NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-13
Wajahnya bulat telur, matanya lebar bersinar terang penuh semangat,
hidungnya mancung, ujungnya agak menjungat memberi kesan lucu, mulutnya
berbentuk indah dan bibirnya menggairahkan. Pakaiannya dari sutera halus
dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan gagang dan sarung
terukir indah.
"Aku harus menyelamatkan Ibu Lasmi untuk menebus kesalahan ayah sehingga selama belasan tahun Ibu Lasmi hidup menderita! Aku yang akan membawanya pulang!"
Demikian, Niken Harni, gadis itu, berkata kepada dirinya sendiri. Niken Harni adalah seorang gadis yang pemberani. Ketika muncul Puspa Dewi sebagai kakak tirinya dan mendengar cerita tentang Nyi Lasmi, isteri ayahnya yang pertama, diam-diam ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan merasa iba kepada Nyi Lasmi.
Maka, ketika rombongan keluarga mereka tiba di Karang Tirta dan mendengar musibah yang menimpa Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan hilangnya Nyi Lasmi diculik orang-orang Kadipaten Wengker, ia marah sekali. Ketika mendengar bahwa Puspa Dewi sudah pergi melakukan pengejaran ke Wengker, ia pun diam-diam pergi tanpa pamit untuk menyusul Puspa Dewi dan berusaha untuk membebaskan Nyi Lasmi. Ia sengaja tidak pamit karena kalau ia pamit, tentu ayah dan kakeknya akan melarangnya!
Bagaikan seekor anak harimau yang baru pertama kali keluar dari sarang orang tuanya, Niken Harni sama sekali belum berpengalaman dan ia hanya mengandalkan keberaniannya saja, juga ia merasa bahwa ia telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh. Ayahnya sendiri yang menggemblengnya sejak kecil mengatakan bahwa ia berbakat besar dan saat itu semua ilmu ayahnya telah ia kuasai sehingga menurut ayahnya, tingkat ketangguhannya tidak berada di bawah ayahnya sendiri. Dia memiliki kepercayaan yang besar sekali akan kemampuannya sendiri, maka ketika akhirnya pada suatu siang ia tiba di kota raja Wengker, dengan berani ia memasuki pintu gerbang kadipaten yang dijaga belasan orang prajurit Wengker seperti memasuki rumah sendiri!
Ia sama sekali tidak mengira bahwa mbakayunya, Puspa Dewi, kemarin malam telah meninggalkan Wengker, tidak tahu bahwa para pimpinan Wengker, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, dan Tumenggung Suramenggala baru saja pagi tadi mendapat berita yang membuat mereka terkejut dan marah sekali. Wirobento dan Wirobandrek pulang dan memberi laporan bahwa usaha mereka mengantar Nyi Lasmi ke Wura-wuri telah gagal karena muncul Ki Patih Narotama yang melindungi wanita itu!
"Hei, berhenti!" tiba-tiba Niken Harni mendengar bentakan dan tahu-tahu ada dua belas laki-laki berpakaian seragam telah menghadang di depannya, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya hitam sekali, kumisnya sekepal sebelah dan matanya melotot lebar. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh. Juga anak buah mereka yang terdiri dari laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu rata-rata bertubuh besar dan kokoh, akan tetapi wajah mereka tidak ada yang tampan!
Memang sudah terkenal bahwa orang-orang Kadipaten Wengker bertubuh jelek dan sikapnya kasar. Agaknya kegagahan, kekasaran, dan kekuatan, bukan ketampanan yang menjadi kebanggaan mereka. Kalau wanitanya biasa-biasa saja, ada yang cantik dan ada juga yang buruk. Kalau gadis biasa, menghadapi dua belas orang laki-laki yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan pandang mata beringas itu, tentu sudah menjadi takut dan lemas, seperti seekor anak domba dikepung srigala.
Akan tetapi Niken Harni bukan anak domba, melainkan anak harimau! Harimau muda yang belum mengenal takut! Melihat mereka menyeringai menjijikkan dan menghadangnya, ia berdiri tegak, kedua kakinya agak terpentang, kedua tangannya bertolak pinggang, kepala dikedikkan, matanya mencorong, hidungnya kembang kempis, semua ini pertanda bahwa Niken Harni sedang jengkel atau marah.
"Huh, kalian ini segerombolon anjing srigala mau apa menggonggong dan menghadang perjalananku?"
Dua belas orang penjaga itu bukan marah, melainkan terkejut dan heran sekali melihat gadis yang asing, gadis muda belia yang cantik jelita ini, berani bersikap dan bicara seperti itu terhadap mereka! Pimpinan mereka yang berkumis tebal itu tertawa bergelak menoleh kepada anak buahnya yang berada di belakangnya.
"Hua-ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, kalian lihat dan dengar ini? Lucu sekali!"
Dua belas orang itu tertawa semua. Kalau bukan gadis muda cantik jelita yang memaki mereka segerombolan srigala, tentu mereka sudah marah sekali dan mungkin mereka akan langsung membunuhnya.
"Eh, bocah denok montrok-montrok, ayu kuning manis merak ati! Kalau kami segerombolan srigala, memang kami sedang kelaparan dan kebetulan sekali engkau, seekor domba betina muda berdaging lunak dan berdarah hangat. Hemhmm...!"
Si Kumis tebal itu menjilat-jilat bibirnya dan Niken Harni melihat betapa dua belas orang laki-laki kasar itu semua menjilati bibir mereka sendiri, seolah mereka itu memang segerombolan srigala yang mengilar untuk merobek-robek tubuh domba, megunyah dagingnya dan menjilati darahnya! Mengkirig (meremang) juga ia, akan tetapi ia makin marah.
"Kalian jahanam bosan hidup! Hayo kembalikan Ibu Lasmi kepadaku!"
Dan tiba-tiba gadis itu sudah menerjang dan mengamuk. Bagaikan lesus (angin puting beliung) tubuhnya berputaran, kedua pasang kaki tangannya menyambar-nyambar dan dua belas orang itu berteriak dan berpelantingan!
Mereka itu hanyalah prajurit-prajurit biasa dari Wengker yang hanya mengandalkan penampilan angker dan tenaga kasar belaka, maka menghadapi terjangan Niken Harni yang memainkan ilmu silat yang cukup tangguh, tentu saja mereka kocar-kacir. Apa lagi mereka sudah terkejut dan nyali mereka terbang mendengar gadis itu menuntut dikembalikannya ibunya, yaitu Nyi Lasmi. Tak salah lagi, ini tentu gadis yang kemunculannya ditakuti Tumenggung Suramenggala, yang kabarnya sakti mandraguna, puteri Nyi Lasmi.
"Puspa Dewi...!"
Dua belas orang yang semua telah merasakan tamparan atau tendangan gadis itu yang membuat mereka terpelanting berseru ketakutan lalu melarikan diri untuk melapor kepada Tumenggung Suramenggala!
"Huh, tikus-tikus pengecut!" Niken Harni mengejek sambil tersenyum dan membusungkan dadanya yang sudah menonjol itu dengan bangga karena di situ terdapat banyak juga orang yang menyaksikan sepak terjangnya itu. Ia lalu memasuki kota raja Wengker dengan niat mencari rumah Tumenggung Suramenggala karena ia mendengar di Karang Tirta bahwa biang keladi penculikan itu adalah Tumenggung Suramenggala.
Mendengar laporan para prajurit jaga bahwa Puspa Dewi memasuki Kadipaten Wengker, tentu saja Tumenggung Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Ia tahu betapa saktinya puteri Nyi Lasmi itu, maka cepat dia berlari ke istana Adipati Linggawijaya dan dengan muka pucat dan napas terengah-engah melapor kepada puteranya tentang munculnya Puspa Dewi yang ditakuti.
"Aha...! ia berani datang? Bagus, kebetulan sekali, Kanjeng Rama, aku tinggal menangkapnya saja!" kata Adipati Linggawijaya yang sekarang memanggil ayahnya dengan sebutan kanjeng rama seperti lazimnya keluarga bangsawan. Harta dan pangkat biasanya memang mempengaruhi sikap orang sehingga ucapan dan gerak-geriknya berubah sama sekali, disesuaikan dengan harta atau pangkatnya.
"Puspa Dewi berani datang ke sini? Hemm, seperti ia sendiri saja wanita sakti di dunia ini! Kakangmas Adipati, biarlah aku yang akan membunuh gadis sombong itu!" kata Dewi Mayangsari kepada suaminya.
Linggawijaya tersenyum maklum. Ia maklum akan kesaktian isterinya. Akan tetapi dia tidak yakin isterinya akan mampu mengalahkan Puspa Dewi. Pula, dia tidak ingin Puspa Dewi dibunuh. Teringat akan kejelitaan Puspa Dewi, timbul berahinya.
"Tidak, Diajeng. Tidak pantas kalau untuk menangkap seorang gadis pengacau saja engkau yang harus turun tangan sendiri, seolah-olah di Wengker sudah tidak ada yang mampu melawan Puspa Dewi! Biarlah, aku akan memimpin seregu prajurit pengawal istana untuk menangkapnya."
"Bunuh saja dia!" Dewi Mayangsari berseru karena diam-diam ia membenci Puspa Dewi yang kabarnya cantik dan sakti, apa lagi gadis itu telah menjadi satu di antara sebab utama gagalnya persekutuan yang menentang Kahuripan setahun yang lalu.
"Sabarlah, Diajeng. Aku sendiri juga membencinya dan aku sendiri yang akan membunuhnya kalau saatnya tiba. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa ia adalah Sekar Kedaton Kadipaten Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri kerajaan itu adalah gurunya yang amat menyayanginya sehingga ia diangkat menjadi puterinya. Akan tetapi lebih menguntungkan kalau kita menangkapnya dan menyerahkannya kepada Wura-wuri."
Dewi Mayangsari menghela napas panjang. Bagaimana pun juga, ia mengerti bahwa ucapan suaminya itu memang benar. Kebencian pribadi memang kalau perlu harus dikesampingkan demi kepentingan kadipaten yang harus menggalang persatuan dengan para kadipaten lain agar kedudukan mereka kuat untuk melawan Kahuripan.
"Sesukamulah, Kakangmas." katanya.
Adipati Linggawijaya lalu membawa seregu pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Tumenggung Suramenggala yang ingin melihat sendiri gadis yang ditakutinya itu tertangkap ikut pula menyertainya. Tidak ketinggalan Wirobento dan Wirobanrek yang baru datang melaporkan bahwa Nyi Lasmi dirampas dan dilindungi Ki Patih Narotama.
Empat belas orang ini bergegas pergi mencari gadis yang baru saja memasuki kota dan merobohkan dua belas orang penjaga di gapura itu. Pada waktu itu, Resi Bajrasakti tidak berada di kadipaten, maka dia tidak tahu akan urusan itu. Linggawijaya sengaja tidak memberitahu kepada guru dan penasehatnya itu, karena dia khawatir kalau-kalau kakek itu akan memperkuat pendapat istrinya, yaitu bahwa Puspa Dewi sebaiknya dibunuh saja.
Sementara itu, Niken Harni yang bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, mendapat keterangan dimana rumah Tumenggung Suramenggala. Cepat ia menuju ke rumah itu. Melihat tempat tinggal orang yang dicarinya itu merupakan gedung besar dan di gapura pekarangan yang luas depan gedung itu terdapat empat orang prajurit yang berjaga, ia langsung saja melangkah masuk!
"He, siapakah Andika? Tidak boleh sembarangan masuk ke sini tanpa ijin!" bentak kepala jaga yang tubuhnya tinggi kurus. Empat orang penjaga itu sudah berdiri menghadang di depan Niken Harni dengan sikap galak. Niken Harni yang dihadang mengerutkan alisnya, berdiri tegak bertolak pinggang dengan kedua tangan lalu bertanya.
"Ijin siapa?"
"Ijin dari kami tentu saja!" bentak Si Tinggi Kurus.
"Hemm, memangnya kamu yang mempunyai rumah ini?"
Kepala jaga itu tertegun juga dan sejenak dia bingung tak dapat menjawab.
Seorang temannya yang menolongnya, menjawab. "Rumah ini milik Gusti Tumenggung Suramenggala. Andika siapakah dan apakah Andika ingin menghadap Gusti Tumenggung?"
Penjaga ini khawatir kalau-kalau gadis yang membawa pedang di punggungnya ini mempunyai hubungan dengan Tumenggung Suramenggala sehingga kalau mereka bersikap kurang hormat, mungkin saja akan di marahi majikan mereka. Mendengar ucapan ini, kemarahan Niken Harni mereda.
"Bagus, kalau begitu cepat engkau melapor kepada Tumenggung Suramenggala, suruh dia keluar sekarang juga untuk menemui aku. Aku ingin bicara dengan dia!"
Mendengar ucapan yang amat meremehkan Sang Tumenggung itu, kepala jaga yang tinggi kurus menjadi penasaran sekali.
"Eh, Andika ini siapakah, berani memandang rendah Gusti Tumenggung dan menyuruh beliau keluar?"
Niken Harni yang sejak tadi memang sudah jengkel dan tidak senang terhadap kepala jaga tinggi kurus itu, membentak, "Kamu tidak pantas mengenal namaku!"
Si Tinggi Kurus marah, akan tetapi Niken Harni menggerakkan tangan kirinya sambil menghardik, "Pergilah,tikus busuk!"
"Plakk...!" Si Tinggi Kurus mengaduh dan terpelanting roboh, lalu bangkit duduk terengah-engah sambil meraba pipinya yang membengkak.
"Hayo, mau tidak kalian menyuruh Suramenggala keluar? Atau minta kutampari semua?"
Seorang penjaga berkata, "Akan tetapi beliau tadi keluar..."
"Hemm, kamu tidak bohong?"
"Tidak sungguh mati, saya bersumpah, beliau tidak berada di rumah... "
"Kalau begitu, beritahu di mana adanya Nyi Lasmi!" Niken Harni membentak.
"Nyi Lasmi...?" Orang itu terbelalak. "Saya... saya tidak tahu... "
"Bohong...!"
"Kami tidak tahu...Nyi Lasmi tidak berada di sini... "
"Plak-plak-plak...!" Niken Harni menyerang dengan cepat dan tiga orang itu pun terpelanting seperti orang pertama.
"Biar aku cari sendiri!" kata Niken Harni sambil melangkah menyeberangi pekarangan menuju gedung besar itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di bawah anak tangga pendopo, dari dalam berlarian keluar dua belas orang prajurit pengawal dipimpin oleh seorang perwira pasukan pengawal yang berusia sekltar empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan mukanya penuh bopeng (bekas cacar).
"Berhenti!" bentak perwira itu sambil mencabut goloknya. Dua belas orang anak buahnya berdiri di belakangnya dan sudah siap pula dengan senjata golok mereka. "Dari mana datangnya seorang gadis liar yang berani mengacau di sini? Siapa namamu?"
"Katakan dulu siapa namamu!" kata Niken Harni sambil memandang angkuh.
Perwira pengawal itu memandang ringan kepada gadis cantik itu dan dia ingin menyombongkan dirinya, apa lagi di depan dua belas orang anak buahnya. Bagaimana pun juga, dia terkenal kuat di antara para pengawal Tumenggung Suramenggala.
"Mau tahu namaku? Aku Jayeng, dikenal dengan julukan Sardula Krastala (Macan Kuat)! Menyerahlah, daripada aku menggunakan kekerasan!" Hayo mengaku siapa namamu!"
"Namamu Macan Cebol? Ketahuilah, aku disebut Liman Sakti (Gajah Sakti)! Nah, apakah seekor harimau cebol berani berlagak di depan seekor gajah sakti?" Niken Harni tersenyum mengejek.
Disebut macan cebol, perwira yang bernama Jayeng itu marah sekali. Melihat gadis itu tidak memegang senjata, dia pun ingin memperlihatkan kegagahannya dan menyarungkan kembali goloknya.
"Bocah kurang ajar!" Setelah membentak marah dia lalu melompat dan menerkam ke arah Niken Harni. Dia benar-benar melakukan gerakan menerkam, agaknya hendak pamer bahwa dia pantas mendapat julukan Macan Kuat. Niken Harni bergerak cepat, menggeser kaki ke kiri sambil mencondongkan tubuhnya sehingga tubuh pendek gendut yang menubruknya itu lewat di sampingnya dan sekali mendorong dengan tangan kirinya ke punggung lawan, perwira itu terbanting menelungkup
"Bresss...!"
ubuh pendek gendut itu terbanting keras dan ketika dia bangkit dengan marah, darah mengucur keluar dari hidungnya. Agaknya ketika terbanting menelungkup, hidungnya menghantam tanah berbatu dan mimisen (mengeluarkan darah)! Makin marahlah Jayeng. Kini dia tidak ingin menangkap dan main-main lagi, sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia menyerang dengan pukulan yang kuat ke arah dada Niken Harni. Kembali gadis itu menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindar ke kanan dan secepat kilat kakinya mencuat ke arah perut yang gendut itu.
"Wuuuutt... ngekk!" Yang berbunyi ngek itu adalah hawa yang keluar dari mulut Jayeng ketika perutnya yang gendut disambar kaki mungil namun amat kuat itu. Kini tubuhnya roboh terjengkang, dan dia bangkit sambil memegangi perutnya yang terasa mulas! Akan tetapi kemarahannya memuncak membuat dia tidak merasakan lagi kenyerian itu.
"Srattt...!" Dia mencabut goloknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang gadis yang bertangan kosong itu dengan bacokan golok ke arah leher Niken Harni! Serangan ini cukup berbahaya bagi Niken Harni. Gadis Itu tidak berani main-main mellhat betapa cepat dan kuatnya serangan golok itu. Ia melompat menghindar ke belakang dan cepat mencabut pedangnya. Jayeng yang merasa penasaran dan marah sekali karena merasa dipermainkan dihina di depan anak buahnya, melihat gadis itu melompat ke belakang, mengira bahwa lawannya itu mulai ketakutan. Maka dia pun mengejar dan memutar goloknya dengan buas.
"Trangg...!" Golok bertemu pedang dan Jayeng tersentak kaget karena tangannya yang memegang golok tergetar. Akan tetapi dia menyerang lagi lebih hebat, mengerahkan semua tenaganya.
"Cringgg...!" kembali pedang di tangan Niken Harni menangkis dari samping, tidak langsung sehingga gadis itu tidak terlalu banyak menggunakan tenaga namun sudah membuat bacokan lawan melenceng. Niken Harni membalas dengan cepat dan Jayeng menjadi kewalahan. Terpaksa dia memutar goloknya membentuk perisai melindungi tubuhnya.
Perkelahian menjadi semakin seru. Setelah Jayeng mempergunakan golok, ternyata Niken Harni tidak mudah mengalahkannya. Hal ini karena adalah memang ayahnya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya, lebih menekankan pelajaran silat tangan kosong, terutama kecepatan gerakan kepada puterinya karena ilmu itu dimaksudkan untuk dapat membela diri. Bukan untuk menyerang atau membunuh lawan.
Betapa pun juga, karena gadis ini memang memiliki gerakan yang jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan lawannya, maka Jayeng yang merasa repot dan dia hampir tidak mendapat kesempatan untuk menyerang. Serangan gadis itu datang bertubi-tubi, pedangnya menjadi sinar bergulung=gulung membuat Jayeng merasa pusing.
"Pergilah!" bentak Niken Harni dan ketika pedangnya berkelebat ia tidak menyerang ke arah tubuh lawan, melainkan ke arah tangan Jayeng yang memegang golok.
"Singgg...! Crattt!"
Punggung tangan Jayeng terluka berdarah dan goloknya terlepas. Dia cepat membungkuk untuk mengambil goloknya, akan tetapi Niken Harni mengangkat lutut kanannya ke arah perut lawan.
"Ngekk!" Jayeng mengaduh dan membungkuk, menekan perutnya dan pada saat itu, tangan kiri Niken Harni menyambar ke arah tengkuknya.
"Kekk!" Tubuh pendek gendut itu terguling dan seketika klenger (pingsan)!
Melihat pemimpin mereka roboh tak bergerak lagi, barulah dua belas orang prajurit pengawal Itu serentak mengepung dan menyerang Niken Harni. Tadi mereka diam saja karena selain mereka mengira bahwa Jayeng akan dapat mengalahkan gadis itu, juga Jayeng tidak memberi aba-aba kepada mereka untuk mengeroyok. Kini, mereka menghujani Niken Harni dengan bacokan golok mereka. Niken Harni mengamuk. Pedangnya menyambar-nyambar dan tangan kiri dibantu kakinya membagi-bagi tamparan dan tendangan.
Delapan orang pengawal roboh dan yang empat orang lagi menjadi gentar. Mereka masih hendak menyerang, akan tetapi begitu Niken Harni menggerakkan pedang, diangkat ke atas mengancam, empat orang itu lari lintangpukang! Mereka yang ter-luka juga saling menolong dan meninggalkan pekarangan di depan pendopo. Jayeng juga sudah dipapah anak buahnya meninggalkan tempat itu. Niken Harni melompat ke dalam pendopo dan terus memasuki pintu depan gedung. Ketika melihat beberapa orang wanita berpakaian pelayan, ia menghardik.
"Hayo katakan, di mana Nyi Lasmi?"
"Hamba... hamba tidak tahu, Den Ajeng..." kata mereka ketakutan.
"Hemm, biar kucari sendiri!" Gadis itu dengan berani terus memasuki gedung dan memeriksa semua ruangan dan kamar.
Setiap kali bertemu pelayan wanita, ia bertanya, akan tetapi jawaban mereka selalu tidak tahu. Akhirnya ia memasuki ruangan dalam yang luas dan di situ berkumpul isteri dan para selir Tumenggung Suramenggala. Para wanita ini tadi sudah ketakutan karena mendengar bahwa Puspa Dewi mengamuk dan mencari ibunya. Ketika Niken Harni memasuki ruangan itu, mereka semua merasa heran karena mereka sama sekali tidak mengenal gadis ini. Bukan Puspa Dewi yang tentu saja sudah mereka kenal baik, melainkan seorang gadis lain yang belum pernah mereka lihat. Niken Harni yang merasa jengkel karena tidak menemukan Nyi Lasmi yang juga belum pernah dilihatnya, melihat para wanita yang berpakaian mewah itu.
"Hei, apakah kalian ini keluarga Suramenggala?"
"Benar, kami adalah keluarganya, isteri-isterinya... "
Niken Harni menggerakkan tangannya ke arah sebuah meja dari kayu yang berada di sudut ruangan.
"Wuutt... brakkkkk...!" Semua wanita menjadi ketakutan.
"Hayo katakan, di mana adanya Nyi Lasmi? Kalau kalian tidak mau mengatakan, bukan meja yang akan kupukul pecah!"
Para wanita itu menjadi pucat melihat betapa meja dari kayu tebal itu pecah berantakan terkena pukulan tangan yang mungil Itu.
"Sungguh mati, kami tidak tahu. Kami hanya tahu bahwa Nyi Lasmi dibawa keluar dari rumah ini." kata Isteri pertama Ki Suramenggala.
"Dibawa ke mana?"
"Kami tidak tahu. Hanya Tumenggung Suramenggala yang mengetahuinya."
"Mana dia Si Suramenggala?"
"Dia sedang keluar. Kalau nanti dia sudah kembali, tanyakan saja kepadanya." kata isteri Ki Suramenggala yang mengharapkan suaminya segera datang membawa bala bantuan untuk menghadapi gadis yang liar dan galak ini.
"Sebaiknya Andika menunggu di sini sebentar. Tak lama lagi dia tentu pulang."
Niken Harni tidak menjawab, dan setelah menggeledah semua kamar dan tidak menemukan wanita yang mengaku bernama Nyi Lasmi, ia lalu keluar dan duduk di atas kursi yang berada dl pendopo! Ia duduk dengan tenang dan santai, benar-benar hendak menanti kembalinya Tumenggung Suramenggala untuk dipaksa mengakui di mana adanya Nyi Lasmi!
Karena pendopo itu luas menghadap pekarangan, maka semilir angin mendatangkan kesejukan, ditambah lagi ia merasa lelah setelah berkelahi, maka begitu berhembus angina semilir, ia mulai mengantuk. Ia sendiri puteri seorang senopati, cucu seorang tumenggung Kahuripan, maka ia sudah terbiasa dengan gedung-gedung besar seperti itu dan merasa seperti di rumah sendiri!
Beberapa orang pelayan wanita dan pengawal berindap-indap ke pintu dan mengintai. Mereka terheran-heran melihat gadis yang galak itu duduk di atas kursi, menyandarkan mukanya di atas meja di depannya, berbantalkan kedua lengannya dan jelas tampak sedang tidur! Niken Harni memang lelah dan mengantuk sekali. Selama dalam perjalanan dari Karang Tirta ke Wengker, ia hampir tidak pernah mengaso dan kurang sekali tidur. Lapar, lelah, dan ngantuk membuat ia cepat dapat pulas dengan enaknya walau pun sambil duduk!
Biarpun ia tertidur, tangan kanannya masih memegang pedangnya yang diletakkan di atas meja. Para pengawal yang melihat ini, tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan. Apa lagi menyerang, bahkan mendekat pun mereka tidak berani. Tadi mereka masih beruntung karena di antara mereka tidak ada yang dibunuh gadis galak ini, hanya dilukai saja. Kalau gadis itu marah, mungkin saja ia mengamuk dan membunuh siapa saja yang mengganggunya.
Para pengawal dan penghuni gedung tumenggungan itu merasa lega ketika mereka melihat Tumenggung Suramenggala dan serombongan orang itu memasuki pekarangan. Apa lagi rombongan prajurit pengawal kadipaten itu dipimpin sendiri oleh Sang Adipati Linggawijaya! Seorang pengawal segera berlari menyambut dan melaporkan bahwa gadis yang mengamuk itu kini tertidur di dalam pendopo.
"Tertidur...?" Adipati Linggawijaya bertanya heran.
"Benar, Gusti. Gadis itu tertidur pulas di pendopo." Kepala pengawal yang gendut pendek, Jayeng, melapor.
Adipati Linggawijaya lalu melangkah menuju ke pendopo menyeberangi pekarangan itu. Tumenggung Suramenggala yang takut terhadap Puspa Dew! Itu mengikuti dari belakang. Dua belas orang prajurit pengawal pilihan dari kadipaten juga mengikuti dari belakang dengan siap siaga. Setelah tiba di anak tangga pendopo, Linggawijaya memandang terheran-heran kepada gadis yang tertidur di atas kursi itu. Gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! Juga Ki Suramenggala memandang heran.
"Bukan ia..." Bisiknya.
Adipati Linggawijaya mengangguk dan tersenyum. Menghadapi Puspa Dewi, dia masih meragukan apakah dia akan mampu mengalahkan gadis yang dia tahu amat sakti itu, maka dia membawa seregu pengawal pilihan. Akan tetapi gadis itu bukan Puspa Dewi dan tentu saja dia memandang rendah. Dan timbul kegembiraan hatinya melihat rambut hitam panjang terurai berombak dan kulit yang putih mulus itu.
Wajah gadis itu belum tampak akan tetapi dia merasa hamper yakin bahwa gadis itu tentu cantik sekali. Dia memberi isarat kepada Tumenggung Suramenggala dan selusin prajurit agar tinggal saja di bawah anak tangga. Lalu dia mendaki anak tangga dengan ringan memasuki pendopo. Dengan jalan mengitari meja itu dia dapat melihat wajah Niken Harni dan jantung Adipati Linggawijaya berdebar. Cantik manis dan masih amat muda, lebih muda daripada Puspa Dewi!
"Nimas yang ayu merak ati, bangunlah!"
Ucapan Adipati Linggawijaya mengandung getaran kuat sehingga Niken Harni yang pulas itu seperti disentakkan dan ia terbangun. Sebagai seorang gadis puteri senopati yang terlatih, begitu terbangun dia sudah melompat berdiri dan siap melintangkan pedangnya di depan dada. Sebagian rambutnya yang terurai menutup mukanya sebelah kiri dan Adipati Linggawijaya terpesona. Cantik menggairahkan nian gadis ini!
Dengan alis berkerut, mata mencorong tajam walau pun masih ada bekas kantuk di matanya, Niken Harni menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Linggawijaya.
"Engkau Suramenggala?"
Linggawijaya menggeleng kepala sambil tersenyum melihat sikap galak seperti kuda liar ini. Melihat pria itu menggeleng, Niken Harni menyambung,
"Ah, benar juga. Ki Suramenggala itu sudah tua dan engkau masih muda! Lalu siapakah engkau?"
Baru sekarang Niken Harni mendapat kenyataan bahwa laki-laki muda yang berdiri di depannya ini mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, lebih mewah daripada pakaian kakeknya yang tumenggung. Dan wajah itu tampan gagah sekali.....!
"Aku harus menyelamatkan Ibu Lasmi untuk menebus kesalahan ayah sehingga selama belasan tahun Ibu Lasmi hidup menderita! Aku yang akan membawanya pulang!"
Demikian, Niken Harni, gadis itu, berkata kepada dirinya sendiri. Niken Harni adalah seorang gadis yang pemberani. Ketika muncul Puspa Dewi sebagai kakak tirinya dan mendengar cerita tentang Nyi Lasmi, isteri ayahnya yang pertama, diam-diam ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan merasa iba kepada Nyi Lasmi.
Maka, ketika rombongan keluarga mereka tiba di Karang Tirta dan mendengar musibah yang menimpa Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan hilangnya Nyi Lasmi diculik orang-orang Kadipaten Wengker, ia marah sekali. Ketika mendengar bahwa Puspa Dewi sudah pergi melakukan pengejaran ke Wengker, ia pun diam-diam pergi tanpa pamit untuk menyusul Puspa Dewi dan berusaha untuk membebaskan Nyi Lasmi. Ia sengaja tidak pamit karena kalau ia pamit, tentu ayah dan kakeknya akan melarangnya!
Bagaikan seekor anak harimau yang baru pertama kali keluar dari sarang orang tuanya, Niken Harni sama sekali belum berpengalaman dan ia hanya mengandalkan keberaniannya saja, juga ia merasa bahwa ia telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh. Ayahnya sendiri yang menggemblengnya sejak kecil mengatakan bahwa ia berbakat besar dan saat itu semua ilmu ayahnya telah ia kuasai sehingga menurut ayahnya, tingkat ketangguhannya tidak berada di bawah ayahnya sendiri. Dia memiliki kepercayaan yang besar sekali akan kemampuannya sendiri, maka ketika akhirnya pada suatu siang ia tiba di kota raja Wengker, dengan berani ia memasuki pintu gerbang kadipaten yang dijaga belasan orang prajurit Wengker seperti memasuki rumah sendiri!
Ia sama sekali tidak mengira bahwa mbakayunya, Puspa Dewi, kemarin malam telah meninggalkan Wengker, tidak tahu bahwa para pimpinan Wengker, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, dan Tumenggung Suramenggala baru saja pagi tadi mendapat berita yang membuat mereka terkejut dan marah sekali. Wirobento dan Wirobandrek pulang dan memberi laporan bahwa usaha mereka mengantar Nyi Lasmi ke Wura-wuri telah gagal karena muncul Ki Patih Narotama yang melindungi wanita itu!
"Hei, berhenti!" tiba-tiba Niken Harni mendengar bentakan dan tahu-tahu ada dua belas laki-laki berpakaian seragam telah menghadang di depannya, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya hitam sekali, kumisnya sekepal sebelah dan matanya melotot lebar. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh. Juga anak buah mereka yang terdiri dari laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu rata-rata bertubuh besar dan kokoh, akan tetapi wajah mereka tidak ada yang tampan!
Memang sudah terkenal bahwa orang-orang Kadipaten Wengker bertubuh jelek dan sikapnya kasar. Agaknya kegagahan, kekasaran, dan kekuatan, bukan ketampanan yang menjadi kebanggaan mereka. Kalau wanitanya biasa-biasa saja, ada yang cantik dan ada juga yang buruk. Kalau gadis biasa, menghadapi dua belas orang laki-laki yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan pandang mata beringas itu, tentu sudah menjadi takut dan lemas, seperti seekor anak domba dikepung srigala.
Akan tetapi Niken Harni bukan anak domba, melainkan anak harimau! Harimau muda yang belum mengenal takut! Melihat mereka menyeringai menjijikkan dan menghadangnya, ia berdiri tegak, kedua kakinya agak terpentang, kedua tangannya bertolak pinggang, kepala dikedikkan, matanya mencorong, hidungnya kembang kempis, semua ini pertanda bahwa Niken Harni sedang jengkel atau marah.
"Huh, kalian ini segerombolon anjing srigala mau apa menggonggong dan menghadang perjalananku?"
Dua belas orang penjaga itu bukan marah, melainkan terkejut dan heran sekali melihat gadis yang asing, gadis muda belia yang cantik jelita ini, berani bersikap dan bicara seperti itu terhadap mereka! Pimpinan mereka yang berkumis tebal itu tertawa bergelak menoleh kepada anak buahnya yang berada di belakangnya.
"Hua-ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, kalian lihat dan dengar ini? Lucu sekali!"
Dua belas orang itu tertawa semua. Kalau bukan gadis muda cantik jelita yang memaki mereka segerombolan srigala, tentu mereka sudah marah sekali dan mungkin mereka akan langsung membunuhnya.
"Eh, bocah denok montrok-montrok, ayu kuning manis merak ati! Kalau kami segerombolan srigala, memang kami sedang kelaparan dan kebetulan sekali engkau, seekor domba betina muda berdaging lunak dan berdarah hangat. Hemhmm...!"
Si Kumis tebal itu menjilat-jilat bibirnya dan Niken Harni melihat betapa dua belas orang laki-laki kasar itu semua menjilati bibir mereka sendiri, seolah mereka itu memang segerombolan srigala yang mengilar untuk merobek-robek tubuh domba, megunyah dagingnya dan menjilati darahnya! Mengkirig (meremang) juga ia, akan tetapi ia makin marah.
"Kalian jahanam bosan hidup! Hayo kembalikan Ibu Lasmi kepadaku!"
Dan tiba-tiba gadis itu sudah menerjang dan mengamuk. Bagaikan lesus (angin puting beliung) tubuhnya berputaran, kedua pasang kaki tangannya menyambar-nyambar dan dua belas orang itu berteriak dan berpelantingan!
Mereka itu hanyalah prajurit-prajurit biasa dari Wengker yang hanya mengandalkan penampilan angker dan tenaga kasar belaka, maka menghadapi terjangan Niken Harni yang memainkan ilmu silat yang cukup tangguh, tentu saja mereka kocar-kacir. Apa lagi mereka sudah terkejut dan nyali mereka terbang mendengar gadis itu menuntut dikembalikannya ibunya, yaitu Nyi Lasmi. Tak salah lagi, ini tentu gadis yang kemunculannya ditakuti Tumenggung Suramenggala, yang kabarnya sakti mandraguna, puteri Nyi Lasmi.
"Puspa Dewi...!"
Dua belas orang yang semua telah merasakan tamparan atau tendangan gadis itu yang membuat mereka terpelanting berseru ketakutan lalu melarikan diri untuk melapor kepada Tumenggung Suramenggala!
"Huh, tikus-tikus pengecut!" Niken Harni mengejek sambil tersenyum dan membusungkan dadanya yang sudah menonjol itu dengan bangga karena di situ terdapat banyak juga orang yang menyaksikan sepak terjangnya itu. Ia lalu memasuki kota raja Wengker dengan niat mencari rumah Tumenggung Suramenggala karena ia mendengar di Karang Tirta bahwa biang keladi penculikan itu adalah Tumenggung Suramenggala.
Mendengar laporan para prajurit jaga bahwa Puspa Dewi memasuki Kadipaten Wengker, tentu saja Tumenggung Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Ia tahu betapa saktinya puteri Nyi Lasmi itu, maka cepat dia berlari ke istana Adipati Linggawijaya dan dengan muka pucat dan napas terengah-engah melapor kepada puteranya tentang munculnya Puspa Dewi yang ditakuti.
"Aha...! ia berani datang? Bagus, kebetulan sekali, Kanjeng Rama, aku tinggal menangkapnya saja!" kata Adipati Linggawijaya yang sekarang memanggil ayahnya dengan sebutan kanjeng rama seperti lazimnya keluarga bangsawan. Harta dan pangkat biasanya memang mempengaruhi sikap orang sehingga ucapan dan gerak-geriknya berubah sama sekali, disesuaikan dengan harta atau pangkatnya.
"Puspa Dewi berani datang ke sini? Hemm, seperti ia sendiri saja wanita sakti di dunia ini! Kakangmas Adipati, biarlah aku yang akan membunuh gadis sombong itu!" kata Dewi Mayangsari kepada suaminya.
Linggawijaya tersenyum maklum. Ia maklum akan kesaktian isterinya. Akan tetapi dia tidak yakin isterinya akan mampu mengalahkan Puspa Dewi. Pula, dia tidak ingin Puspa Dewi dibunuh. Teringat akan kejelitaan Puspa Dewi, timbul berahinya.
"Tidak, Diajeng. Tidak pantas kalau untuk menangkap seorang gadis pengacau saja engkau yang harus turun tangan sendiri, seolah-olah di Wengker sudah tidak ada yang mampu melawan Puspa Dewi! Biarlah, aku akan memimpin seregu prajurit pengawal istana untuk menangkapnya."
"Bunuh saja dia!" Dewi Mayangsari berseru karena diam-diam ia membenci Puspa Dewi yang kabarnya cantik dan sakti, apa lagi gadis itu telah menjadi satu di antara sebab utama gagalnya persekutuan yang menentang Kahuripan setahun yang lalu.
"Sabarlah, Diajeng. Aku sendiri juga membencinya dan aku sendiri yang akan membunuhnya kalau saatnya tiba. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa ia adalah Sekar Kedaton Kadipaten Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri kerajaan itu adalah gurunya yang amat menyayanginya sehingga ia diangkat menjadi puterinya. Akan tetapi lebih menguntungkan kalau kita menangkapnya dan menyerahkannya kepada Wura-wuri."
Dewi Mayangsari menghela napas panjang. Bagaimana pun juga, ia mengerti bahwa ucapan suaminya itu memang benar. Kebencian pribadi memang kalau perlu harus dikesampingkan demi kepentingan kadipaten yang harus menggalang persatuan dengan para kadipaten lain agar kedudukan mereka kuat untuk melawan Kahuripan.
"Sesukamulah, Kakangmas." katanya.
Adipati Linggawijaya lalu membawa seregu pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Tumenggung Suramenggala yang ingin melihat sendiri gadis yang ditakutinya itu tertangkap ikut pula menyertainya. Tidak ketinggalan Wirobento dan Wirobanrek yang baru datang melaporkan bahwa Nyi Lasmi dirampas dan dilindungi Ki Patih Narotama.
Empat belas orang ini bergegas pergi mencari gadis yang baru saja memasuki kota dan merobohkan dua belas orang penjaga di gapura itu. Pada waktu itu, Resi Bajrasakti tidak berada di kadipaten, maka dia tidak tahu akan urusan itu. Linggawijaya sengaja tidak memberitahu kepada guru dan penasehatnya itu, karena dia khawatir kalau-kalau kakek itu akan memperkuat pendapat istrinya, yaitu bahwa Puspa Dewi sebaiknya dibunuh saja.
Sementara itu, Niken Harni yang bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, mendapat keterangan dimana rumah Tumenggung Suramenggala. Cepat ia menuju ke rumah itu. Melihat tempat tinggal orang yang dicarinya itu merupakan gedung besar dan di gapura pekarangan yang luas depan gedung itu terdapat empat orang prajurit yang berjaga, ia langsung saja melangkah masuk!
"He, siapakah Andika? Tidak boleh sembarangan masuk ke sini tanpa ijin!" bentak kepala jaga yang tubuhnya tinggi kurus. Empat orang penjaga itu sudah berdiri menghadang di depan Niken Harni dengan sikap galak. Niken Harni yang dihadang mengerutkan alisnya, berdiri tegak bertolak pinggang dengan kedua tangan lalu bertanya.
"Ijin siapa?"
"Ijin dari kami tentu saja!" bentak Si Tinggi Kurus.
"Hemm, memangnya kamu yang mempunyai rumah ini?"
Kepala jaga itu tertegun juga dan sejenak dia bingung tak dapat menjawab.
Seorang temannya yang menolongnya, menjawab. "Rumah ini milik Gusti Tumenggung Suramenggala. Andika siapakah dan apakah Andika ingin menghadap Gusti Tumenggung?"
Penjaga ini khawatir kalau-kalau gadis yang membawa pedang di punggungnya ini mempunyai hubungan dengan Tumenggung Suramenggala sehingga kalau mereka bersikap kurang hormat, mungkin saja akan di marahi majikan mereka. Mendengar ucapan ini, kemarahan Niken Harni mereda.
"Bagus, kalau begitu cepat engkau melapor kepada Tumenggung Suramenggala, suruh dia keluar sekarang juga untuk menemui aku. Aku ingin bicara dengan dia!"
Mendengar ucapan yang amat meremehkan Sang Tumenggung itu, kepala jaga yang tinggi kurus menjadi penasaran sekali.
"Eh, Andika ini siapakah, berani memandang rendah Gusti Tumenggung dan menyuruh beliau keluar?"
Niken Harni yang sejak tadi memang sudah jengkel dan tidak senang terhadap kepala jaga tinggi kurus itu, membentak, "Kamu tidak pantas mengenal namaku!"
Si Tinggi Kurus marah, akan tetapi Niken Harni menggerakkan tangan kirinya sambil menghardik, "Pergilah,tikus busuk!"
"Plakk...!" Si Tinggi Kurus mengaduh dan terpelanting roboh, lalu bangkit duduk terengah-engah sambil meraba pipinya yang membengkak.
"Hayo, mau tidak kalian menyuruh Suramenggala keluar? Atau minta kutampari semua?"
Seorang penjaga berkata, "Akan tetapi beliau tadi keluar..."
"Hemm, kamu tidak bohong?"
"Tidak sungguh mati, saya bersumpah, beliau tidak berada di rumah... "
"Kalau begitu, beritahu di mana adanya Nyi Lasmi!" Niken Harni membentak.
"Nyi Lasmi...?" Orang itu terbelalak. "Saya... saya tidak tahu... "
"Bohong...!"
"Kami tidak tahu...Nyi Lasmi tidak berada di sini... "
"Plak-plak-plak...!" Niken Harni menyerang dengan cepat dan tiga orang itu pun terpelanting seperti orang pertama.
"Biar aku cari sendiri!" kata Niken Harni sambil melangkah menyeberangi pekarangan menuju gedung besar itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di bawah anak tangga pendopo, dari dalam berlarian keluar dua belas orang prajurit pengawal dipimpin oleh seorang perwira pasukan pengawal yang berusia sekltar empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan mukanya penuh bopeng (bekas cacar).
"Berhenti!" bentak perwira itu sambil mencabut goloknya. Dua belas orang anak buahnya berdiri di belakangnya dan sudah siap pula dengan senjata golok mereka. "Dari mana datangnya seorang gadis liar yang berani mengacau di sini? Siapa namamu?"
"Katakan dulu siapa namamu!" kata Niken Harni sambil memandang angkuh.
Perwira pengawal itu memandang ringan kepada gadis cantik itu dan dia ingin menyombongkan dirinya, apa lagi di depan dua belas orang anak buahnya. Bagaimana pun juga, dia terkenal kuat di antara para pengawal Tumenggung Suramenggala.
"Mau tahu namaku? Aku Jayeng, dikenal dengan julukan Sardula Krastala (Macan Kuat)! Menyerahlah, daripada aku menggunakan kekerasan!" Hayo mengaku siapa namamu!"
"Namamu Macan Cebol? Ketahuilah, aku disebut Liman Sakti (Gajah Sakti)! Nah, apakah seekor harimau cebol berani berlagak di depan seekor gajah sakti?" Niken Harni tersenyum mengejek.
Disebut macan cebol, perwira yang bernama Jayeng itu marah sekali. Melihat gadis itu tidak memegang senjata, dia pun ingin memperlihatkan kegagahannya dan menyarungkan kembali goloknya.
"Bocah kurang ajar!" Setelah membentak marah dia lalu melompat dan menerkam ke arah Niken Harni. Dia benar-benar melakukan gerakan menerkam, agaknya hendak pamer bahwa dia pantas mendapat julukan Macan Kuat. Niken Harni bergerak cepat, menggeser kaki ke kiri sambil mencondongkan tubuhnya sehingga tubuh pendek gendut yang menubruknya itu lewat di sampingnya dan sekali mendorong dengan tangan kirinya ke punggung lawan, perwira itu terbanting menelungkup
"Bresss...!"
ubuh pendek gendut itu terbanting keras dan ketika dia bangkit dengan marah, darah mengucur keluar dari hidungnya. Agaknya ketika terbanting menelungkup, hidungnya menghantam tanah berbatu dan mimisen (mengeluarkan darah)! Makin marahlah Jayeng. Kini dia tidak ingin menangkap dan main-main lagi, sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia menyerang dengan pukulan yang kuat ke arah dada Niken Harni. Kembali gadis itu menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindar ke kanan dan secepat kilat kakinya mencuat ke arah perut yang gendut itu.
"Wuuuutt... ngekk!" Yang berbunyi ngek itu adalah hawa yang keluar dari mulut Jayeng ketika perutnya yang gendut disambar kaki mungil namun amat kuat itu. Kini tubuhnya roboh terjengkang, dan dia bangkit sambil memegangi perutnya yang terasa mulas! Akan tetapi kemarahannya memuncak membuat dia tidak merasakan lagi kenyerian itu.
"Srattt...!" Dia mencabut goloknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang gadis yang bertangan kosong itu dengan bacokan golok ke arah leher Niken Harni! Serangan ini cukup berbahaya bagi Niken Harni. Gadis Itu tidak berani main-main mellhat betapa cepat dan kuatnya serangan golok itu. Ia melompat menghindar ke belakang dan cepat mencabut pedangnya. Jayeng yang merasa penasaran dan marah sekali karena merasa dipermainkan dihina di depan anak buahnya, melihat gadis itu melompat ke belakang, mengira bahwa lawannya itu mulai ketakutan. Maka dia pun mengejar dan memutar goloknya dengan buas.
"Trangg...!" Golok bertemu pedang dan Jayeng tersentak kaget karena tangannya yang memegang golok tergetar. Akan tetapi dia menyerang lagi lebih hebat, mengerahkan semua tenaganya.
"Cringgg...!" kembali pedang di tangan Niken Harni menangkis dari samping, tidak langsung sehingga gadis itu tidak terlalu banyak menggunakan tenaga namun sudah membuat bacokan lawan melenceng. Niken Harni membalas dengan cepat dan Jayeng menjadi kewalahan. Terpaksa dia memutar goloknya membentuk perisai melindungi tubuhnya.
Perkelahian menjadi semakin seru. Setelah Jayeng mempergunakan golok, ternyata Niken Harni tidak mudah mengalahkannya. Hal ini karena adalah memang ayahnya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya, lebih menekankan pelajaran silat tangan kosong, terutama kecepatan gerakan kepada puterinya karena ilmu itu dimaksudkan untuk dapat membela diri. Bukan untuk menyerang atau membunuh lawan.
Betapa pun juga, karena gadis ini memang memiliki gerakan yang jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan lawannya, maka Jayeng yang merasa repot dan dia hampir tidak mendapat kesempatan untuk menyerang. Serangan gadis itu datang bertubi-tubi, pedangnya menjadi sinar bergulung=gulung membuat Jayeng merasa pusing.
"Pergilah!" bentak Niken Harni dan ketika pedangnya berkelebat ia tidak menyerang ke arah tubuh lawan, melainkan ke arah tangan Jayeng yang memegang golok.
"Singgg...! Crattt!"
Punggung tangan Jayeng terluka berdarah dan goloknya terlepas. Dia cepat membungkuk untuk mengambil goloknya, akan tetapi Niken Harni mengangkat lutut kanannya ke arah perut lawan.
"Ngekk!" Jayeng mengaduh dan membungkuk, menekan perutnya dan pada saat itu, tangan kiri Niken Harni menyambar ke arah tengkuknya.
"Kekk!" Tubuh pendek gendut itu terguling dan seketika klenger (pingsan)!
Melihat pemimpin mereka roboh tak bergerak lagi, barulah dua belas orang prajurit pengawal Itu serentak mengepung dan menyerang Niken Harni. Tadi mereka diam saja karena selain mereka mengira bahwa Jayeng akan dapat mengalahkan gadis itu, juga Jayeng tidak memberi aba-aba kepada mereka untuk mengeroyok. Kini, mereka menghujani Niken Harni dengan bacokan golok mereka. Niken Harni mengamuk. Pedangnya menyambar-nyambar dan tangan kiri dibantu kakinya membagi-bagi tamparan dan tendangan.
Delapan orang pengawal roboh dan yang empat orang lagi menjadi gentar. Mereka masih hendak menyerang, akan tetapi begitu Niken Harni menggerakkan pedang, diangkat ke atas mengancam, empat orang itu lari lintangpukang! Mereka yang ter-luka juga saling menolong dan meninggalkan pekarangan di depan pendopo. Jayeng juga sudah dipapah anak buahnya meninggalkan tempat itu. Niken Harni melompat ke dalam pendopo dan terus memasuki pintu depan gedung. Ketika melihat beberapa orang wanita berpakaian pelayan, ia menghardik.
"Hayo katakan, di mana Nyi Lasmi?"
"Hamba... hamba tidak tahu, Den Ajeng..." kata mereka ketakutan.
"Hemm, biar kucari sendiri!" Gadis itu dengan berani terus memasuki gedung dan memeriksa semua ruangan dan kamar.
Setiap kali bertemu pelayan wanita, ia bertanya, akan tetapi jawaban mereka selalu tidak tahu. Akhirnya ia memasuki ruangan dalam yang luas dan di situ berkumpul isteri dan para selir Tumenggung Suramenggala. Para wanita ini tadi sudah ketakutan karena mendengar bahwa Puspa Dewi mengamuk dan mencari ibunya. Ketika Niken Harni memasuki ruangan itu, mereka semua merasa heran karena mereka sama sekali tidak mengenal gadis ini. Bukan Puspa Dewi yang tentu saja sudah mereka kenal baik, melainkan seorang gadis lain yang belum pernah mereka lihat. Niken Harni yang merasa jengkel karena tidak menemukan Nyi Lasmi yang juga belum pernah dilihatnya, melihat para wanita yang berpakaian mewah itu.
"Hei, apakah kalian ini keluarga Suramenggala?"
"Benar, kami adalah keluarganya, isteri-isterinya... "
Niken Harni menggerakkan tangannya ke arah sebuah meja dari kayu yang berada di sudut ruangan.
"Wuutt... brakkkkk...!" Semua wanita menjadi ketakutan.
"Hayo katakan, di mana adanya Nyi Lasmi? Kalau kalian tidak mau mengatakan, bukan meja yang akan kupukul pecah!"
Para wanita itu menjadi pucat melihat betapa meja dari kayu tebal itu pecah berantakan terkena pukulan tangan yang mungil Itu.
"Sungguh mati, kami tidak tahu. Kami hanya tahu bahwa Nyi Lasmi dibawa keluar dari rumah ini." kata Isteri pertama Ki Suramenggala.
"Dibawa ke mana?"
"Kami tidak tahu. Hanya Tumenggung Suramenggala yang mengetahuinya."
"Mana dia Si Suramenggala?"
"Dia sedang keluar. Kalau nanti dia sudah kembali, tanyakan saja kepadanya." kata isteri Ki Suramenggala yang mengharapkan suaminya segera datang membawa bala bantuan untuk menghadapi gadis yang liar dan galak ini.
"Sebaiknya Andika menunggu di sini sebentar. Tak lama lagi dia tentu pulang."
Niken Harni tidak menjawab, dan setelah menggeledah semua kamar dan tidak menemukan wanita yang mengaku bernama Nyi Lasmi, ia lalu keluar dan duduk di atas kursi yang berada dl pendopo! Ia duduk dengan tenang dan santai, benar-benar hendak menanti kembalinya Tumenggung Suramenggala untuk dipaksa mengakui di mana adanya Nyi Lasmi!
Karena pendopo itu luas menghadap pekarangan, maka semilir angin mendatangkan kesejukan, ditambah lagi ia merasa lelah setelah berkelahi, maka begitu berhembus angina semilir, ia mulai mengantuk. Ia sendiri puteri seorang senopati, cucu seorang tumenggung Kahuripan, maka ia sudah terbiasa dengan gedung-gedung besar seperti itu dan merasa seperti di rumah sendiri!
Beberapa orang pelayan wanita dan pengawal berindap-indap ke pintu dan mengintai. Mereka terheran-heran melihat gadis yang galak itu duduk di atas kursi, menyandarkan mukanya di atas meja di depannya, berbantalkan kedua lengannya dan jelas tampak sedang tidur! Niken Harni memang lelah dan mengantuk sekali. Selama dalam perjalanan dari Karang Tirta ke Wengker, ia hampir tidak pernah mengaso dan kurang sekali tidur. Lapar, lelah, dan ngantuk membuat ia cepat dapat pulas dengan enaknya walau pun sambil duduk!
Biarpun ia tertidur, tangan kanannya masih memegang pedangnya yang diletakkan di atas meja. Para pengawal yang melihat ini, tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan. Apa lagi menyerang, bahkan mendekat pun mereka tidak berani. Tadi mereka masih beruntung karena di antara mereka tidak ada yang dibunuh gadis galak ini, hanya dilukai saja. Kalau gadis itu marah, mungkin saja ia mengamuk dan membunuh siapa saja yang mengganggunya.
Para pengawal dan penghuni gedung tumenggungan itu merasa lega ketika mereka melihat Tumenggung Suramenggala dan serombongan orang itu memasuki pekarangan. Apa lagi rombongan prajurit pengawal kadipaten itu dipimpin sendiri oleh Sang Adipati Linggawijaya! Seorang pengawal segera berlari menyambut dan melaporkan bahwa gadis yang mengamuk itu kini tertidur di dalam pendopo.
"Tertidur...?" Adipati Linggawijaya bertanya heran.
"Benar, Gusti. Gadis itu tertidur pulas di pendopo." Kepala pengawal yang gendut pendek, Jayeng, melapor.
Adipati Linggawijaya lalu melangkah menuju ke pendopo menyeberangi pekarangan itu. Tumenggung Suramenggala yang takut terhadap Puspa Dew! Itu mengikuti dari belakang. Dua belas orang prajurit pengawal pilihan dari kadipaten juga mengikuti dari belakang dengan siap siaga. Setelah tiba di anak tangga pendopo, Linggawijaya memandang terheran-heran kepada gadis yang tertidur di atas kursi itu. Gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! Juga Ki Suramenggala memandang heran.
"Bukan ia..." Bisiknya.
Adipati Linggawijaya mengangguk dan tersenyum. Menghadapi Puspa Dewi, dia masih meragukan apakah dia akan mampu mengalahkan gadis yang dia tahu amat sakti itu, maka dia membawa seregu pengawal pilihan. Akan tetapi gadis itu bukan Puspa Dewi dan tentu saja dia memandang rendah. Dan timbul kegembiraan hatinya melihat rambut hitam panjang terurai berombak dan kulit yang putih mulus itu.
Wajah gadis itu belum tampak akan tetapi dia merasa hamper yakin bahwa gadis itu tentu cantik sekali. Dia memberi isarat kepada Tumenggung Suramenggala dan selusin prajurit agar tinggal saja di bawah anak tangga. Lalu dia mendaki anak tangga dengan ringan memasuki pendopo. Dengan jalan mengitari meja itu dia dapat melihat wajah Niken Harni dan jantung Adipati Linggawijaya berdebar. Cantik manis dan masih amat muda, lebih muda daripada Puspa Dewi!
"Nimas yang ayu merak ati, bangunlah!"
Ucapan Adipati Linggawijaya mengandung getaran kuat sehingga Niken Harni yang pulas itu seperti disentakkan dan ia terbangun. Sebagai seorang gadis puteri senopati yang terlatih, begitu terbangun dia sudah melompat berdiri dan siap melintangkan pedangnya di depan dada. Sebagian rambutnya yang terurai menutup mukanya sebelah kiri dan Adipati Linggawijaya terpesona. Cantik menggairahkan nian gadis ini!
Dengan alis berkerut, mata mencorong tajam walau pun masih ada bekas kantuk di matanya, Niken Harni menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Linggawijaya.
"Engkau Suramenggala?"
Linggawijaya menggeleng kepala sambil tersenyum melihat sikap galak seperti kuda liar ini. Melihat pria itu menggeleng, Niken Harni menyambung,
"Ah, benar juga. Ki Suramenggala itu sudah tua dan engkau masih muda! Lalu siapakah engkau?"
Baru sekarang Niken Harni mendapat kenyataan bahwa laki-laki muda yang berdiri di depannya ini mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, lebih mewah daripada pakaian kakeknya yang tumenggung. Dan wajah itu tampan gagah sekali.....!
Komentar
Posting Komentar