NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-31

"Apa yang dikemukakan Ni Lasmini itu benar sekali." Kata Ki Nagakumala, kakak dari Ratu Durgamala. "Kukira, setelah usaha serangan kita bersama tiga kerajaan lain terhadap Kahuripan gagal, Sang Prabu Erlangga pasti tidak akan tinggal diam dan akan mengirim pasukannya untuk menyerang balik dan menundukkan kita. Dengan bergabung saja kita tidak mampu mengalahkan Kahuripan, apa lagi kalau pasukan Kahuripan menyerbu ke sini, bagaimana mungkin kita akan dapat mempertahankan diri? Maka, gagasan Ni Lasmini tadi tepat sekali. Kita ancam Ki Patih Narotarna bahwa kalau dia mengamuk dan tidak mau menjamin agar Kahuripan tidak menyerang dan menaklukkan Parang Siluman, kita akan bunuh puteranya itu!"  Ratu Durgamala mengangguk-angguk. "Agaknya memang itu merupakan siasat terbaik, Kakang Nagakumala. Akan tetapi siapa yang akan menghadapi Ki Patih Narotama dan bicara dengan dia? Dia berbahaya sekali, tangan dan kakinya dapat menyebar maut yang mengerikan!"  "Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya yang akan menghadapi dan bicara dengannya. Saya yakin bahwa Ki Patih Narotama tidak akan tega membunuh saya. Saya yakin dia masih mempunyai perasaan sayang kepada saya."  Demikianlah, rapat kilat itu memutuskan agar Lasmini yang akan menghadapi Ki Patih Narotama, sementara itu yang lain akan mempersiapkan diri, menyiapkan pula pasukan, untuk mengepung dan mengeroyok kalau Ki Patih Narotama yang ditakuti itu akan mengamuk. Sementara itu, Lasmini minta bantuan uwanya, juga gurunya, Ki Nagakumala untuk mengambil dan meminjam Joko Pekik Satyabudhi.  Menurut persetujuan antara Lasmini dan Permaisuri Wura-wuri, Dewi Durgakumala, putera Ki Patih Narotama itu disembunyikan disebuah tempat, yaitu di dalam Dusun Ketanggungan yang terletak di perbatasan utara Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Wura-wuri, dalam asuhan seorang biyung emban (inang pengasuh) yang setia dan dipercaya dari Kerajaan Wura-wuri, dan dijaga oleh dua orang perwira dan diawasi oleh Senopati Gandarwo sendiri yang kadang-kadang datang ke Dusun Ketanggungan untuk melihat keadaan anak itu. Ki Nagakumala lalu cepat berangkat ke Dusun Ketanggungan untuk meminjam anak itu agar dapat dipergunakan untuk mengancam dan memaksa Ki Patih Narotama menurut keinginan Lasmini.  Saat yang ditunggu-tunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan oleh para pimpinan Parang Siluman itu akhirnya tiba. Pagi hari itu udara amat cerah, matahari bersinar lembut dan terang. Derap kaki seekor kuda memecah kesunyian di halaman istana Parang Siluman yang berupa sebuah alun-alun yang luas itu. Narotama menjalankan kudanya dengan congklang, melintasi alun-alun menuju ke istana.  Di depan istana, Narotama melompat turun dari atas pelana kudanya dan menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di situ. Dia tidak heran melihat suasana lengang di depan Istana. Dia dapat menduga bahwa tentu Lasmini dan para pimpinan Parang Siluman sudah tahu akan kedatangannya dan sudah siap menyambutnya, entah dengan cara bagaimana.  Kesepian alun-alun dan halaman kraton (istana) itu tentu merupakan siasat mereka, pikirnya. Kalau belum diatur sebelumnya, tidak mungkin istana tidak dijaga seorang pun prajurit! Perasaannya yang peka, pendengaran dan penglihatannya yang tajam membuat dia tahu bahwa sekeliling tempat itu sudah terkepung banyak sekali orang yang masih bersembunyi!  Maka setelah menambatkan kudanya, Narotama melangkah ke depan pendapa istana Parang Siluman, lalu mengerahkan tenaga saktinya berseru sehingga suaranya melengking nyaring sekail sampai dapat terdengar dari seluruh bagian dalam istana itu!  "Haiii! Para penguasa di Parang Siluman! Keluarlah, tidak perlu sembunyi. Aku, Narotarma, ingin bicara dengan Andika sekalian!"  Dari dalam istana muncullah Ni Lasmini yang cantik jelita. Wanita ini mengenakan pakaian baru dengan perhiasan yang serba indah, wajahnya segar dan rambutnya disisir dan digelung rapi, wajahnya dirias sehingga tampak cantik berseri seperti seorang mempelai wanita hendak menyambut suaminya, sang mempelai pria!  Langkahnya seperti harimau kelaparan, dengan lenggang lenggok lemah gemulai dan lentur seperti menari. Sedetik muncul perasaan rikuh juga dalam hati Narotama karena dia sendiri berpakaian seperti seorang dusun. Harus diakui bahwa wanita yang berwajah amat jelita dengan tubuh yang indah menggairahkan itu memiliki daya tarik yang luar biasa dan begitu dia mengenangkan kehidupan antara mereka dahulu, bangkit gairah berahinya. Akan tetapi segera dia dapat menekannya dan menatap wanita yang melangkah maju dengan senyum manis itu dengan tenang.  Setelah tiba di depan Narotama, dalam jarak sekitar tiga tombak, di luar pendapa istana, masih di halaman, Lasmini mengangkat tangan kirinya ke atas dan Narotama mendengar gerakan orang-orang di sekitarnya. Ketika dia menoleh tampaklah banyak sekali prajurit telah mengepung tempat itu, siap dengan senjata lengkap. Mungkin tidak kurang dari seribu orang yang berlapis-lapis mengepung alun-alun kraton Parang Siluman itu!  Narotama tersenyum. "Hemm, Lasmini, apa mau mu dengan penyambutan seperti ini? Apa kau kira aku akan gentar menghadapi pengepungan semacam ini?"  Lasmini tersenyum manis. "Kakangmas Narotama, ingatlah bahwa sekarang kita berhadapan sebagai pemilik rumah dan tamunya. Aku pemilik rumah dan engkau tamunya. Sebaiknya pertanyaanmu itu dikembalikan kepadamu. Apa maumu datang berkunjung ke sini?"  "Lasmini, sebenarnya, tanpa bertanyapun engkau pasti sudah tahu apa mau ku datang berkunjung ke sini. Akan tetapi karena engkau bertanya, baiklah aku akan menjawab. Engkau telah menculik puteraku, Joko Pekik Satyabudhi. Anak kecil berusia satu setengah tahun itu tidak tahu apa-apa, tidak bersalah apa pun terhadap dirimu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan permusuhan antara kerajaan! Aku datang untuk minta kepadamu dan para penguasa di Parang Siluman. Kembalikanlah puteraku Joko Pekik Satyabudhi kepadaku!"  Lasmini yang cerdik merasa tidak perlu lagi menyangkal. "Kakangmas Narotama, bagaimana kalau tidak kami kembalikan?"  Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong mengeluarkan cahaya berkilat. Suaranya terdengar menggetar ketika Narotarna berkata. "Kalau sampai puteraku dibunuh...!"  Dia lalu mengeluarkan suara gerengan yang demikian dahsyatnya sehingga mengguncang seluruh istana Parang Siluman, bahkan banyak prajurit yang berdiri paling depan terpelanting. Lasmini sendiri melangkah mundur beberapa kali karena tidak tahan menghadapi getaran teriakan itu. Narotama menghentikan gerengannya dan berkata.  "Kalau Joko Pekik Satyabudhi dibunuh, aku bersumpah akan melumatkan seluruh Parang Siluman, tidak ada yang kubiarkan hidup!"  Wajah Lasmini agak pucat. Belum pernah ia, selama menjadi selir terkasih patih itu, melihat Narotama marah sehebat itu. Akan tetapi ia tersenyum manis.  "Kakangmas Narotama, siapa yang tega membunuh puteramu yang mungil itu? Jangan khawatir, Kakangmas, Joko Pekik Satyabudhi berada dalam keadaan sehat dan terawat baik-baik." Kemudian suara Lasmini berubah, ketus dan penuh ancaman. "Akan tetapi, kalau engkau membuat ulah dan tidak mau memenuhi syarat yang kami ajukan, kami pasti akan membunuhnya sebelum engkau sempat melakukan sesuatu!"  Narotama mengenal benar siapa Lasmini. Wanita cantik jelita dengan daya tarik yang dapat meluluhkan hati setiap orang pria ini amat cerdik dan dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Lasmini pasti tidak akan berani mengeluarkan gertakan kosong belaka.  "Buktikan dulu bahwa dia berada dalam keadaan baik-baik dan sehat, baru kita bicara." katanya tegas.  Lasmini mengangguk dan tersenyum, lalu menoleh ke belakang, ke arah menara di atas pintu gerbang pendapa dan memberi isyarat dengan lambaian tangan. Karena memang sudah diatur sebelumnya, ketika Narotama memandang kearah menara, tampak muncul seorang biyung emban memondong seorang anak laki-laki berusia satu setengah tahun, didampingi oleh seorang kakek berusia lima puluhan tahun, berkumis lebat melintang dan bersikap gagah.  Narotama mengenal anak itu yang bukan lain adalah puteranya, Joko Pekik Satyabudhi, dan mengenal pula kakek itu yang terkenal sakti, yaitu Ki Nagakumala, uwa dan juga guru Lasmini dan Mandari. Ki Nagakumala berbisik kepada biyung emban yang mengangkat anak itu ke atas dan menuding ke bawah.  Joko Pekik Satyabudhi baru berusia satu setengah tahun, melihat banyak orang di bawah menara dia jadi gembira, tertawa-tawa dan melambaikan tangan. Melihat ini, jantung Narotarna seperti ditusuk, akan tetapi dia menenangkan diri. Sudah terbukti bahwa puteranya memang berada dalam keadaan sehat, bahkan dari sikap anak yang tertawa-tawa itu dia tahu bahwa puteranya diperlakukan dengan baik. Dia pun tahu bahwa tidak ada gunanya kalau dia mencoba untuk merampas anak itu. Sebelum ia melakukan sesuatu, Ki Nagakumala yang sakti itu tentu akan dengan mudah lebih dulu membunuh Joko Pekik!  Setelah memberi kesempatan ayah itu melihat keadaan anaknya, Lasmini memberi isyarat dengan tangannya ke atas dan Ki Nagakumala mengiringkan biyung emban yang memondong Joko Pekik itu menghilang lagi ke dalam menara.  "Nah, Kakangmas Narotarna, engkau lihat sendiri bahwa aku tidak berbohong. Puteramu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat. Kami akan merawatnya dengan baik selama engkau memenuhi persyaratan kami."  "Katakan apa syaratmu!" kata Ki Patih Narotama singkat. "Akan tetapi awas jangan minta aku berkhianat dan memusuhi Sang Prabu Erlangga! Aku rela mengorbankan anakku dan diriku untuk membelanya, dan anakku akan mati bersama kalian semua. Tidak ada seorang pun dari kalian akan terlepas dari pembalasan kalau kalian membunuh anakku!"  "Tenang dan sabarlah, Kakangmas Narotama yang ganteng! Kami hanya minta agar engkau menjamin bahwa Kahuripan tidak akan menyerang dan menaklukkan Parang Siluman. Kalau sampai kami diserang Kahuripan, terpaksa anakmu akan kami bunuh dan menghadapi segala akibatnya."  "Hemm, bagaimana kalau aku dapat mengusahakan agar Parang Siluman tidak sampai diserang oleh Kahuripan?"  "Kami akan merawat Joko Pekik secara baik-baik dan menjamin keselamatannya!"  "Lasmini, aku sudah mengenal kelicikanmu! Janjimu tidak dapat kupercaya. Sampai kapan engkau akan menahan anakku?"  "Begini, Kakangmas Narotama! Engkau boleh tidak percaya padaku, akan tetapi aku percaya padamu. Karena itu, untuk sementara kami akan merawat puteramu Joko Pekik dan selama Kahuripan tidak menyerang Parang Siluman, puteramu dijamin keselamatannya. Setelah lewat lima tahun dan Kahuripan sama kali tidak mengganggu kami, Joko Pekik Satyabudhi akan kami kembalikan kepadamu dalam keadaan sehat dan selamat. Sekarang terserah kepadamu keputusan apa yang kau pilih. Puteramu selamat dan kami pun selamat, atau kita sama-sama hancur binasa berikut puteramu!"  Narotama menghela napas panjang. Terbayang olehnya betapa akan hancur hati Listyarini kalau sampai putera mereka itu terbunuh! Dan bagaimana pun juga, dia masih sangsi apakah dia benar-benar akan tega mengamuk dan membunuhi semua orang di Parang Siluman. Dia merasa kaki tangannya diikat oleh Lasmini yang cerdik itu. Bagaimana pun juga Lasmini ternyata dapat menyelami hatinya dan tidak minta agar dia memusuhi Sang Prabu Erlangga, hal yang tidak mungkin dia lakukan, biarpun harus berkorban segalanya.  "Baiklah, Lasmini, kita lihat saja siapa di antara kita yang melanggar janji. Akan tetapi tentu saja Parang Siluman juga tidak boleh mengacau dan mengganggu daerah Kahuripan lagi."  "Tentu saja, Kakangmas."  "Awas orang-orang Parang Siluman pegang janjimu dan jangan ganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi!" Narotama berteriak lantang, dan tiba-tiba tubuhnya lenyap, menjadi kabut karena dia telah mengerahkan Aji Panglimunan!  Tentu saja Lasmini cepat memberi isyarat kepada semua orang untuk waspada dan terutama sekali Ki Nagakumala menjaga Joko Pekik dengan ketat dan berlapis agar jangan sampai kecolongan oleh Narotama. Akan tetapi, Narotama adalah seorang satria yang teguh memegang janjinya. Bagi dia, melanggar janji berarti menghancurkan kehormatan diri dan merupakan pantangan yang hina baginya. Dia pulang dan menceritakan semua pengalamannya kepada Listyarini, lalu menghibur isterinya tercinta itu.  "Tenang dan bersabarlah, Diajeng. Percayalah bahwa Sang Hyang Widhi akan selalu Melindungi anak kita dan nanti pasti ada jalan untuk mengembalikan Joko Pekik ke pangkuanmu tanpa harus melanggar janjiku kepada Parang Siluman." Setelah menghibur isterinya, Ki Patih Narotama lalu menghadap Sang Prabu Erlangga.  "Bagaimana hasil pencarianmu, Kakang Patih Narotama? Sudahkah Andika berhasil menemukan puteramu?"  Narotama mengangguk dan menyembah. "Mendapat pangestu (restu) Paduka, hamba telah melihat Joko Pekik dan dia berada dalam keadaan sehat dan selamat di Parang Siluman, Sinuwun."  "Tapi, mengapa tidak Andika bawa pulang?"  "Belum bisa, Sinuwun, Anak itu dijaga ketat sehingga belum mungkin dapat hamba rebut kembali. Akan tetapi setidaknya, dia berada dalam keadaan selamat." Kata Narotarna. Dia merasa malu untuk menceritakan tentang ikatan janjinya dengan Lasmini. Inilah kesalahan besar yang sama sekali tidak disadari Narotama. Perasaan malunya untuk mengaku kepada Sang Prahu Erlangga tentang perjanjiannya dengan Lasmin menempatkan dia dalam keadaan yang akan menyulitkan.  "Kalau begitu, bagaimana dengan rencana penyerbuan kita, Kakang Patih?"  "Sebaiknya dilaksanakan sekarang sebelum mereka sempat memperkuat diri, Sinuwun." kata Narotarna dan para senopati yang hadir di situ menyatakan setuju.  "Baiklah, kalau begitu, kami menyerahkan kekuasaan kepada Andika, Kakang Patih, untuk memimpin para senopati, perwira, dan pasukan untuk menyerang dan menaklukkan mereka agar lain kali mereka tidak akan berani mengganggu kita lagi. Nah, buatlah persiapan secukupnya dan segera berangkat!"  Lega juga hati Narotarna ketika dia diserahi kekuasaan untuk memimpin penyerangan karena dengan demikian, tentu saja dia dapat melewati Parang Siluman atau setidaknya menunda niat penyerangan Kahuripan ke Parang Siluman. Setelah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, Ki Patih Narotarna mengundang para senopati dan perwira bawahannya dan memberitahu bahwa yang pertama kali mereka serang adalah Kerajaan Wura-wuri.  "Wura-wuri merupakan lawan yang cukup kuat dan kerajaan ini yang terdekat, maka akan kita serbu lebih dulu. Puspa Dewi, karena engkau lebih mengenal daerah Wurawuri, maka engkau kami angkat menjadi pemimpin pasukan pelopor yang terdiri dari seribu orang prajurit. Tugasmu adalah melakukan pendobrakan pertama, menyelidiki keadaan musuh dan membuka jalan bagi pasukan besar. Ingat, dan juga para senopati dan perwira harus ingat betul bahwa tugas kita semua seperti yang ditekankan Gusti Sinuwun bukanlah untuk merusak atau membunuh, melainkan hanya menaklukkan. Maka, dilarang keras untuk sembarangan membunuh, kecuali kalau membela diri, dilarang keras mengambil barang berharga penduduk Wura-wuri, dan dilarang keras menyiksa dan mengganggu wanita. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman keras, sebaliknya yang menaati perintah dan melaksanakan dengan baik, tentu akan memperoleh ganjaran dari Gusti Sinuwun."  Demikianlah, setelah membagi-bagi tugas, tiga hari kemudian Ki Patih Narotama memimpin pasukan Kahuripan menuju ke Wura-wuri…..  ********************  Seperti juga keadaan di Parang Siluman dan dua kerajaan yang lain, para pimpinan Kerajaan Wura-wuri juga mengalami kedukaan dan kekecewaan karena dalam perang melawan Kahuripan itu mereka menderita kekalahan besar. Tiga orang senopati andalan mereka, yaitu Tri Kala yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, telah tewas dalam pertempuran. Juga mereka kehilangan ribuan orang prajurit. Pimpinan tertinggi di Wura-wuri adalah Adipati Bhismaprabhawa, permaisurinya yaitu Nyi Dewi Durgakumala, dan Senopati Muda Ki Gandarwo.  Setelah menderita kekalahan, kehilangan Tri Kala, Adipati Bhismaprabhawa lalu mengutus Ki Gandarwo untuk mengundang orang pandai agar dapat menggantikan tiga orang Tri Kala yang tewas, dan memperkuat Wura-wuri. Ki Gandarwo segera mengundang lagi kakak seperguruannya, yaitu Cekel Aksomolo. Dahulu, Cekel Aksomolo juga pernah membantu Wura-wuri melalui Ki Gandarwo, akan tetapi dia lalu kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Hutan Werdo, lereng Gunung Wilis. Ketika didatangi Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh satu tahun itu menerima undangan Adipati Wura-wuri dan dia pun ikut bersama Ki Gandarwo menghadap Adipati Wura-wuri.  Cekel Aksomolo yang sakti dan cerdik Itu diterima dengan gembira dan hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan karena Sang Adipati sudah mengetahui kesenangan Cekel Aksomolo, maka pertapa muda ini lalu diberi sebuah rumah mungil Indah dan mewah. Dan tidak lupa, Adipati Bhismaprabhawa menyediakan beberapa orang pemuda perjaka remaja yang tampan wajahnya untuk melayaninya. Pertapa muda yang tinggi kurus bongkok, mukanya seperti Pendeta Durna, dan suaranya tinggi kecil seperti suara wanita ini mempunyai watak yang aneh. Dia sama sekali tidak suka kepada wanita, akan tetapi dia suka sekali kepada pemuda-pemuda remaja yang ganteng yang dia jadikan kekasihnya!  Pada suatu pagi, Adipati Bhismaprabhawa mengadakan persidangan dengan isterinya, Nyi Dewi Durgakumala dan para pembantunya, yaitu Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo, dan beberapa orang perwira pembantu.  Dalam rapat ini, Adipati Bhismaprabhawa menyatakan kekhawatirannya bahwa Kahuripan tentu akan melakukan serangan balasan ke Wura-wuri, padahal Wura-wuri baru saja mengalami kekalahan, banyak prajurit tewas dan sisa para perajurlt menurun semangatnya karena kekalahan itu.  "Kalau Kahuripan menyerang selagi kita berada dalam keadaan lemah seperti sekarang ini, tentu akan berbahaya sekail." Sang Adipati menyatakan kekhawatirannya.  "Hi-hik-he-he-he!" Cekel Aksomolo terkekeh genit lalu berkata dengan suaranya yang seperti wanita. "Gusti Adipati mengapa mengkhawatirkan hal itu? Harap Paduka tenang! Kalau Kahuripan berani menyerang ke sini... ah, hal itu kecil saja! Ada saya, Cekel Aksomolo di sini, dan tangan kakiku, kalau perlu tasbeh dan ganitri (biji tasbeh) saya ini tentu akan membinasakan dan mengusir mereka! Heh-he-he-he!"  Mendengar ucapan yang sombong ini, hati Adipati Bhismaprabhawa bukan menjadi tenang, bahkan dia semakin gelisah. Dia tahu bahwa Cekel Aksomolo memang sakti, akan tetapi kalau sikapnya demikian takaburnya, Sang Adipati meragukan kemampuannya.  Melihat suaminya tampak gelisah, Nyi Dewi Durgakumala berkata dengan nada suara menghibur. "Kakangmas Adipati. Paduka tenanglah. Saya telah memiliki senjata yang ampuh untuk menghadapi Kahuripan. Kalau pasukan Kahuripan menyerang, biasanya yang menjadi Manggala (Pemimpin) Agung tentu Ki Patih Narotama. Paduka tahu bahwa saya dan Ni Lasmini telah berhasil menculik putera Ki Patih Narotama. Dengan adanya puteranya di tangan kita, maka Ki patih Narotama tentu tidak berani menyerang kita. Kita pergunakan anak itu sebagai sandera untuk memaksa Ki Patih Narotama menarik mundur pasukannya dan selanjutnya tidak akan mengganggu kita lagi."  Adipati Bhismaprabhawa mengangguk-angguk, lalu mengerutkan alisnya. "Pendapatmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau yang menjadi Manggala Perang bukan Ki Patih Narotama, melainan Sang Prabu Erlangga sendiri?"  Nyi Dewi Durgakumala menggeleng kepalanya. "Rasanya tidak mungkin Sang Prabu Erlangga memimpin sendiri pasukannya. Biasanya dia tentu mewakilkannya kepada Ki Patih Narotarna. Akan tetapi, andaikata Sang Prabu Erlangga sendiri yang memimpin, tetap saja kita dapat menggunakan Joko Pekik Satyabudhi itu sebagal sandera. Sang Prabu Erlangga amat menyayang dan menghormati Ki Patih Narotarna. Mereka berdua itu tunggal guru dan seperti saudara saja. Tentu dia tidak akan tega mengorbankan putera Ki Patih Narotarna."  "Akan tetapi anak itu sekarang tidak berada di sini. Bukankah tempo hari andika melaporkan bahwa anak itu dipinjam oleh Kerajaan Parang Siluman?" tanya Sang Adipati.  "Benar, Kakangmas. Saya dan Ni Lasmini bersepakat untuk menyembunyikan anak itu di suatu tempat yang tersembunyi dan aman, di perbatasan. Tempo hari Lasmini utusan Ki Nagakumala untuk meminjam dan mengambil Joko Pekik Satyabudhi."  "Kalau begitu sebaiknya kita mengutus orang untuk mengambilnya kembali dan agar untuk semenara anak itu berada di sini sehingga kalau sewaktu-waktu pasukan Kahuripan menyerang, kita dapat mempergunakan anak itu sebagai perisai!"  Nyi Dewi Durgakumala mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada Ki Gandarwo. "Senopati Gandarwo, Andika berangkatlah ke Kerajaan Parang Siluman, bawalah pesanku kepada Sang Ratu Durgamala dan kedua Puteri Lasmini dan Mandari, juga Ki Nagakumala, bahwa kami di sini membutuhkan kehadiran Joko Pekik Setyabudhi putera Ki Patih Narotama. Bawalah anak itu ke sini dan bawa prajurit secukupnya agar dapat mengawal anak itu sehingga dapat selamat sampai di sini."  Ki Gandarwo, senopati muda tampan yang juga menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, matur sendika (menaati) dan segera berangkat bersama seregu pasukan ke Parang Siluman. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Ki Gandarwo kembali melaporkan bahwa Parang Siluman tidak dapat menyerahkan Joko Pekik Satyabudhi karena mereka membutuhkan anak itu sendiri. Tentu saja Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah sekali.  "Keparat Si Lasmini. Dulu ia hendak membunuh anak itu. Aku yang mempunyai gagasan agar anak itu dijadikan sandera untuk kepentingan Wura-wuri dan Parang Siluman! Akan tetapi sekarang ia hendak menguasainya sendiri untuk kepentingan Parang Siluman! Apa mereka mengira Wura-wuri takut melawan Parang Siluman yang kecil? Kita gempur saja dan minta anak itu dengan kekerasan!" Nyi Dewi Durgakumala berseru marah.  Dengan wajah merah Nyi Dewi Durgakumala sudah bangkit dan hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Parang Siluman, untuk merampas Joko Pekik yang ditahan di Parang Siluman. Akan tetapi suaminya cepat bangkit, memegang pundaknya dan mengajaknya duduk kembali, berkata dengan halus.  "Bersabarlah, Diajeng. Kalau kita menuruti nafsu amarah dan menyerang Parang Siluman, berarti di antara kita terjadi bentrokan sendiri yang akhirnya hanya melemahkan kita. Padahal kita sama-sama terancam oleh Kahuripan."  Para senopati mendukung ucapan Adipati Bhismaprabhawa ini sehingga akhirnya Nyi Dewi Durgakumala mengalah. "Baiklah, Kakangmas Adipati, saya tidak akan menuruti amarah dan menyerang sekutu sendiri, akan tetapi Parang Siluman sungguh mau enaknya sendiri saja. Saya akan mencoba untuk mengancam Narotarna agar dia tidak menyerang kita atau akan membunuh puteranya! Kalau dia tidak percaya dan tetap menyerang, kita harus mempertahankan diri. Untuk itu kita harus memperkuat diri dan saya akan mengundang dua orang kakak seperguruan saya, dua orang saudara kembar yang menjadi datuk-datuk Blambangan, yaitu Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit. Sudah puluhan tahun kami tidak saling jumpa, akan tetapi kalau saya mengirim utusan kesana memanggil mereka, pasti mereka akan datang dan membantu kita. Kedua kakak seperguruan saya itu memiliki kesaktian yang boleh diandalkan."  Adipati Bhismaprabhawa menjadi girang sekali dan Nyi Dewi Durgakumala segera mengirim utusan mengundang dua orang datuk Blambangan itu…..  ********************  Telah lama kita berpisah dari Nurseta dan sekarang kita ikuti perjalanan pemuda perkasa yang pergi mencari Niken Harni dan Puspa Dewi itu. Pada suatu pagi, Nurseta berjalan memasuki kota Kadipaten Wengker yang sunyi. Pada waktu itu, kota kadipaten itu memang sepi karena ditinggalkan para pimpinan Kadipaten Wengker berikut para perwira pembantu mereka dan memimpin pasukan sebanyak selaksa orang prajurit lebih, bergabung dengan para kadipaten lain melakukan penyerbuan terhadap Kerajaan Kahuripan!  Para prajurit pasukan yang ditinggalkan untuk menjaga kadipaten tidak ada yang mengenal Nurseta, maka pemuda itu dapat memasuki kadipaten dengan aman tanpa ada yang mengganggu, karena Nurseta memakai pakaian sederhana, dan biasa seperti para pemuda lainnya. Karena semua senopati dan perwira dikerahkan untuk ikut dalam pasukan yang menyerang ke Kahuripan, maka yang bertugas menjaga kota kadipaten adalah Tumenggung Suramenggala.  Ki Suramenggala ini diangkat menjadi tumenggung bukan karena kepandaiannya, bukan karena kedigdayaannya yang tidak seberapa, melainkan karena dia adalah ayah kandung Adipati Linggawijaya. Maka dia tidak diikutkan dalam perang. Dasar watak Ki Suramenggala ini memang buruk. Dia sudah sejak mudanya selalu mengagulkan diri sendiri, penuh dikusaai daya rendah nafsu-nafsunya sehingga dirinya sepenuhnya menjadi budak nafsu yang selalu haus akan kesenangan dan mengejar-ngejar kesenangan, tidak pantang bersikap sewenang-wenang.  Maka, kini mendapat kesempatan menjadi penguasa sementara di Wengker, tidak ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya daripada dia, maka dia merasa seolah menjadi raja besar di Kerajaan Wengker. Sama sekali dia tidak ikut prihatin, tidak mendoakan agar penyerangan Wengker ke Kahuripan berhasil. Bahkan setiap hari dia berpesta pora dengan dua orang gadis dayang yang diambilnya dari istana Adipati Linggawijaya dan dijadikan selirnya, penambah kumpulan selirnya yang sudah banyak itu, tanpa menanti kembalinya Adipati Linggawijaya untuk minta persetujuannya.  Pada siang hari itu, selagi dia berpesta pora sambil menonton tarian menggairahkan para penari, minum arak sampai mabok dilayani dua orang selirnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gedungnya yang mewah menyaingi kemewahan istana kadipaten sendiri. Tumenggung Suramenggala mengerutkan alisnya dan kemarahannya bangkit karena dia merasa terganggu dalam kesenangannya. Menuruti wataknya yang keras dan siap memberi hukuman berat kepada pengganggunya, dia lalu bangkit berdiri meninggalkan dua orang selir barunya itu dan melangkah lebar berjalan keluar. Seorang prajurit pengawal hampir menabraknya..... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Nama Nurseta, sifat, karakter, dan kombinasi yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan