NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-17

"Nah, sekarang katakan apakah yang Andika berdua hendak bicarakan dengan aku, Tejoranu dan Kim Lan?" Tanya Narotama dengan sikapnya yang lembut dan ramah seperti biasa.
Ki Tejoranu merasa begitu tegang sehingga sejenak dia tidak mampu mengeluarkan suara. Kim Lan yang duduk di rampingnya menggunakan tangannya untuk menyodok pinggang kakaknya. Karena gerakan itu dilakukan di bawah meja maka agaknya tidak tampak oleh Ki Patih Narotama. Ki Tejoranu kini nekad mulai bicara.
"Begini, Gusti Patih, sebetulnya... eh, sebelumnya kami berdua mohon maaf yang sebesarnya kalau apa yang hendak kami bicarakan Ini terlalu lancang dan membuat Paduka marah..."
Ki Patih Narotama membelalakkan matanya dan tertawa, "He-he-he-he...! Tejoranu, apakah engkau mengenal aku sebagai seorang pemarah? Tenanglah dan jangan gugup. Bicara saja secara terbuka, aku tidak akan marah. Bagaimana aku dapat marah kepada orang-orang seperti engkau dan Kim Lan adikmu Ini?"
"Gusti Patih, saya tahu benar akan kebijaksanaan dan kemuliaan hati Paduka, akan tetapi apa yang hendak saya katakan ini... mungkin terlalu lancang..."
"Saudara, Tejoranu. Keragu-raguanmu itu malah tidak mengenakkan hati. Bicaralah yang jelas dan terbuka. Seperti bukan seorang gagah saja!" kata Ki Patih Narotama dengan nada menegur.
"Baik, Gusti. Sesungguhnya begini. Kami datang menghadap Paduka ini untuk mengajukan sebuah permohonan dengan harapan Paduka akan sudi mengabulkan dan menerimanya."
"Katakan dulu, apa permohonan Itu, Tejoranu. Sebelum kalian mengatakan, bagaimana aku dapat memutuskannya?"
"Adik saya ini, Kim Lan, ia berniat untuk suwita (menghambakan diri) kepada Paduka dan mohon agar Paduka sudi menerimanya." Lega hati Ki Tejoranu setelah mengeluarkan apa yang harus dikatakannya.
Ki Patih Narotama tercengang dan memandang kepada Kim Lan yang menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.....
"Suwita...? Maksudnya..., menghambakan diri untuk bekerja membantuku?"
"Tentu saja membantu segala yang dapat la bantu, la akan melaksanakan segala perintah Paduka. Akan tetapi, maksudnya... eh, sesungguhnya, maafkan adik saya, Gusti, sebetulnya Kim Lan mengaku kepada saya bahwa ia amat kagum dan jatuh cinta kepada Paduka dan ia... ia mohon agar dapat Paduka terima menjadi... selir Paduka."
Tentu saja Ki Patih Narotama terkejut bukan main, juga merasa heran. "Mencintaku...? Kim Lan...? Yang baru saja bertemu dengan aku..."

Setelah kakaknya menceritakan semua keinginannya kepada Ki Patih Narotama, Kim Lan menyingkirkan semua perasaan malu dan rikuh, dan ia lalu berkata, lirih dan suaranya menggetar.
"Gusti, saya ingin menyerahkan jiwa raga saya kepada Paduka, saya siap membantu Paduka dengan setia, rela berkorban nyawa untuk membela Paduka."
Ki Patih Narotama merasa terharu, akan tetapi dia juga mempertahankan batinnya agar jangan terpikat oleh penawaran yang amat menyenangkan hati itu. Mempunyai seorang selir seperti The Kim Lan. Memiliki kecantikan yang khas, asing namun menarik, juga gadis ini memiliki aji kanuragan yang lumayan dan boleh di andalkan! Akan tetapi perjodohan tidak dapat dilaksanakan begitu saja atas dasar kekaguman. Rasanya masih terlalu pagi bagi seorang gadis untuk begitu saja jatuh cinta kepada seorang pria setelah sekali bertemu.
Tentu rasa cintanya Itu timbul dari perasaan kagum. Sebagai seorang patih yang di samping raja menjadi panutan bagi rakyat, dia harus berhati-hati. Dia sudah salah jalan satu kali ketika dia mengambil Dewi Lasmini dari Parang Siluman menjadi selir. Akibatnya geger. Dia merasa menyesal sekali. Kalau sekarang dia menerima Kim Lan sebagai selirnya, kemudian terjadi hal-hal yang tidak baik, dia tentu akan menjadi kesan buruk bagi rakyat.
Apa lagi Kim Lan adalah seorang bangsa asing! Kecuali Itu, walau pun dia kagum kepada Kim Lan, merasa suka karena gadis itu adik Tejoranu yang dianggap saudara oleh Listyarini lsterinya, namun rasa sukanya itu sama sekali bukan cinta. Tidak ada sedikit pun dalam hatinya perasaan cinta yang mendorongnya untuk memperisteri Kim Lan.
Ki Patih Narotama menghela napas panjang berulang kali, dan dia memandang kepada kakak beradik itu. Dia melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya. Pandang mata Kim Lan penuh permohonan dan pandang mata Ki Tejoranu penuh harapan. Ki Patih Narotama kembali menarik napas panjang. Sungguh tidak enak perasaan hatinya. Tidak tega dia mengecewakan dua orang ini yang sepatutnya menerima penghargaan yang menggembirakan hati mereka. Dengan wajah sedih, dia mengeraskan hatinya dan berkata penuh nada penyesalan.
"Aduh Tejoranu dan engkau The Kim Lan, bagaimana aku dapat menerima permintaanmu Itu? Keadaan yang tidak memungkinkan. Tejoranu, pahamilah kedudukanku sebagai patih. Kim Lan, hilangkan perasaanmu kepadaku itu. Kita menjadi sahabat saja, menjadi saudara. Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, pasti kelak akan bertemu dengan jodohmu yang serasi. Terpaksa aku tidak dapat menerimamu sebagai isteri seperti yang kau kehendaki itu."
Wajah gadis itu berubah pucat dan ia menundukkan muka, namun tetap saja Ki Patih Narotama dapat melihat betapa kedua mata yang jeli dan Indah Itu mengucurkan air mata. Sementara itu, muka Ki Tejoranu berubah merah sekali. Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan kemarahan. Kalau saja hal yang tidak baik menimpa dirinya sendiri, apa lagi yang menyebabkannya Ki Patih Narotama, dia tentu akan menerimanya dengan lapang dada. Akan tetapi sekali ini menyangkut diri Kim Lan, Adiknya yang amat disayangnya, satu-satunya orang yang harus dilindungi dan dibelanya!
Dan dia tahu benar akan kekerasan hati adiknya. Penolakan cintanya ini tentu akan menghancurkan hatinya, selain merasa sedih juga tentu merasa malu karena sebagai seorang gadis ia telah mengaku cinta namun ditolak! Hal ini terjadi karena Kim Lan salah sangka. Ia merasa yakin bahwa Narotama juga mencintanya. Kalau ia tahu bahwa patih itu tidak mempunyai perasaan cinta kepadanya, sampai bagaimana pun juga ia pasti tidak akan mau menyatakan cintanya. Lebih baik menderita patah hati tanpa ada yang mengetahuinya.
"Jadi Paduka menolak cinta adik saya Kim Lan, Gusti Patih?" tanya Ki Tejoranu dengan suara mengandung penasaran. "Paduka menganggap Kim Lan kurang berharga untuk menjadi selir seorang patih?"
Ki Patih Narotama terkejut dan mengerutkan alisnya sambil memandang Tejoranu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Tejoranu!" katanya dengan suara mengandung teguran. "Persepakatan menjadi suami isteri bukan didasari penilaian berharga atau tidak, melainkan sepenuhnya didasari rasa cinta kedua pihak. Terus terang saja, aku kagum, suka dan hormat kepada The Kim Lan, akan tetapi tidak ada perasaan cinta yang diperlukan untuk ikatan perjodohan itu. Baru saja kami bertemu, bagaimana dapat langsung ada perasaan cinta?"
Tejoranu merasa seolah jantungnya diremas-remas ketika dia melihat adiknya menangis terisak-isak sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Gusti Patih, Paduka... Paduka kejam..." Ki Tejoranu berseru marah. Hatinya sakit sekali melihat keadaan adiknya dan dia merangkul Kim Lan yang menangis semakin sedih dalam rangkulan kakaknya.
Ki Patih Narotama maklum bahwa untuk menghilangkan perasaan tidak enak di antara dia dan kakak beradik itu, perlu dia jelaskan tentang kedudukannya, tentang tindakannya yang keliru ketika mengambil Lasmini sebagai selir dan bahwa dia tidak mau melakukan kesalahan lagi.
"Tejoranu, engkau belum mengetahui keadaanku..."
Akan tetapi sebelum dia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang datangnya dari jauh namun terdengar jelas dalam ruangan itu.
"Narotama! Saat kematianmu sudah tiba...!"
Menyusul suara itu, terdengar suara berbletakan di atas genting dan dari atas genteng yang sudah berlubang, kini tampak dua sinar hitam melayang turun dan menyambar ke arah kepala Ki Patih Narotama! Dua sinar hitam Itu mengeluarkan bunyi mencicit dan tercium bau apek memuakkan dan memusingkan memenuhi ruangan itu.
Ki Patih Narotama maklum bahwa dia diserang orang yang memiliki kepandaian tinggi, dan serangan yang mengandung sihir tingkat tinggi ini berbahaya sekali. Dua buah benda bersinar hitam itu jelas mengandung racun yang amat jahat. Namun Ki Patih Narotama tidak menjadi gentar atau gugup. Sambil mengerahkan tenaga saktinya, kedua tangannya menampar ke arah dua sinar hitam itu.
"Wirrr... plak! Plak!" Dua benda bersinar hitam itu terpental dan menghantam dinding.
"Plok! Plok!" Dua buah benda hitam itu jatuh dan ternyata itu adalah dua ekor kelelawar hitam yang kini menggelepar sekarat!
Ki Tejoranu dan Kim Lan terserang bau apek yang menyengat itu dan mereka mulai merasa pusing.
"Tejoranu! Kim Lan! Cepat keluar dari ruangan ini! Jangan keluar rumah, ada musuh yang sakti mandraguna dan berbahaya sekail. Diam saja dalam kamar kalian!"
Ki Tejoranu yang masih merangkul adiknya lalu meninggalkan ruangan itu bersama Kim Lan yang masih menangis. Mereka lari ke kamar Ki Tejoranu dan setelah memasuki kamar, Kim Lan menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis sedih.
"Lan-ko, aku malu... ah, aku malu, menyesal dan hancur perasaan hatiku! Dia... dia menolakku, Lan-ko... ah, lalu bagaimana aku ini... hu-hu-huuh...!"
Melihat keadaan adiknya yang menangis mengguguk itu, Ki Tejoranu menghiburnya. 'Tenanglah, Adikku. Engkau tidak perlu memikirkan dia, di sana masih banyak pemuda yang pantas menjadi suamimu kelak."
"Tidak! Tidak, Lan-ko... kebahagiaan dan harapan hidupku sudah hancur. Rasanya... tidak ada artinya lagi aku hidup!"
"Jangan berkata begitu, Lan-moi. Kalau dia memang amat menyakitkan hatimu karena penolakannya yang kejam, kita putuskan hubungan dengannya dan mari kita pergi saja."
"Tidak, Lan-ko. Bagaimana pun Juga, aku tetap mencintanya, aku akan membelanya dengan taruhan nyawaku!"
"Lan-moi...!"
Pada saat Itu, terdengar bunyi ledakan keras di atas genteng sehingga mengejutkan mereka. Tiba-tiba Kim Lan tampak marah dan ia mencabut pedangnya.
"Jahanam busuk mana berani mengganggu Gusti Patih Narotama!" Setelah berteriak demikian, gadis ini lalu melompat keluar dari jendela kamar itu.
"Lan-moi...!" Ki Tejoranu cepat mengejar adiknya, melompat keluar pula dari jendela itu.
Sementara itu, setelah dua ekor kelelawar hitam itu tertampar jatuh oleh tangkisan Ki Patih Narotama dan kakak beradik itu keluar dari ruangan, terdengar ledakan di atas genteng dan dari lubang di atas genteng kini meluncur sinar api menyala-nyala ke arah Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama kini sudah bangkit berdiri dari kursinya dan melihat sinar api bernyala itu meluncur ke arah dadanya seperti sebatang anak panah berapi, dia mengelak dengan gesit sehingga sambaran sinar berapi itu luput dan meluncur lewat. Akan tetapi hebatnya, sinar berapi itu seolah hidup dan memiliki mata karena sebelum membentur dinding, sinar itu sudah melayang berputaran seperti seekor burung di ruangan itu lalu meluncur lagi menyerang ke arah kepala Ki Patih Narotama!
Ki Patih Narotama mengerahkan tenaga sakti ke matanya dan kini dia dapat melihat bahwa sinar berapi itu ternyata adalah sebatang keris luk tujuh! Keris dapat mengeluarkan sinar api bernyala dan dapat melayang-layang mencari sasaran itu jelas bukan keris biasa, melainkan sebatang keris ampuh yang "dikendalikan" kekuatan sihir yang ampuh!
Ketika keris itu menyambar dekat, Ki Patih Narotama miringkan tubuhnya sehingga keris meluncur di sampingnya. Dia cepat menggerakkan tangannya untuk menghantam keris itu agar patah atau terlempar.
"Wuuutt...!" Tamparan ampuh tangan Ki Patih Narotama itu tidak mengenai sasaran. Keris itu secara aneh telah dapat mengelak sehingga tamparan itu luput! Keris itu melayang-layang lagi, bagaikan seekor burung rajawali mengintai calon korbannya dan mencari kesempatan dan posisi terbaik untuk menyerang lagi!
Pada saat itu, di atas genteng terjadi perkelahian yang seru. Ketika The Kim Lan melompat keluar dari kamar kakaknya, ia melihat bayangan orang di atas genteng rumah kelurahan itu. Kebetulan malam itu bulan bersinar terang sehingga memudahkan ia untuk melihat keadaan di luar rumah. Melihat bayangan itu, Kim Lan yang bertekad untuk membela Ki Patih Narotama dan menangkap penyerang gelap, hidup atau mati, segera membentak dan melompat naik ke atas genteng.
Begitu tiba di atas atap rumah kelurahan, sebatang ruyung menyambutnya dengan hantaman yang dahsyat ke atas kepalanya. Kim Lan cepat mengelak kiri dan ketika ruyung meluncur lewati pedangnya sudah menusuk ke arah pemegang ruyung yang bertubuh kurus tinggi. Tusukannya cepat sekali dan datang dari arah bawah meluncur ke arah ulu hati lawan.
"Tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika pedangnya ditangkis orang dari samping. Penangkisnya itu seorang laki-laki tinggi besar yang bersenjata sebatang klewang (golok) besar. Biarpun ia menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang melihat dari gerakannya jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, Kim Lan tidak menjadi takut dan ia membentak, "Langkahi dulu mayatku sebelum kalian dapat membunuh Gusti Patih!"
Setelah membentak demikian, gadis itu mengamuk dengan pedangnya yang diputar cepat sekali membentuk gulungan sinar menyambar-nyambar. Dua orang pengeroyoknya juga menggerakkan senjata mereka dan terjadilah perkelahian yang seru di atas genteng.
Akan tetapi Ki Tejoranu datang membantu. Dia marah melihat adiknya dikeroyok dua orang dan sepasang goloknya lalu diputar cepat dan dia sudah menyerang orang yang bersenjata ruyung karena biarpun tubuh orang ini tinggi kurus, namun gerakan ruyungnya dahsyat sekali. Pada saat dua orang kakak beradik ini berkelahi dengan dua orang itu, Ki Patih Narotama masih dikejar-kejar keris yang dapat terbang dan seperti dikemudikan burung yang tidak tampak itu.
Dia merasa penasaran sekali karena beberapa kali, tangannya yang menampar ke arah keris itu selalu luput. Tahulah Narotama bahwa keris itu digerakkan oleh tenaga sihir yang amat kuat. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menyalurkan ke dalam kedua telapak tangannya, kemudian ketika keris itu untuk ke sekian kalinya meluncur bagaikan anak panah ke arahnya, dia menyambut dengan mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah benda bersinar seperti api bernyala itu.
"Wuuuutttt... darrr...!" Terdengar bunyi ledakan keras dan keris Itu terpental dan meluncur keluar dari lubang di atap dari mana dia tadi masuk.
Pada saat itu, Kim Lan dan Ki Tejoranu masih bertanding seru melawan dua orang di atas genteng. Ternyata lawan mereka itu cukup tangguh sehingga pertandingan itu seru dan seimbang. Tiba-tiba tampak sinar bernyala meluncur keluar dari atap rumah.
"Singgg... capp...!" Keris yang tadi dipukul balik oleh tenaga sakti Ki Patih Narotama itu meluncur dan menancap di punggung Kim Lan dari belakang!
Kim Lan merintih lirih, pedangnya terlepas dan jatuh berkerontangan di atas genteng, tubuhnya terkulai roboh dan terguling-guling di atas genteng akan tetapi tertahan oleh sambungan wuwungan sehingga tidak sampai melayang jatuh ke bawah.
"Lan-moi...!" Ki Tejoranu berteriak, akan tetapi dia harus memutar sepasang goloknya karena sekarang dia dikeroyok dua yang membuat dia repot dan kewalahan.
Pada saat yang gawat itu, tubuh Ki Patih Narotama melayang ke atas genteng dan melihat Ki Tejoranu dikeroyok dua, dia lalu melompat dekat dan begitu dia menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengeroyok itu, mereka terhuyung ke belakang seperti tertiup angin topan yang amat kuat. Dua orang itu terkejut sekali dan mereka kini menujukan serangan mereka kepada Ki Patih Narotama. Ki Tejoranu yang telah terbebas dari pengeroyokan, kini lari menghampiri tubuh adiknya yang rebah miring.
"Lan-moi...!" Dia berlutut dan pada saat Itu, keris yang menancap di punggung Kim Lan itu tiba-tiba seperti tercabut dan melayang pergi, berbentuk sinar berapi. Ki Tejoranu merangkul adiknya, ditelentangkan dan dirangkul.
"Lan-moi, bagaimana keadaanmu?" tanya Ki Tejoranu akan tetapi melihat keadaan adiknya itu, dia tidak memerlukan jawaban lagi. Adiknya terluka parah sekali dan napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa panas.
"Lan-ko... bagaimana dengan... Gusti Patih Narotama...? Dia selamat, bukan...?"
Ki Tejoranu menggigit bibirnya. Dalam keadaan terluka parah seperti itu, Kim Lan seolah tidak memperdullkan keadaan diri sendiri dan yang dikhawatirkan adalah keselamatan Ki Patih Naro-tamal Ah, betapa besarnya kasih sayang adiknya terhadap patih Itu, dan Patih Narotama menolak cinta yang sebesar dan sedalam itu!
"Lan-moi, jangan pikirkan dia! Bagaimana keadaanmu?" tanyanya sambil mendekap kepala adiknya itu ke dadanya dan suaranya bercampur isak.
"Lan-ko... aku tidak bisa melupakan dia... biarpun dia... dia telah menolakku..... ah, bagiku mati lebih baik, Twako..."
"Adikku...!" Ki Tejoranu kini menangis.
"Lan-ko, penuhi permintaanku terakhir, ya?"
Ki Tejoranu hanya dapat mengangguk, tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena isaknya.
"Tolong... tolong panggilkan dia... aku ingin berpamit..."
"Untuk apa..." Ki Tejoranu membentak, semakin marah dan benci kepada Ki Patih Narotama karena dia menganggap bahwa pria itulah yang menyebabkan kematian adiknya!
"Tolong... Lan-ko... tolong... panggil dia..."
Ki Tejoranu menoleh ke arah K i Patih Narotama. Dia melihat sekarang muncul orang ke tiga mengeroyok Ki Patih Narotama, seorang laki-laki tua bongkok yang menudingkan tongkat hitamnya dan tongkat itu mengeluarkan bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama marah. Dia mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya direndahkan dengan menekuk kedua kakinya dan kedua tangannya didorongkan ke arah tiga orang pengeroyoknya.
"Wuuussshhh...!" Api berkobar menerangi tiga orang Itu. Dengan Aji Bojrodahono itu, Ki Patih Narotama mengerahkan kekuatannya dan tiga orang itu melarikan diri dan berlompatan turun sambil mengaduh-aduh karena sebagian tubuh mereka terjilat api dan hangus! Ki Patih Narotama lalu menoleh dan di bawah sinar bulan dia melihat Ki Tejoranu bersimpuh dan merangkul tubuh atas Kim Lan. Cepat dia melompat mendekat.
"Apa yang terjadi...?" Dia bertanya dan bersimpuh dekat tubuh Kim Lan. "Apakah Kim Lan terluka? Coba kuperiksa ia!"
Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya diam saja sambil menangis sesenggukan. Ki Patih Narotama cepat memeriksa dan melihat luka di punggung gadis itu, melihat keadaannya yang sudah empas-empis dengan tubuh panas sekali, tahulah dia bahwa gadis Itu tidak dapat diselamatkan lagi...!
"Kim Lan...!" Ki Patih Narotama mengeluh sambil memegang pundak gadis itu.
Kim Lan tersenyum memandang wajah Ki Patih Narotama.
"...Gusti Patih Narotama... saya... saya berbahagia sekali... dapat... dapat... mati membela Paduka... saya... saya... cinta...! Gadis itu terkulai, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan kakaknya.
"Kim Lan...!" Ki Patih Narotama mengeluh.
"Kim Lan! Lan-moi...! Jangan tinggalkan aku...!" Ki Tejoranu berteriak sambil mendekap tubuh adiknya dan menangis.
"Sudahlah, Tejoranu. Sang Hyang Widhi telah mengambil kembali apa yang menjadi milik-Nya." Ki Patih Narotama menghibur. Akan tetapi tiba-tiba Ki Tejoranu berdiri sambil memondong jenazah adiknya.
"Narotama! Engkau yang menyebabkan kematian adikku. Ia sengaja menghadang maut karena ia merasa lebih baik mati setelah engkau menolak cintanya. Ia rela mati membelamu, demikian besar cintanya akan tetapi, engkau menolaknya! Engkau kejam! Kejam! Aku tidak sudi menjadi teman mu lagi. Engkau kejam...!' Ki Tejoranu menangis sesenggukan lalu melompat turun dari atas genteng dan terus berlari pergi sambil memondong jenazah The Kim Lan.
Ki Patih Narotama bangkit berdiri, hanya dapat memandang ke arah lenyapnya bayangan Ki Tejoranu. Dia tahu bahwa mengejar dan membujuk Ki Tejoranu tidak akan ada gunanya. Dia dapat merasakan betapa hancur hati laki-laki itu melihat nasib adik kandungnya. Dia berdiri termangu-mangu, mengenang semua peristiwa itu. Dia tadi sudah memperingatkan agar kakak beradik itu berdiam di kamarnya saja karena dia tahu bahwa ada musuh yang sakti dating menyerang.
Siapa kira, Kim Lan dengan nekat menyambut musuh itu untuk membelanya! Ah, kalau saja dia tahu sampai demikian mendalam rasa cinta gadis itu kepadanya! Kalau dia tahu bahwa peristiwa menyedihkan ini akan terjadi! Kalau... kalau... tiada gunanya lagi. Semua telah terjadi. Dia tahu bahwa selama hidupnya, bayangan Kim Lan tidak akan pernah dapat terlupa olehnya. Ki Patih Narotama menghela napas panjang dan merangkap kedua tangan sebagai sembah kepada Yang Maha Kuasa, bibirnya berbisik lirih.
"Duh Sang Hyang Widhi Wasa, terjadilah semua kehendak-Mu seperti yang Engkau kehendaki. Tiada apa atau siapa pun yang akan mampu mengubahnya."
Setelah termenung beberapa lamanya dan berulang kali menghela napas panjang, merasa kehilangan besar sekali karena dia tahu bahwa Ki Tejoranu pasti akan selalu merasa sakit hatinya dan tidak akan pernah dapat menjadi sahabat baiknya lagi, Ki Patih Narotama lalu turun dan dia disambut oleh Nyi Lasmi dan seisi rumah Ki Lurah yang ingin tahu apa yang terjadi. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di atas atap rumah dan tidak ada seorang pun berani mencari tahu apa yang terjadi karena mereka takut dan sungkan kepada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama berkata kepada Ki Lurah dusun Magel.
"Jangan takut. Ada orang-orang jahat datang untuk menyerangku, akan tetapi telah dapat ku usir pergi."
Semua orang merasa lega mendengar ini. Akan tetapi Nyi Lasmi bertanya, "Gusti Patih, di mana Tejoranu dan Kim Lan? Hamba tidak melihat mereka sejak tadi."
Ki Patih Narotama menghela napas panjang beberapa kali sebelum menjawab dengan suara mengandung keprihatinan.
"Tejoranu dan Kim Lan tadi berkelahi dengan orang-orang jahat. Kim Lan tewas dan Tejoranu yang hancur hatinya itu membawa jenazah adiknya pergi, entah ke mana. Mungkin dia tidak akan kembali ke sini."
"Ohhh...!" Nyi Lasmi berseru dan memandang wajah Ki Patih Narotama dengan sinar mata kaget dan heran. Akan tetapi ia tidak berani banyak bertanya. Siang tadi Kim Lan mengeluarkan isi hatinya kepadanya, menceritakan tentang perasaan hatinya yang gandrung (kasmaran) kepada Ki Patih Narotama. Bahkan gadis itu mengatakan kepadanya bahwa ia lebih baik mati kalau tidak dapat menjadi selir Sang Patih. Ia lalu meneruskan suara hati gadis itu kepada Ki Tejoranu agar kakak Ini mengurus persoalan adiknya. Dan kini, tahu-tahu gadis itu telah tewas! Nyi Lasmi yang sudah akrab sekali dengan Kim Lan, tak dapat menahan kesedihannya dan ia menangis terisak-isak lalu berlari memasuki kamarnya. Di situ ia mendekap buntalan pakaian Kim Lan sambil menangis tersedu-sedu.
Ki Tejoranu memondong jenazah adiknya dan berlari di bawah penerangan bulan remang-remang sambil menangis. Hatinya hancur dan biarpun dia maklum bahwa bukan niat Ki Patih Narotama mencelakai adiknya, namun bagaimana pun juga, Kim Lan nekat menyerang mereka yang memusuhi Ki Patih Narotama karena cintanya yang mendalam terhadap patih itu. Selain itu, juga adiknya itu mengalami penderitaan hati yang hebat sehingga ia menjadi nekat. Adiknya itu merasa lebih baik mati karena orang yang dipuja dan dicintanya Itu ternyata menolaknya, menolak cintanya! Maka timbul penyesalan besar dalam hatinya terhadap Ki Patih Narotama.
Semalam suntuk dia memondong jenazah Kim Lan dan melangkah tanpa hentinya sampai pada keesokan harinya, setelah matahari bersinar, dia tiba di sebuah bukit kecil. Dia lalu merebahkan jenazah adiknya Itu dengan hati-hati sekali ke atas rumput, dia lalu mengumpulkan kayu-kayu yang kering, juga daun-daun kering. Ditumpuknya kayu-kayu itu sampai setombak tingginya. Kemudian, dengan hati-hati dia memondong jenazah Kim Lan dan meletakkannya di atas tumpukan kayu.
"Maafkan, Lan-moi, karena keadaan memaksa, aku tidak dapat mengubur jenazahmu dengan upacara sebagaimana mestinya." Dia berbisik dan untuk penghabisan kali dia mengamati wajah adiknya yang tersayang itu. Kemudian dia membuat api dan membakar tumpukan kayu itu. Api berkobar besar dan Ki Tejoranu menjauh, lalu duduk bersila di bawah pohon, memandang api yang berkobar. Dia bersikap seperti orang sedang bersamadi, dengan sikap tenang dan hormat seolah untuk mengantar kepulangan The Kim Lan ke alam baka.
Akan tetapi, melihat api berkobar dan jenazah adiknya terbakar, Ki Tejoranu tak dapat menahan dirinya lagi. Dia menangis terisak-isak dan timbul kemarahannya mengingat bahwa adiknya itu tewas oleh orang-orang jahat yang tidak diketahuinya siapa, namun yang dia yakin tentulah orang-orang Wengker dan Wura-wuri yang hendak menangkap Nyi Lasmi dan memusuhi Ki Patih Narotama.
Tiba-tiba dia melompat bangun dan mencabut sepasang goloknya, lalu dia mengamuk, bersilat dan membacok-bacokkan sepasang goloknya ke arah pohon besar sehingga ranting-ranting dan daun pohon terbabat berhamburan. Tak jauh dari situ, sepasang mata bening tajam mengintai dari balik sebatang pohon besar. Pengintai itu adalah Puspa Dewi. Seperti kita ketahui, setelah mendapat keterangan di Kadipaten Wengker bahwa ibunya dibawa rombongan pengawal ke Kadipaten Wura-wuri, ia segera menyusul ke Wura-wuri.
Pagi itu, ketika ia melewati tempat itu dan berada di bawah bukit, tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh asap yang mengepul tinggi di puncak bukit kecil itu. Ia segera mendaki bukit untuk melihat apa yang terjadi. Ketika tiba di puncak dan mengintai dari balik pohon, ia melihat seorang laki-laki sedang membakar jenazah seorang wanita. Ia merasa heran dan juga iba sekali melihat laki-laki itu menangis sesenggukan sambil bicara dalam bahasa yang asing baginya dan yang tidak ia mengerti maknanya.
Kemudian ia melihat laki-laki yang tadinya duduk bersila itu melompat dan mengamuk dengan sepasang goloknya. Gerakannya cepat dan kuat sekali sehingga ranting daun pohon berhamburan. Juga sepasang golok itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, menandakan bahwa sepasang golok itu digerakkan oleh tenaga yang kuat sekali.
Puspa Dewi menjadi semakin heran. Ia tahu bahwa laki-laki itu berduka sekali karena kematian wanita yang jenazahnya sedang diperabukan (dibakar sampai menjadi abu), akan tetapi mengapa orang itu kini marah-marah seperti kesetanan dan agaknya merasa sakit hati dan penasaran sekali?
Karena ingin tahu dan mengharapkan barang kali orang itu mengetahui atau melihat rombongan pengawal yang membawa ibunya ke Wura-wuri, Puspa Dewi lalu muncul dari balik pohon dan menghampiri orang yang sedang mengamuk dengan sepasang goloknya itu. Akan tetapi begitu Ki Tejoranu melihat munculnya seorang wanita, dia yang sedang marah seperti gila itu lalu berlari menghampiri sambil memaki-maki.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan