NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-15
Kembali tubuh Linggawijaya terpental dan roboh terguling-guling ke bawah anak tangga pondok!
"Horeee...! Rasakan kamu sekarang, manusia busuk!" Niken Harni bersorak.
Linggawijaya adalah seorang yang terlalu mengagulkan kesaktian sendiri dan memandang rendah kepandaian orang lain. Kalau tidak demikian wataknya, tentu kini dia sudah menyadari benar bahwa lawannya ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat yang melampaui tingkatnya sendiri. Sebaliknya, dia malah menjadi semakin penasaran dan marah. Karena pada saat itu dia tidak membawa senjatanya Pecut Tatit Ceni, maka dia segera mencabut kerisnya.
Keris ini bukan keris sembarangan, melainkan sebatang keris pusaka luk tiga belas yang disebut Kyai Candalamaik. Begitu dicabut, lawan sudah merasakan getaran daya yang kuat keluar dari pusaka itu. Akan tetapi sungguh aneh dan menyeramkan melihat betapo nenek itu tertawa cekikikan melihat adipati itu memegang keris pusakanya, seolah melihat seorang anak-anak nakal memegang pisau dapur saja.
Linggawijaya sudah mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, tangan kirinya merogoh sekepal pasir hitam dan melontarkan pasir itu ke arah nenek berpakaian hitam. Terdengar suara berdengung-dengung seperti ada ribuan lebah beterbangan ketika pasir itu menjadi sinar hitam menerjang ke arah lawan. Akan tetapi dengan tenang saja nenek berpakaian hitam itu menggerakkan kedua tangannya, seperti menggapai ke depan dan semua pasir sakti Brahmara Sewu itu pun rontok ke atas tanah, tak sebutir pun mengenai tubuhnya! Linggawijaya melompat ke depan dan menusukkan kerisnya!
Nenek itu hanya terkekeh.
"Wuuuttt... ceppp!"
Keris itu menusuk perut dan seolah menancap masuk ke perut nenek itu. Akan tetapi nenek itu tetap terkekeh, kemudian ia membentak dengan nyaring.
"Bocah sombong, pergilah!"
Tiba-tiba dari perutnya keluar hawa yang teramat kuat mendorong sehingga Linggawijaya bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, terlempar dan jatuh terbanting sampai beberapa tombak jauhnya. Keris di tangannya itu ternyata tidak ada tanda darah padahal tadi tampaknya menancap di perut nenek itu. Kepalanya menjadi pening karena dia terbanting jatuh cukup keras.
"Horeeee...! Mampus kamu sekarang!" Niken Harni bersorak.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Dewi Mayangsari telah berada di situ, membantu suaminya bangun dan bertanya.
"Kakangmas adipati, apa yang terjadi di sini? Aku menanti-nanti Andika sejak tadi belum juga pulang dan..."
"Diajeng... bantulah aku... melawan iblis betina itu..."
Dengan telunjuk gemetar Linggawijaya menunjuk ke arah pintu pondok yang terbuka. Nenek berpakaian hitam tadi sudah tidak ada lagi di sltul. Dewi Mayangsari memandang ke pintu pondok yang terbuka.
"Tidak ada siapa-siapa di sana..." katanya dan tiba-tiba ia melihat Niken Harni yang masih rebah duduk di atas tanah luar pondok. "Eh, siapa wanita Ini.,.?" tanyanya heran.
"Ia anak tiri Nyi Lasmi. Aku hendak membunuhnya ketika muncul iblis wanita tua itu menghalangiku." kata Linggawijaya.
"Dasar bajingan!" Niken Harni berteriak. "Dia hendak menperkosaku tadi! Dia bohong, jahanam keparat Linggawijaya!"
Dewi Mayangsari marah sekali. "Biar kubunuh gadis kurang ajar ini!"
Setelah berkata demikian, Dewi Mayangsari mencabut sebatang keris kecil berwarna hitam dan dengan gerakan cepat sekali ia menubruk ke arah Niken Harni sambil menusukkan kerisnya ke arah dada gadis yang duduk bersandar batang pohon itu. Karena tidak mampu bergerak, Niken Harni hanya menerima serangan itu dengan mata memandang penuh kemarahan kepada penyerangnya. Keris ditusukkan dan...
"Tranggg...!"
Keris itu terlepas dan terlempar dari tangan Dewi Mayangsari hingga permaisuri Wengker ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang. Nenek berpakaian hitam tadi muncul di depan pintu. la yang menangkis serangan keris yang hendak membunuh Niken Harni tadi.
Linggawijaya sudah bangkit kembali "Diajeng, iblis ini tangguh sekali. Mari kita keroyok..."
Akan tetapi Linggawijaya menghentikan kata-katanya ketika dia melihat isterinya itu tiba-tiba maju bertekuk lutut dan menyembah ke arah nenek berpakaian hitam sambil berkata dengan sikap hormat.
"Ibu Guru...!"
Linggawijaya kaget bukan main dan dia hanya dapat berdiri mematung dengan mata terbelalak. Kiranya nenek yang sakti mandraguna ini adalah guru terakhir isterinya, yaitu Nini Bumigarbo yang terkenal sebagai seorang nenek yang aneh dan memiliki kesaktian luar biasa, yang tidak pernah bergaul dengan orang biasa. Saking kagetnya, dia hanya dapat berdiri terbelalak, tidak tahu harus bersikap dan berkata bagaimana.
"Dewi Mayangsari, apa kamu sudah melupakan pesanku yang menjadi syarat engkau mempelajari ilmu dariku?" nenek itu yang bukan lain adalah Nini Bumgarbo atau yang dulu bernama Ni Gayatri bertanya dengan suara penuh wibawa.
"Murid tidak pernah melupakannya."
"Hemm, coba ulangi apa pesanku itu."
"Bahwa murid harus berusaha untuk memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan berusaha untuk membunuh mereka."
"Dan kamu sudah melaksanakan itu?" tanya Nenek itu dengan ketus.
"Ampun, Ibu Guru, murid sedang berusaha. Murid telah memilih Linggawijaya sebagai suami agar kami berdua bersama-sama dapat menyusun kekuatan untuk menyerang Kahuripan."
"Huh, mana mungkin akan berhasil kalau suamimu ini hanya mengejar wanita dan menjadi budak nafsunya sendiri, hanya ingin bersenang-senang sendiri saja?"
"Ampunkan kami, Ibu Guru. Kedudukan Erlangga dan Narotama amat kuat. Kami harus menyusun kekuatan dan bersekutu dengan para kadipaten lain agar berhasil. Murid tidak pernah melupakan pesan Paduka itu dan sedang mencari jalan dan menyusun kekuatan."
"Hemm, kuberi waktu setahun lagi. Kalau belum juga kau laksanakan membunuh Erlangga dan Narotama, aku akan datang lagi dan mencabut semua ilmumu dariku dan mungkin juga nyawamu! Hayo, gadis cilik, engkau ikut aku!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo dengan gerakan seperti terbang, melompat dekat Niken Harni dan tahu-tahu gadis itu merasa dirinya diterbangkan! Orang lain melihat betapa nenek itu lenyap seolah berubah menjadi awan hitam dan berkelebat lenyap dari situ bersama Niken Harni!
Setelah nenek itu pergi, Dewi Mayangsari menghampiri suaminya. Ia tahu akan watak suaminya yang mata keranjang, maka kalau suaminya hendak memperkosa gadis mana pun, hal itu tidak dipedulikannya benar. Akan tetapi kalau sampai suaminya membuat Nini Bumigarbo marah, hal ini amat gawat.
"Kakangmas, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Sungguh aneh dan tidak mengenakkan sekali kalau sampai Ibu Guru Nini Bumigarbo datang dan marah kepada kita."
Linggawijaya menghela napas panjang. Hatinya masih merasa tegang setelah peristiwa tadi. Akan tetapi kini dia tidak merasa penasaran telah dipermainkan nenek itu seolah dia seorang anak kecil yang tidak berdaya. Sudah lama dia mendengar akan kesaktian Nini Bumigarbo yang sukar dicari keduanya pada waktu itu.
"Aduh, Diajeng... Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia itu adalah gurumu, Nini Bumigarbo. Kalau aku tahu tentu aku sama sekali tidak berani melawannya. Aku salah sangka dan mendapatkan pelajaran pahit sekali. Gurumu itu benar-benar seorang manusia luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat hebat."
"Apakah yang telah terjadi. Aku di kadipaten hanya mendengar bahwa di tumenggungan kedatangan gadis yang mengamuk, dan aku menanti-nantimu akan tetapi engkau tidak kunjung pulang. Hatiku merasa tidak enak maka aku menyusul ke sini."
"Untung sekali engkau ke sini, Diajeng. Kalau tidak, mungkin aku tewas di tangan gurumu itu."
"Tapi mengapa guruku marah kepadamu?. Dan siapa pula gadis tadi?"
"Diajeng, mari kita pulang dulu, nanti kuceritakan semua kepadamu. Lihat, orang-orang mulai berdatangan." Kata Linggawijaya sambil menunjuk ke arah gedung tumenggungan dari mana keluar orang-orang menuju ke taman.
Dewi Mayangsari setuju. Mereka lalu menyambut Tumenggung Suramenggala dan keluarganya yang memasuki taman dan berpamit untuk pulang ke kadipaten.
"Tapi, di mana gadis liar tadi?" tanya Tumenggung Suramenggala kepada Linggawijaya dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Ah, ia telah kami usir pergi." jawab Linggawijaya dan ayahnya tidak berani banyak bertanya lagi. Adipati dan isterinya itu lalu kembali ke istana kadipaten menunggang kereta yang disediakan oleh Tumenggung Suramenggala.
Setelah duduk di kamar mereka dalam istana kadipaten, Linggawijaya lalu bercerita. "Tumenggungan kedatangan seorang gadis yang mengamuk dan bertanya tentang Nyi Lasmi. Tadinya semua orang khawatir kalau-kalau Puspa Dewi yang datang mengamuk, bahkan engkau sendiri mendengar akan amukan gadis itu. Aku sendiri lalu pergi bersama Kanjeng Rama dan seregu pengawal menuju ke tumenggungan. Akan tetapi setelah tiba di sana kami melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! ia cukup digdaya akan tetapi tidak sesakti Puspa Dewi. Ia amat pemberani dan galak kurang ajar. la adalah anak tiri Nyi Lasmi."
"Anak tiri? Kalau anak tiri Nyi Lasmi seperti juga engkau, Kakangmas, berarti ia tentu puteri Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala."
"Sama sekali bukan, Diajeng. Ternyata suami Nyi Lasmi yang pertama, Ayah kandung Puspa Dewi, mempunyai seorang isteri lain dan isterinya itulah Ibu kandung Niken Harni, gadis tadi. Ibunya itu puteri Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan dan Ayahnya seorang senopati. Ia menyusul Puspa Dewi yang mencari Nyi Lasmi yang dilarikan ke tumenggungan oleh Kanjeng Rama."
"Mengapa tidak dibunuh saja gadis liar itu?
"Tadinya aku juga berniat begitu. Akan tetapi aku lalu mendapat gagasan yang lebih menguntungkan. Kalau aku dapat menundukkan Niken Harni, ia dapat kita jadikan sandera apabila sewaktu-waktu Puspa Dewi datang ke Wengker. Sebetulnya aku sudah dapat membujuknya dan hampir berhasil menaklukkannya ketika muncul Nini Bumigarbo itu dengan tiba-tiba. Karena sama sekali tidak mengenalnya dan tidak mengira bahwa ia adalah gurumu, tentu saja aku melawannya."
Suasana menjadi hening. Mereka tenggelam ke dalam lamunan. Kemudian Dewi Mayangsan mengeluh. "Ahh, aku tidak tahu mengapa Ibu Guru membela gadis itu! Dan peristiwa malam ini sungguh tidak menyenangkan hatiku, Kakangmas. Engkau mendengar sendiri betapa Ibu Guru mengancamku untuk menyerang dan membinasakan Erlangga dan Narotama, diberi waktu setahun. Kalau aku gagal, mungkin saja ia membunuhku!"
"Aku juga heran mengapa gurumu membela seorang gadis puteri senopati Kahuripan kalau ia memusuhi raja dan patih Kahuripan, Diajeng. Sudahlah, jangan risaukan ancamannya itu. Yang penting sekarang kita mencari jalan untuk membasmi raja dan patih di Kahuripan dan untuk itu, tidak mungkin kita mengandalkan kekuatan sendiri."
"Engkau benar, Kakangmas. Sungguh menyebalkan sekali bahwa Nyi Lasmi yang kita kirim ke Wura-wuri itu juga dapat dibebaskan oleh Ki Patih Narotama. Aku semakin membenci saja patih itu. Biar besok aku sendiri yang akan berkunjung ke Wura-wuri merundingkan usaha menundukkan Kahuripan dengan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala."
"Bagus, kalau begitu aku pun akan pergi mengunjungi Kerajaan Parang Siluman. Di sana terdapat banyak orang-orang sakti seperti Ratu Parang Siluman Durgakumala, suaminya, Bhagawan Kundolomuka, dua orang puteri mereka yang terkenal itu, Dewi Lasmini dan Dewi Mandari, juga kakak Ratu Durgakumala yaitu Ki Naga Kumala, dan para senopati mereka. Dari sana aku akan pergi mengunjungi Kerajaan Siluman Laut Kidul, yaitu Ratu Mayang Gupita yang juga sakti mandraguna. Kalau kita semua mempersatukan tenaga, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan Erlangga dan Narotama!"
Suami isteri itu mendapatkan kembali kegembiraan hati mereka dengan saling menghibur dan tak lama kemudian mereka sudah berenang dalam lautan nafsu mereka sendiri, diombang-ambingkan gelombang-gelombang, dimabokkan buih-buih nafsu sehingga lupa akan segalanya.
Orang-orang seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari ini adalah orang-orang yang seluruh hidupnya ditujukan hanya untuk mencari kesenangan hati dan kenikmatan tubuh sehingga mereka tanpa mereka sadari telah menjadi hamba-hamba nafsunya mereka sendiri yang semakin menebal, menutupi jiwa mereka sendiri sehingga semakin jauh meninggalkan Sang Sumber dari mana roh mereka berasal.
Ketika Sang Maha Pencipta menciptakan kita terlahir di dunia sebagai manusia, kita, jiwa-jiwa ini dianugerahi jasmani yang sempurna. Jiwa kita mempunyai hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Selain jasmani dan rohani, kita juga disertai nafsu-nafsu daya rendah yang menjadi pembantu dan pelayan kita.
Nafsu-nafsu ini yang membuat kita mengenal yang enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, melalui anggauta-anggauta tubuh kita. Rasa enak menyenangkan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, selera, perabaan, dan sebagainya. Nafsu-nafsu ini yang membuat kita dapat menikmati segala macam kesenangan selagi kita hidup sebagai manusia di dunia. Ini merupakan anugerah yang amat besar dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Manusia hidup berbahagia apabila dia tetap memiliki jiwa yang terbuka, tidak terhalang apa pun, untuk selalu dapat berhubungan, selalu ada kontak, dengan Yang Maha Kasih dan Maha Agung. Itu mengenai rohaniahnya. Adapun secara jasmaniah, jasmaninya dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui dorongan nafsu-nafsunya yang tetap menjadi peserta, pembantu, atau pelayan.
