NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-27
"Andika memang sakti mandraguna dan pantas menjadi tamu Istana Wengker,
Puspa Dewi. Mari, kuantar Andika ke sana." Ki Surogeni memberikan kuda
yang tadi ditunggangi Drohawisa kepada Puspa Dewi, lalu bersama
Wirobento dan Wirobandrek dia mengantar Puspa Dewi menuju ke Kadipaten
Wengker. Drohawisa yang ditinggalkan menyumpah-nyumpah, akan tetapi
setelah tiga orang atasan itu pergi jauh. Terpaksa dia
terpincang-pincang berjalan kaki sambil menahan rasa nyeri pada tangan
kanan dan kaki kirinya yang buntung.
Dengan sikap tenang dan angkuh, Puspa Dewi tampak gagah ketika ia memasuki istana Kadipaten Wengker bersama Ki Surogeni. Tentu saja sebelum Puspa Dewi diajak memasuki istana Wengker, lebih dulu Wirobento dan Wirobandrek cepat melaporkan tentang kedatangan Puspa Dewi itu kepada Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala.
Para prajurit pengawal yang berjaga di Istana itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Akan tetapi mata mereka memandang penuh kagum dan gentar terhadap gadis cantik jelita yang melangkah tenang di samping Ki Surogeni, memasuki ruangan tamu di sebelah pendapa istana Kadipaten Wengker. Banyaknya prajurit pengawal yang berada di sekitar istana, memenuhi halaman istana yang luas dan berjaga di sepanjang lorong sampai ke pendapa, sama sekali tidak membuat Puspa Dewi merasa gentar.
Sebagai seorang yang pernah menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri, Puspa Dewi tentu saja tidak merasa asing dengan kemewahan yang terdapat di istana Wengker itu. Akan tetapi ia pun tahu bahwa banyaknya prajurit pengawal di luar dan dalam istana itu tidaklah wajar. Ia menduga bahwa pihak istana berada dalam keadaan siap siaga dan bahwa istana itu setidaknya bagian pendapa dan ruang tamunya, telah dikepung pasukan!
Pasti Wirobento dan Wirobandrek yang telah memberi laporan dan Linggawijaya yang sekarang menjadi Adipati Linggawijaya itu lelah membuat persiapan! Namun hal ini tidak mambuat hati Puspa Dewi menjadi jerih. Ketika Puspa Dewi dan Ki Surogeni memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah itu, di situ telah menunggu Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala. Tentu saja Puspa Dewi mengenal baik dua orang laki-laki tua ini. Ki Suramenggala adalah bekas Lurah Dusun Karang Tirta, bahkan pernah menjadi ayah tirinya karena ibunya menjadi selir bekas lurah ini.
Mengingat bahwa ibu kandungnya baru-baru ini diculik oleh orang-orang Ki Suramenggala, sepasang mata gadis itu memandang kepada Ki Suramenggala dengan kilatan marah. Ki Suramenggala diam-diam bergidik ngeri dan tak dapat bertahan lama beradu pandang, segera ia menundukkan pandang matanya. Kemudian Puspa Dewi menatap wajah Resi Bajarasakti.
Tentu saja ia pun mengenal baik pertapa sesat ini. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ia pernah diculik dan dilarikan Resi Bajrasakti ini. Akan tetapi kemudian ia terjatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala, dan sebaliknya Linggawijaya yang diculik Nyi Dewi Durgakumala terjatuh ke tangan Sang Resi Bajrasakti. Kemudian ia menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala sedangkan Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Maka ia pun memandang kepada resi itu dengan mata mencorong. Dulu ia masih gadis remaja ketika diculik Resi Bajrasakti dan nyaris menjadi korban kekejian pendeta sesat ini.
Akan tetapi Resi Bajrasakti tersenyum dan berkata, "Selamat datang di Istana Wengker, Ni Puspa Dewi. Silakan duduk!"
Akan tetapi Puspa Dewi tetap berdiri dan ia berkata dengan sikap angkuh dan tegas. "Aku datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Wengker, bukan dengan sembarang orang!"
Tumenggung Suramenggala bangkit berdiri dan berkata dengan wajah tersenyum cerah. "Wahai, Anakku Puspa Dewi yang manis dan gagah perkasa. Apakah engkau tidak mengenal lagi aku, Tumenggung Suramenggala, Ayah tirimu yang menyayangmu?"
Puspa Dewi memandang ke arah bekas ayah tirinya itu dengan pandang mata tajam menusuk. "Ki Suramenggala, tidak perlu Andika banyak cakap lagi! Kalau saja aku belum menemukan kembali Ibuku dalam keadaan selamat, sekarang juga aku pasti sudah turun tangan menghajar Andika!"
Mendengar ucapan Ini, Suramenggala menjadi pucat dan tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Kini Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Puspa Dewi, kalau Andika hendak bertemu dengan Kanjeng Adipati Llnggawljaya, keinginanmu itu sia-sia karena beliau sedang tidak berada di Istana."
Mendengar ucapan Resi Bajrasakti yang nadanya sungguh-sungguh itu, Puspa Dewi menduga bahwa kakek itu tidak berbohong. "Kalau begitu, biarkan aku bertemu dan bicara dengan isterinya, Dewi Mayangsari...!"
"Sayang sekali, kini beliau juga sedang bepergian, tidak berada di istana." Jawab Resi Bajrasakti. "Akan tetapi, ketahuilah, Puspa Dewi, kalau Andika memang ada kepentingan, Andika bisa membicarakan dengan kami bertiga. Aku adalah wakil Kanjeng Adipati dalam urusan pemerintahan Wengker dan Ki Tumenggung Suramenggala ini adalah Ayahanda Kanjeng Adipati sehingga beliau dapat mewakili puteranya. Adapun Ki Surogeni ini adalah Ayahanda Permaisuri Dewi Mayangsari sehingga beliau dapat mewakili puterinya. Nah, kalau kedatangan mu ini membawa urusan penting, kami bertiga dapat mewakili Kanjeng Adipati Llnggawijaya yang Andika tahu juga adalah muridku. Katakanlah, apa yang Andika kehendaki, Puspa Dewi?"
"Hemm, aku tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan Andika, Resi Bajrasakti, atau dengan Ki Suramenggaia ataupun Ki Surogeni. Aku hanya Ingin mencari Adikku Niken Harni karena aku tahu bahwa ia memasuki Wengker dan menurut keterangan Ki Surogeni, ia berada di Istana Wengker. Sekarang, kalian katakan di mana Adikku itu. Aku datang tidak dengan niat bermusuhan. Akan tetapi kalau kalian tidak menyerahkan Adikku, atau kalau kalian mengganggu Adikku, aku tidak akan berhenti sebelum membuat Wengker menjadi karang abang (lautan api)..!"
Ucapan Puspa Dewi dikeluarkan dengan suara lembut, akan tetapi terdengar kering dan mengerikan. Tiga orang tua itu merasakan betapa dalam suara itu terkandung ancaman-ancaman yang sungguh-sungguh, bukan sekadar gertakan.
"Heh, tenanglah, Puspa Dewi. Sebenarnya, mengingat bahwa Andika adalah murid Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri dan Andika dianggap sebagai puterinya dan menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, Andika bukanlah orang luar dan di antara kita ada hubungan. Wura-wuri selalu bersahabat dengan Wengker. Karena itu, marilah kita bicara seperti sahabat dan duduklah, Puspa Dewi."
"Hemm, aku tidak ada urusan dengan Wengker mau pun Wura-wuri, Resi Bajrasakti. Katakan saja di mana adanya Niken Harni."
"Hemm,...! kalau Andika tidak mau menganggap kami sebagai kawan, lalu apa artinya Andika bertanya kepada kami? Kalaupun kami menjawabnya, kalau Andika menganggap kami sebagai musuh, Andika bagaimana dapat percaya keterangan kami? Ingat, terhadap musuh orang dapat saja berbohong, sebaliknya terhadap teman tentu orang tidak akan berbohong."
"Sesukamu akan menganggap aku kawan atau lawan, Resi Bajrasakti. Akan tetapi, mengingat bahwa Andika menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan berkuasa di Wengker, dan Andika berada di sarang sendiri sehingga tidak mendapat tekanan dariku, maka mustahil kalau Andika mau merendahkan diri menjadi seorang pengecut yang berbohong. Aku percaya Andika akan bicara sejujurnya tentang adikku Niken Harni."
Wajah Resi Bajrasakti berubah merah, matanya melotot dan dia marah sekali. Memang tidak ada alasan baginya untuk berbohong karena dia tidak takut kepada Puspa Dewi, bahkan dapat dibilang bahwa saat itu dia yang menguasai keadaan dan dapat menangkap bahkan membunuh gadis itu kalau dia kehendaki. Dia marah mendengar Puspa Dewi bersikap demikian berani dan penuh tantangan.
"Huh, aku pun tidak sudi berbohong kepadamu karena aku tidak takut untuk bicara terus terang. Nah, dengarlah, Puspa Dewi. Niken Harni memang pernah menjadi tamu di Istana Wengker, akan tetapi beberapa hari yang lalu ia dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo...! Nah,... percaya atau tidak, terserah!"
Sepasang mata Puspa Dewi mencorong dan seolah hendak menembus mata Resi Bajrasakti untuk menjenguk isi hatinya. Ia berkata, "Aku percaya kepada Andika, Resi Bajrasakti. Mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni, dan ke mana Adikku dibawa pergi?"
"Hoa-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Apakah Andika belum mendengar tentang watak aneh luar biasa dari Nini Bumigarbo, Puspa Dewi? Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya dan mengapa ia melakukan sesuatu? Ia datang dan membawa pergi Niken Harni, siapa yang dapat melarang dan siapa pula yang dapat bertanya? Dia datang dan pergi begitu saja. Yang kami ketahui hanyalah bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo. Kalau Andika ingin mengetahui sebabnya, carilah Nini Bumigarbo dan tanyalah sendiri kepadanya..!"
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Nini Bumigarbo, seorang datuk wanita yang dikabarkan orang sebagai manusia setengah dewa atau setengah iblis yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bahkan ketika ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma, pertapa itu pernah berkata kepadanya bahwa di antara para tokoh sakti pada waktu itu, kiranya yang dapat dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya adalah Sang Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo! Akan tetapi sungguh aneh sekali, mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni? Resi Bajrasakti benar ketika berkata bahwa tidak ada yang tahu apa yang dilakukan nenek aneh itu dan mengapa ia melakukannya.
"Hemm, baiklah. Aku percaya keterangan Andika bahwa Adikku itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo, Resi Bajrasakti. Aku akan mencarinya. Akan tetapi, aku teringat bahwa kabarnya Dewi Mayangsari adalah murid Nini Bumigarbo. Tentu ia tahu mengapa dan ke mana Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo."
"Agaknya Andika belum tahu benar siapa Nini Bumigarbo. Bahkan kepada muridnya sendiri pun ia tidak pernah memberitahu. Sepengetahuanku, Kanjeng Puteri Dewi Mayangsari juga tidak tahu ke mana Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo."
"Sudahlah, aku tidak ingin merepotkan mu lebih jauh. Aku pamit pergi dan terimakasih atas keteranganmu, Resi Bajrasakti...!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan tamu.
"Puspa Dewi, engkau sudah berani memasuki Wengker, tidak boleh pergi begitu saja...! Engkau harus tunggu pulangnya Adipati Linggawijaya dan isterinya" kata Ki Suramenggala.
Akan tetapi Puspa Dewi tidak mempedulikan ucapan bekas ayah tirinya itu dan melangkah keluar. Akan tetapi setibanya di pendapa istana, ia melihat ratusan orang prajurit sudah siap siaga dengan senjata tombak, golok, atau pedang di tangan, menutup semua jalan keluar. Bahkan di sana, di halaman yang merupakan alun-alun, masih terdapat sedikitnya seribu orang perjurit.
"Ha-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa-tawa dan muncul dari dalam ruangan tamu bersama Ki Surogeni dan Tumenggung Suramenggala. Mereka bertiga tertawa-tawa. "Puspa Dewi, Andika tidak boleh pergi sebelum Sang Adipati dan isterinya pulang...! Andaikata Andika bersayap sekalipun, tidak mungkin Andika dapat terbang lolos dari Wengker... ha-ha-ha!"
"Untuk keluar dari Wengker, aku tidak perlu terbang, Resi Bajrasakti...! Haiiitttt...!" Tiba-tiba Puspa Dewi mengeluarkan pekik melengking.
Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa dan ia sudah mencabut pedangnya Kyai Candrasa Langking dan memutarnya dengan cepat sambil menerjang ke arah Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung dibarengi angin dahsyat menyambar-nyambar dan didorong pula oleh getaran pekik yang amat hebat itu.
Resi Bajrasakti cepat melompat ke belakang dan melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga sakti sambil mencabut dan memutar cambuknya yang bergagang gading. Juga Ki Surageni yang sudah merasakan kehebatan gadis itu, cepat melompat ke belakang sambil mencabut kerisnya. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat dari Puspa Dewi itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu ia sudah menggunakan tangan kirinya untuk menghantam tengkuk Ki Suramenggala yang sama sekali tidak menduganya karena tadi dia tidak diserang.
"Plakk...!"
Tubuh Ki Suramenggala seketika menjadi lemas setengah lumpuh dan dia sama sekail tidak berdaya ketika tangan kiri Puspa Dewi mencengkeram baju tumenggung yang mewah dan tebal itu pada punggungnya. Sambil menempelkan pedang di leher bekas ayah tirinya itu Puspa Dewi menghardik.
"Resi Bajrasakti..! Kalau Andika tidak memerintahkan semua prajurit agar mundur dan tidak boleh mengganggu kepergianku, aku akan memenggal leher Ki Suramenggala ini lebih dulu sebelum aku mengamuk dan menjadikan tempat ini sebagai banjir darah...!"
Tentu saja Ki Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Sedikit saja pedang yang menempel di kulit lehernya itu digoreskan, nyawanya tidak akan tertolong lagi dan dia akan mati seperti ayam disembelih. Saking takutnya, tubuhnya yang setengah lumpuh itu menggigil.
"Puspa Dewi... ingat... aku adalah ayahmu... ampunilah aku, jangan bunuh aku, Puspa Dewi..."
Puspa Dewi tidak menjawab, akan tetapi tangan kirinya semakin kuat mencengkeram punggung baju itu sehingga kini leher baju itu mencekik leher Ki Suramenggala sehingga dia menjadi semakin ketakutan.
Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni terkejut dan saling pandang. Mereka berdua maklum sepenuhnya bahwa tidak mungkin mereka membiarkan gadis itu membunuh Ki Suramenggala. Kalau tumenggung itu tewas, tentu Adipati Linggawijaya akan marah sekali dan menyalahkan mereka. Gadis itu bukan hanya menggertak kosong.
Sekali pedangnya bergerak, Ki Suramenggala tentu tewas dan kalaupun akhirnya mereka mampu membunuh gadis itu dengan keroyokan ribuan pasukan, yang sudah pasti gadis itu tidak akan roboh sebelum ia membunuh banyak sekali orang. Gertakannya merupakan ancaman yang mengerikan. Akan benar-benar terjadi banjir darah di Wengker kalau mereka tidak menuruti kehendaknya.
"Resi Bajrasakti, bagaimana tanggapan mu? Jangan membuat aku kehilangan kesabaran...!" Bentak Puspa Dewi sambil mendorong Ki Suramenggala keluar dari pendapa.
Para prajurit yang berada paling depan di pendapa itu hanya mengacung-acungkan senjata mereka, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyerang, pertama karena meiihat Ki Tumenggung Suramenggala dijadikan sandera, kedua karena mereka tidak mendapat perintah dari Resi Bajrasakti.
Resi Bajrasakti merasa ngeri sendiri membayangkan ada prajurit yang menyerang Puspa Dewi dan menyebabkan gadis itu membunuh Tumenggung Suramenggala dan mengamuk. Dia lalu berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua prajurit, juga oleh mereka yang berkumpul di alun-alun halaman istana.
"Haiiii Para prajurit dan para perwira...! Dengar perintah kami...! Jangan halangi Puspa Dewi keluar dari kota raja!"
Setelah berteriak demikian Resi Bajrasakti berkata kepada Puspa Dewi.
"Nah, Puspa Dewi, Andika boleh pergi, akan tetapi Andika harus memegang janji dan membebaskan Ki Tumenggung Suramenggala."
"Resi Bajrasakti, aku bukan orang yang suka melanggar janji. Biarpun Ki Suramenggala pantas dihukum atas kejahatannya terhadap ibuku, namun aku akan membebaskannya kalau aku sudah terlepas dari kepungan pasukanmu."
Setelah berkata demikian, dengan sikap tenang namun waspada, Puspa Dewi mendorong Ki Suramenggala dan melangkah keluar dari pendapa istana, kemudian terus menyeberangi alun-alun di antara deretan prajurit yang berkumpul di kanan kiri. Para prajurit itu hanya dapat memandang dengan kagum akan tetapi tidak ada yang berani bergerak. Juga ketika Puspa Dewi yang menodong Ki Suramenggala itu keluar dari pintu gerbang kota kadipaten, tidak ada seorang pun berani menghalanginya.
Sebetulnya banyak para perwira dan senopati merasa penasaran karena mereka merasa yakin bahwa apabila mereka diperbolehkan dan maju menyerbu, mustahil gadis itu mampu lolos dari pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani melanggar perintah Resi Bajrasakti tadi. Juga mereka semua merasa ngeri, kalau sampai Ki Suramenggala tewas dan mereka dipersalahkan sebagai penyebabnya, tentu Sang Adipati akan marah sekali dan menghukum mereka. Maka, biarpun di situ berkumpul banyak sekali prajurit, tak seorang pun berani bergerak menghalangi gadis yang keluar dari kota Kadipaten Wengker itu.
Setelah tiba di luar kota dan tidak ada lagi prajurit berjaga, Puspa Dewi melepaskan Ki Suramenggala dan berkata, "Ki Suramenggala, kalau Andika berani lagi mengganggu ibuku, aku tidak akan mengampuni mu!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan Ki Suramenggala yang kini dapat bernapas lega. Dia terbebas dari ancaman maut, akan tetapi juga dia merasa kehilangan muka karena tadinya Ki Tumenggung Suramenggala dikenal selain sebagai ayah kandung Sang Adipati Wengker, juga sebagai seorang yang sakti. Maka, dia tidak kembali ke istana, melainkan diam-diam pulang ke rumahnya sendiri…..
********************
Pada awal kisah ini, Empu Bharada dalam samadhinya menerima wangsit (penglihatan batin) betapa hawa angkara murka dan nafsu-nafsu daya rendah menimbulkan kegelapan menyelimuti Kahuripan. Penglihatan batin ini dia artikan sebagai mala petaka yang mengancam Kahuripan, membuat hati sang pertapa yang arif bijaksana ini khawatir sungguhpun dia menyerahkan segalanya kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi dan merasa yakin bahwa Yang Maha Kuasa pasti akan menolong dan membebaskan Kahuripan dari kehancuran akibat serangan bencana itu.
Apa yang dikhawatirkan Sang Empu Bharada akhirnya terjadi juga. Adipati Wengker, Linggawijaya dan isterinya, Dewi Mayangsari, pergi untuk membujuk kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk sekali lagi berusaha menghancurkan Kahuripan, musuh bebuyutan mereka. Adipati Linggawijaya pergi berkunjung ke Kerajaan Parang Siluman dan diterima dengan gembira Ratu Parang Siluman, yaitu Nyi Durgamala yang biarpun usianya sudah lebih dari empat puluh tahun, namun masih tampak cantik seperti kedua orang anak perempuannya, yaitu Lasmini, bekas selir Ki Patih Narotama yang berusia dua puluh empat tahun dan Mandari, bekas selir Sang Prabu Erlangga yang berusia dua puluh dua tahun.
Tentu saja uluran tangan Adipati Wengker untuk bekerja sama menghancurkan Kahuripan itu diterima baik oleh tiga orang wanita cantik yang menjadi penguasa di Kerajaan Parang Siluman itu. Kahuripan atau lebih tepat lagi, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama merupakan musuh-musuh besar mereka. Dalam kisah Sang Megatantra diceritakan betapa Lasmini dan Mandari yang ketika itu masih gadis menjadi selir Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga.
Kalau Raja dan Patih Kahuripan itu mengambil mereka sebagai selir karena kecantik-jelitaan yang luar biasa dari kakak-beradik ini dan juga karena Sang Prabu Erlangga berniat mengakhiri permusuhan itu dengan jalan pernikahan, sebaliknya dua orang kakak-beradik itu mau menjadi selir mereka dengan maksud untuk menghancurkan Raja dan Patih itu dari dalam! Memang kedua orang gadis itu kemudian jatuh cinta kepada suami mereka, namun mereka tetap melaksanakan cita-cita mereka menghancurkan Kahuripan. Namun usaha yang didukung kerajaan-kerajaan lain itu ternyata gagal dan mereka berdua bahkan diusir dari Kahuripan.
Tentu saja Lasmini dan Mandari yang memiliki kesaktian itu menjadi sakit hati, dan mendendam kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Hanya saja, mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena Raja dan Patih Kahuripan itu sakti mandraguna, memiliki banyak senopati yang sakti, didukung pula oleh para satria yang setia kepada Kahuripan, serta memiliki pasukan yang kuat. Maka, ketika Linggawijaya, Adipati Wengker datang berkunjung dan menawarkan kerjasama, mereka menyambutnya dengan gembira.
Timbul pula harapan baru dalam hati mereka untuk dapat membalas dendam dan menghancurkan Kahuripan, apa lagi kini mereka menganggap Kerajaan Wengker menjadi kuat setelah adipatinya baru, yaitu Linggawijaya yang dulu pernah pula mengadakan hubungan gelap dengan Lasminil Hal ini diceritakan dalam kisah Sang Megatantra. Baik Lasmini mau pun Mandari sudah tahu akan kesaktian Linggawijaya yang dulu bernama Linggajaya, murid Resi Bajrasakti itu.
Sejak diusir dari Kahuripan, Lasmini dan Mandari kembali ke Parang Siluman dan membantu Ratu Durgamala, ibu mereka yang janda, mengurus Kerajaan Parang Siluman. Dua orang puteri itu setelan diusir dari Kahuripan, menuruti watak mereka yang cabul seperti ibu mereka. Mereka adalah hamba-hamba dari nafsu mereka sendiri, dan setelah berpisah dari Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang menjadi suami mereka, kakak beradik ini tidak tahan untuk hidup sendiri tanpa pria.
Mulailah mereka mengumbar nafsu, mencari dan berganti-ganti kekasih karena mereka memang pembosan. Ibu mereka, Ratu Durgamala, membiarkan saja kelakuan dua orang pulennya karena ia sendiripun berwatak seperti itu. Berpisah dari suaminyat yang kini menjadi Bhagawan Kundolomuko, Ratu Durgamala juga berganti-ganti kekasih, pemuda-pemuda tampan.
Bahkan ibu dan dua orang puterinya itu kini menjadi penyembah-penyembah Bathari Durga, agama yang dipimpin oleh bekas suami ratu itu sendiri, yaitu Bhagawan Kundolomuko. Mereka juga menambah ilmu mereka dengan ilmu sihir yang menjadi keistimewaan Bhagawan Kundolomuko sebagai penyembah Bathari Durga.
Pada waktu itu, Kerajaan Parang Siluman yang sebetulnya wilayahnya lebih kecil dibandingkan Wengker atau Wura-wuri, merupakan kerajaan kecil atau kadipaten yang kuat karena memiliki banyak orang yang sakti mandraguna. Ratu Durgamala sendiri adalah seorang janda cantik yang sakti. Kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari, juga memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi dibandingkan tingkat ibu mereka.
Masih ada lagi bekas suami Sang Ratu, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang kini menjadi Ketua Agama Durgadharma di kerajaan itu. Juga masih diperkuat oleh Ki Nagakumala, yaitu kakak kandung Ratu Durgamala yang juga memberi gemblengan kesaktian kepada Lasmini dan Mandari, dua orang keponakannya. Ki Nagakumala ini adalah bekas suami Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul.
Maka, biarpun Kerajaan Parang Siluman tidak berapa besar, pasukannya yang tidak besar jumlahnya itu amat kuat karena para prajuritnya membentuk pasukan-pasukan siluman yang pandai menyerang dengan ilmu sihir dan tenung.
Demikianlah sepintas keadaan Kerajaan Parang Siluman dengan para tokohnya yang sejak turun-temurun menjadi musuh keturunan Mataram yang sekarang menjadi Kerajaan Kahuripan. Maka, kunjungan Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker tentu saja disambut gembira oleh para pimpinan Parang Siluman, terutama sekali Ratu Durgamala dan kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari. Mereka menyambut adipati muda yang tampan itu dengan pesta. Kebetulan sekali pada malamnya adalah malam bulan purnama dan seperti biasa, pada bulan purnama diadakan upacara pemujaan Bathari Durga.
Sambil berpesta, Adipati Linggawijaya disuguhi tari-tarian yang menggairahkan, bahkan dalam kesempatan itu, Puteri Lasmini dan Mandari yang cantik molek itu memamerkan kepandaian mereka menari. Dengan pakaian indah namun menggairahkan karena pakaian tembus pandang itu membuat tubuh mereka yang menggairahkan, dengan lekuk-lengkung sempurna itu tampak jelas. Apa lagi tariari yang dilakukan dengan tubuh yang lentur dan indah itu menggeliat-geliat bagaikan ular kepanasan, membuat Linggawijaya yang menonton menjadi terangsang. Ditambah lagi dengan minuman keras yang memabokkan.
Akan tetapi, dia tidak mempunyai pilihan lain karena sejak dia datang, Ratu Durgamala sudah mengambil keputusan untuk tidak menyia-nyiakan kehadiran adipati yang gagah dan tampan ini untuk diajak bersenang-senang setelah ada persetujuan bekerjasama menghancurkan Kahuripan. Sehabis pesta malam itu, Ratu Durgamala menyekap Linggawijaya dalam kamarnya. Lasmini dan Mandari tentu saja harus mengalah terhadap ibunya dan mereka mencari pasangan lain terdiri dari para pemuda yang selalu siap untuk melayani mereka.
Sampai tiga hari tiga malam Adipati Linggawijaya tinggal di Istana Parang Siluman. Selain setiap hari bersenang-senang dengan Ratu Durgamala dan kedua orang puterinya, Linggawijaya juga mengadakan perundingan untuk mengadakan pertemuan besar antara semua kadipaten atau kerajaan kecil yang menentang Kahuripan. Setelah itu, dia lalu melanjutkan perjalanannya ke Kadipaten Siluman Laut Kidul.
Dibandingkan tiga buah kerajaan lain, yaitu Kerajaan Wengker, Kerajaan Wura wuri, dan Kerajaan Parang Siluman, maka kerajaan di tepi laut yang disebut Kerajaan Siluman Laut Kidul dapat dibilang kecil. Daerahnya tidak luas, hanya sepanjang pantai sampai ke pegunungan, memanjang dari barat ke timur, di sebelah timur Kerajaan Parang Siluman. Namun, kerajaan ini dipimpin keluarga seperguruan yang sakti mandraguna.
Ratu Mayang Gupita yang menjadi penguasa di Kerajaan Siluman Laut Kidul terkenal sekali dan disegani para pimpinan kerajaan lain. Ia seorang wanita berusia sekitar lima puluh dua tahun, dapat disebut seorang raseksi (raksasa wanita) karena tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut. Wajahnya menyeramkan, berbentuk serba bulat dan besar, baik itu matanya, hidungnya, telinganya atau mulutnya.
Bahkan di kedua sudut bibirnya tampak taring menonjol. Wanita tua dan jelek rupanya ini mewah sekali. Tubuhnya mengenakan pakaian yang serba indah dan perhiasan emas permata memenuhi kaki tangan dan lehernya. Juga lagaknya genit seperti seorang perawan manja. Akan tetapi ia sakti mandraguna, juga terkenal kejam terhadap musuh-musuhnya.
Ratu Mayang Gupita telah janda, bercerai dari suaminya yang bukan lain adalah Ki Nagakumala, kakak Ratu Durgamala dari Parang Siluman yang juga menjadi guru Puteri Lasmini dan Mandari. Biarpun kini Ki Nagakumala berada di Parang Siluman dan membantu adiknya, namun hubungannya dengan bekas isterinya, masih tetap baik karena keduanya mempunyai musuh yang sama, yaitu Kerajaan Kahuripan.
Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul ini tidak mempunyai anak, dan sesungguhnya sejak muda ia tidak begitu suka kepada pria, karena tidak pernah ada pria mengaguminya. Pernikahannya dahulu dengan Ki Nagakumala juga hanya untuk menyatukan kedua kerajaan agar kedudukan mereka kuat. Akan tetapi karena ratu raseksi yang biarpun pesolek dan genit ini tidak suka kepada pria, maka pemihakan itu akhirnya gagal dan ia bercerai dari suaminya yang lebih suka bermesraan dengan wanita lain daripada dengan isterinya yang berwajah menyeramkan itu.
Ratu Mayang Gupita memerintahkan Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan tangan besi. Ia dibantu tiga orang yang juga sakti mandraguna dan bersama Sang Ratu, mereka merupakan keluarga seperguruan yang kesemuanya selain ahli ilmu kanuragan, juga pandai ilmu sihir. Yang pertama adalah paman guru dari Sang Ratu bernama Bhagawan Kalamisani. Kakek ini berusia enam puluh lima tahun dan menjadi guru sihir Ratu Mayang Gupita. Tubuhnya kurus kecil dan bongkok, mirip Sang Bhagawan Durna dari kisah wayang Maha Bharata. Akan tetapi kakek ini merupakan lawan yang amat berbahaya karena memiliki bermacam-macam ilmu sihir yang dahsyat.
Orang ke dua adalah Ki Naga jaya yang berusia empat puluh lima tahun, bertubuh kecil kurus. Dia adalah adik seperguruan Ratu Mayang Gupita, ahli bersilat dengan senjata ruyung dan juga pandai bermain sihir. Orang ke tiga adalah Ki Nagarodra, adik dari Nagajaya, berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar. Senjatanya sebuah klewang (golok) dan seperti kakaknya, dia pun ahli sihir dan menjadi adik seperguruan Sang Ratu.....
Dengan sikap tenang dan angkuh, Puspa Dewi tampak gagah ketika ia memasuki istana Kadipaten Wengker bersama Ki Surogeni. Tentu saja sebelum Puspa Dewi diajak memasuki istana Wengker, lebih dulu Wirobento dan Wirobandrek cepat melaporkan tentang kedatangan Puspa Dewi itu kepada Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala.
Para prajurit pengawal yang berjaga di Istana itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Akan tetapi mata mereka memandang penuh kagum dan gentar terhadap gadis cantik jelita yang melangkah tenang di samping Ki Surogeni, memasuki ruangan tamu di sebelah pendapa istana Kadipaten Wengker. Banyaknya prajurit pengawal yang berada di sekitar istana, memenuhi halaman istana yang luas dan berjaga di sepanjang lorong sampai ke pendapa, sama sekali tidak membuat Puspa Dewi merasa gentar.
Sebagai seorang yang pernah menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri, Puspa Dewi tentu saja tidak merasa asing dengan kemewahan yang terdapat di istana Wengker itu. Akan tetapi ia pun tahu bahwa banyaknya prajurit pengawal di luar dan dalam istana itu tidaklah wajar. Ia menduga bahwa pihak istana berada dalam keadaan siap siaga dan bahwa istana itu setidaknya bagian pendapa dan ruang tamunya, telah dikepung pasukan!
Pasti Wirobento dan Wirobandrek yang telah memberi laporan dan Linggawijaya yang sekarang menjadi Adipati Linggawijaya itu lelah membuat persiapan! Namun hal ini tidak mambuat hati Puspa Dewi menjadi jerih. Ketika Puspa Dewi dan Ki Surogeni memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah itu, di situ telah menunggu Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala. Tentu saja Puspa Dewi mengenal baik dua orang laki-laki tua ini. Ki Suramenggala adalah bekas Lurah Dusun Karang Tirta, bahkan pernah menjadi ayah tirinya karena ibunya menjadi selir bekas lurah ini.
Mengingat bahwa ibu kandungnya baru-baru ini diculik oleh orang-orang Ki Suramenggala, sepasang mata gadis itu memandang kepada Ki Suramenggala dengan kilatan marah. Ki Suramenggala diam-diam bergidik ngeri dan tak dapat bertahan lama beradu pandang, segera ia menundukkan pandang matanya. Kemudian Puspa Dewi menatap wajah Resi Bajarasakti.
Tentu saja ia pun mengenal baik pertapa sesat ini. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ia pernah diculik dan dilarikan Resi Bajrasakti ini. Akan tetapi kemudian ia terjatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala, dan sebaliknya Linggawijaya yang diculik Nyi Dewi Durgakumala terjatuh ke tangan Sang Resi Bajrasakti. Kemudian ia menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala sedangkan Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Maka ia pun memandang kepada resi itu dengan mata mencorong. Dulu ia masih gadis remaja ketika diculik Resi Bajrasakti dan nyaris menjadi korban kekejian pendeta sesat ini.
Akan tetapi Resi Bajrasakti tersenyum dan berkata, "Selamat datang di Istana Wengker, Ni Puspa Dewi. Silakan duduk!"
Akan tetapi Puspa Dewi tetap berdiri dan ia berkata dengan sikap angkuh dan tegas. "Aku datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Wengker, bukan dengan sembarang orang!"
Tumenggung Suramenggala bangkit berdiri dan berkata dengan wajah tersenyum cerah. "Wahai, Anakku Puspa Dewi yang manis dan gagah perkasa. Apakah engkau tidak mengenal lagi aku, Tumenggung Suramenggala, Ayah tirimu yang menyayangmu?"
Puspa Dewi memandang ke arah bekas ayah tirinya itu dengan pandang mata tajam menusuk. "Ki Suramenggala, tidak perlu Andika banyak cakap lagi! Kalau saja aku belum menemukan kembali Ibuku dalam keadaan selamat, sekarang juga aku pasti sudah turun tangan menghajar Andika!"
Mendengar ucapan Ini, Suramenggala menjadi pucat dan tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Kini Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Puspa Dewi, kalau Andika hendak bertemu dengan Kanjeng Adipati Llnggawljaya, keinginanmu itu sia-sia karena beliau sedang tidak berada di Istana."
Mendengar ucapan Resi Bajrasakti yang nadanya sungguh-sungguh itu, Puspa Dewi menduga bahwa kakek itu tidak berbohong. "Kalau begitu, biarkan aku bertemu dan bicara dengan isterinya, Dewi Mayangsari...!"
"Sayang sekali, kini beliau juga sedang bepergian, tidak berada di istana." Jawab Resi Bajrasakti. "Akan tetapi, ketahuilah, Puspa Dewi, kalau Andika memang ada kepentingan, Andika bisa membicarakan dengan kami bertiga. Aku adalah wakil Kanjeng Adipati dalam urusan pemerintahan Wengker dan Ki Tumenggung Suramenggala ini adalah Ayahanda Kanjeng Adipati sehingga beliau dapat mewakili puteranya. Adapun Ki Surogeni ini adalah Ayahanda Permaisuri Dewi Mayangsari sehingga beliau dapat mewakili puterinya. Nah, kalau kedatangan mu ini membawa urusan penting, kami bertiga dapat mewakili Kanjeng Adipati Llnggawijaya yang Andika tahu juga adalah muridku. Katakanlah, apa yang Andika kehendaki, Puspa Dewi?"
"Hemm, aku tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan Andika, Resi Bajrasakti, atau dengan Ki Suramenggaia ataupun Ki Surogeni. Aku hanya Ingin mencari Adikku Niken Harni karena aku tahu bahwa ia memasuki Wengker dan menurut keterangan Ki Surogeni, ia berada di Istana Wengker. Sekarang, kalian katakan di mana Adikku itu. Aku datang tidak dengan niat bermusuhan. Akan tetapi kalau kalian tidak menyerahkan Adikku, atau kalau kalian mengganggu Adikku, aku tidak akan berhenti sebelum membuat Wengker menjadi karang abang (lautan api)..!"
Ucapan Puspa Dewi dikeluarkan dengan suara lembut, akan tetapi terdengar kering dan mengerikan. Tiga orang tua itu merasakan betapa dalam suara itu terkandung ancaman-ancaman yang sungguh-sungguh, bukan sekadar gertakan.
"Heh, tenanglah, Puspa Dewi. Sebenarnya, mengingat bahwa Andika adalah murid Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri dan Andika dianggap sebagai puterinya dan menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, Andika bukanlah orang luar dan di antara kita ada hubungan. Wura-wuri selalu bersahabat dengan Wengker. Karena itu, marilah kita bicara seperti sahabat dan duduklah, Puspa Dewi."
"Hemm, aku tidak ada urusan dengan Wengker mau pun Wura-wuri, Resi Bajrasakti. Katakan saja di mana adanya Niken Harni."
"Hemm,...! kalau Andika tidak mau menganggap kami sebagai kawan, lalu apa artinya Andika bertanya kepada kami? Kalaupun kami menjawabnya, kalau Andika menganggap kami sebagai musuh, Andika bagaimana dapat percaya keterangan kami? Ingat, terhadap musuh orang dapat saja berbohong, sebaliknya terhadap teman tentu orang tidak akan berbohong."
"Sesukamu akan menganggap aku kawan atau lawan, Resi Bajrasakti. Akan tetapi, mengingat bahwa Andika menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan berkuasa di Wengker, dan Andika berada di sarang sendiri sehingga tidak mendapat tekanan dariku, maka mustahil kalau Andika mau merendahkan diri menjadi seorang pengecut yang berbohong. Aku percaya Andika akan bicara sejujurnya tentang adikku Niken Harni."
Wajah Resi Bajrasakti berubah merah, matanya melotot dan dia marah sekali. Memang tidak ada alasan baginya untuk berbohong karena dia tidak takut kepada Puspa Dewi, bahkan dapat dibilang bahwa saat itu dia yang menguasai keadaan dan dapat menangkap bahkan membunuh gadis itu kalau dia kehendaki. Dia marah mendengar Puspa Dewi bersikap demikian berani dan penuh tantangan.
"Huh, aku pun tidak sudi berbohong kepadamu karena aku tidak takut untuk bicara terus terang. Nah, dengarlah, Puspa Dewi. Niken Harni memang pernah menjadi tamu di Istana Wengker, akan tetapi beberapa hari yang lalu ia dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo...! Nah,... percaya atau tidak, terserah!"
Sepasang mata Puspa Dewi mencorong dan seolah hendak menembus mata Resi Bajrasakti untuk menjenguk isi hatinya. Ia berkata, "Aku percaya kepada Andika, Resi Bajrasakti. Mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni, dan ke mana Adikku dibawa pergi?"
"Hoa-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Apakah Andika belum mendengar tentang watak aneh luar biasa dari Nini Bumigarbo, Puspa Dewi? Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya dan mengapa ia melakukan sesuatu? Ia datang dan membawa pergi Niken Harni, siapa yang dapat melarang dan siapa pula yang dapat bertanya? Dia datang dan pergi begitu saja. Yang kami ketahui hanyalah bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo. Kalau Andika ingin mengetahui sebabnya, carilah Nini Bumigarbo dan tanyalah sendiri kepadanya..!"
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Nini Bumigarbo, seorang datuk wanita yang dikabarkan orang sebagai manusia setengah dewa atau setengah iblis yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bahkan ketika ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma, pertapa itu pernah berkata kepadanya bahwa di antara para tokoh sakti pada waktu itu, kiranya yang dapat dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya adalah Sang Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo! Akan tetapi sungguh aneh sekali, mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni? Resi Bajrasakti benar ketika berkata bahwa tidak ada yang tahu apa yang dilakukan nenek aneh itu dan mengapa ia melakukannya.
"Hemm, baiklah. Aku percaya keterangan Andika bahwa Adikku itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo, Resi Bajrasakti. Aku akan mencarinya. Akan tetapi, aku teringat bahwa kabarnya Dewi Mayangsari adalah murid Nini Bumigarbo. Tentu ia tahu mengapa dan ke mana Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo."
"Agaknya Andika belum tahu benar siapa Nini Bumigarbo. Bahkan kepada muridnya sendiri pun ia tidak pernah memberitahu. Sepengetahuanku, Kanjeng Puteri Dewi Mayangsari juga tidak tahu ke mana Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo."
"Sudahlah, aku tidak ingin merepotkan mu lebih jauh. Aku pamit pergi dan terimakasih atas keteranganmu, Resi Bajrasakti...!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan tamu.
"Puspa Dewi, engkau sudah berani memasuki Wengker, tidak boleh pergi begitu saja...! Engkau harus tunggu pulangnya Adipati Linggawijaya dan isterinya" kata Ki Suramenggala.
Akan tetapi Puspa Dewi tidak mempedulikan ucapan bekas ayah tirinya itu dan melangkah keluar. Akan tetapi setibanya di pendapa istana, ia melihat ratusan orang prajurit sudah siap siaga dengan senjata tombak, golok, atau pedang di tangan, menutup semua jalan keluar. Bahkan di sana, di halaman yang merupakan alun-alun, masih terdapat sedikitnya seribu orang perjurit.
"Ha-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa-tawa dan muncul dari dalam ruangan tamu bersama Ki Surogeni dan Tumenggung Suramenggala. Mereka bertiga tertawa-tawa. "Puspa Dewi, Andika tidak boleh pergi sebelum Sang Adipati dan isterinya pulang...! Andaikata Andika bersayap sekalipun, tidak mungkin Andika dapat terbang lolos dari Wengker... ha-ha-ha!"
"Untuk keluar dari Wengker, aku tidak perlu terbang, Resi Bajrasakti...! Haiiitttt...!" Tiba-tiba Puspa Dewi mengeluarkan pekik melengking.
Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa dan ia sudah mencabut pedangnya Kyai Candrasa Langking dan memutarnya dengan cepat sambil menerjang ke arah Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung dibarengi angin dahsyat menyambar-nyambar dan didorong pula oleh getaran pekik yang amat hebat itu.
Resi Bajrasakti cepat melompat ke belakang dan melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga sakti sambil mencabut dan memutar cambuknya yang bergagang gading. Juga Ki Surageni yang sudah merasakan kehebatan gadis itu, cepat melompat ke belakang sambil mencabut kerisnya. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat dari Puspa Dewi itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu ia sudah menggunakan tangan kirinya untuk menghantam tengkuk Ki Suramenggala yang sama sekali tidak menduganya karena tadi dia tidak diserang.
"Plakk...!"
Tubuh Ki Suramenggala seketika menjadi lemas setengah lumpuh dan dia sama sekail tidak berdaya ketika tangan kiri Puspa Dewi mencengkeram baju tumenggung yang mewah dan tebal itu pada punggungnya. Sambil menempelkan pedang di leher bekas ayah tirinya itu Puspa Dewi menghardik.
"Resi Bajrasakti..! Kalau Andika tidak memerintahkan semua prajurit agar mundur dan tidak boleh mengganggu kepergianku, aku akan memenggal leher Ki Suramenggala ini lebih dulu sebelum aku mengamuk dan menjadikan tempat ini sebagai banjir darah...!"
Tentu saja Ki Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Sedikit saja pedang yang menempel di kulit lehernya itu digoreskan, nyawanya tidak akan tertolong lagi dan dia akan mati seperti ayam disembelih. Saking takutnya, tubuhnya yang setengah lumpuh itu menggigil.
"Puspa Dewi... ingat... aku adalah ayahmu... ampunilah aku, jangan bunuh aku, Puspa Dewi..."
Puspa Dewi tidak menjawab, akan tetapi tangan kirinya semakin kuat mencengkeram punggung baju itu sehingga kini leher baju itu mencekik leher Ki Suramenggala sehingga dia menjadi semakin ketakutan.
Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni terkejut dan saling pandang. Mereka berdua maklum sepenuhnya bahwa tidak mungkin mereka membiarkan gadis itu membunuh Ki Suramenggala. Kalau tumenggung itu tewas, tentu Adipati Linggawijaya akan marah sekali dan menyalahkan mereka. Gadis itu bukan hanya menggertak kosong.
Sekali pedangnya bergerak, Ki Suramenggala tentu tewas dan kalaupun akhirnya mereka mampu membunuh gadis itu dengan keroyokan ribuan pasukan, yang sudah pasti gadis itu tidak akan roboh sebelum ia membunuh banyak sekali orang. Gertakannya merupakan ancaman yang mengerikan. Akan benar-benar terjadi banjir darah di Wengker kalau mereka tidak menuruti kehendaknya.
"Resi Bajrasakti, bagaimana tanggapan mu? Jangan membuat aku kehilangan kesabaran...!" Bentak Puspa Dewi sambil mendorong Ki Suramenggala keluar dari pendapa.
Para prajurit yang berada paling depan di pendapa itu hanya mengacung-acungkan senjata mereka, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyerang, pertama karena meiihat Ki Tumenggung Suramenggala dijadikan sandera, kedua karena mereka tidak mendapat perintah dari Resi Bajrasakti.
Resi Bajrasakti merasa ngeri sendiri membayangkan ada prajurit yang menyerang Puspa Dewi dan menyebabkan gadis itu membunuh Tumenggung Suramenggala dan mengamuk. Dia lalu berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua prajurit, juga oleh mereka yang berkumpul di alun-alun halaman istana.
"Haiiii Para prajurit dan para perwira...! Dengar perintah kami...! Jangan halangi Puspa Dewi keluar dari kota raja!"
Setelah berteriak demikian Resi Bajrasakti berkata kepada Puspa Dewi.
"Nah, Puspa Dewi, Andika boleh pergi, akan tetapi Andika harus memegang janji dan membebaskan Ki Tumenggung Suramenggala."
"Resi Bajrasakti, aku bukan orang yang suka melanggar janji. Biarpun Ki Suramenggala pantas dihukum atas kejahatannya terhadap ibuku, namun aku akan membebaskannya kalau aku sudah terlepas dari kepungan pasukanmu."
Setelah berkata demikian, dengan sikap tenang namun waspada, Puspa Dewi mendorong Ki Suramenggala dan melangkah keluar dari pendapa istana, kemudian terus menyeberangi alun-alun di antara deretan prajurit yang berkumpul di kanan kiri. Para prajurit itu hanya dapat memandang dengan kagum akan tetapi tidak ada yang berani bergerak. Juga ketika Puspa Dewi yang menodong Ki Suramenggala itu keluar dari pintu gerbang kota kadipaten, tidak ada seorang pun berani menghalanginya.
Sebetulnya banyak para perwira dan senopati merasa penasaran karena mereka merasa yakin bahwa apabila mereka diperbolehkan dan maju menyerbu, mustahil gadis itu mampu lolos dari pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani melanggar perintah Resi Bajrasakti tadi. Juga mereka semua merasa ngeri, kalau sampai Ki Suramenggala tewas dan mereka dipersalahkan sebagai penyebabnya, tentu Sang Adipati akan marah sekali dan menghukum mereka. Maka, biarpun di situ berkumpul banyak sekali prajurit, tak seorang pun berani bergerak menghalangi gadis yang keluar dari kota Kadipaten Wengker itu.
Setelah tiba di luar kota dan tidak ada lagi prajurit berjaga, Puspa Dewi melepaskan Ki Suramenggala dan berkata, "Ki Suramenggala, kalau Andika berani lagi mengganggu ibuku, aku tidak akan mengampuni mu!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan Ki Suramenggala yang kini dapat bernapas lega. Dia terbebas dari ancaman maut, akan tetapi juga dia merasa kehilangan muka karena tadinya Ki Tumenggung Suramenggala dikenal selain sebagai ayah kandung Sang Adipati Wengker, juga sebagai seorang yang sakti. Maka, dia tidak kembali ke istana, melainkan diam-diam pulang ke rumahnya sendiri…..
********************
Pada awal kisah ini, Empu Bharada dalam samadhinya menerima wangsit (penglihatan batin) betapa hawa angkara murka dan nafsu-nafsu daya rendah menimbulkan kegelapan menyelimuti Kahuripan. Penglihatan batin ini dia artikan sebagai mala petaka yang mengancam Kahuripan, membuat hati sang pertapa yang arif bijaksana ini khawatir sungguhpun dia menyerahkan segalanya kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi dan merasa yakin bahwa Yang Maha Kuasa pasti akan menolong dan membebaskan Kahuripan dari kehancuran akibat serangan bencana itu.
Apa yang dikhawatirkan Sang Empu Bharada akhirnya terjadi juga. Adipati Wengker, Linggawijaya dan isterinya, Dewi Mayangsari, pergi untuk membujuk kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk sekali lagi berusaha menghancurkan Kahuripan, musuh bebuyutan mereka. Adipati Linggawijaya pergi berkunjung ke Kerajaan Parang Siluman dan diterima dengan gembira Ratu Parang Siluman, yaitu Nyi Durgamala yang biarpun usianya sudah lebih dari empat puluh tahun, namun masih tampak cantik seperti kedua orang anak perempuannya, yaitu Lasmini, bekas selir Ki Patih Narotama yang berusia dua puluh empat tahun dan Mandari, bekas selir Sang Prabu Erlangga yang berusia dua puluh dua tahun.
Tentu saja uluran tangan Adipati Wengker untuk bekerja sama menghancurkan Kahuripan itu diterima baik oleh tiga orang wanita cantik yang menjadi penguasa di Kerajaan Parang Siluman itu. Kahuripan atau lebih tepat lagi, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama merupakan musuh-musuh besar mereka. Dalam kisah Sang Megatantra diceritakan betapa Lasmini dan Mandari yang ketika itu masih gadis menjadi selir Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga.
Kalau Raja dan Patih Kahuripan itu mengambil mereka sebagai selir karena kecantik-jelitaan yang luar biasa dari kakak-beradik ini dan juga karena Sang Prabu Erlangga berniat mengakhiri permusuhan itu dengan jalan pernikahan, sebaliknya dua orang kakak-beradik itu mau menjadi selir mereka dengan maksud untuk menghancurkan Raja dan Patih itu dari dalam! Memang kedua orang gadis itu kemudian jatuh cinta kepada suami mereka, namun mereka tetap melaksanakan cita-cita mereka menghancurkan Kahuripan. Namun usaha yang didukung kerajaan-kerajaan lain itu ternyata gagal dan mereka berdua bahkan diusir dari Kahuripan.
Tentu saja Lasmini dan Mandari yang memiliki kesaktian itu menjadi sakit hati, dan mendendam kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Hanya saja, mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena Raja dan Patih Kahuripan itu sakti mandraguna, memiliki banyak senopati yang sakti, didukung pula oleh para satria yang setia kepada Kahuripan, serta memiliki pasukan yang kuat. Maka, ketika Linggawijaya, Adipati Wengker datang berkunjung dan menawarkan kerjasama, mereka menyambutnya dengan gembira.
Timbul pula harapan baru dalam hati mereka untuk dapat membalas dendam dan menghancurkan Kahuripan, apa lagi kini mereka menganggap Kerajaan Wengker menjadi kuat setelah adipatinya baru, yaitu Linggawijaya yang dulu pernah pula mengadakan hubungan gelap dengan Lasminil Hal ini diceritakan dalam kisah Sang Megatantra. Baik Lasmini mau pun Mandari sudah tahu akan kesaktian Linggawijaya yang dulu bernama Linggajaya, murid Resi Bajrasakti itu.
Sejak diusir dari Kahuripan, Lasmini dan Mandari kembali ke Parang Siluman dan membantu Ratu Durgamala, ibu mereka yang janda, mengurus Kerajaan Parang Siluman. Dua orang puteri itu setelan diusir dari Kahuripan, menuruti watak mereka yang cabul seperti ibu mereka. Mereka adalah hamba-hamba dari nafsu mereka sendiri, dan setelah berpisah dari Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang menjadi suami mereka, kakak beradik ini tidak tahan untuk hidup sendiri tanpa pria.
Mulailah mereka mengumbar nafsu, mencari dan berganti-ganti kekasih karena mereka memang pembosan. Ibu mereka, Ratu Durgamala, membiarkan saja kelakuan dua orang pulennya karena ia sendiripun berwatak seperti itu. Berpisah dari suaminyat yang kini menjadi Bhagawan Kundolomuko, Ratu Durgamala juga berganti-ganti kekasih, pemuda-pemuda tampan.
Bahkan ibu dan dua orang puterinya itu kini menjadi penyembah-penyembah Bathari Durga, agama yang dipimpin oleh bekas suami ratu itu sendiri, yaitu Bhagawan Kundolomuko. Mereka juga menambah ilmu mereka dengan ilmu sihir yang menjadi keistimewaan Bhagawan Kundolomuko sebagai penyembah Bathari Durga.
Pada waktu itu, Kerajaan Parang Siluman yang sebetulnya wilayahnya lebih kecil dibandingkan Wengker atau Wura-wuri, merupakan kerajaan kecil atau kadipaten yang kuat karena memiliki banyak orang yang sakti mandraguna. Ratu Durgamala sendiri adalah seorang janda cantik yang sakti. Kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari, juga memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi dibandingkan tingkat ibu mereka.
Masih ada lagi bekas suami Sang Ratu, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang kini menjadi Ketua Agama Durgadharma di kerajaan itu. Juga masih diperkuat oleh Ki Nagakumala, yaitu kakak kandung Ratu Durgamala yang juga memberi gemblengan kesaktian kepada Lasmini dan Mandari, dua orang keponakannya. Ki Nagakumala ini adalah bekas suami Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul.
Maka, biarpun Kerajaan Parang Siluman tidak berapa besar, pasukannya yang tidak besar jumlahnya itu amat kuat karena para prajuritnya membentuk pasukan-pasukan siluman yang pandai menyerang dengan ilmu sihir dan tenung.
Demikianlah sepintas keadaan Kerajaan Parang Siluman dengan para tokohnya yang sejak turun-temurun menjadi musuh keturunan Mataram yang sekarang menjadi Kerajaan Kahuripan. Maka, kunjungan Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker tentu saja disambut gembira oleh para pimpinan Parang Siluman, terutama sekali Ratu Durgamala dan kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari. Mereka menyambut adipati muda yang tampan itu dengan pesta. Kebetulan sekali pada malamnya adalah malam bulan purnama dan seperti biasa, pada bulan purnama diadakan upacara pemujaan Bathari Durga.
Sambil berpesta, Adipati Linggawijaya disuguhi tari-tarian yang menggairahkan, bahkan dalam kesempatan itu, Puteri Lasmini dan Mandari yang cantik molek itu memamerkan kepandaian mereka menari. Dengan pakaian indah namun menggairahkan karena pakaian tembus pandang itu membuat tubuh mereka yang menggairahkan, dengan lekuk-lengkung sempurna itu tampak jelas. Apa lagi tariari yang dilakukan dengan tubuh yang lentur dan indah itu menggeliat-geliat bagaikan ular kepanasan, membuat Linggawijaya yang menonton menjadi terangsang. Ditambah lagi dengan minuman keras yang memabokkan.
Akan tetapi, dia tidak mempunyai pilihan lain karena sejak dia datang, Ratu Durgamala sudah mengambil keputusan untuk tidak menyia-nyiakan kehadiran adipati yang gagah dan tampan ini untuk diajak bersenang-senang setelah ada persetujuan bekerjasama menghancurkan Kahuripan. Sehabis pesta malam itu, Ratu Durgamala menyekap Linggawijaya dalam kamarnya. Lasmini dan Mandari tentu saja harus mengalah terhadap ibunya dan mereka mencari pasangan lain terdiri dari para pemuda yang selalu siap untuk melayani mereka.
Sampai tiga hari tiga malam Adipati Linggawijaya tinggal di Istana Parang Siluman. Selain setiap hari bersenang-senang dengan Ratu Durgamala dan kedua orang puterinya, Linggawijaya juga mengadakan perundingan untuk mengadakan pertemuan besar antara semua kadipaten atau kerajaan kecil yang menentang Kahuripan. Setelah itu, dia lalu melanjutkan perjalanannya ke Kadipaten Siluman Laut Kidul.
Dibandingkan tiga buah kerajaan lain, yaitu Kerajaan Wengker, Kerajaan Wura wuri, dan Kerajaan Parang Siluman, maka kerajaan di tepi laut yang disebut Kerajaan Siluman Laut Kidul dapat dibilang kecil. Daerahnya tidak luas, hanya sepanjang pantai sampai ke pegunungan, memanjang dari barat ke timur, di sebelah timur Kerajaan Parang Siluman. Namun, kerajaan ini dipimpin keluarga seperguruan yang sakti mandraguna.
Ratu Mayang Gupita yang menjadi penguasa di Kerajaan Siluman Laut Kidul terkenal sekali dan disegani para pimpinan kerajaan lain. Ia seorang wanita berusia sekitar lima puluh dua tahun, dapat disebut seorang raseksi (raksasa wanita) karena tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut. Wajahnya menyeramkan, berbentuk serba bulat dan besar, baik itu matanya, hidungnya, telinganya atau mulutnya.
Bahkan di kedua sudut bibirnya tampak taring menonjol. Wanita tua dan jelek rupanya ini mewah sekali. Tubuhnya mengenakan pakaian yang serba indah dan perhiasan emas permata memenuhi kaki tangan dan lehernya. Juga lagaknya genit seperti seorang perawan manja. Akan tetapi ia sakti mandraguna, juga terkenal kejam terhadap musuh-musuhnya.
Ratu Mayang Gupita telah janda, bercerai dari suaminya yang bukan lain adalah Ki Nagakumala, kakak Ratu Durgamala dari Parang Siluman yang juga menjadi guru Puteri Lasmini dan Mandari. Biarpun kini Ki Nagakumala berada di Parang Siluman dan membantu adiknya, namun hubungannya dengan bekas isterinya, masih tetap baik karena keduanya mempunyai musuh yang sama, yaitu Kerajaan Kahuripan.
Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul ini tidak mempunyai anak, dan sesungguhnya sejak muda ia tidak begitu suka kepada pria, karena tidak pernah ada pria mengaguminya. Pernikahannya dahulu dengan Ki Nagakumala juga hanya untuk menyatukan kedua kerajaan agar kedudukan mereka kuat. Akan tetapi karena ratu raseksi yang biarpun pesolek dan genit ini tidak suka kepada pria, maka pemihakan itu akhirnya gagal dan ia bercerai dari suaminya yang lebih suka bermesraan dengan wanita lain daripada dengan isterinya yang berwajah menyeramkan itu.
Ratu Mayang Gupita memerintahkan Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan tangan besi. Ia dibantu tiga orang yang juga sakti mandraguna dan bersama Sang Ratu, mereka merupakan keluarga seperguruan yang kesemuanya selain ahli ilmu kanuragan, juga pandai ilmu sihir. Yang pertama adalah paman guru dari Sang Ratu bernama Bhagawan Kalamisani. Kakek ini berusia enam puluh lima tahun dan menjadi guru sihir Ratu Mayang Gupita. Tubuhnya kurus kecil dan bongkok, mirip Sang Bhagawan Durna dari kisah wayang Maha Bharata. Akan tetapi kakek ini merupakan lawan yang amat berbahaya karena memiliki bermacam-macam ilmu sihir yang dahsyat.
Orang ke dua adalah Ki Naga jaya yang berusia empat puluh lima tahun, bertubuh kecil kurus. Dia adalah adik seperguruan Ratu Mayang Gupita, ahli bersilat dengan senjata ruyung dan juga pandai bermain sihir. Orang ke tiga adalah Ki Nagarodra, adik dari Nagajaya, berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar. Senjatanya sebuah klewang (golok) dan seperti kakaknya, dia pun ahli sihir dan menjadi adik seperguruan Sang Ratu.....
Komentar
Posting Komentar