NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-38
Dua orang puteri itu tidak menjadi marah. Mereka malah tersenyum lebar
sehingga tampak rongga mulut mereka dan lidah mereka yang kemerahan.
"Hi-hi-hik, engkau tidak akan dapat menolak kami, Nurseta!" kata
Mandari, lalu disambung ucapan Lasmini dengan suara lembut manis namun
mengandung wibawa dan daya pikat amat kuatnya. "Pandanglah kami,
Nurseta!"
Seolah di luar kehendaknya, Nurseta memandang mereka dan jantungnya berdegup keras. Dia melihat betapa Lasmini dan Mandarai tampak luar biasa cantiknya, seolah dua orang dewi kahyangan. Wajah mereka memancarkan cahaya indah, senyum mulut mereka mengandung lautan madu, kerling mata mereka seolah menarik-narik perasaan hatinya. Nurseta segera menyadari bahwa dua orang wanita itu telah mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang amat kuat yang kabarnya dapat meruntuhkan iman seorang pertapa sekalipun. Nurseta segera berlindung dalam Aji Sirna Sarira. Aji ini merupakan aji yang meniadakan diri jasmani sehingga tentu saja tidak dapat terpengaruh segala macam daya tarik nafsu yang menguasai jasmani. Dia tetap duduk bersila dan sungguhpun dia tidak perlu memejamkan matanya, namun matanya sama sekali tidak silau oleh daya tarik kecantikan dua orang wanita itu. Bahkan dia seolah melihat dua tengkorak terbungkus kulit yang menjijikkan!
Dua orang wanita yang berpengalaman itu segera mengerti bahwa aji pengasihan mereka tidak cukup kuat untuk meruntuhkan perasaan hati dan membangkitkan nafsu berahi Nurseta. Mereka merasa penasaran sekali dan kegagalan mereka itu bahkan merupakan senjata yang berbalik menyerang diri mereka sendiri. Penolakan pemuda itu justru membuat napsu mereka menjadi semakin menyala berkobar-kobar membakar diri mereka! Keduanya menjadi nekat dan mereka menyerbu ke atas pembaringan yang lebar itu.
Mereka berdua mulai merayu Nurseta dengan bisikan-bisikan, belaian dan melekatkan tubuh mereka yang panas penuh gairah itu ke tubuh Nurseta.
Namun pemuda itu kini memejamkan mata dan dia seolah menjadi seperti ketika Arjuna digoda dan diuji keteguhan batinnya oleh tujuh dewi kahyangan! Arjuna juga sama sekali tidak terguncang seperti diceritakan dalam Kisah Mahabharata Episode Arjuna Mintaraga.
Dua orang wanita cantik itu seperti cacing terkena abu panas! Mereka menggeliat-geliat merintih-rintih, merayu dan membelai. Namun Nurseta tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Lasmini menjadi semakin penasaran. Ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan sihirnya, menggerakkan jari tangan menotok tengkuk Nurseta lalu mengurut tulang punggungnya dengan Aji Asmara Kingkin. Totokan ini biasanya amat ampuh, dapat membangkitkan gairah berahi orang yang ditotoknya.
Nurseta, sempat merasakan tubuhnya panas dingin, namun tubuhnya yang memang terbiasa kuat menguasai gejolak nafsu-nafsunya, kini juga teguh dan tidak goyah. Dia tetap duduk bersila memejamkan mata. Akhirnya dua orang wanita itu menjadi kelelahan sendiri. Napas mereka terengah-engah, wajah mereka merah padam dan senyum manis tadi berubah menjadi seringai penuh kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan juga ada perasaan malu dan terhina.
"Jahanam...!" Lasmini menggerakkan tangan menampar.
"Plak...!"
Pipi kanan Nurseta ditampar. Pemuda yang tidak dapat mengerahkan tenaga sakti itu hampir terguling terkena tamparan yang membuat dia merasa nyeri, perih dan panas pada pipi kanannya.
"Keparat... plakk!" Tangan Mandari menampar pipi kiri Nurseta sehingga kedua pipi pemuda itu menjadi merah membengkak, ujung bibirnya di kanan kiri sedikit pecah dan berdarah. Akan tetapi wajah Nurseta tidak menunjukkan perasaan apa pun tidak ada kerut pada wajahnya, tetap tenang, bahkan kini dia membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang wanita itu seperti orang yang merasa iba!
"Nurseta, keparat sombong...! Engkau sudah menolak dua permintaan kami. Engkau sudah menghina kami! Sepatutnya sekarang juga engkau kami bunuh. Akan tetapi terlalu enak kalau engkau dibunuh sekarang, Maka, biarlah kau rasakan siksaan racun Perusak Tulang yang akan menggerogotirnu setiap saat selama satu bulan sampai engkau mati!" Lasmini berkata marah sambil turun dari atas pembaringan.
Mandari juga turun dan membetulkan letak pakaiannya yang kusut dan sebagian terbuka ketika tadi mereka membujuk rayu dan menggoda Nurseta.
"Kecuali kalau engkau berubah pikiran dan mau menaati perintah kami, tentu kami menyelamatkan mu!"
Setelah berkata demikian, dua orang wanita itu memanggil para prajurit pengawal yang berjaga di luar kamar itu. Empat orang prajurit pengawal yang bertubuh tinggi besar masuk dengan sikap hormat.
"Bawa dia ke kamar tahanan di belakang. Awas, jaga ketat jangan sampai dia lolos melarikan diri..! Bunuh saja kalau dia mencoba untuk melarikan diri!" kata Lasmini kepada mereka. "Nyawa kalian taruhannya kalau dia lolos!" kata pula Mandari. "Akan tetapi perlakukan dia baik-baik, jangan sekali-kali kalian menyiksanya. Mengerti?"
Empat orang itu menyatakan siap dan taat, lalu mereka berempat menuntun dan mengawal Nurseta keluar dari kamar itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan di belakang. Kamar tahanan ini kokoh kuat sekali karena dindingnya terbuat dari baja, daun pintunya juga dari besi dengan terali kokoh dari atas ke bawah sehingga keadaan dalam kamar tahanan itu selalu diawasi oleh para prajurit penjaga. Selusin orang prajurit berjaga secara bergiliran di sekitar luar kamar tahanan itu.
Begitu dimasukkan kamar tahanan dan daun pintu besi ditutup, Nurseta lalu duduk di atas dipan kayu yang berada di sudut kamar tahanan. Dia tahu bahwa tubuhnya keracunan dan mengerahkan tenaga merupakan hal tidak mungkin. Kalau dia paksakan, tentu tulang-tulangnya akan hancur dan dia tewas seketika. Maka dia membuat tubuhnya lemas, tidak mengeluarkan tenaga. Dia harus banyak beristirahat. Direbahkannya tubuhnya yang lemas dengan muka terasa panas dan pedih oleh tamparan kedua orang wanita tadi. Dia telentang dan merenungkan keadaannya yang terancam bahaya maut yang mengerikan.
Para tokoh Parang Siluman itu memang licik dan cerdik sekali. Mengatur jebakan dan pancingan sedemikian halusnya sehingga dia yang sudah berhati-hati itu tetap saja terjebak dan tertawan. Bahkan rasanya tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari kematian yang menyiksa hanyalah kalau dia menuruti kehendak Lasmini dan Mandari!
Pikirannya mulai melayang-layang dan Nurseta membiarkan pikirannya bekerja sendiri tanpa dia kendalikan. Mulai terbayanglah dia akan segala yang baru dialaminya, sejak dia melakukan penyelidikan sampai kemudian tertawan dan pengalaman terakhir dalam kamar indah itu pun terbayang-bayang. Betapa cantiknya dua orang puteri Parang Siluman itu! Bukan saja wajah mereka yang cantik manis menggiurkan, bahkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pernah terpikat oleh kecantikan mereka! Betapa indah bentuk tubuh mereka dan terbayanglah semua peristiwa tadi, betapa tubuh-tubuh yang lunak hangat lembut itu membelainya, betapa harum semerbak bau rambut dan tubuh mereka. Betapa akan menyenangkan kalau dia memenuhi permintaan mereka. Tidak, itu tidak benar sama sekali, terdengar bisikan halus namun penuh teguran dari dalam dadanya.
"Tidak,... Nurseta, hal itu tidak boleh kau lakukan." Hatinya berbisik.
"Uh, mengapa tidak boleh?" suara lain yang parau terdengar dari dalam kepalanya. "Engkau tidak akan menjadi manusia tolol, Nurseta! Engkau laki-laki, dan mereka itu begitu cantik menarik, bayangkan betapa indah mata dan mulut mereka, betapa mulus dan indah tubuh mereka, betapa akan berbahagianya engkau kalau engkau menerima dan membalas cinta kasih mereka!"
"Hemm,... itu bukan cinta kasih." cela suara dalam hatinya. "Itu hanya gairah nafsu birahi semata yang akan menyeretmu ke dalam dosa, Nurseta. Itu perzinaan namanya dan engkau membiarkan dirimu diseret dan diperbudak napsu birahi yang akan menyengsarakan dirimu sendiri. Seorang satria utama tidak akan sudi melakukan kesesatan itu."
Nurseta mengangguk-angguk. "Itu benar sekali, aku tidak boleh melakukan perbuatan sesat itu!" katanya lirih walau pun suara bisikannya itu tidak yakin dan tegas benar, masih bercampur keraguan.
"Phuah,... omong kosong! Siapa bilang berzina dan dosa? Ini merupakan usaha untuk menyelamatkan diri. Setiap orang manusia berhak untuk mencari keselamatan, menghindar diri dari ancaman maut! Sudah jelas engkau akan mati, tulang-tulangmu akan hancur dan kau tidak akan dapat tertolong lagi! Kalau jalan satu-satunya untuk menghindarkan kematian hanya menuruti kemauan dua orang wanita itu, apanya yang dosa? Itu bukan perzinaan, bukan dosa namanya! Itu hanya cara untuk mempertahankan hidup, hak setiap orang manusia! Bahkan kalau engkau tidak mempertahankan hidupmu, membiarkan dirimu mati tanpa berusaha mencari keselamatan, itu dosa besar namanya! Sudahlah, Nurseta, kau turuti saja kemauan Lasmini dan Mandari. Engkau akan memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan juga luput dari kematian!" Suara parau dalam kepalanya semakin lantang.
"Jangan dengarkan bujuk rayu menyesatkan itu, Nurseta." bisikan dalam dadanya membantah. "Ingat, engkau seorang satria, engkau utusan Ki Patih Narotama dan engkau selalu berpendirian bahwa seribu kali lebih baik mati sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang budak nafsu yang sesat berdosa!"
"Hua-ha-ha...!" Suara dalam kepalanya terbahak. "Siapa sih manusia hidup di dunia ini yang tidak berdosa? Melakukan dosa untuk mempertahankan hidup itu tidak salah, Nurseta!"
Namun jiwa Nurseta sudah tegar kembali, sepenuhnya menyadari akan kebenaran bisikan dari hatinya tadi. "Hemm, enyahlah kamu, Nafsu Setan!" bentaknya kepada pikirannya sendiri.
Terdengar suara dalam kepala tadi tertawa bergelak, menertawakan kebodohannya, akan tetapi juga terdengar bisikan suara dalam dadanya. "Puja-puji tertinggi bagi Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Besar dan Maha Kuasa!"
Setelah dua suara yang bertentangan, suara yang muncul dalam pikiran di kepala dan suara dari hati sanubari, menghilang dan keseimbangan dirinya pulih kembali dan tenang, Nurseta termenung. Dia menyadari bahwa suara yang membujuk-bujuknya untuk tunduk memenuhi permintaan Lasmini dan Mandari tadi adalah suara nafsunya yang pada umumnya disebut suara Setan. Akan tetapi, jahatkah Setan yang selalu membujuk-bujuk manusia untuk menyimpang dari kebenaran, untuk melakukan perbuatan yang sesat dan jahat?
Nurseta tersenyum sendiri. Sudah tentu saja Setan itu jahat, kalau tidak jahat bukan Setan namanya! Setan itu adalah Si Jahat itu sendiri, maka setan itu tidak bisa jahat lagi karena sudah maha jahat sejak mulanya! Mana mungkin api dapat terbakar? Api dan nyalanya tidak terpisah, seperti setan dan jahatnya. Sudah ditentukan Sang Hyang Widhi bahwa Setan harus menggoda manusia, maka membujuk manusia menyeleweng dari kebenaran merupakan tugas-kewajiban Setan! Kalau Setan tidak menggoda manusia, lalu apa pekerjaannya? Lalu namanya pun bukan setan lagi!
Tidak, yang jahat bukanlah setan, melainkan tergantung kepada manusia sendiri bagaimana menghadapi godaan itu. Betapa pun hebat setan menggoda, bagaimana kuat pun nafsu-nafsu dalam badan ini membujuk rayu, menjanjikan kesenangan dan kenikmatan yang kalau dituruti akan menyeret kita ke dalam dosa, namun kalau kita tidak menyerah, pasti tidak akan terjadi perbuatan sesat atau dosa!
Jelaslah bahwa dosa terjadi karena kelemahan manusia, bukan karena godaan setan. Sudah ditakdirkan bahwa manusia hidup di dunia harus menghadapi banyak sekali godaan dan tantangan, baik tantangan jasmani mau pun rohani. Segala macam godaan jasmani mengancam kehidupan kita, misalnya binatang-binatang yang mengganggu seperti nyamuk, lalat, tikus dan masih banyak lagi. Banyak pula peristiwa alam yang mengganggu dan merupakan tantangan kita, seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, badai dan sebagainya. Akan tetapi Sang Hyang Widhi Wasa juga memberi bekal akal budi kepada kita sehingga kita dapat mempergunakannya untuk mengatasi semua gangguan itu.
Demikian pula dengan gangguan rohani yang pada umumnya disebut gangguan setan. Seperti juga kita tidak menyalahkan nyamuk yang mengganggu, mengisap darah kita, karena memang nyamuk sudah ditakdirkan harus hidup dari mengisap darah sehingga nyamuk tidak bersalah, tergantung kepada kita dapat menghindarkan diri atau tidak, maka setan juga tidak bisa disalahkan kalau kita sampai tergelincir ke dalam perbuatan dosa. Kita sendirilah yang bersalah, karena lemah.
Memang, melawan bujukan setan berarti melawan nafsu-nafsu diri kita sendiri dan hal ini amatlah sukar. Manusia sendiri tidak akan mampu melawan dan mengatasi musuh besar sepanjang hidup berupa keinginan-keinginan napsunya sendiri. Hanya Sang Hyang Wldhi Wasa yang akan mampu memperkuat kita untuk mengatasi semua godaan itu. Satu-satunya jalan hanyalah mohon kekuatan dari DIA YANG MAHA KUAT, dengan penyerahan diri secara total kepada-Nya sehingga kekuatan-Nyalah yang bekerja, bukan lagi kekuatan kita untuk meredam gairah nafsu yang berkobar-kobar.
Tuhan Maha Murah dan Maha Adil, segala ciptaan-Nya diberi kebebasan sepenuhnya. Juga manusia selain diberi perlengkapan hidup berupa nafsu-nafsu dan hati akal pikiran serta budi, diberi pula kebebasan. Manusia bebas untuk memilih, kepada siapa kita akan mengabdi. Bebas untuk mengabdi kepada nafsu-nafsu daya rendah Setan atau mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kedua pengabdian itu mendatangkan akibat-akibat tertentu. Akibat lahir dari sebab ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah adil dan sempurna…!
********************
Kerajaan Wengker geger! Pasukan Kahuripan yang besar jumlahnya dipimpin sendiri oleh Ki Patih Narotama datang menyerbu bagaikan banjir bandang! Ki Patih Narotama menyerbu Kerajaan Wengker dengan semangat yang menggebu-gebu, bagaikan api berkobar menyala dan membakar apa saja yang menghalangi. Dia ingin cepat-cepat menguasai Wengker agar dapat mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap penyelamatan puteranya yang berada di tangan para pimpinan Parang Siluman, kemudian setelah puteranya dapat dirampas kembali, menundukkan Kerajaan Parang Siluman.
Namun ternyata Kerajaan Wengker tidak seperti Kerajaan Wura-wuri dan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang mudah ditaklukkan. Kerajaan Wengker melakukan perlawanan mati-matian! Biarpun jumlah pasukan Wengker kalah banyak, namun Wengker mengerahkan seluruh kekuatan dan melakukan perlawanan dengan gigih. Dewi Mayangsari, Adipati Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti merupakan tiga orang sakti yang pandai memimpin pasukan mereka. Pandai pula memberi dorongan semangat sehingga pasukan Wengker melawan dengan nekat.
Pertempuran antara kedua pasukan terjadi sampai berhari-hari. Pertempuran yang amat dahsyat, ganas dan buas! Yang ada hanya membunuh atau dibunuh! Mayat-mayat kedua pihak berserakan memenuhi lapangan pertempuran di luar tembok Kota Raja Wengker!
Semua serangan yang dilakukan Dewi Mayangsari, Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti melalui ilmu pertempuran, aji kesaktian, bahkan sihir ilmu hitam, semua dapat digagalkan Ki Patih Narotama. Mereka bertiga memang jerih untuk berhadapan langsung melawan Ki Patih Narotama dan hanya mempergunakan berbagai muslihat untuk menghancurkan Pasukan Kahuripan. Namun, pasukan Kahuripan bertempur penuh semangat walau pun banyak pula di antara mereka yang terluka atau tewas.
Senopati Tanujoyo yang diperbantukan kepada Ki Patih Narotama, juga memperlihatkan keahliannya memimpin pasukan. Demikian pula para perwira pembantu, dengan penuh semangat mendorong pasukan sehingga setelah berhari-hari bertempur, akhirnya pasukan Kahuripan dapat mendesak pasukan Wengker sehingga mereka terpaksa mundur dan memasuki kota raja, menutup pintu gerbang dan melakukan pertahanan dari dalam benteng kota raja.
Ternyata pertahanan Wengker memang kuat sekali. Benteng itu kuat dan usaha pasukan Kahuripan untuk mendekat benteng, selalu disambut hujan anak panah beracun. Terpaksa pasukan Kahuripan menjauh, berlindung di balik perisai dan membalas dengan serangan anak panah. Pertempuran anak panah berlangsung berhari-hari. Akan tetapi Ki Patih Narotama memperketat pengepungan sehingga tidak memungkinkan Wengker mendatangkan ransum dari luar.
Sementara itu, banyak penyelidik diselundupkan. Di antara mereka banyak yang tertangkap dan dibunuh, akan tetapi masih ada beberapa orang berhasil menyusup masuk dan mereka lalu mengadakan aksi pembakaran gudang-gudang ransum. Mereka memang tertangkap dan terbunuh, namun mereka berhasil membakar sebagian besar persediaan ransum.
Tidak adanya penambahan bahan pangan membuat para pimpinan Wengker menjadi panik. Juga sisa pasukannya menjadi gentar dan turun semangatnya. Melihat berkurangnya semangat pasukan Wengker yang tampak dari semakin melemahnya penjagaan mereka, juga serangan balasan anak panah mereka kini hanya jarang dan semakin berkurang, tanda bahwa mungkin mereka kehabisan anak panah, setelah mengepung beberapa pekan lamanya, Ki Patih Narotama lalu memberi komando kepada pasukannya untuk menyerbu!
Di iringi suara bende (canang), genderang, tambur dan diikuti sorak sorai gemuruh, pasukan Kahuripan menyerbu dan mendobrak pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu, mempergunakan batang pohon yang panjang dan besar, diangkat ratusan orang prajurit dan ditumbukkan ke pintu gerbang. Terdengar suara menggelegar beberapa kali dan akhirnya daun pintu gerbang itu pun runtuh! Kini pasukan kedua pihak bertempur mati-matian di pintu gerbang. Pasukan Kahuripan menyerbu masuk dan pasukan Wengker mempertahankan.
Melihat betapa pihaknya terancam bahaya dan berada di ambang kehancuran, Dewi Mayangsari, Linggawijaya dan Resi Bajrasakti menjadi panik. Akan tetapi Linggawijaya membesarkan hati isteri dan gurunya.
"Bapa Guru Resi Bajrasakti, saya harap Bapa Guru memimpin pasukan pengawal istana untuk membantu pertahanan pasukan kita. Pertahankan sekuatnya agar musuh jangan sampai dapat menyerbu masuk. Diajeng Dewi Mayangsari, sebaiknya kalau engkau membantu Bapa Resi untuk memperkuat pertahanan. Aku akan melakukan persiapan dan penjagaan terakhir untuk mempertahankan istana kita!"
Keadaan sudah mendesak. Teriakan-teriakan menggenggap gempita sudah menggetarkan istana, maka Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari tidak mempunyai waktu untuk memperbincangkan soal pertahanan lebih lama lagi. Mereka berdua segera berlari keluar, memanggil semua pasukan pengawal istana yang merupakan pasukan istimewa dan memimpin mereka keluar menuju pintu gerbang dan membantu pasukan mempertahankan pintu gerbang agar musuh tidak dapat menyerbu masuk.
Bantuan dua orang sakti ini membuat pertempuran menjadi lebih seru karena selain sepak terjang mereka berdua dapat merobohkan banyak prajurit Kahuripan, juga masuknya dua orang ini membangkitkan semangat para prajurit Wengker. Pasukan Kahuripan yang berada di bagian depan menjadi gempar ketika Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari muncul dan mengamuk. Dalam waktu sebentar saja dua orang ini telah merobohkan dan menewaskan puluhan orang prajurit Kahuripan!
Segera seorang perwira lari melapor kepada Ki Patih Narotama yang mengatur pasukan. Mendengar tentang dua orang sakti yang mengamuk itu, Ki Patih Narotama cepat menuju ke depan dan dia sudah berhadapan dengan Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari. Memang sepak terjang dua orang pimpinan Wengker ini amat menggiriskan. Dengan Aji Wisa Langking, pukulan yang mengeluarkan asap beracun hitam, Dewi Mayangsari menewaskan prajurit yang berani mendekatinya. Resi Bajrasakti lebih menyeramkan lagi. Dia membawa sebatang cambuk bergagang gading. Cambuknya meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan asap. Prajurit yang terkena lecutan cambuknya, seolah disayat pisau tajam. Kulit daging tersayat, tulang pun remuk terkena lecutan cambuk itu!
"Tar-tar-tarrr... plakk...!"
Tiba-tiba Resi Bajrasakti terkejut sekali ketika gerakan cambuknya yang meledak-ledak dan menyambar-nyambar itu bertemu sesuatu yang amat kuat sehingga cambuknya itu terpental dan membalik, ketika dia melihat orang yang menangkis cambuknya itu, dia mengenal Ki Patih Narotama! Tahulah dia bahwa kini dia berhadapan dengan tokoh Kahuripan yang memang dia takuti. Akan tetapi dalam pertempuran yang mati-matian itu, dia tidak mungkin dapat menghindar lagi, maka dia pun cepat melakukan penyerangan dengan dahsyat.
"Tar-tarrr...!" pecutnya menyambar-nyambar.
"Jahanam Narotama, mampuslah engkau!" Dewi Mayangsari juga membentak sambil menyerang dengan kedua tangannya yang mengandung hawa beracun. Ki Patih Narotama menghindar dari sambaran cambuk dengan lompatan ke kiri dan sengaja menyambut tamparan tangan Dewi Mayangsari sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Wuuuttt... dessss...!"
Tubuh Dewi Mayangsari terlempar sampai tiga tombak lebih dan wanita perkasa ini cepat menggulingkan tubuh sehingga tidak terluka ketika terbanting. Ia bangkit berdiri dengan wajah pucat dan gelung rambutnya terlepas. Ia melihat betapa Resi Bajrasakti yang dibantu empat orang perwira mengepung dan mengeroyok Ki Patih Narotama, namun mereka tetap saja terdesak oleh sepak terjang patih yang sakti mandraguna itu. Hati Dewi Mayangsari menjadi jerih, apa lagi melihat kini para prajurit Kahuripan mulai menerobos masuk dan pertahanan di luar pintu gerbang sudah jebol. Hanya tinggal menunggu waktu saja istana Wengker tentu akan diserbu.
Ia pun merasa heran mengapa suaminya, Adipati Linggawijaya belum juga tampak membantu. Karena melihat keadaan gawat dan bahaya mengancam, Dewi Mayangsari lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan pertempuran, memasuki istana yang di sebelah dalamnya sepi karena para pelayan yang lemah melarikan dan menyembunyikan diri, sedangkan para prajurit pengawal istana sudah berkumpul semua di depan istana untuk menjaga Istana dari serbuan musuh. Dewi Mayangsari mencari-cari suaminya, namun Adipati Linggawijaya tidak tampak. Ia memanggil-manggil dan mencari ke semua ruangan istana.
"Kakangmas Adipati...!" teriaknya berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Bayangan suaminya tidak tampak. Ia merasa heran lalu menuju ke belakang. Ketika bertemu seorang pelayan yang bersembunyi di dapur, ia bertanya, "Ke mana perginya Gusti Adipati?"
Pelayan yang ketakutan itu menuding ke arah belakang dan menjawab, "Hamba tadi melihat Gusti Adipati pergi ke kandang kuda, membawa buntalan kain besar berwarna hitam."
Dewi Mayangsari cepat berlari ke belakang. Setibanya di belakang, dekat kandang kuda, ia melihat suaminya, Adipati Linggawijaya dan Tumenggung Suramenggala, ayah suaminya itu, sedang melompat ke atas dua ekor kuda dan mereka berdua membawa buntalan kain yang tampak berat. Mudah saja bagi Dewi Mayangsari untuk menduga bahwa yang mereka bawa itu tentulah barang-barang berharga, perhiasan dari emas permata. Agaknya ayah dan anak itu hendak melarikan diri!
Melihat mereka mulai melarikan kuda, agaknya hendak mengambil jalan belakang untuk keluar dari istana melalui pintu rahasia yang berada di bagian belakang kompleks istana, Dewi Mayangsari berseru, "Kakangmas, tunggu...!"
Akan tetapi, Linggawijaya sama sekali tidak mempedulikannya. Menoleh pun tidak bahkan membalapkan kudanya. Melihat ini, Dewi Mayangsari mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Tahulah ia bahwa laki-laki yang menjadi suaminya itu, adalah seorang yang rendah budi. Kini hendak melarikan diri meninggalkan Istana dan tidak mempedullkan ia lagi, hendak mencari keselamatan bagi diri sendiri dan ayahnya, dengan membawa pergi harta kekayaan dari istananya!
"Kakangmas, tunggu aku...!" Dewi Mayangsari cepat melompat ke atas seekor kuda dan melakukan pengejaran.
Agaknya Linggawijaya dan Suramenggala yang sudah panik melihat keadaan istana gawat itu, melarikan diri tanpa menengok lagi, tidak tahu kalau Dewi Mayangsari melakukan pengejaran, Mereka berdua hanya mempunyai satu keinginan, yaitu cepat keluar dari istana dan dari Kota Raja Wengker dengan selamat.
Setelah berhasil mengejar dekat, Dewi Mayangsari berseru nyaring, "Kakangmas Linggawijaya, berhentilah. Kita harus membela Wengker dengan taruhan nyawa!"
Tanpa menoleh Linggawijaya berseru, "Engkau boleh tinggal di sini membela Wengker sampai titik darah penghabisan. Aku tidak ingin mati konyol!" jawaban ini terdengar seperti ejekan yang amat menyakitkan hati Dewi Mayangsari.
"Jahanam...!" Hatinya memaki dan ia pun mempercepat larinya kuda sehingga dapat mengejar suaminya. Setelah jaraknya cukup dekat Dewi Mayangsari menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke arah punggung Linggawijaya!
"Aduh...!"
Linggawijaya berteriak dan roboh terjungkal dari atas punggung kudanya yang terus berlari ketakutan. Biarpun Linggawijaya memiliki kesaktian yang cukup tangguh, akan tetapi diserang dari belakang secara tiba-tiba dan dia sama sekali tidak menduga itu, maka dia tidak dapat menghindarkan diri. Pasir Sakti yang merupakan senjata rahasia ampuh sekali dari Dewi Mayangsari menembus kulit punggungnya dan memasuki rongga dada. Pasir itu mengandung racun yang amat kuat karena senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia andalan Nini Bumigarbo yang telah diajarkan nenek itu kepada Dewi Mayangsari.
Melihat Linggawijaya roboh dari atas kudanya, Tumenggung Suramenggala terkejut, akan tetapi dia malah makin membalapkan kudanya. Mayangsari yang marah sekali kepada suaminya, tidak peduli akan larinya Ki Suramenggala. Ia melompat turun dari atas kudanya, lalu menghampiri Linggawijaya yang roboh miring sambil mencabut sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.
"Jahanam keparat! Laki-laki pengecut, pengkhianat hina, manusia rendah...!" Dewi Mayangsari memaki-maki sambil menghampiri dan ia sudah mengangkat pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba Linggawijaya membalik, mengeluarkan gerengan seperti binatang buas, tangan kanannya menggerakkan Pecut Tatit Geni yang telah dia persiapkan, menyerang ke arah dada Dewi Mayangsari.
"Tar-tarrr...!"
Tampak kilatan api dari pecut itu dan dada Dewi Mayangsari yang sama sekail tidak menyangka akan ada serangan mendadak yang amat dahsyat itu, dihantam ujung pecut. Dewi Mayangsari mengeluh akan tetapi dengan sisa tenaga yang ada ia menubruk dan menusukkan pedang di tangannya ke arah dada Linggawijaya yang terkulai setelah tadi mengerahkan tenaga terakhir untuk menyerang Dewi Mayangsari.
"Blesss...!"
Pedang itu menancap ulu hati Linggawijaya sampai menembus punggung. Tubuh Dewi Mayangsari terkulai dan roboh di atas tubuh Linggawijaya. Kedua orang itu tewas dalam saat yang bersamaan, tubuh mereka tumpang tindih berlepotan darah keduanya.
Sementara itu, Resi Bajrasakti kewalahan sekali melawan Ki Patih Narotama. Dengan repot dia mencoba untuk bertahan, mengeluarkan segala macam ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Akan tetapi tetap saja dia kewalahan dan semakin terdesak hebat. Ki Patih Narotama yang maklum bahwa kakek ini yang memperkuat Kerajaan Wengker dan datuk ini sejak dulu terkenal sebagai seorang datuk sesat yang jahat, kemudian menjadi guru Linggawijaya yang kemudian juga terkenal jahat, terus mendesaknya.
"Hyaaaaahhhhh...!"
Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik melengking dan dengan nekat dia mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan Aji Gelap Sewu dan mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama menyambut dengan sikap tenang, mendorongkan kedua tangan dan juga mengerahkan tenaga saktinya.....
Seolah di luar kehendaknya, Nurseta memandang mereka dan jantungnya berdegup keras. Dia melihat betapa Lasmini dan Mandarai tampak luar biasa cantiknya, seolah dua orang dewi kahyangan. Wajah mereka memancarkan cahaya indah, senyum mulut mereka mengandung lautan madu, kerling mata mereka seolah menarik-narik perasaan hatinya. Nurseta segera menyadari bahwa dua orang wanita itu telah mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang amat kuat yang kabarnya dapat meruntuhkan iman seorang pertapa sekalipun. Nurseta segera berlindung dalam Aji Sirna Sarira. Aji ini merupakan aji yang meniadakan diri jasmani sehingga tentu saja tidak dapat terpengaruh segala macam daya tarik nafsu yang menguasai jasmani. Dia tetap duduk bersila dan sungguhpun dia tidak perlu memejamkan matanya, namun matanya sama sekali tidak silau oleh daya tarik kecantikan dua orang wanita itu. Bahkan dia seolah melihat dua tengkorak terbungkus kulit yang menjijikkan!
Dua orang wanita yang berpengalaman itu segera mengerti bahwa aji pengasihan mereka tidak cukup kuat untuk meruntuhkan perasaan hati dan membangkitkan nafsu berahi Nurseta. Mereka merasa penasaran sekali dan kegagalan mereka itu bahkan merupakan senjata yang berbalik menyerang diri mereka sendiri. Penolakan pemuda itu justru membuat napsu mereka menjadi semakin menyala berkobar-kobar membakar diri mereka! Keduanya menjadi nekat dan mereka menyerbu ke atas pembaringan yang lebar itu.
Mereka berdua mulai merayu Nurseta dengan bisikan-bisikan, belaian dan melekatkan tubuh mereka yang panas penuh gairah itu ke tubuh Nurseta.
Namun pemuda itu kini memejamkan mata dan dia seolah menjadi seperti ketika Arjuna digoda dan diuji keteguhan batinnya oleh tujuh dewi kahyangan! Arjuna juga sama sekali tidak terguncang seperti diceritakan dalam Kisah Mahabharata Episode Arjuna Mintaraga.
Dua orang wanita cantik itu seperti cacing terkena abu panas! Mereka menggeliat-geliat merintih-rintih, merayu dan membelai. Namun Nurseta tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Lasmini menjadi semakin penasaran. Ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan sihirnya, menggerakkan jari tangan menotok tengkuk Nurseta lalu mengurut tulang punggungnya dengan Aji Asmara Kingkin. Totokan ini biasanya amat ampuh, dapat membangkitkan gairah berahi orang yang ditotoknya.
Nurseta, sempat merasakan tubuhnya panas dingin, namun tubuhnya yang memang terbiasa kuat menguasai gejolak nafsu-nafsunya, kini juga teguh dan tidak goyah. Dia tetap duduk bersila memejamkan mata. Akhirnya dua orang wanita itu menjadi kelelahan sendiri. Napas mereka terengah-engah, wajah mereka merah padam dan senyum manis tadi berubah menjadi seringai penuh kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan juga ada perasaan malu dan terhina.
"Jahanam...!" Lasmini menggerakkan tangan menampar.
"Plak...!"
Pipi kanan Nurseta ditampar. Pemuda yang tidak dapat mengerahkan tenaga sakti itu hampir terguling terkena tamparan yang membuat dia merasa nyeri, perih dan panas pada pipi kanannya.
"Keparat... plakk!" Tangan Mandari menampar pipi kiri Nurseta sehingga kedua pipi pemuda itu menjadi merah membengkak, ujung bibirnya di kanan kiri sedikit pecah dan berdarah. Akan tetapi wajah Nurseta tidak menunjukkan perasaan apa pun tidak ada kerut pada wajahnya, tetap tenang, bahkan kini dia membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang wanita itu seperti orang yang merasa iba!
"Nurseta, keparat sombong...! Engkau sudah menolak dua permintaan kami. Engkau sudah menghina kami! Sepatutnya sekarang juga engkau kami bunuh. Akan tetapi terlalu enak kalau engkau dibunuh sekarang, Maka, biarlah kau rasakan siksaan racun Perusak Tulang yang akan menggerogotirnu setiap saat selama satu bulan sampai engkau mati!" Lasmini berkata marah sambil turun dari atas pembaringan.
Mandari juga turun dan membetulkan letak pakaiannya yang kusut dan sebagian terbuka ketika tadi mereka membujuk rayu dan menggoda Nurseta.
"Kecuali kalau engkau berubah pikiran dan mau menaati perintah kami, tentu kami menyelamatkan mu!"
Setelah berkata demikian, dua orang wanita itu memanggil para prajurit pengawal yang berjaga di luar kamar itu. Empat orang prajurit pengawal yang bertubuh tinggi besar masuk dengan sikap hormat.
"Bawa dia ke kamar tahanan di belakang. Awas, jaga ketat jangan sampai dia lolos melarikan diri..! Bunuh saja kalau dia mencoba untuk melarikan diri!" kata Lasmini kepada mereka. "Nyawa kalian taruhannya kalau dia lolos!" kata pula Mandari. "Akan tetapi perlakukan dia baik-baik, jangan sekali-kali kalian menyiksanya. Mengerti?"
Empat orang itu menyatakan siap dan taat, lalu mereka berempat menuntun dan mengawal Nurseta keluar dari kamar itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan di belakang. Kamar tahanan ini kokoh kuat sekali karena dindingnya terbuat dari baja, daun pintunya juga dari besi dengan terali kokoh dari atas ke bawah sehingga keadaan dalam kamar tahanan itu selalu diawasi oleh para prajurit penjaga. Selusin orang prajurit berjaga secara bergiliran di sekitar luar kamar tahanan itu.
Begitu dimasukkan kamar tahanan dan daun pintu besi ditutup, Nurseta lalu duduk di atas dipan kayu yang berada di sudut kamar tahanan. Dia tahu bahwa tubuhnya keracunan dan mengerahkan tenaga merupakan hal tidak mungkin. Kalau dia paksakan, tentu tulang-tulangnya akan hancur dan dia tewas seketika. Maka dia membuat tubuhnya lemas, tidak mengeluarkan tenaga. Dia harus banyak beristirahat. Direbahkannya tubuhnya yang lemas dengan muka terasa panas dan pedih oleh tamparan kedua orang wanita tadi. Dia telentang dan merenungkan keadaannya yang terancam bahaya maut yang mengerikan.
Para tokoh Parang Siluman itu memang licik dan cerdik sekali. Mengatur jebakan dan pancingan sedemikian halusnya sehingga dia yang sudah berhati-hati itu tetap saja terjebak dan tertawan. Bahkan rasanya tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari kematian yang menyiksa hanyalah kalau dia menuruti kehendak Lasmini dan Mandari!
Pikirannya mulai melayang-layang dan Nurseta membiarkan pikirannya bekerja sendiri tanpa dia kendalikan. Mulai terbayanglah dia akan segala yang baru dialaminya, sejak dia melakukan penyelidikan sampai kemudian tertawan dan pengalaman terakhir dalam kamar indah itu pun terbayang-bayang. Betapa cantiknya dua orang puteri Parang Siluman itu! Bukan saja wajah mereka yang cantik manis menggiurkan, bahkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pernah terpikat oleh kecantikan mereka! Betapa indah bentuk tubuh mereka dan terbayanglah semua peristiwa tadi, betapa tubuh-tubuh yang lunak hangat lembut itu membelainya, betapa harum semerbak bau rambut dan tubuh mereka. Betapa akan menyenangkan kalau dia memenuhi permintaan mereka. Tidak, itu tidak benar sama sekali, terdengar bisikan halus namun penuh teguran dari dalam dadanya.
"Tidak,... Nurseta, hal itu tidak boleh kau lakukan." Hatinya berbisik.
"Uh, mengapa tidak boleh?" suara lain yang parau terdengar dari dalam kepalanya. "Engkau tidak akan menjadi manusia tolol, Nurseta! Engkau laki-laki, dan mereka itu begitu cantik menarik, bayangkan betapa indah mata dan mulut mereka, betapa mulus dan indah tubuh mereka, betapa akan berbahagianya engkau kalau engkau menerima dan membalas cinta kasih mereka!"
"Hemm,... itu bukan cinta kasih." cela suara dalam hatinya. "Itu hanya gairah nafsu birahi semata yang akan menyeretmu ke dalam dosa, Nurseta. Itu perzinaan namanya dan engkau membiarkan dirimu diseret dan diperbudak napsu birahi yang akan menyengsarakan dirimu sendiri. Seorang satria utama tidak akan sudi melakukan kesesatan itu."
Nurseta mengangguk-angguk. "Itu benar sekali, aku tidak boleh melakukan perbuatan sesat itu!" katanya lirih walau pun suara bisikannya itu tidak yakin dan tegas benar, masih bercampur keraguan.
"Phuah,... omong kosong! Siapa bilang berzina dan dosa? Ini merupakan usaha untuk menyelamatkan diri. Setiap orang manusia berhak untuk mencari keselamatan, menghindar diri dari ancaman maut! Sudah jelas engkau akan mati, tulang-tulangmu akan hancur dan kau tidak akan dapat tertolong lagi! Kalau jalan satu-satunya untuk menghindarkan kematian hanya menuruti kemauan dua orang wanita itu, apanya yang dosa? Itu bukan perzinaan, bukan dosa namanya! Itu hanya cara untuk mempertahankan hidup, hak setiap orang manusia! Bahkan kalau engkau tidak mempertahankan hidupmu, membiarkan dirimu mati tanpa berusaha mencari keselamatan, itu dosa besar namanya! Sudahlah, Nurseta, kau turuti saja kemauan Lasmini dan Mandari. Engkau akan memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan juga luput dari kematian!" Suara parau dalam kepalanya semakin lantang.
"Jangan dengarkan bujuk rayu menyesatkan itu, Nurseta." bisikan dalam dadanya membantah. "Ingat, engkau seorang satria, engkau utusan Ki Patih Narotama dan engkau selalu berpendirian bahwa seribu kali lebih baik mati sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang budak nafsu yang sesat berdosa!"
"Hua-ha-ha...!" Suara dalam kepalanya terbahak. "Siapa sih manusia hidup di dunia ini yang tidak berdosa? Melakukan dosa untuk mempertahankan hidup itu tidak salah, Nurseta!"
Namun jiwa Nurseta sudah tegar kembali, sepenuhnya menyadari akan kebenaran bisikan dari hatinya tadi. "Hemm, enyahlah kamu, Nafsu Setan!" bentaknya kepada pikirannya sendiri.
Terdengar suara dalam kepala tadi tertawa bergelak, menertawakan kebodohannya, akan tetapi juga terdengar bisikan suara dalam dadanya. "Puja-puji tertinggi bagi Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Besar dan Maha Kuasa!"
Setelah dua suara yang bertentangan, suara yang muncul dalam pikiran di kepala dan suara dari hati sanubari, menghilang dan keseimbangan dirinya pulih kembali dan tenang, Nurseta termenung. Dia menyadari bahwa suara yang membujuk-bujuknya untuk tunduk memenuhi permintaan Lasmini dan Mandari tadi adalah suara nafsunya yang pada umumnya disebut suara Setan. Akan tetapi, jahatkah Setan yang selalu membujuk-bujuk manusia untuk menyimpang dari kebenaran, untuk melakukan perbuatan yang sesat dan jahat?
Nurseta tersenyum sendiri. Sudah tentu saja Setan itu jahat, kalau tidak jahat bukan Setan namanya! Setan itu adalah Si Jahat itu sendiri, maka setan itu tidak bisa jahat lagi karena sudah maha jahat sejak mulanya! Mana mungkin api dapat terbakar? Api dan nyalanya tidak terpisah, seperti setan dan jahatnya. Sudah ditentukan Sang Hyang Widhi bahwa Setan harus menggoda manusia, maka membujuk manusia menyeleweng dari kebenaran merupakan tugas-kewajiban Setan! Kalau Setan tidak menggoda manusia, lalu apa pekerjaannya? Lalu namanya pun bukan setan lagi!
Tidak, yang jahat bukanlah setan, melainkan tergantung kepada manusia sendiri bagaimana menghadapi godaan itu. Betapa pun hebat setan menggoda, bagaimana kuat pun nafsu-nafsu dalam badan ini membujuk rayu, menjanjikan kesenangan dan kenikmatan yang kalau dituruti akan menyeret kita ke dalam dosa, namun kalau kita tidak menyerah, pasti tidak akan terjadi perbuatan sesat atau dosa!
Jelaslah bahwa dosa terjadi karena kelemahan manusia, bukan karena godaan setan. Sudah ditakdirkan bahwa manusia hidup di dunia harus menghadapi banyak sekali godaan dan tantangan, baik tantangan jasmani mau pun rohani. Segala macam godaan jasmani mengancam kehidupan kita, misalnya binatang-binatang yang mengganggu seperti nyamuk, lalat, tikus dan masih banyak lagi. Banyak pula peristiwa alam yang mengganggu dan merupakan tantangan kita, seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, badai dan sebagainya. Akan tetapi Sang Hyang Widhi Wasa juga memberi bekal akal budi kepada kita sehingga kita dapat mempergunakannya untuk mengatasi semua gangguan itu.
Demikian pula dengan gangguan rohani yang pada umumnya disebut gangguan setan. Seperti juga kita tidak menyalahkan nyamuk yang mengganggu, mengisap darah kita, karena memang nyamuk sudah ditakdirkan harus hidup dari mengisap darah sehingga nyamuk tidak bersalah, tergantung kepada kita dapat menghindarkan diri atau tidak, maka setan juga tidak bisa disalahkan kalau kita sampai tergelincir ke dalam perbuatan dosa. Kita sendirilah yang bersalah, karena lemah.
Memang, melawan bujukan setan berarti melawan nafsu-nafsu diri kita sendiri dan hal ini amatlah sukar. Manusia sendiri tidak akan mampu melawan dan mengatasi musuh besar sepanjang hidup berupa keinginan-keinginan napsunya sendiri. Hanya Sang Hyang Wldhi Wasa yang akan mampu memperkuat kita untuk mengatasi semua godaan itu. Satu-satunya jalan hanyalah mohon kekuatan dari DIA YANG MAHA KUAT, dengan penyerahan diri secara total kepada-Nya sehingga kekuatan-Nyalah yang bekerja, bukan lagi kekuatan kita untuk meredam gairah nafsu yang berkobar-kobar.
Tuhan Maha Murah dan Maha Adil, segala ciptaan-Nya diberi kebebasan sepenuhnya. Juga manusia selain diberi perlengkapan hidup berupa nafsu-nafsu dan hati akal pikiran serta budi, diberi pula kebebasan. Manusia bebas untuk memilih, kepada siapa kita akan mengabdi. Bebas untuk mengabdi kepada nafsu-nafsu daya rendah Setan atau mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kedua pengabdian itu mendatangkan akibat-akibat tertentu. Akibat lahir dari sebab ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah adil dan sempurna…!
********************
Kerajaan Wengker geger! Pasukan Kahuripan yang besar jumlahnya dipimpin sendiri oleh Ki Patih Narotama datang menyerbu bagaikan banjir bandang! Ki Patih Narotama menyerbu Kerajaan Wengker dengan semangat yang menggebu-gebu, bagaikan api berkobar menyala dan membakar apa saja yang menghalangi. Dia ingin cepat-cepat menguasai Wengker agar dapat mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap penyelamatan puteranya yang berada di tangan para pimpinan Parang Siluman, kemudian setelah puteranya dapat dirampas kembali, menundukkan Kerajaan Parang Siluman.
Namun ternyata Kerajaan Wengker tidak seperti Kerajaan Wura-wuri dan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang mudah ditaklukkan. Kerajaan Wengker melakukan perlawanan mati-matian! Biarpun jumlah pasukan Wengker kalah banyak, namun Wengker mengerahkan seluruh kekuatan dan melakukan perlawanan dengan gigih. Dewi Mayangsari, Adipati Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti merupakan tiga orang sakti yang pandai memimpin pasukan mereka. Pandai pula memberi dorongan semangat sehingga pasukan Wengker melawan dengan nekat.
Pertempuran antara kedua pasukan terjadi sampai berhari-hari. Pertempuran yang amat dahsyat, ganas dan buas! Yang ada hanya membunuh atau dibunuh! Mayat-mayat kedua pihak berserakan memenuhi lapangan pertempuran di luar tembok Kota Raja Wengker!
Semua serangan yang dilakukan Dewi Mayangsari, Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti melalui ilmu pertempuran, aji kesaktian, bahkan sihir ilmu hitam, semua dapat digagalkan Ki Patih Narotama. Mereka bertiga memang jerih untuk berhadapan langsung melawan Ki Patih Narotama dan hanya mempergunakan berbagai muslihat untuk menghancurkan Pasukan Kahuripan. Namun, pasukan Kahuripan bertempur penuh semangat walau pun banyak pula di antara mereka yang terluka atau tewas.
Senopati Tanujoyo yang diperbantukan kepada Ki Patih Narotama, juga memperlihatkan keahliannya memimpin pasukan. Demikian pula para perwira pembantu, dengan penuh semangat mendorong pasukan sehingga setelah berhari-hari bertempur, akhirnya pasukan Kahuripan dapat mendesak pasukan Wengker sehingga mereka terpaksa mundur dan memasuki kota raja, menutup pintu gerbang dan melakukan pertahanan dari dalam benteng kota raja.
Ternyata pertahanan Wengker memang kuat sekali. Benteng itu kuat dan usaha pasukan Kahuripan untuk mendekat benteng, selalu disambut hujan anak panah beracun. Terpaksa pasukan Kahuripan menjauh, berlindung di balik perisai dan membalas dengan serangan anak panah. Pertempuran anak panah berlangsung berhari-hari. Akan tetapi Ki Patih Narotama memperketat pengepungan sehingga tidak memungkinkan Wengker mendatangkan ransum dari luar.
Sementara itu, banyak penyelidik diselundupkan. Di antara mereka banyak yang tertangkap dan dibunuh, akan tetapi masih ada beberapa orang berhasil menyusup masuk dan mereka lalu mengadakan aksi pembakaran gudang-gudang ransum. Mereka memang tertangkap dan terbunuh, namun mereka berhasil membakar sebagian besar persediaan ransum.
Tidak adanya penambahan bahan pangan membuat para pimpinan Wengker menjadi panik. Juga sisa pasukannya menjadi gentar dan turun semangatnya. Melihat berkurangnya semangat pasukan Wengker yang tampak dari semakin melemahnya penjagaan mereka, juga serangan balasan anak panah mereka kini hanya jarang dan semakin berkurang, tanda bahwa mungkin mereka kehabisan anak panah, setelah mengepung beberapa pekan lamanya, Ki Patih Narotama lalu memberi komando kepada pasukannya untuk menyerbu!
Di iringi suara bende (canang), genderang, tambur dan diikuti sorak sorai gemuruh, pasukan Kahuripan menyerbu dan mendobrak pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu, mempergunakan batang pohon yang panjang dan besar, diangkat ratusan orang prajurit dan ditumbukkan ke pintu gerbang. Terdengar suara menggelegar beberapa kali dan akhirnya daun pintu gerbang itu pun runtuh! Kini pasukan kedua pihak bertempur mati-matian di pintu gerbang. Pasukan Kahuripan menyerbu masuk dan pasukan Wengker mempertahankan.
Melihat betapa pihaknya terancam bahaya dan berada di ambang kehancuran, Dewi Mayangsari, Linggawijaya dan Resi Bajrasakti menjadi panik. Akan tetapi Linggawijaya membesarkan hati isteri dan gurunya.
"Bapa Guru Resi Bajrasakti, saya harap Bapa Guru memimpin pasukan pengawal istana untuk membantu pertahanan pasukan kita. Pertahankan sekuatnya agar musuh jangan sampai dapat menyerbu masuk. Diajeng Dewi Mayangsari, sebaiknya kalau engkau membantu Bapa Resi untuk memperkuat pertahanan. Aku akan melakukan persiapan dan penjagaan terakhir untuk mempertahankan istana kita!"
Keadaan sudah mendesak. Teriakan-teriakan menggenggap gempita sudah menggetarkan istana, maka Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari tidak mempunyai waktu untuk memperbincangkan soal pertahanan lebih lama lagi. Mereka berdua segera berlari keluar, memanggil semua pasukan pengawal istana yang merupakan pasukan istimewa dan memimpin mereka keluar menuju pintu gerbang dan membantu pasukan mempertahankan pintu gerbang agar musuh tidak dapat menyerbu masuk.
Bantuan dua orang sakti ini membuat pertempuran menjadi lebih seru karena selain sepak terjang mereka berdua dapat merobohkan banyak prajurit Kahuripan, juga masuknya dua orang ini membangkitkan semangat para prajurit Wengker. Pasukan Kahuripan yang berada di bagian depan menjadi gempar ketika Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari muncul dan mengamuk. Dalam waktu sebentar saja dua orang ini telah merobohkan dan menewaskan puluhan orang prajurit Kahuripan!
Segera seorang perwira lari melapor kepada Ki Patih Narotama yang mengatur pasukan. Mendengar tentang dua orang sakti yang mengamuk itu, Ki Patih Narotama cepat menuju ke depan dan dia sudah berhadapan dengan Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari. Memang sepak terjang dua orang pimpinan Wengker ini amat menggiriskan. Dengan Aji Wisa Langking, pukulan yang mengeluarkan asap beracun hitam, Dewi Mayangsari menewaskan prajurit yang berani mendekatinya. Resi Bajrasakti lebih menyeramkan lagi. Dia membawa sebatang cambuk bergagang gading. Cambuknya meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan asap. Prajurit yang terkena lecutan cambuknya, seolah disayat pisau tajam. Kulit daging tersayat, tulang pun remuk terkena lecutan cambuk itu!
"Tar-tar-tarrr... plakk...!"
Tiba-tiba Resi Bajrasakti terkejut sekali ketika gerakan cambuknya yang meledak-ledak dan menyambar-nyambar itu bertemu sesuatu yang amat kuat sehingga cambuknya itu terpental dan membalik, ketika dia melihat orang yang menangkis cambuknya itu, dia mengenal Ki Patih Narotama! Tahulah dia bahwa kini dia berhadapan dengan tokoh Kahuripan yang memang dia takuti. Akan tetapi dalam pertempuran yang mati-matian itu, dia tidak mungkin dapat menghindar lagi, maka dia pun cepat melakukan penyerangan dengan dahsyat.
"Tar-tarrr...!" pecutnya menyambar-nyambar.
"Jahanam Narotama, mampuslah engkau!" Dewi Mayangsari juga membentak sambil menyerang dengan kedua tangannya yang mengandung hawa beracun. Ki Patih Narotama menghindar dari sambaran cambuk dengan lompatan ke kiri dan sengaja menyambut tamparan tangan Dewi Mayangsari sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Wuuuttt... dessss...!"
Tubuh Dewi Mayangsari terlempar sampai tiga tombak lebih dan wanita perkasa ini cepat menggulingkan tubuh sehingga tidak terluka ketika terbanting. Ia bangkit berdiri dengan wajah pucat dan gelung rambutnya terlepas. Ia melihat betapa Resi Bajrasakti yang dibantu empat orang perwira mengepung dan mengeroyok Ki Patih Narotama, namun mereka tetap saja terdesak oleh sepak terjang patih yang sakti mandraguna itu. Hati Dewi Mayangsari menjadi jerih, apa lagi melihat kini para prajurit Kahuripan mulai menerobos masuk dan pertahanan di luar pintu gerbang sudah jebol. Hanya tinggal menunggu waktu saja istana Wengker tentu akan diserbu.
Ia pun merasa heran mengapa suaminya, Adipati Linggawijaya belum juga tampak membantu. Karena melihat keadaan gawat dan bahaya mengancam, Dewi Mayangsari lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan pertempuran, memasuki istana yang di sebelah dalamnya sepi karena para pelayan yang lemah melarikan dan menyembunyikan diri, sedangkan para prajurit pengawal istana sudah berkumpul semua di depan istana untuk menjaga Istana dari serbuan musuh. Dewi Mayangsari mencari-cari suaminya, namun Adipati Linggawijaya tidak tampak. Ia memanggil-manggil dan mencari ke semua ruangan istana.
"Kakangmas Adipati...!" teriaknya berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Bayangan suaminya tidak tampak. Ia merasa heran lalu menuju ke belakang. Ketika bertemu seorang pelayan yang bersembunyi di dapur, ia bertanya, "Ke mana perginya Gusti Adipati?"
Pelayan yang ketakutan itu menuding ke arah belakang dan menjawab, "Hamba tadi melihat Gusti Adipati pergi ke kandang kuda, membawa buntalan kain besar berwarna hitam."
Dewi Mayangsari cepat berlari ke belakang. Setibanya di belakang, dekat kandang kuda, ia melihat suaminya, Adipati Linggawijaya dan Tumenggung Suramenggala, ayah suaminya itu, sedang melompat ke atas dua ekor kuda dan mereka berdua membawa buntalan kain yang tampak berat. Mudah saja bagi Dewi Mayangsari untuk menduga bahwa yang mereka bawa itu tentulah barang-barang berharga, perhiasan dari emas permata. Agaknya ayah dan anak itu hendak melarikan diri!
Melihat mereka mulai melarikan kuda, agaknya hendak mengambil jalan belakang untuk keluar dari istana melalui pintu rahasia yang berada di bagian belakang kompleks istana, Dewi Mayangsari berseru, "Kakangmas, tunggu...!"
Akan tetapi, Linggawijaya sama sekali tidak mempedulikannya. Menoleh pun tidak bahkan membalapkan kudanya. Melihat ini, Dewi Mayangsari mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Tahulah ia bahwa laki-laki yang menjadi suaminya itu, adalah seorang yang rendah budi. Kini hendak melarikan diri meninggalkan Istana dan tidak mempedullkan ia lagi, hendak mencari keselamatan bagi diri sendiri dan ayahnya, dengan membawa pergi harta kekayaan dari istananya!
"Kakangmas, tunggu aku...!" Dewi Mayangsari cepat melompat ke atas seekor kuda dan melakukan pengejaran.
Agaknya Linggawijaya dan Suramenggala yang sudah panik melihat keadaan istana gawat itu, melarikan diri tanpa menengok lagi, tidak tahu kalau Dewi Mayangsari melakukan pengejaran, Mereka berdua hanya mempunyai satu keinginan, yaitu cepat keluar dari istana dan dari Kota Raja Wengker dengan selamat.
Setelah berhasil mengejar dekat, Dewi Mayangsari berseru nyaring, "Kakangmas Linggawijaya, berhentilah. Kita harus membela Wengker dengan taruhan nyawa!"
Tanpa menoleh Linggawijaya berseru, "Engkau boleh tinggal di sini membela Wengker sampai titik darah penghabisan. Aku tidak ingin mati konyol!" jawaban ini terdengar seperti ejekan yang amat menyakitkan hati Dewi Mayangsari.
"Jahanam...!" Hatinya memaki dan ia pun mempercepat larinya kuda sehingga dapat mengejar suaminya. Setelah jaraknya cukup dekat Dewi Mayangsari menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke arah punggung Linggawijaya!
"Aduh...!"
Linggawijaya berteriak dan roboh terjungkal dari atas punggung kudanya yang terus berlari ketakutan. Biarpun Linggawijaya memiliki kesaktian yang cukup tangguh, akan tetapi diserang dari belakang secara tiba-tiba dan dia sama sekali tidak menduga itu, maka dia tidak dapat menghindarkan diri. Pasir Sakti yang merupakan senjata rahasia ampuh sekali dari Dewi Mayangsari menembus kulit punggungnya dan memasuki rongga dada. Pasir itu mengandung racun yang amat kuat karena senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia andalan Nini Bumigarbo yang telah diajarkan nenek itu kepada Dewi Mayangsari.
Melihat Linggawijaya roboh dari atas kudanya, Tumenggung Suramenggala terkejut, akan tetapi dia malah makin membalapkan kudanya. Mayangsari yang marah sekali kepada suaminya, tidak peduli akan larinya Ki Suramenggala. Ia melompat turun dari atas kudanya, lalu menghampiri Linggawijaya yang roboh miring sambil mencabut sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.
"Jahanam keparat! Laki-laki pengecut, pengkhianat hina, manusia rendah...!" Dewi Mayangsari memaki-maki sambil menghampiri dan ia sudah mengangkat pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba Linggawijaya membalik, mengeluarkan gerengan seperti binatang buas, tangan kanannya menggerakkan Pecut Tatit Geni yang telah dia persiapkan, menyerang ke arah dada Dewi Mayangsari.
"Tar-tarrr...!"
Tampak kilatan api dari pecut itu dan dada Dewi Mayangsari yang sama sekail tidak menyangka akan ada serangan mendadak yang amat dahsyat itu, dihantam ujung pecut. Dewi Mayangsari mengeluh akan tetapi dengan sisa tenaga yang ada ia menubruk dan menusukkan pedang di tangannya ke arah dada Linggawijaya yang terkulai setelah tadi mengerahkan tenaga terakhir untuk menyerang Dewi Mayangsari.
"Blesss...!"
Pedang itu menancap ulu hati Linggawijaya sampai menembus punggung. Tubuh Dewi Mayangsari terkulai dan roboh di atas tubuh Linggawijaya. Kedua orang itu tewas dalam saat yang bersamaan, tubuh mereka tumpang tindih berlepotan darah keduanya.
Sementara itu, Resi Bajrasakti kewalahan sekali melawan Ki Patih Narotama. Dengan repot dia mencoba untuk bertahan, mengeluarkan segala macam ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Akan tetapi tetap saja dia kewalahan dan semakin terdesak hebat. Ki Patih Narotama yang maklum bahwa kakek ini yang memperkuat Kerajaan Wengker dan datuk ini sejak dulu terkenal sebagai seorang datuk sesat yang jahat, kemudian menjadi guru Linggawijaya yang kemudian juga terkenal jahat, terus mendesaknya.
"Hyaaaaahhhhh...!"
Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik melengking dan dengan nekat dia mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan Aji Gelap Sewu dan mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama menyambut dengan sikap tenang, mendorongkan kedua tangan dan juga mengerahkan tenaga saktinya.....
Komentar
Posting Komentar