Akan tetapi sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa di samping manusia dan para mahluk lain yang diciptakan hidup di dunia, Tuhan juga membolehkan Setan, Iblis dan sebagainya yang tergabung dalam Kuasa Kegelapan untuk berkeliaran di permukaan bumi untuk menggoda manusia untuk menarik manusia agar menjadi hambanya dan menjauhi Tuhan. Adapun cara yang termudah bagi Kuasa Kegelapan untuk menggoda manusia adalah melalui nafsu-nafsunya.
Nafsu manusia mendatangkan segala macam kenikmatan jasmani. Yang serba enak dan serba nikmat inilah dijadikan umpan oleh Kuasa Kegelapan untuk memancing manusia meninggalkan jalan yang ditentukan oleh Tuhan. Yang serba enak dan nikm ini mendorong manusia untuk mengejarnya sehingga nafsu-nafsu lepas kendali. Kalau sudah begitu, manusia bukan lagi menjadi majikan nafsu, sebaliknya menjadi hamba nafsu dan dia siap melakukan apa saja demi pemuasan nafsunya.
Nafsu mencari harta kekayaan? Baik saja karena harta itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya, keluarganya, bahkan untuk keperluan hidup orang-orang lain. Mencari harta baik saja selama nafsu tetap menjadi pembantu, karena tentu cara mendapatkan harta itu tetap halal dan bersih. Akan tetapi kalau nafsu sudah memperhamba manusia, maka manusia, demi mengejar harta, menjadi buta akan kebenaran dan mau melakukan apa saja demi mencapai tujuan, yaitu mengumpulkan harta. Dengan cara mencuri, menipu, merampas, korupsi, dan lain perbuatan haram lagi. Dan setan pun berbisik-bisik membela dan membenarkan semua perbuatan itu!
Nafsu berahi? Baik saja karena nafsu mi pun merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang diberikan kepada semua mahluk di dunia ini. Nafsu ini yang menjadi sarana sehingga manusia dan mahluk lain dapat berkembang biak sesuai dengan kehendak Tuhan. Nafsu berahi ini baik dan bersih selama nafsu ini menjadi hamba dan kita manusia menjadi majikannya sehingga pelaksanaan nafsu ini pun halal dan baik. Akan tetapi bagaimana kalau nafsu berahi sudah berbalik menjadi majikan dan manusia menjadi hambanya?
Setan menggunakan nafsu berahi untuk menyeret manusia mengejar kesenangan melalui nafsu ini dan tidak segan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Lahirlah perkosaan, perzinaan, dan pelacuran. Demikian pula dengan semua nafsu. Kalau tetap dalam kedudukan semula, menjadi pelayan kita, merupakan karunia dari Hyang Widhi Wasa. Sebaliknya kalau menjadi majikan kita, merupakan alat setan yang menyeret kita ke dalam dosa.
Maka, segala tindakan yang dilakukan dua orang yang telah menjadi hamba nafsu seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari, selalu untuk memenuhi dorongan nafsu mereka, memenuhi semua keinginan untuk memuaskan hati membalas dendam dan mengejar segala macam kesenangan.
Niken Harni sendiri tidak tahu berapa lama ia pingsan dan dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh Nini Bumigarbo. Tahu-tahu ketika la membuka matanya, ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah bale-bale yang terbuat dari bambu, dalam sebuah ruangan pondok kayu sederhana. Hawa udara yang memasuki ruangan melalui sebuah jendela, terasa amat dingin sejuk. Ia termangu, mengingat-ingat dan rasanya seperti mimpi, la teringat bahwa ia nyaris diperkosa Adipati Linggawijaya dan diselamatkan seorang nenek berpakaian serba hitam. Kemudian ia dibawa terbang nenek itu dan selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi.
Tahu-tahu sekarang la rebah di atas bale-bale dalam pondok ini. Teringat akan semua itu, Niken Harni cepat bangkit duduk dan dengan girang ia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya tidak setengah lumpuh lagi seperti ketika ia dipondong Linggawijaya. Ia dapat bergerak bebas. Ia lalu melompat turun dari pembaringan ke dekat jendela kamar yang terbuka, memandang ke luar jendela. Semilir angin yang sejuk segar menyambutnya dan apa yang tampak di luar jendela membuat ia terperangah, terkagum-kagum.
Pemandangan pagi hari yang amat indah. Tampak hamparan lereng-lereng gunung dengan jurang-jurang dan perbukitannya. Di sana sini dikelilingi puncak yang sebagian masih tertutup awan putih. Sinar matahari pagi membuat segalanya bagaikan mandi cahaya keemasan dan berseri-seri gembira. Sekarang saatnya pagi hari! Dan ia berada di puncak gunung. Niken Harni yang sejak kecil tinggal di kota raja yang ramai penuh manusia, yang selalu ramai sehingga udara terasa sesak dan telinga dipenuhi segala macam suara berisik, kini merasa betapa tenang dan penuh damai tempat itu. Ia menghirup udara dengan lahapnya, mengisi dada sepenuhnya dengan hawa murni yang segar. Nikmat sekali.
Bunyi burung beraneka nada dan irama bagaikan tembang yang diiringi gemercik air sebagai gamelan. Niken Harni merasa seolah berada dalam dunia lain. Beginikah surgaloka yang sering ia dengar dalam dongeng? Apakah ia bermimpi? Tiba-tiba terdengar suara yang tinggi melengking, suara wanita!
"Niken Harni, pondok ini hanya untuk tempat makan dan tidur! Hiduplah seperti burung, hanya berada di sarangnya kalau perlu saja dan selebihnya berada di udara terbuka. Jangan hidup seperti tikus yang selalu bersembunyi dalam sarangnya. Engkau sudah bangun dari tidur, keluarlah!"
Niken Harni tersenyum. Ia mengenal suara itu. Suara nenek yang luar biasa, nenek yang sakti mandraguna dan yang telah menolongnya terbebas dari ancaman Linggawijaya yang mengerikan. Ia ditolong dan dibawa ke tempat ini! Kalau saja ia dapat mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini! Mungkin ia akan menjadi sakti mandraguna, seperti Mbakayu Puspa Dewi dan tidak akan mudah diganggu orang-orang jahat macam Linggawijaya!
Ia pun segera berlari keluar dari pondok dan setelah tiba di luar pintu pondok, ia bertemu dengan pemandangan yang lebih indah lagi. Di depan pondok terdapat taman yang ditumbuhi beraneka macam bunga dan pohon buah, dan di depan sana terbentang alam bawah puncak yang lebih indah daripada yang tampak dari jendela. Ketika melihat nenek yang berpakaian hitam itu duduk bersila di atas batu hitam yang bundar dan datar, ia berlari menghampiri dan ia pun duduk di atas sebuah batu di depan nenek itu.
Dua orang wanita itu saling berpandangan. Yang seorang sudah berusia setengah abad lebih, biarpun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya, namun tampak garis-garis dan keriput ketuaan menghias wajahnya. Yang seorang lagi masih muda remaja, berusia delapan belas tahun, masih agak kekanak-kanakan. Namun di dalam sinar mata kedua orang wanita ini, terdapat persamaan. Yaitu, keduanya membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang tak mengenal takut dan pantang menyerah? Kini pun Niken Harni menghadapi dan memandang wajah nenek yang bagi orang lain amat menakutkan, apa lagi kalau sudah mendengar namanya, dengan terbuka, polos dan sama sekali tidak mengenal takut atau jerih, bahkan mulutnya tersenyum seolah berhadapan dengan seorang kawan sederajat dan setingkat!
Sikap gadis inilah yang menarik hati Nini Bumigarbo, terutama kekuatan dasar yang ada pada batin gadis ini sehingga tadi pun tidak terpengaruh oleh aji pameletan Linggawijaya yang cukup ampuh dan kuat itu. Keberanian, kekerasan hati, dan kekuatan dasar ini amat menarik hati nenek itu. Gadis ini mengingatkan ia akan dirinya sendiri di waktu muda, hanya harus diakui bahwa pertahanannya tidaklah sekokoh dan sekuat batin gadis ini. Justru inilah yang membuat ia mengambil keputusan untuk mengajak gadis ini ke pondok tempat kediaman sementaranya di Puncak Gunung Kelud.
Setelah sekian lamanya bertatap muka dengan nenek itu, kembali Niken Harni melayangkan pandang matanya ke bawah puncak dan matanya bersinar-sinar gembira penuh kagum.
"Niken, engkau senang dengan tempat ini?" Nini Bumigarbo bertanya.
"Wah, senang sekali, Bibi! Akan tetapi siapakah Bibi ini?"
Nini Bumigarbo senang mendengar dirinya disebut Bibi oleh Niken Harni. Bahkan seorang wanita luar biasa dan sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo masih belum kehilangan kebanggaan hati wanita yang merasa senang kalau disebut lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Biasanya ia disebut nini atau nenek, kini disebut bibi, berarti penurunan usia yang cukup banyak! Kalau biasanya ia memperkenalkan diri sebagai Nini Bumigarbo, akan tetapi setelah disebut bibi ia pun langsung mengubah sebutan namanya.
"Namaku Nyi Bumigarbo, dulu namaku Ni Gayatri."
"Wah, aku lebih senang nama Gayatri itu, maka biar aku menyebut Bibi Gayatri saja!" Niken Harni berkata, ucapan yang polos dari hatinya, bukan dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. "Akan tetapi, Bibi Gayatri, bagaimana ceritanya engkau malam itu dapat dengan tepat menolongku terlepas dari tangan si jahanam Linggawijaya, mengapa pula engkau menolongku, dan mengapa kini engkau membawa aku ke tempat ini?"
Dihujani pertanyaan itu, Nini Bumigarbo tersenyum. Wajah yang tadinya dingin menyeramkan itu tampak manis juga ketika tersenyum dan matanya yang galak menjadi lembut sejenak.
"Niken, malam itu kebetulan saja aku melihat engkau hendak dijadikan korban kebiadaban Linggawijaya. Karena aku suka akan sikapmu yang mati-matian menentangnya, maka aku lalu turun tangan menolongmu."
"Akan tetapi wanita itu mengakuimu sebagai ibu guru. Bukankah ia itu isteri Linggawijaya yang bernama Dewi Mayangsari?"
"Benar, Dewi Mayangsari pernah mempelajari ilmu dariku."
"Akan tetapi mengapa, Bibi Gayatri? Mengapa engkau mengajarkan ilmu kepada permaisuri Wengker yang terkenal menjadi kadipaten yang sesat dan jahat?"
Nini Bumigarbo memandang dengan mata berkilat sehingga mengejutkan hati Niken Harni. "Aku mau mengajar siapa pun juga, laki atau perempuan, tua atau muda, baik atau jahat, siapa peduli?" Ia membentak.
Melihat nenek ini marah, Niken Harni juga mengerutkan alisnya dan cemberut. "Benar juga, sama sekali bukan urusanku, mengapa aku bertanya?"
Mereka berdua berdiam diri. Keduanya cemberut sampai bibir mereka meruncing, cuping hidung mekar dan alis berkerut, pandang mata keruh dan saling menghindarkan pertemuan pandang. Sampai lama keadaan sunyi seperti itu, diam seolah keduanya telah berubah menjadi arca! Agaknya mereka berdua sama-sama keras hati dan keras kepala sehingga tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mulai mendahului membuka percakapan, seolah menjaga gengsi masing-masing! Tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan.
"Heh-heh-hi-hi-hi-hik...!"
Niken Harni mengangkat muka memandang wanita yang tertawa-tawa itu, kerut di antara kedua alisnya semakin mendalam, "Hemm, engkau mentertawakan aku, Bibi?" tegurnya dengan ketus.
Mendengar pertanyaan ketus ini, Nini Bumigarbo tertawa semakin terkekeh-kekeh. "Heh-he-he-heh... mirip sekali... heh heh heh... sama benar... hi-hi-hik...!"
"Bibi Gayatri, kalau engkau mentertawakan aku seperti itu, lebih baik aku pergi saja dari sini!" kata Niken Harni sambil bangkit berdiri.
Melihat nenek itu masih juga tertawa, ia lalu menyeberangi taman depan rumah itu menuju ke pintu pagar depan. Akan tetapi setelah tiba di situ, ia terbelalak melihat betapa di depannya terdapat jurang ternganga lebar dan amat dalam. Ia mengambil jalan memutar, memutari pondok itu. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa pondok itu berdiri di sebuah di antara puncak-puncak itu dan dikelilingi jurang-jurang yang amat lebar dan dalam.
Sama sekali tidak ada jalan untuk menuruni puncak itu. Untuk turun ke jurang tidak mungkin dan amat berbahaya. Untuk melompati juga sama sekali tidak mungkin karena lebarnya tidak kurang dari dua puluh tombak! Niken Harni membanting-banting kakinya karena jengkel dan akhirnya ia terpaksa kembali memasuki pekarangan pondok itu dan ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan Nini Bumigarbo.
"Kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah! Tidak perlu engkau mentertawakan aku seperti itu!" bentaknya.
Nenek yang masih terkekeh itu bangkit berdiri di atas batu dan telunjuk kirinya menuding ke arah muka Niken Harni.
"Ah... heh-heh, sungguh luar biasa... aku juga begitu dulu... aha, engkau adalah gambaranku di waktu seusiamu, Niken Harni. Kita sama benar, heh-heh, seperti kembar saja. Bagaimana ada dua orang yang begini sama presis watak dan sikapnya? Heh-heh-heh"
Hilang kemarahan dari hati Niken Harni. "Oo... Jadi engkau tertawa seperti itu karena melihat persamaan di antara kita?"
"Ya, ya... karena persamaan itu pula aku membelamu dari kebiadaban Linggawijaya. Aku tertarik dan suka sekali padamu, Niken Harni. Engkau sama dengan aku, engkau cocok dengan aku... Hanya saja..." Nenek itu tiba-tiba kehilangan gairah tawanya dan tampak kecewa dan susah!
"Hanya apa, Bibi?"
Nini Bumigarbo tiba-tiba terkulai dan duduk kembali di atas batu hitam, "...hanya saja..." suaranya terengah seolah tertahan tangis, "...hanya... kalau saja aku mempunyai keteguhan hati sepertimu, tidak mudah tergila-gila dan dipermainkan cinta... tidak akan begini nasibku..." dan tiba-tiba Nini Bumigarbo menangis. Dia terisak-isak lalu mengguguk, tangisnya sehebat tawanya tadi. Ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya dan pundaknya terguncang-guncang, tubuhnya menggigil.
Niken Harni adalah seorang gadis yang keras hati, berani mati, dan pantang mundur. Akan tetapi di balik itu, ia pun perasa sekali, mudah merasa iba kepada orang yang menderita, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu.
"Bibi Gayatri... jangan menangis, Bibi. Segala macam persoalan dapat diperundingkan dan dibicarakan. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi. Tidak cukup hanya ditangisi saja Bibi."
"Ah, engkau tidak tahu, Niken. Engkau tidak tahu...! Nasibku yang buruk, nasibku yang sengsara... semua ini gara-gara cinta... ah, sungguh aku seorang wanita tolol... goblok... akan tetapi aku lemah... kalau saja aku sekuat engkau, Niken..."
"Horeee...! Rasakan kamu sekarang, manusia busuk!" Niken Harni bersorak.
Linggawijaya adalah seorang yang terlalu mengagulkan kesaktian sendiri dan memandang rendah kepandaian orang lain. Kalau tidak demikian wataknya, tentu kini dia sudah menyadari benar bahwa lawannya ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat yang melampaui tingkatnya sendiri. Sebaliknya, dia malah menjadi semakin penasaran dan marah. Karena pada saat itu dia tidak membawa senjatanya Pecut Tatit Ceni, maka dia segera mencabut kerisnya.
Keris ini bukan keris sembarangan, melainkan sebatang keris pusaka luk tiga belas yang disebut Kyai Candalamaik. Begitu dicabut, lawan sudah merasakan getaran daya yang kuat keluar dari pusaka itu. Akan tetapi sungguh aneh dan menyeramkan melihat betapo nenek itu tertawa cekikikan melihat adipati itu memegang keris pusakanya, seolah melihat seorang anak-anak nakal memegang pisau dapur saja.
Linggawijaya sudah mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, tangan kirinya merogoh sekepal pasir hitam dan melontarkan pasir itu ke arah nenek berpakaian hitam. Terdengar suara berdengung-dengung seperti ada ribuan lebah beterbangan ketika pasir itu menjadi sinar hitam menerjang ke arah lawan. Akan tetapi dengan tenang saja nenek berpakaian hitam itu menggerakkan kedua tangannya, seperti menggapai ke depan dan semua pasir sakti Brahmara Sewu itu pun rontok ke atas tanah, tak sebutir pun mengenai tubuhnya! Linggawijaya melompat ke depan dan menusukkan kerisnya!
Nenek itu hanya terkekeh.
"Wuuuttt... ceppp!"
Keris itu menusuk perut dan seolah menancap masuk ke perut nenek itu. Akan tetapi nenek itu tetap terkekeh, kemudian ia membentak dengan nyaring.
"Bocah sombong, pergilah!"
Tiba-tiba dari perutnya keluar hawa yang teramat kuat mendorong sehingga Linggawijaya bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, terlempar dan jatuh terbanting sampai beberapa tombak jauhnya. Keris di tangannya itu ternyata tidak ada tanda darah padahal tadi tampaknya menancap di perut nenek itu. Kepalanya menjadi pening karena dia terbanting jatuh cukup keras.
"Horeeee...! Mampus kamu sekarang!" Niken Harni bersorak.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Dewi Mayangsari telah berada di situ, membantu suaminya bangun dan bertanya.
"Kakangmas adipati, apa yang terjadi di sini? Aku menanti-nanti Andika sejak tadi belum juga pulang dan..."
"Diajeng... bantulah aku... melawan iblis betina itu..."
Dengan telunjuk gemetar Linggawijaya menunjuk ke arah pintu pondok yang terbuka. Nenek berpakaian hitam tadi sudah tidak ada lagi di sltul. Dewi Mayangsari memandang ke pintu pondok yang terbuka.
"Tidak ada siapa-siapa di sana..." katanya dan tiba-tiba ia melihat Niken Harni yang masih rebah duduk di atas tanah luar pondok. "Eh, siapa wanita Ini.,.?" tanyanya heran.
"Ia anak tiri Nyi Lasmi. Aku hendak membunuhnya ketika muncul iblis wanita tua itu menghalangiku." kata Linggawijaya.
"Dasar bajingan!" Niken Harni berteriak. "Dia hendak menperkosaku tadi! Dia bohong, jahanam keparat Linggawijaya!"
Dewi Mayangsari marah sekali. "Biar kubunuh gadis kurang ajar ini!"
Setelah berkata demikian, Dewi Mayangsari mencabut sebatang keris kecil berwarna hitam dan dengan gerakan cepat sekali ia menubruk ke arah Niken Harni sambil menusukkan kerisnya ke arah dada gadis yang duduk bersandar batang pohon itu. Karena tidak mampu bergerak, Niken Harni hanya menerima serangan itu dengan mata memandang penuh kemarahan kepada penyerangnya. Keris ditusukkan dan...
"Tranggg...!"
Keris itu terlepas dan terlempar dari tangan Dewi Mayangsari hingga permaisuri Wengker ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang. Nenek berpakaian hitam tadi muncul di depan pintu. la yang menangkis serangan keris yang hendak membunuh Niken Harni tadi.
Linggawijaya sudah bangkit kembali "Diajeng, iblis ini tangguh sekali. Mari kita keroyok..."
Akan tetapi Linggawijaya menghentikan kata-katanya ketika dia melihat isterinya itu tiba-tiba maju bertekuk lutut dan menyembah ke arah nenek berpakaian hitam sambil berkata dengan sikap hormat.
"Ibu Guru...!"
Linggawijaya kaget bukan main dan dia hanya dapat berdiri mematung dengan mata terbelalak. Kiranya nenek yang sakti mandraguna ini adalah guru terakhir isterinya, yaitu Nini Bumigarbo yang terkenal sebagai seorang nenek yang aneh dan memiliki kesaktian luar biasa, yang tidak pernah bergaul dengan orang biasa. Saking kagetnya, dia hanya dapat berdiri terbelalak, tidak tahu harus bersikap dan berkata bagaimana.
"Dewi Mayangsari, apa kamu sudah melupakan pesanku yang menjadi syarat engkau mempelajari ilmu dariku?" nenek itu yang bukan lain adalah Nini Bumgarbo atau yang dulu bernama Ni Gayatri bertanya dengan suara penuh wibawa.
"Murid tidak pernah melupakannya."
"Hemm, coba ulangi apa pesanku itu."
"Bahwa murid harus berusaha untuk memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan berusaha untuk membunuh mereka."
"Dan kamu sudah melaksanakan itu?" tanya Nenek itu dengan ketus.
"Ampun, Ibu Guru, murid sedang berusaha. Murid telah memilih Linggawijaya sebagai suami agar kami berdua bersama-sama dapat menyusun kekuatan untuk menyerang Kahuripan."
"Huh, mana mungkin akan berhasil kalau suamimu ini hanya mengejar wanita dan menjadi budak nafsunya sendiri, hanya ingin bersenang-senang sendiri saja?"
"Ampunkan kami, Ibu Guru. Kedudukan Erlangga dan Narotama amat kuat. Kami harus menyusun kekuatan dan bersekutu dengan para kadipaten lain agar berhasil. Murid tidak pernah melupakan pesan Paduka itu dan sedang mencari jalan dan menyusun kekuatan."
"Hemm, kuberi waktu setahun lagi. Kalau belum juga kau laksanakan membunuh Erlangga dan Narotama, aku akan datang lagi dan mencabut semua ilmumu dariku dan mungkin juga nyawamu! Hayo, gadis cilik, engkau ikut aku!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo dengan gerakan seperti terbang, melompat dekat Niken Harni dan tahu-tahu gadis itu merasa dirinya diterbangkan! Orang lain melihat betapa nenek itu lenyap seolah berubah menjadi awan hitam dan berkelebat lenyap dari situ bersama Niken Harni!
Setelah nenek itu pergi, Dewi Mayangsari menghampiri suaminya. Ia tahu akan watak suaminya yang mata keranjang, maka kalau suaminya hendak memperkosa gadis mana pun, hal itu tidak dipedulikannya benar. Akan tetapi kalau sampai suaminya membuat Nini Bumigarbo marah, hal ini amat gawat.
"Kakangmas, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Sungguh aneh dan tidak mengenakkan sekali kalau sampai Ibu Guru Nini Bumigarbo datang dan marah kepada kita."
Linggawijaya menghela napas panjang. Hatinya masih merasa tegang setelah peristiwa tadi. Akan tetapi kini dia tidak merasa penasaran telah dipermainkan nenek itu seolah dia seorang anak kecil yang tidak berdaya. Sudah lama dia mendengar akan kesaktian Nini Bumigarbo yang sukar dicari keduanya pada waktu itu.
"Aduh, Diajeng... Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia itu adalah gurumu, Nini Bumigarbo. Kalau aku tahu tentu aku sama sekali tidak berani melawannya. Aku salah sangka dan mendapatkan pelajaran pahit sekali. Gurumu itu benar-benar seorang manusia luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat hebat."
"Apakah yang telah terjadi. Aku di kadipaten hanya mendengar bahwa di tumenggungan kedatangan gadis yang mengamuk, dan aku menanti-nantimu akan tetapi engkau tidak kunjung pulang. Hatiku merasa tidak enak maka aku menyusul ke sini."
"Untung sekali engkau ke sini, Diajeng. Kalau tidak, mungkin aku tewas di tangan gurumu itu."
"Tapi mengapa guruku marah kepadamu?. Dan siapa pula gadis tadi?"
"Diajeng, mari kita pulang dulu, nanti kuceritakan semua kepadamu. Lihat, orang-orang mulai berdatangan." Kata Linggawijaya sambil menunjuk ke arah gedung tumenggungan dari mana keluar orang-orang menuju ke taman.
Dewi Mayangsari setuju. Mereka lalu menyambut Tumenggung Suramenggala dan keluarganya yang memasuki taman dan berpamit untuk pulang ke kadipaten.
"Tapi, di mana gadis liar tadi?" tanya Tumenggung Suramenggala kepada Linggawijaya dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Ah, ia telah kami usir pergi." jawab Linggawijaya dan ayahnya tidak berani banyak bertanya lagi. Adipati dan isterinya itu lalu kembali ke istana kadipaten menunggang kereta yang disediakan oleh Tumenggung Suramenggala.
Setelah duduk di kamar mereka dalam istana kadipaten, Linggawijaya lalu bercerita. "Tumenggungan kedatangan seorang gadis yang mengamuk dan bertanya tentang Nyi Lasmi. Tadinya semua orang khawatir kalau-kalau Puspa Dewi yang datang mengamuk, bahkan engkau sendiri mendengar akan amukan gadis itu. Aku sendiri lalu pergi bersama Kanjeng Rama dan seregu pengawal menuju ke tumenggungan. Akan tetapi setelah tiba di sana kami melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! ia cukup digdaya akan tetapi tidak sesakti Puspa Dewi. Ia amat pemberani dan galak kurang ajar. la adalah anak tiri Nyi Lasmi."
"Anak tiri? Kalau anak tiri Nyi Lasmi seperti juga engkau, Kakangmas, berarti ia tentu puteri Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala."
"Sama sekali bukan, Diajeng. Ternyata suami Nyi Lasmi yang pertama, Ayah kandung Puspa Dewi, mempunyai seorang isteri lain dan isterinya itulah Ibu kandung Niken Harni, gadis tadi. Ibunya itu puteri Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan dan Ayahnya seorang senopati. Ia menyusul Puspa Dewi yang mencari Nyi Lasmi yang dilarikan ke tumenggungan oleh Kanjeng Rama."
"Mengapa tidak dibunuh saja gadis liar itu?
"Tadinya aku juga berniat begitu. Akan tetapi aku lalu mendapat gagasan yang lebih menguntungkan. Kalau aku dapat menundukkan Niken Harni, ia dapat kita jadikan sandera apabila sewaktu-waktu Puspa Dewi datang ke Wengker. Sebetulnya aku sudah dapat membujuknya dan hampir berhasil menaklukkannya ketika muncul Nini Bumigarbo itu dengan tiba-tiba. Karena sama sekali tidak mengenalnya dan tidak mengira bahwa ia adalah gurumu, tentu saja aku melawannya."
Suasana menjadi hening. Mereka tenggelam ke dalam lamunan. Kemudian Dewi Mayangsan mengeluh. "Ahh, aku tidak tahu mengapa Ibu Guru membela gadis itu! Dan peristiwa malam ini sungguh tidak menyenangkan hatiku, Kakangmas. Engkau mendengar sendiri betapa Ibu Guru mengancamku untuk menyerang dan membinasakan Erlangga dan Narotama, diberi waktu setahun. Kalau aku gagal, mungkin saja ia membunuhku!"
"Aku juga heran mengapa gurumu membela seorang gadis puteri senopati Kahuripan kalau ia memusuhi raja dan patih Kahuripan, Diajeng. Sudahlah, jangan risaukan ancamannya itu. Yang penting sekarang kita mencari jalan untuk membasmi raja dan patih di Kahuripan dan untuk itu, tidak mungkin kita mengandalkan kekuatan sendiri."
"Engkau benar, Kakangmas. Sungguh menyebalkan sekali bahwa Nyi Lasmi yang kita kirim ke Wura-wuri itu juga dapat dibebaskan oleh Ki Patih Narotama. Aku semakin membenci saja patih itu. Biar besok aku sendiri yang akan berkunjung ke Wura-wuri merundingkan usaha menundukkan Kahuripan dengan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala."
"Bagus, kalau begitu aku pun akan pergi mengunjungi Kerajaan Parang Siluman. Di sana terdapat banyak orang-orang sakti seperti Ratu Parang Siluman Durgakumala, suaminya, Bhagawan Kundolomuka, dua orang puteri mereka yang terkenal itu, Dewi Lasmini dan Dewi Mandari, juga kakak Ratu Durgakumala yaitu Ki Naga Kumala, dan para senopati mereka. Dari sana aku akan pergi mengunjungi Kerajaan Siluman Laut Kidul, yaitu Ratu Mayang Gupita yang juga sakti mandraguna. Kalau kita semua mempersatukan tenaga, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan Erlangga dan Narotama!"
Suami isteri itu mendapatkan kembali kegembiraan hati mereka dengan saling menghibur dan tak lama kemudian mereka sudah berenang dalam lautan nafsu mereka sendiri, diombang-ambingkan gelombang-gelombang, dimabokkan buih-buih nafsu sehingga lupa akan segalanya.
Orang-orang seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari ini adalah orang-orang yang seluruh hidupnya ditujukan hanya untuk mencari kesenangan hati dan kenikmatan tubuh sehingga mereka tanpa mereka sadari telah menjadi hamba-hamba nafsunya mereka sendiri yang semakin menebal, menutupi jiwa mereka sendiri sehingga semakin jauh meninggalkan Sang Sumber dari mana roh mereka berasal.
Ketika Sang Maha Pencipta menciptakan kita terlahir di dunia sebagai manusia, kita, jiwa-jiwa ini dianugerahi jasmani yang sempurna. Jiwa kita mempunyai hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Selain jasmani dan rohani, kita juga disertai nafsu-nafsu daya rendah yang menjadi pembantu dan pelayan kita.
Nafsu-nafsu ini yang membuat kita mengenal yang enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, melalui anggauta-anggauta tubuh kita. Rasa enak menyenangkan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, selera, perabaan, dan sebagainya. Nafsu-nafsu ini yang membuat kita dapat menikmati segala macam kesenangan selagi kita hidup sebagai manusia di dunia. Ini merupakan anugerah yang amat besar dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Manusia hidup berbahagia apabila dia tetap memiliki jiwa yang terbuka, tidak terhalang apa pun, untuk selalu dapat berhubungan, selalu ada kontak, dengan Yang Maha Kasih dan Maha Agung. Itu mengenai rohaniahnya. Adapun secara jasmaniah, jasmaninya dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui dorongan nafsu-nafsunya yang tetap menjadi peserta, pembantu, atau pelayan.
Akan tetapi sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa di samping manusia dan para mahluk lain yang diciptakan hidup di dunia, Tuhan juga membolehkan Setan, Iblis dan sebagainya yang tergabung dalam Kuasa Kegelapan untuk berkeliaran di permukaan bumi untuk menggoda manusia untuk menarik manusia agar menjadi hambanya dan menjauhi Tuhan. Adapun cara yang termudah bagi Kuasa Kegelapan untuk menggoda manusia adalah melalui nafsu-nafsunya.
Nafsu manusia mendatangkan segala macam kenikmatan jasmani. Yang serba enak dan serba nikmat inilah dijadikan umpan oleh Kuasa Kegelapan untuk memancing manusia meninggalkan jalan yang ditentukan oleh Tuhan. Yang serba enak dan nikm ini mendorong manusia untuk mengejarnya sehingga nafsu-nafsu lepas kendali. Kalau sudah begitu, manusia bukan lagi menjadi majikan nafsu, sebaliknya menjadi hamba nafsu dan dia siap melakukan apa saja demi pemuasan nafsunya.
Nafsu mencari harta kekayaan? Baik saja karena harta itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya, keluarganya, bahkan untuk keperluan hidup orang-orang lain. Mencari harta baik saja selama nafsu tetap menjadi pembantu, karena tentu cara mendapatkan harta itu tetap halal dan bersih. Akan tetapi kalau nafsu sudah memperhamba manusia, maka manusia, demi mengejar harta, menjadi buta akan kebenaran dan mau melakukan apa saja demi mencapai tujuan, yaitu mengumpulkan harta. Dengan cara mencuri, menipu, merampas, korupsi, dan lain perbuatan haram lagi. Dan setan pun berbisik-bisik membela dan membenarkan semua perbuatan itu!
Nafsu berahi? Baik saja karena nafsu mi pun merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang diberikan kepada semua mahluk di dunia ini. Nafsu ini yang menjadi sarana sehingga manusia dan mahluk lain dapat berkembang biak sesuai dengan kehendak Tuhan. Nafsu berahi ini baik dan bersih selama nafsu ini menjadi hamba dan kita manusia menjadi majikannya sehingga pelaksanaan nafsu ini pun halal dan baik. Akan tetapi bagaimana kalau nafsu berahi sudah berbalik menjadi majikan dan manusia menjadi hambanya?
Setan menggunakan nafsu berahi untuk menyeret manusia mengejar kesenangan melalui nafsu ini dan tidak segan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Lahirlah perkosaan, perzinaan, dan pelacuran. Demikian pula dengan semua nafsu. Kalau tetap dalam kedudukan semula, menjadi pelayan kita, merupakan karunia dari Hyang Widhi Wasa. Sebaliknya kalau menjadi majikan kita, merupakan alat setan yang menyeret kita ke dalam dosa.
Maka, segala tindakan yang dilakukan dua orang yang telah menjadi hamba nafsu seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari, selalu untuk memenuhi dorongan nafsu mereka, memenuhi semua keinginan untuk memuaskan hati membalas dendam dan mengejar segala macam kesenangan.
Niken Harni sendiri tidak tahu berapa lama ia pingsan dan dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh Nini Bumigarbo. Tahu-tahu ketika la membuka matanya, ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah bale-bale yang terbuat dari bambu, dalam sebuah ruangan pondok kayu sederhana. Hawa udara yang memasuki ruangan melalui sebuah jendela, terasa amat dingin sejuk. Ia termangu, mengingat-ingat dan rasanya seperti mimpi, la teringat bahwa ia nyaris diperkosa Adipati Linggawijaya dan diselamatkan seorang nenek berpakaian serba hitam. Kemudian ia dibawa terbang nenek itu dan selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi.
Tahu-tahu sekarang la rebah di atas bale-bale dalam pondok ini. Teringat akan semua itu, Niken Harni cepat bangkit duduk dan dengan girang ia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya tidak setengah lumpuh lagi seperti ketika ia dipondong Linggawijaya. Ia dapat bergerak bebas. Ia lalu melompat turun dari pembaringan ke dekat jendela kamar yang terbuka, memandang ke luar jendela. Semilir angin yang sejuk segar menyambutnya dan apa yang tampak di luar jendela membuat ia terperangah, terkagum-kagum.
Pemandangan pagi hari yang amat indah. Tampak hamparan lereng-lereng gunung dengan jurang-jurang dan perbukitannya. Di sana sini dikelilingi puncak yang sebagian masih tertutup awan putih. Sinar matahari pagi membuat segalanya bagaikan mandi cahaya keemasan dan berseri-seri gembira. Sekarang saatnya pagi hari! Dan ia berada di puncak gunung. Niken Harni yang sejak kecil tinggal di kota raja yang ramai penuh manusia, yang selalu ramai sehingga udara terasa sesak dan telinga dipenuhi segala macam suara berisik, kini merasa betapa tenang dan penuh damai tempat itu. Ia menghirup udara dengan lahapnya, mengisi dada sepenuhnya dengan hawa murni yang segar. Nikmat sekali.
Bunyi burung beraneka nada dan irama bagaikan tembang yang diiringi gemercik air sebagai gamelan. Niken Harni merasa seolah berada dalam dunia lain. Beginikah surgaloka yang sering ia dengar dalam dongeng? Apakah ia bermimpi? Tiba-tiba terdengar suara yang tinggi melengking, suara wanita!
"Niken Harni, pondok ini hanya untuk tempat makan dan tidur! Hiduplah seperti burung, hanya berada di sarangnya kalau perlu saja dan selebihnya berada di udara terbuka. Jangan hidup seperti tikus yang selalu bersembunyi dalam sarangnya. Engkau sudah bangun dari tidur, keluarlah!"
Niken Harni tersenyum. Ia mengenal suara itu. Suara nenek yang luar biasa, nenek yang sakti mandraguna dan yang telah menolongnya terbebas dari ancaman Linggawijaya yang mengerikan. Ia ditolong dan dibawa ke tempat ini! Kalau saja ia dapat mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini! Mungkin ia akan menjadi sakti mandraguna, seperti Mbakayu Puspa Dewi dan tidak akan mudah diganggu orang-orang jahat macam Linggawijaya!
Ia pun segera berlari keluar dari pondok dan setelah tiba di luar pintu pondok, ia bertemu dengan pemandangan yang lebih indah lagi. Di depan pondok terdapat taman yang ditumbuhi beraneka macam bunga dan pohon buah, dan di depan sana terbentang alam bawah puncak yang lebih indah daripada yang tampak dari jendela. Ketika melihat nenek yang berpakaian hitam itu duduk bersila di atas batu hitam yang bundar dan datar, ia berlari menghampiri dan ia pun duduk di atas sebuah batu di depan nenek itu.
Dua orang wanita itu saling berpandangan. Yang seorang sudah berusia setengah abad lebih, biarpun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya, namun tampak garis-garis dan keriput ketuaan menghias wajahnya. Yang seorang lagi masih muda remaja, berusia delapan belas tahun, masih agak kekanak-kanakan. Namun di dalam sinar mata kedua orang wanita ini, terdapat persamaan. Yaitu, keduanya membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang tak mengenal takut dan pantang menyerah? Kini pun Niken Harni menghadapi dan memandang wajah nenek yang bagi orang lain amat menakutkan, apa lagi kalau sudah mendengar namanya, dengan terbuka, polos dan sama sekali tidak mengenal takut atau jerih, bahkan mulutnya tersenyum seolah berhadapan dengan seorang kawan sederajat dan setingkat!
Sikap gadis inilah yang menarik hati Nini Bumigarbo, terutama kekuatan dasar yang ada pada batin gadis ini sehingga tadi pun tidak terpengaruh oleh aji pameletan Linggawijaya yang cukup ampuh dan kuat itu. Keberanian, kekerasan hati, dan kekuatan dasar ini amat menarik hati nenek itu. Gadis ini mengingatkan ia akan dirinya sendiri di waktu muda, hanya harus diakui bahwa pertahanannya tidaklah sekokoh dan sekuat batin gadis ini. Justru inilah yang membuat ia mengambil keputusan untuk mengajak gadis ini ke pondok tempat kediaman sementaranya di Puncak Gunung Kelud.
Setelah sekian lamanya bertatap muka dengan nenek itu, kembali Niken Harni melayangkan pandang matanya ke bawah puncak dan matanya bersinar-sinar gembira penuh kagum.
"Niken, engkau senang dengan tempat ini?" Nini Bumigarbo bertanya.
"Wah, senang sekali, Bibi! Akan tetapi siapakah Bibi ini?"
Nini Bumigarbo senang mendengar dirinya disebut Bibi oleh Niken Harni. Bahkan seorang wanita luar biasa dan sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo masih belum kehilangan kebanggaan hati wanita yang merasa senang kalau disebut lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Biasanya ia disebut nini atau nenek, kini disebut bibi, berarti penurunan usia yang cukup banyak! Kalau biasanya ia memperkenalkan diri sebagai Nini Bumigarbo, akan tetapi setelah disebut bibi ia pun langsung mengubah sebutan namanya.
"Namaku Nyi Bumigarbo, dulu namaku Ni Gayatri."
"Wah, aku lebih senang nama Gayatri itu, maka biar aku menyebut Bibi Gayatri saja!" Niken Harni berkata, ucapan yang polos dari hatinya, bukan dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. "Akan tetapi, Bibi Gayatri, bagaimana ceritanya engkau malam itu dapat dengan tepat menolongku terlepas dari tangan si jahanam Linggawijaya, mengapa pula engkau menolongku, dan mengapa kini engkau membawa aku ke tempat ini?"
Dihujani pertanyaan itu, Nini Bumigarbo tersenyum. Wajah yang tadinya dingin menyeramkan itu tampak manis juga ketika tersenyum dan matanya yang galak menjadi lembut sejenak.
"Niken, malam itu kebetulan saja aku melihat engkau hendak dijadikan korban kebiadaban Linggawijaya. Karena aku suka akan sikapmu yang mati-matian menentangnya, maka aku lalu turun tangan menolongmu."
"Akan tetapi wanita itu mengakuimu sebagai ibu guru. Bukankah ia itu isteri Linggawijaya yang bernama Dewi Mayangsari?"
"Benar, Dewi Mayangsari pernah mempelajari ilmu dariku."
"Akan tetapi mengapa, Bibi Gayatri? Mengapa engkau mengajarkan ilmu kepada permaisuri Wengker yang terkenal menjadi kadipaten yang sesat dan jahat?"
Nini Bumigarbo memandang dengan mata berkilat sehingga mengejutkan hati Niken Harni. "Aku mau mengajar siapa pun juga, laki atau perempuan, tua atau muda, baik atau jahat, siapa peduli?" Ia membentak.
Melihat nenek ini marah, Niken Harni juga mengerutkan alisnya dan cemberut. "Benar juga, sama sekali bukan urusanku, mengapa aku bertanya?"
Mereka berdua berdiam diri. Keduanya cemberut sampai bibir mereka meruncing, cuping hidung mekar dan alis berkerut, pandang mata keruh dan saling menghindarkan pertemuan pandang. Sampai lama keadaan sunyi seperti itu, diam seolah keduanya telah berubah menjadi arca! Agaknya mereka berdua sama-sama keras hati dan keras kepala sehingga tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mulai mendahului membuka percakapan, seolah menjaga gengsi masing-masing! Tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan.
"Heh-heh-hi-hi-hi-hik...!"
Niken Harni mengangkat muka memandang wanita yang tertawa-tawa itu, kerut di antara kedua alisnya semakin mendalam, "Hemm, engkau mentertawakan aku, Bibi?" tegurnya dengan ketus.
Mendengar pertanyaan ketus ini, Nini Bumigarbo tertawa semakin terkekeh-kekeh. "Heh-he-he-heh... mirip sekali... heh heh heh... sama benar... hi-hi-hik...!"
"Bibi Gayatri, kalau engkau mentertawakan aku seperti itu, lebih baik aku pergi saja dari sini!" kata Niken Harni sambil bangkit berdiri.
Melihat nenek itu masih juga tertawa, ia lalu menyeberangi taman depan rumah itu menuju ke pintu pagar depan. Akan tetapi setelah tiba di situ, ia terbelalak melihat betapa di depannya terdapat jurang ternganga lebar dan amat dalam. Ia mengambil jalan memutar, memutari pondok itu. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa pondok itu berdiri di sebuah di antara puncak-puncak itu dan dikelilingi jurang-jurang yang amat lebar dan dalam.
Sama sekali tidak ada jalan untuk menuruni puncak itu. Untuk turun ke jurang tidak mungkin dan amat berbahaya. Untuk melompati juga sama sekali tidak mungkin karena lebarnya tidak kurang dari dua puluh tombak! Niken Harni membanting-banting kakinya karena jengkel dan akhirnya ia terpaksa kembali memasuki pekarangan pondok itu dan ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan Nini Bumigarbo.
"Kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah! Tidak perlu engkau mentertawakan aku seperti itu!" bentaknya.
Nenek yang masih terkekeh itu bangkit berdiri di atas batu dan telunjuk kirinya menuding ke arah muka Niken Harni.
"Ah... heh-heh, sungguh luar biasa... aku juga begitu dulu... aha, engkau adalah gambaranku di waktu seusiamu, Niken Harni. Kita sama benar, heh-heh, seperti kembar saja. Bagaimana ada dua orang yang begini sama presis watak dan sikapnya? Heh-heh-heh"
Hilang kemarahan dari hati Niken Harni. "Oo... Jadi engkau tertawa seperti itu karena melihat persamaan di antara kita?"
"Ya, ya... karena persamaan itu pula aku membelamu dari kebiadaban Linggawijaya. Aku tertarik dan suka sekali padamu, Niken Harni. Engkau sama dengan aku, engkau cocok dengan aku... Hanya saja..." Nenek itu tiba-tiba kehilangan gairah tawanya dan tampak kecewa dan susah!
"Hanya apa, Bibi?"
Nini Bumigarbo tiba-tiba terkulai dan duduk kembali di atas batu hitam, "...hanya saja..." suaranya terengah seolah tertahan tangis, "...hanya... kalau saja aku mempunyai keteguhan hati sepertimu, tidak mudah tergila-gila dan dipermainkan cinta... tidak akan begini nasibku..." dan tiba-tiba Nini Bumigarbo menangis. Dia terisak-isak lalu mengguguk, tangisnya sehebat tawanya tadi. Ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya dan pundaknya terguncang-guncang, tubuhnya menggigil.
Niken Harni adalah seorang gadis yang keras hati, berani mati, dan pantang mundur. Akan tetapi di balik itu, ia pun perasa sekali, mudah merasa iba kepada orang yang menderita, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu.
"Bibi Gayatri... jangan menangis, Bibi. Segala macam persoalan dapat diperundingkan dan dibicarakan. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi. Tidak cukup hanya ditangisi saja Bibi."
"Ah, engkau tidak tahu, Niken. Engkau tidak tahu...! Nasibku yang buruk, nasibku yang sengsara... semua ini gara-gara cinta... ah, sungguh aku seorang wanita tolol... goblok... akan tetapi aku lemah... kalau saja aku sekuat engkau, Niken..."
Komentar
Posting Komentar