihir sehingga tidak akan mudah ia dapat melepaskan diri. Setelah kedua tangannya terikat, Puspa Dewi berseru kepada Ki Gandarwo.
"Sekarang bebaskan Ibuku!"
Akan tetapi Ki Gandarwo tertawa. "Ha ha ha, kami tidak mau terancam bahaya engkau mengamuk lagi, Puspa Dewi. Ibumu akan kami bawa pula agar kalau dalam perjalanan engkau membuat ulah, kami dapat membunuhnya!" Ki Gandarwo lalu mendorong Nyi Lasmi. "Hayo kau ikut dengan kami!"
Nyi Lasmi lari menghampiri dan merangkul Puspa Dewi. "Ah, Dewi, mengapa engkau menyerah? Kini malah kita berdua yang tertawan. Mereka ini orang-orang yang licik dan curang!"
Tiba-tiba puluhan orang dusun penduduk Karang Tirta berduyun-duyun memasuki pekarangan itu sambil berteriak-teriak menuntut agar Puspa Dewi dan Nyi Lasmi dilepaskan. Sikap mereka marah dan mengancam, bahkan ada yang mengacung acungkan parang, pisau, tongkat dan lain-lain.
Melihat ini, Tri Kala menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan. Belasan orang kocar-kacir, berpelantingan dan yang lain menjadi Jerih lalu mundur. Akan tetapi ada seorang kakek yang tidak ikut mundur, bahkan dia melangkah maju dengan tenang. Semua orang, termasuk Puspa Dewi, memandang ke arah kakek itu. Sinar bulan ditambah sinar lampu dari pendopo cukup terang sehingga Puspa Dewi dapat melihat wajah kakek itu dengan jelas. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi agaknya sudah lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan masih tegak, langkahnya juga tegap, walau pun lembut dan perlahan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan