NURSETA SATRIA KARANG TIRTA : JILID-09
"Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan hamba semata menolak anugerah yang
Paduka berikan kepada hamba. Hamba menghaturkan banyak terima kasih dan
hamba merasa berbahagia sekali atas kemurahan hati Paduka kepada hamba.
Akan tetapi, Gusti, pada waktu ini hamba masih ingin bebas dari semua
ikatan. Hamba ingin merasakan kebahagiaan hidup berkumpul dengan kedua
orang tua hamba, hal yang sejak kecil hamba rindukan. Walau pun hamba
tidak menjadi seorang punggawa, namun setiap saat hamba siap membela
kerajaan Paduka apabila ada pihak yang mengganggu, Gusti."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, tersenyum. "Kami dapat memaklumi pendirianmu itu, Puspa Dewi. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apabila kami membutuhkan bantuan. Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka yang berbentuk patrem Ini disebut Sang Cundrik Arum, hasil tempaan Sang Empu Ramahadi di jaman Jawa Kandha. Pernah menjadi pusaka ageman (pakaian) Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi."
Puspa Dewi merasa senang, bangga dan terharu menerima pusaka yang tak ternilai harganya itu. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi. Senopati Yudajaya atau Prasetyo, ayah Puspa Dewi dan seluruh keluarga Sang Tumenggung ikut merasa senang. Kemudian keluarga itu berkemas dan pada hari yang sudah mereka pilih dan tentukan, berangkatlah keluarga yang terdiri dari Tumenggung Jayatanu, Nyai Tumenggung, Senopati Yudajaya, Dyah Mularsih, Niken Harni, Puspa Dewi dan selosin prajurit pengawal berikut kusirnya, dalam dua buah kereta, menuju ke dusun Karang Tirta…..
********************
Dusun Karang Tirta kini merupakan dusun yang jauh lebih makmur dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Rumah-rumah para penduduk telah diperbaiki semua. Juga melihat pakaian mereka dan keadaan kesehatan tubuh mereka, mudah diketahui bahwa seluruh penduduk dusun itu sudah terangkat dari lembah kemiskinan.
Setidaknya mereka sudah tercukupi kebutuhan sandang-pangan-papan (pakaian, makan, dan rumah tinggal). Semua ini terjadi dengan cepat berkat kebijaksanaan Ki Lurah Pujosaputro, pengganti Ki Lurah Suramenggala yang dicopot oleh Ki Narotama kemudian diusir dari dusun Karang Tirta.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa kemakmuran tidak jatuh begitu saja dari langit! Kebutuhan hidup manusia tidak begitu saja disediakan Sang Hyang Widhi, walau pun jelas bahwa semua bahannya memang hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Sang Hyang Widhi menciptakan tanah, air, hawa udara, sinar matahari, juga benih tanaman-tanaman. Semua benda ini tidak dapat dibuat oleh manusia dan memang sudah dianugerahkan kepada manusia untuk kepentingan hidup manusia.
Namun, semua benda itu tidak ada gunanya kalau tidak diolah, dikerjakan, diusahakan oleh manusia sendiri. Jasmani kita, berikut hati akal pikiran, juga merupakan ciptaan Yang Maha Kasih, dan setiap bagian tubuh kita sudah dibuat sedemikian rupa sehingga cocok dan tepat untuk dikerjakan demi kesejahteraan hidup kita. Berkat dari Yang Maha Kasih Itu tidak dapat dipisahkan dengan usaha kita, merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan harus bekerja sama untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita.
Semua bahan yang telah disediakan oleh-Nya itu tidak akan ada gunanya kalau tidak kita olah dan kerjakan, yaitu kita cangkul, kita airi, kita pupuk, kita pelihara dan rawat dengan baik. Sebaliknya, betapa hebat pun kita berusaha, tanpa adanya satu saja dari semua bahan yang sudah disediakan oleh-Nya itu, juga tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Itu merupakan tugas pribadi untuk mempertahankan hidup, yaitu bekerja!
Akan tetapi kita hidup bermasyarakat, bernegara, berpemerintahan, terdiri dari banyak orang. Para penduduk Karang Tirta terdiri dari ratusan orang. Masyarakat perlu diatur, dengan hukum-hukum agar tidak kacau dan saling berebut. Jelas bahwa kehidupan rakyat diatur oleh hukum, agar tertib, agar adil dan membawa rakyat kepada kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang diidamkan setiap orang di mana pun di dunia ini.
Apakah adanya peraturan hukum menjamin datangnya kemakmuran rakyat? Hukum adalah barang mati! Karena itu, tangan-tangan yang memegang dan menguasai pelaksanaan hukum itulah yang sepenuhnya diserahi wewenang dan tugas untuk memakmurkan rakyatnya. Jelas, ditangan para pemimpinlah terletak kunci untuk membuka pintu kemakmuran bagi rakyatnya.
Di Karang Tirta, orang pertama yang paling berkuasa adalah Sang Lurah. Sesungguhnya, di tangannyalah tergenggam nasib para penduduk Karang Tirta. Ketika Ki Lurah Suramenggala menjadi lurah, dia bukan merupakan seorang pemimpin yang baik. Dia menggunakan semua sumber hasil tanah dan sumber tenaga manusia menjadi sumber penghasilan yang berlimpahan untuk dirinya sendiri, untuk dia dan keluarganya.
Rakyat diperas habis-habisan sehingga kehidupan penduduk Karang Tirta berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kehidupan Sang Lurah dan orang-orang yang dekat dengannya, sanak saudara dan para pembantunya, hidup bermewah-mewah dan berlebihan, kaya raya dan makmur. Padahal Ki Suramenggala dan para pembantunya selalu menganjurkan agar penduduk Karang Tirta berprihatin, hidup hemat dan serba kekurangan demi pembangunan Karang Tirta untuk kemakmuran kehidupan anak cucu kelak!
Semua pembantu lurah, dari carik sampai jagabaya dan pamong yang paling rendah pangkatnya, tidak ada yang jujur. Semua memeras rakyat dengan dalih pembangunan dusun, akan tetapi uangnya mereka kantongi sendiri. Para jagabaya yang semestinya menjaga keamanan penduduk, bahkan menjadi penggangu keamanan. Hukum yang dilaksanakan adalah hukum lurah dan para pembantunya, mudah saja memutar-balikkan fakta, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi keuntungan para penguasa itu.
Semua ini terjadi karena Ki Lurah Suramenggala tidak menjadi tauladan yang baik sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dia sebagai orang nomor satu di Karang Tirta, bertangan kotor melakukan penindasan, mengandalkan kekuasaan untuk melaksanakan segala kehendaknya, menumpuk harta tanpa mempedulikan kemiskinan penduduk.
Kalau pemimpin tertinggi di dusun Karang Tirta itu bertangan kotor, bagaimana mungkin para pembantunya, para pamong praja, dapat bertangan bersih? Mereka juga melakukan segala macam kejahatan demi menum-puk harta. Atasannya tidak mungkin berani menegur karena atasan itu, sendiri tangannya kotor,demikian atasannya lagi sampai kepada yang paling atas di dusun itu, yakni Ki Lurah Suramenggala! Jadilah semua pamong itu bertangan kotor!
Untunglah bahwa Kerajaan Kahuripan dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, berhati jujur dan bersikap bijaksana. Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, ketika melihat seorang bawahannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala, bertangan kotor, langsung saja dia berani memberantasnya. Dia melakukan pembersihan tanpa sungkan karena dia sendiri bertangan bersih!
Atas pilihan penduduk, disetujui oleh Ki Patih Narotama, dusun Karang Tirta kini dipimpin oleh Ki Lurah Pujosaputro. Lurah Pujosaputro ini adalah seorang lurah yang baik, pemimpin yang bijaksana. Dia selalu ingat bahwa dia menjadi lurah karena ada rakyat yang memilihnya, dan rakyat memilihnya karena rakyat percaya bahwa dia akan menjadi pemimpin yang baik, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat dusun Karang Tirta. Dan ternyata harapan penduduk Karang Tirta tidak sia-sia.
Ki Lurah Pujosaputro benar-benar mendahulukan kepentingan penduduk daripada kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak mau menumpuk harta dari perasan keringat rakyat, tidak mau memperkaya diri sendiri dan hasil tanah pedusunan dinikmati penduduk yang mengolahnya. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya hidup biasa saja, tidak berlebihan dan tentu saja sebagai lurah, juga tidak kekurangan.
Karena kebijaksanaannya ini, penduduk suka dan hormat kepadanya. Ada saja yang mengirimi hasil palawija, buah-buahan dan hasil usaha lain kepada keluarga Ki Lurah. Kehidupan penduduk Karang Tirta meningkat dengan pesat dan semua orang merasa gembira. Kini penduduk Karang Tirta tidak merasa iri kepada dusun-dusun lain yang makmur karena kebijaksanaan lurah masing-masing.
Karena lurahnya bertangan bersih, bawahannya, para pamong, tidak ada yang berani bermain kotor dan karena pamong prajanya jujur dan adil, rakyatnya juga senang dan menaati semua peraturan dan hukum yang diberlakukan sama rata, bukan untuk menindas yang bawah dan memenangkan yang atas.
Akan tetapi, menjadi sebuah kenyataan yang membuat kebanyakan orang, terutama yang imannya kurang penuh, menjadi penasaran, betapa banyaknya terjadi orang-orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang yang baik budi, mengalami bencana dan kesengsaraan, sebaliknya orang yang angkara murka dan mementingkan diri sendiri dan suka melakukan perbuatan jahat, hidupnya bergelimang kesenangan dan kemuliaan! Tentu saja ini sebetulnya hanya menurut pandangan jasmaniah belaka.
Pada suatu malam, belasan orang yang berpakaian serba hitam dan bersikap sombong dan bengis memasuki dusun Karang Tirta. Ketika empat orang pemuda dusun yang bertugas jaga malam menghadang dan bertanya karena melihat betapa dua belas orang itu tidak mereka kenal dan di antara mereka terdapat dua orang yang berpakaian mewah, rombongan itu tanpa banyak cakap lagi menyerang dan merobohkan empat orang pemuda itu sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena setelah dipukul pingsan!
Rombongan terdiri dari dua belas orang itu lalu melangkah lebar dan cepat menuju rumah Ki Lurah Pujosaputro. Dua orang pemimpin rombongan yang berpakaian mewah itu adalah Wirobento yang tinggi besar bersenjata pecut berujung besi-besi kecil dan Wirobandrek yang juga tinggi besar dengan senjata sepasang kolor merah. Kakak beradik ini merupakan sepasang warok yang terkenal sesat, berusia sekitar tiga puluh dua dan tiga puluh tahun.
"Adi Bandrek, bagaimana kalau gadis sakti Puspa Dewi itu berada di Karang Tirta ini?" kata Ki Wirobento dengan suara yang membayangkan perasaan gentar.
"Kakang Bento, mengapa khawatir? Hal ini tidak mungkin karena para penyelidik sudah melaporkan dengan jelas bahwa saat ini gadis itu tidak berada di sini. Kita aman! Pula, bukankah ia telah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri?"
"Hemm, tidak mungkin ia dapat diterima di Wura-wuri setelah ia mengkhianati persekutuan di mana Wura-wuri juga terlibat itu. Aku khawatir kalau-kalau para penyelidik salah duga dan ia nanti akan melakukan pengejaran terhadap kita. Ia sakti mandraguna, Bandrek, kita sama sekali bukan tandingannya."
"Ah, Kakang Bento, tidak perlu takut. Asalkan kita sudah dapat meringkus Nyi Lasmi, Puspa Dewi tidak akan berani berkutik. Kita jadikan Ibunya itu sebagal sandera dan kita lihat saja, apa yang akan dapat ia lakukan!"
"Kamu benar, Bandrek. Mari kita bereskan mereka dan tangkap Nyi Lasmi sesuai dengan pesan Ki Suramenggala!"
Setelah tiba di rumah Ki Lurah Pujosaputro, dua belas orang itu lalu menyerbu. Mereka mendobrak dan menjebol pintu lalu menerjang ke dalam rumah besar itu. Lima orang pemuda yang sedang berjaga di samping rumah, cepat berlari mendatangi, akan tetapi mereka berlima segera roboh disambut serangan orang-orang yang rata-rata memiliki kedigdayaan itu.
Dua belas orang itu lalu mengamuk. Sesuai dengan perintah yang mereka terima dari Ki Suramenggala yang kini telah berada di Kerajaan Wengker sebagai orang yang tinggi kedudukannya sebagai ayah Sang Adipati Linggawijaya, mereka membacok siapa saja yang mereka temukan di dalam rumah kelurahan itu.!
Ketika Ki Pujosaputro dan isterinya muncul dari kamar, mereka berdua disambut bacokan golok yang membuat mereka tewas seketika. Ketika mereka menemukan Nyi Lasmi, mereka meringkusnya dan Ki Wirobandrek segera memanggul wanita yang telah diikat kaki tangannya itu di atas pundaknya dan dua belas orang itu berusaha mencari orang-orang lain yang menjadi penghuni rumah itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan gaduh di luar kelurahan dan dua belas orang itu ketika melihat betapa puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pemuda dusun dating sambil membawa segala macam senjata dengan sikap mengancam, mereka menjadi gentar juga. Mereka hanya dua belas orang dan sungguhpun mereka merupakan jagoan-jagoan tangguh, namun menghadapi demikian banyak orang mereka menjadi ketakutan dan segera dua belas orang itu melarikan diri sambil memutar senjata mereka untuk menjaga diri.
Para pemuda dusun Karang Tirta, setelah mengetahui bahwa gerombolan itu melakukan pembunuhan terhadap para penghuni rumah Ki Lurah, segera melakukan pengejaran sambil membawa obor. Akan tetapi, dua belas orang itu telah lenyap dalam hutan yang lebat. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk dusun Karang Tirta berduka setelah mengetahui bahwa Ki Lurah Pujosaputro yang mereka sayangi dan hormati telah dibunuh. Juga semua keluarganya dan para pelayan. Hanya ada seorang pelayan wanita yang lolos dari maut karena ia bersembunyi di tempat gelap sambil mengintai ketakutan. Gerombolan itu tidak melihatnya maka ia selamat.
Setelah mereka mengadakan penelitian, ada enam orang pemuda yang berjaga malam tewas, lainnya luka-luka, dan penghuni rumah kelurahan itu hanya seorang yang selamat, yang lainnya, Ki Lurah Pujosaputro dan isterinya serta keluarganya yang berjumlah sembilan orang berikut pelayan, semua tewas! Mereka juga mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi lenyap, dan ada yang melihat malam tadi bahwa wanita itu diculik, dipanggul dan dilarikan penjahat. Gegerlah dusun Karang Tirta!
Semua penduduk wanita menangisi musibah itu, dan yang laki-laki marah dan penasaran, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena ada yang mendengar percakapan para gerombolan itu bahwa mereka adalah orang-orang Kerajaan Wengker, anak buah Ki Lurah Suramenggala yang datang untuk membalas dendam dan menculik Nyi Lasmi yang dulu menjadi selirnya kemudian tidak mau ikut ketika Ki Sura-menggala terusir keluar dari Karang Tirta.
Para penduduk yang berkabung itu hanya dapat merawat semua jenazah dan menguburkannya. Ki Lurah Warsita, lurah dari Karang Sari yang terletak dekat Karang Tirta dan merupakan lurah yang baik dan menjadi sahabat Ki Lurah Pujosaputro, begitu mendengar musibah itu, cepat datang dan mengatur sendiri semua urusan di Karang Tirta.
Juga Ki Lurah Warsita lalu mengumpulkan para pemuda Karang Tirta dan karang Sari untuk bersatu melakukan penjagaan terutama di waktu malam untuk melawan kalau-kalau para pengacau itu datang lagi. Dia juga segera mengirim laporan tentang musibah itu ke kota raja Kahuripan. Utusan ke kota raja ini terdiri dari tiga orang, di pimpin oleh Ki Tejomoyo, seorang kakek yang dianggap sebagai sesepuh Karang Tirta.
Akan tetapi baru melakukan perjalanan setengah hari, utusan ini bertemu dengan rombongan terdiri dari dua kereta yang dikawal selosin prajurit. Melihat ini, tiga orang dusun Karang Tirta itu mengenal bahwa seregu prajurit itu adalah prajurit Kahuripan, maka mereka berhenti di tepi jalan dengan membungkuk hormat karena orang yang berada di kereta dan dikawal pasukan itu pasti seorang priyagung (bangsawan).
"Paman Tejomoyo...!"
Tiba-tiba seorang gadis melompat turun dari dalam kereta yang sudah berhenti dan begitu Tejomoyo mengenal siapa gadis yang mengenalinya itu, dia segera menghampiri, lalu berjongkok dan menangis.
"Aduh, Nak ayu Puspa Dewi...!" Dia tidak dapat melanjutkan karena sudah menangis mengguguk sambil mendeprok dan menutupi muka dengan kedua tangan. Dua orang temannya yang juga mengenal siapa gadis itu, memberi hormat dan juga tidak berani bicara, tidak sampai hati menyampaikan berita yang amat menyedihkan itu.
"Paman, ada apakah? Mengapa Paman bersikap begini? Berdirilah Paman dan ceritakan dengan tenang." Puspa Dewi memegang kedua bahu kakek itu dan membantunya bangkit berdiri.
Ki Tejomoyo berusaha menenangkan hatinya dengan menghela napas panjang berulang kali. Akhirnya dia dapat tenang dan menghentikan tangisnya.
"Mala petaka menimpa Karang Tirta..."
"Apa yang terjadi? Puspa Dewi, siapa orang itu dan apa yang terjadi?"
Tumenggung Jayatanu keluar pula dari keretanya dan melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan tinggi, Ki Tejomoyo dan dua orang temannya segera berjongkok dan menyembah.
"Eyang, ini adalah Paman Tejomoyo dan dua orang temannya itu saya kenal sebagai penduduk Karang Tirta pula. Paman Tejomoyo ini adalah Eyang Tumenggung Jayatanu, maka ceritakan apa yang terjadi, jangan membuat kami bingung dan penasaran."
"Ampunkah hamba bertiga, Gusti Tumenggung. Hamba tidak tahu bahwa Paduka yang lewat maka hamba tidak menyambut dengan hormat." kata Ki Tejomoyo dengan sikap hormat.
"Tidak mengapa, Ki Tejomoyo. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Karang Tirta sehingga Andika sampai menangis sedih."
"Aduh, katiwasan, Gusti! Baru kemarin malam terjadinya. Segerombolan orang berjumlah belasan datang menyerbu rumah Ki Lurah Pujosaputro dan mengamuk, membunuhi penghuni rumah kalurahan..."
Puspa Dewi menyambar lengan Ki Tejomoyo dan bertanya dengan nyaring,
"ibuku...! Bagaimana dengan Ibuku...?"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya yang juga sudah turun dan menghampiri mereka berkata. "Dewi tenanglah. Engkau menyakiti lengan Paman ini."
Puspa Dewi sadar dan melepaskan Lengan Ki Tejomoyo yang meringis kesakitan karena lengannya serasa dijepit besi!
"Nyi Lasmi... diculik gerombolan..."
Puspa Dewi berkelebat dan lenyap dari situ. Ia telah menggunakan ilmunya berlari cepat seperti terbang menuju dusun Karang Tirta. Prasetyo berkata kepada Ki Tejomoyo.
"Paman, ceritakan dengan ringkas apa yang telah terjadi."
Dia pun merasa khawatir sekali akan keselamatan Nyi Lasmi. Dengan singkat Ki Tejomoyo menceritakan tentang penyerbuan gerombolan yang membunuh seluruh penghuni rumah Ki Pujosaputro dan hanya seorang pelayan wanita yang lolos dari maut. Juga Nyi Lasmi lenyap diculik gerombolan. Tumenggung Jayatanu marah sekali. Wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan.
"Keparat! Akan kuhajar mereka! Hayo, Prasetyo, kita cepat membalapkan kereta menyusul Puspa Dewi ke Karang Tirta! Dan Andika, Ki Tejomoyo, tadinya hendak pergi kemanakah?"
"Hamba diutus Ki Lurah Warsita dari Karang Sari untuk pergi melaporkan peristiwa itu ke kota raja."
"Kalau begitu lanjutkan perjalananmu dan setelah tiba di sana laporkanlah peristiwa ini kepada Gusti Patih Narotama."
"Baik, Gusti Tumenggung."
Dua buah kereta itu dijalankan lagi dengan cepat menuju Karang Tirta dan tiga orang utusan dari Karang Tirta itu melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja Kahuripan Sementara itu Puspa Dewi telah memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta. Semua orang yang melihatnya menyambut dengan wajah sedih dan segera mengikuti gadis yang cepat lari menuju ke rumah kelurahan itu.
Jerit tangis para wanita menyambut kedatangan Puspa Dewi di rumah itu. Puspa Dewi dikepung banyak orang. Wajah gadis itu agak pucat, akan tetapi ia tetap tenang, lalu ia mengangkat kedua tangan memberi isyarat agar semua orang menghentikan tangis dan suara mereka yang bising.
"Kuharap Andika sekalian berhenti menangis dan saling bicara sendiri. Aku sekarang ingin mendengar keterangan yang sejelasnya tentang peristiwa ini. Siapa yang lebih mengetahui akan peristiwa ini? Aku mendengar Bibi Katmi lolos dari maut, tentu ia lebih mengetahui. Mana Bibi Katmi?"
Nyi Katmi yang tadinya menangis di sudut lalu maju menghampiri Puspa Dewi. la dipersilakan duduk berhadapan dengan Puspa Dewi, sedangkan orang-orang lain tidak gaduh lagi, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah, Bibi Katmi, hapuskan air matamu dan tenanglah. Sekarang ceritakan dengan rinci apa yang telah terjadi kemarin malam."
Nyi Katmi lalu menceritakan dengan suara terharu dan sambil menahan tangisnya. "Malam itu saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika saya keluar dari kamar saya melihat belasan orang berpakaian serba hitam membunuhi semua penghuni rumah dengan kejam. Mereka menggunakan klewang (golok). Karena takut, saya terkulai dan jatuh menelungkup dalam keadaan setengah pingsan. Akan tetapi saya masih dapat melihat Mas Ajeng Lasmi dipanggul seorang penjahat dengan kaki tangan terikat dan mendengar ia menangis dan memaki-maki. Karena tidak tahan melihat banjir darah yang terjadi malam itu, saya tidak dapat bangun dan hanya dapat pura-pura mati sambil menahan tangis. Mungkin mereka mengira bahwa saya telah mati, maka tidak ada yang mengganggu saya."
"Apakah engkau mendengar mereka bicara yang menunjukkan siapa mereka?" tanya Puspa Dewi.
"Saya mendengar percakapan singkat dua orang di antara mereka. Yang memanggul Mas Ajeng Lasmi berkata; ‘Wah, wanita ini masih denok lembut!’ Lalu orang ke dua menjawab, 'Awas, ia itu selir Bendoro Menggung Suramenggala, jangan main-main!' Hanya itulah yang saya dengar."
Wajah Puspa Dewi menjadi merah sekali dan ia mengepal tangan kanannya. "Jahanam Suramenggala yang melakukan ini, keparat!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang usianya sekitar dua puluh enam tahun berkata, "Saya juga mendengar percakapan dua orang tinggi besar yang memimpin gerombolan itu, Mas Ayu..."
Orang ini menderita luka serangan gerombolan dan lengan kanan dan paha kirinya masih dibalut.
"Hemm, bagus, Kakang Canang. Cepat ceritakan!" kata Puspa Dewi sambil memandang pemuda itu.
"Ketika itu saya dan teman-teman melakukan penjagaan di gapura desa ketika dua belas orang berpakaian hitam itu menyerbu masuk. Sebelum dapat berbuat banyak, kami telah mereka serang dan saya pun menderita luka-luka dan roboh. Pada saat itu, saya mendengar dua orang pemimpin mereka bicara. Yang seorang berkata, 'Kita harus berhasil, kalau tidak Gusti Adipati Linggawijaya tentu akan marah kepada kita'. Kemudian orang ke dua berkata, 'Bukan hanya Gusti Adipati, akan tetapi terutama sekali Tumenggung Suramenggala, ayah Gusti Adipati itu, tentu akan menghukum kita. Kabarnya dia lebih kejam dibandingkan puteranya'. Nah, itulah percakapan mereka."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya mendengar keterangan itu. Adipati Linggawijaya? Setahunya, adipati di Wengker bernama Adipati Adhamapanuda. Ah, tentu Linggajaya kini telah menjadi adipati di Wengker dan Ki Suramenggala sekarang menjadi Tumenggung Suramenggala karena dia Ayah Linggajaya. Tidak salah lagi. Tentu Ki Suramenggala dan Linggajaya yang mendalangi pembantaian keluarga Ki Lurah Pujosaputro dan menculik Ibunya.
Puspa Dewi lalu meninggalkan pesan kepada mereka yang berada di situ untuk melaporkan kepada Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya yang akan tiba di dusun itu tak lama lagi bahwa ia langsung melakukan pengejaran terhadap para pembunuh dan penculik Ibunya ke Kerajaan Wengker. Setelah meninggalkan pesan itu, Puspa Dewi segera melesat lenyap dan sudah berlari dengan cepat sekali keluar dusun Karang Tirta menuju ke kota raja atau kota Kadipaten Wengker.
Menjelang sore, dua buah kereta yang ditumpangi keluarga Tumenggung Jayatanu tiba di dalam dusun Karang Tirta. Para penduduk menyambut dengan hormat. Setelah Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya mendengar keterangan para penduduk tentang penyerbuan orang-orang Wengker dan membantai keluarga Ki Lurah dan menculik Nyi Lasmi, mereka menjadi marah sekali. Terutama Senopati Yudajaya selain marah juga merasa sedih dan iba kepada Nyi Lasmi, isterinya yang hidup terlunta-lunta setelah berpisah darinya.
Menurut gejolak hatinya. Ingin ia langsung menyusul Puspa Dewi yang oleh para penduduk dikabarkan melakukan pengejaran ke Kadipaten Wengker. Akan tetapi Tumenggung Jayatanu mencegahnya.
"Sungguh tidak bijaksana kalau engkau menyusul puterimu ke sana sekarang." kata Kakek itu.
"Kadipaten Wengker mempunyai banyak sekali orang sakti dan mereka juga mempunyai pasukan yang kuat. Engkau akan mencelakai diri sendiri dan tidak akan dapat menyelamatkan Nyi Lasmi kalau mengejar sendiri."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama! Lasmi dan Dewi berada di sana! Saya harus membela mereka!"
"Tentu saja kita harus membela mereka, akan tetapi bukan seorang diri. Kita melaporkan ke kota raja dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran ke pedalaman Wengker. Mengenal isterimu Lasmi dan puterimu Puspa Dewi, jangan terlalu dikhawatirkan. Penculik itu tidak akan membunuh Lasmi karena kalau demikian halnya, tentu ia sudah dibunuh bersama anggauta keluarga Ki Pujosaputro, tidak perlu susah-susah diculik. Dan tentang Puspa Dewi, tidak usah khawatir. Puterimu itu adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak sembarang orang dapat mengganggunya. Ia Pasti dapat menjaga diri, bahkan tidak mustahil ia akan mampu menolong Ibunya."
Tiba-tiba terdengar teriakan Nyai Tumenggung, "Aduh, cucuku Ken Harni menghilang...!"
Tumenggung Jayatanu dan Prasetyo cepat berlari memasuki rumah dan Nyai tumenggung dengan wajah pucat memberitahukan bahwa sejak tadi ia tidak melihat Niken Harni. Dicari-cari juga tidak dapat ditemukan.
"Tadi ia bersamaku, lalu bilang hendak keluar berjalan-jalan sebentar," kata Dyah Mularsih yang juga kebingungan dan khawatir. "Akan tetapi sampai sekarang ia tidak kembali!"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya cepat berlari ke belakang di mana kuda dan kereta berada. Akan tetapi kusir dan para Prajurit juga tidak melihat Niken Harni. Dia berlari keluar dan bertanya-tanya kepada semua orang yang dijumpai di dusun Itu. Akhirnya seorang pemuda yang berada dekat pintu gapura melaporkan bahwa tadi dia melihat gadis bangsawan itu berlari cepat meninggalkan dusun Karang Tirta.
Dengan jantung berdebar tegang dan hatinya gelisah sekali, Prasetyo kembali kepada mertuanya. "Ada yang melihat Niken berlari meninggalkan dusun!" katanya.
"Aduh, bocah ngeyel (tidak penurut) itu! Ia tentu pergi menyusul Puspa Dewi! Ia memasuki gua harimau, sungguh berbahaya sekali!" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Ah, bagaimana ini?" Nyi Tumenggung menangis.
"Kakangmas Prasetyo, Paduka harus cepat menyusul anak kita!" Dyah Mularsih mendesak suaminya.
"Tentu saja!" jawab Prasetyo. "Aku akan menyusul mereka sekarang juga, bahaya apa pun akan kutempuh untuk menyelamatkan mereka bertiga!"
Baru saja Prasetyo melangkah hendak keluar, Tumenggung Jayatanu memegang lengan mantunya. "Nanti dulu, Prasetyo. Sebagai seorang senopati, engkau tidak boleh sembrono. Semua harus diperhitungkan dengan matang agar dapat mengatur siasat sehingga usaha kita tidak gagal. Kalau engkau nekat hendak memasuki Wengker engkau bawalah selosin prajurit pengawal itu. Mereka adalah prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan tangguh. Sementara itu, aku akan cepat minta bantuan ke Kahuripan agar dikirim pasukan yang kuat dan aku akan memimpin sendiri pasukan itu menyusul ke Wengker."
Prasetyo mengangguk. "Sendika dhawuh (siap melaksanakan perintah), Kanjeng Rama!" Dia lalu memandang kepada isterinya. "Jangan khawatir, Diajeng, aku pasti akan dapat membawa pulang anak kita."
"Bukan hanya Niken yang kuharapkan akan dapat ditolong, Kakangmas, akan tetapi juga Puspa Dewi dan Ibunya." Kata Dyah Mularsih.
Prasetyo lalu mengumpulkan selosin orang prajurit pengawal lalu dia memimpin mereka naik kuda dan menuju keselatan, ke arah Kadipaten Wengker yang dianggap daerah berbahaya.
Sementara itu, Tumenggung Jayatanu cepat mengirim utusan yang menyusul perjalanan Tejomoyo dan dua orang temannya untuk minta bantuan kepada Ki Patih Narotama. Sambil menanti datangnya pasukan, Nyai Tumenggung, Dyah Mularsih dan Tumenggung Jayatanu sendiri bermalam didusun Karang Sari yang dekat dari Karang Tirta, di rumah Ki Lurah Warsita…..
********************
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, tersenyum. "Kami dapat memaklumi pendirianmu itu, Puspa Dewi. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apabila kami membutuhkan bantuan. Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka yang berbentuk patrem Ini disebut Sang Cundrik Arum, hasil tempaan Sang Empu Ramahadi di jaman Jawa Kandha. Pernah menjadi pusaka ageman (pakaian) Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi."
Puspa Dewi merasa senang, bangga dan terharu menerima pusaka yang tak ternilai harganya itu. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi. Senopati Yudajaya atau Prasetyo, ayah Puspa Dewi dan seluruh keluarga Sang Tumenggung ikut merasa senang. Kemudian keluarga itu berkemas dan pada hari yang sudah mereka pilih dan tentukan, berangkatlah keluarga yang terdiri dari Tumenggung Jayatanu, Nyai Tumenggung, Senopati Yudajaya, Dyah Mularsih, Niken Harni, Puspa Dewi dan selosin prajurit pengawal berikut kusirnya, dalam dua buah kereta, menuju ke dusun Karang Tirta…..
********************
Dusun Karang Tirta kini merupakan dusun yang jauh lebih makmur dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Rumah-rumah para penduduk telah diperbaiki semua. Juga melihat pakaian mereka dan keadaan kesehatan tubuh mereka, mudah diketahui bahwa seluruh penduduk dusun itu sudah terangkat dari lembah kemiskinan.
Setidaknya mereka sudah tercukupi kebutuhan sandang-pangan-papan (pakaian, makan, dan rumah tinggal). Semua ini terjadi dengan cepat berkat kebijaksanaan Ki Lurah Pujosaputro, pengganti Ki Lurah Suramenggala yang dicopot oleh Ki Narotama kemudian diusir dari dusun Karang Tirta.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa kemakmuran tidak jatuh begitu saja dari langit! Kebutuhan hidup manusia tidak begitu saja disediakan Sang Hyang Widhi, walau pun jelas bahwa semua bahannya memang hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Sang Hyang Widhi menciptakan tanah, air, hawa udara, sinar matahari, juga benih tanaman-tanaman. Semua benda ini tidak dapat dibuat oleh manusia dan memang sudah dianugerahkan kepada manusia untuk kepentingan hidup manusia.
Namun, semua benda itu tidak ada gunanya kalau tidak diolah, dikerjakan, diusahakan oleh manusia sendiri. Jasmani kita, berikut hati akal pikiran, juga merupakan ciptaan Yang Maha Kasih, dan setiap bagian tubuh kita sudah dibuat sedemikian rupa sehingga cocok dan tepat untuk dikerjakan demi kesejahteraan hidup kita. Berkat dari Yang Maha Kasih Itu tidak dapat dipisahkan dengan usaha kita, merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan harus bekerja sama untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita.
Semua bahan yang telah disediakan oleh-Nya itu tidak akan ada gunanya kalau tidak kita olah dan kerjakan, yaitu kita cangkul, kita airi, kita pupuk, kita pelihara dan rawat dengan baik. Sebaliknya, betapa hebat pun kita berusaha, tanpa adanya satu saja dari semua bahan yang sudah disediakan oleh-Nya itu, juga tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Itu merupakan tugas pribadi untuk mempertahankan hidup, yaitu bekerja!
Akan tetapi kita hidup bermasyarakat, bernegara, berpemerintahan, terdiri dari banyak orang. Para penduduk Karang Tirta terdiri dari ratusan orang. Masyarakat perlu diatur, dengan hukum-hukum agar tidak kacau dan saling berebut. Jelas bahwa kehidupan rakyat diatur oleh hukum, agar tertib, agar adil dan membawa rakyat kepada kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang diidamkan setiap orang di mana pun di dunia ini.
Apakah adanya peraturan hukum menjamin datangnya kemakmuran rakyat? Hukum adalah barang mati! Karena itu, tangan-tangan yang memegang dan menguasai pelaksanaan hukum itulah yang sepenuhnya diserahi wewenang dan tugas untuk memakmurkan rakyatnya. Jelas, ditangan para pemimpinlah terletak kunci untuk membuka pintu kemakmuran bagi rakyatnya.
Di Karang Tirta, orang pertama yang paling berkuasa adalah Sang Lurah. Sesungguhnya, di tangannyalah tergenggam nasib para penduduk Karang Tirta. Ketika Ki Lurah Suramenggala menjadi lurah, dia bukan merupakan seorang pemimpin yang baik. Dia menggunakan semua sumber hasil tanah dan sumber tenaga manusia menjadi sumber penghasilan yang berlimpahan untuk dirinya sendiri, untuk dia dan keluarganya.
Rakyat diperas habis-habisan sehingga kehidupan penduduk Karang Tirta berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kehidupan Sang Lurah dan orang-orang yang dekat dengannya, sanak saudara dan para pembantunya, hidup bermewah-mewah dan berlebihan, kaya raya dan makmur. Padahal Ki Suramenggala dan para pembantunya selalu menganjurkan agar penduduk Karang Tirta berprihatin, hidup hemat dan serba kekurangan demi pembangunan Karang Tirta untuk kemakmuran kehidupan anak cucu kelak!
Semua pembantu lurah, dari carik sampai jagabaya dan pamong yang paling rendah pangkatnya, tidak ada yang jujur. Semua memeras rakyat dengan dalih pembangunan dusun, akan tetapi uangnya mereka kantongi sendiri. Para jagabaya yang semestinya menjaga keamanan penduduk, bahkan menjadi penggangu keamanan. Hukum yang dilaksanakan adalah hukum lurah dan para pembantunya, mudah saja memutar-balikkan fakta, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi keuntungan para penguasa itu.
Semua ini terjadi karena Ki Lurah Suramenggala tidak menjadi tauladan yang baik sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dia sebagai orang nomor satu di Karang Tirta, bertangan kotor melakukan penindasan, mengandalkan kekuasaan untuk melaksanakan segala kehendaknya, menumpuk harta tanpa mempedulikan kemiskinan penduduk.
Kalau pemimpin tertinggi di dusun Karang Tirta itu bertangan kotor, bagaimana mungkin para pembantunya, para pamong praja, dapat bertangan bersih? Mereka juga melakukan segala macam kejahatan demi menum-puk harta. Atasannya tidak mungkin berani menegur karena atasan itu, sendiri tangannya kotor,demikian atasannya lagi sampai kepada yang paling atas di dusun itu, yakni Ki Lurah Suramenggala! Jadilah semua pamong itu bertangan kotor!
Untunglah bahwa Kerajaan Kahuripan dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, berhati jujur dan bersikap bijaksana. Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, ketika melihat seorang bawahannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala, bertangan kotor, langsung saja dia berani memberantasnya. Dia melakukan pembersihan tanpa sungkan karena dia sendiri bertangan bersih!
Atas pilihan penduduk, disetujui oleh Ki Patih Narotama, dusun Karang Tirta kini dipimpin oleh Ki Lurah Pujosaputro. Lurah Pujosaputro ini adalah seorang lurah yang baik, pemimpin yang bijaksana. Dia selalu ingat bahwa dia menjadi lurah karena ada rakyat yang memilihnya, dan rakyat memilihnya karena rakyat percaya bahwa dia akan menjadi pemimpin yang baik, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat dusun Karang Tirta. Dan ternyata harapan penduduk Karang Tirta tidak sia-sia.
Ki Lurah Pujosaputro benar-benar mendahulukan kepentingan penduduk daripada kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak mau menumpuk harta dari perasan keringat rakyat, tidak mau memperkaya diri sendiri dan hasil tanah pedusunan dinikmati penduduk yang mengolahnya. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya hidup biasa saja, tidak berlebihan dan tentu saja sebagai lurah, juga tidak kekurangan.
Karena kebijaksanaannya ini, penduduk suka dan hormat kepadanya. Ada saja yang mengirimi hasil palawija, buah-buahan dan hasil usaha lain kepada keluarga Ki Lurah. Kehidupan penduduk Karang Tirta meningkat dengan pesat dan semua orang merasa gembira. Kini penduduk Karang Tirta tidak merasa iri kepada dusun-dusun lain yang makmur karena kebijaksanaan lurah masing-masing.
Karena lurahnya bertangan bersih, bawahannya, para pamong, tidak ada yang berani bermain kotor dan karena pamong prajanya jujur dan adil, rakyatnya juga senang dan menaati semua peraturan dan hukum yang diberlakukan sama rata, bukan untuk menindas yang bawah dan memenangkan yang atas.
Akan tetapi, menjadi sebuah kenyataan yang membuat kebanyakan orang, terutama yang imannya kurang penuh, menjadi penasaran, betapa banyaknya terjadi orang-orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang yang baik budi, mengalami bencana dan kesengsaraan, sebaliknya orang yang angkara murka dan mementingkan diri sendiri dan suka melakukan perbuatan jahat, hidupnya bergelimang kesenangan dan kemuliaan! Tentu saja ini sebetulnya hanya menurut pandangan jasmaniah belaka.
Pada suatu malam, belasan orang yang berpakaian serba hitam dan bersikap sombong dan bengis memasuki dusun Karang Tirta. Ketika empat orang pemuda dusun yang bertugas jaga malam menghadang dan bertanya karena melihat betapa dua belas orang itu tidak mereka kenal dan di antara mereka terdapat dua orang yang berpakaian mewah, rombongan itu tanpa banyak cakap lagi menyerang dan merobohkan empat orang pemuda itu sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena setelah dipukul pingsan!
Rombongan terdiri dari dua belas orang itu lalu melangkah lebar dan cepat menuju rumah Ki Lurah Pujosaputro. Dua orang pemimpin rombongan yang berpakaian mewah itu adalah Wirobento yang tinggi besar bersenjata pecut berujung besi-besi kecil dan Wirobandrek yang juga tinggi besar dengan senjata sepasang kolor merah. Kakak beradik ini merupakan sepasang warok yang terkenal sesat, berusia sekitar tiga puluh dua dan tiga puluh tahun.
"Adi Bandrek, bagaimana kalau gadis sakti Puspa Dewi itu berada di Karang Tirta ini?" kata Ki Wirobento dengan suara yang membayangkan perasaan gentar.
"Kakang Bento, mengapa khawatir? Hal ini tidak mungkin karena para penyelidik sudah melaporkan dengan jelas bahwa saat ini gadis itu tidak berada di sini. Kita aman! Pula, bukankah ia telah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri?"
"Hemm, tidak mungkin ia dapat diterima di Wura-wuri setelah ia mengkhianati persekutuan di mana Wura-wuri juga terlibat itu. Aku khawatir kalau-kalau para penyelidik salah duga dan ia nanti akan melakukan pengejaran terhadap kita. Ia sakti mandraguna, Bandrek, kita sama sekali bukan tandingannya."
"Ah, Kakang Bento, tidak perlu takut. Asalkan kita sudah dapat meringkus Nyi Lasmi, Puspa Dewi tidak akan berani berkutik. Kita jadikan Ibunya itu sebagal sandera dan kita lihat saja, apa yang akan dapat ia lakukan!"
"Kamu benar, Bandrek. Mari kita bereskan mereka dan tangkap Nyi Lasmi sesuai dengan pesan Ki Suramenggala!"
Setelah tiba di rumah Ki Lurah Pujosaputro, dua belas orang itu lalu menyerbu. Mereka mendobrak dan menjebol pintu lalu menerjang ke dalam rumah besar itu. Lima orang pemuda yang sedang berjaga di samping rumah, cepat berlari mendatangi, akan tetapi mereka berlima segera roboh disambut serangan orang-orang yang rata-rata memiliki kedigdayaan itu.
Dua belas orang itu lalu mengamuk. Sesuai dengan perintah yang mereka terima dari Ki Suramenggala yang kini telah berada di Kerajaan Wengker sebagai orang yang tinggi kedudukannya sebagai ayah Sang Adipati Linggawijaya, mereka membacok siapa saja yang mereka temukan di dalam rumah kelurahan itu.!
Ketika Ki Pujosaputro dan isterinya muncul dari kamar, mereka berdua disambut bacokan golok yang membuat mereka tewas seketika. Ketika mereka menemukan Nyi Lasmi, mereka meringkusnya dan Ki Wirobandrek segera memanggul wanita yang telah diikat kaki tangannya itu di atas pundaknya dan dua belas orang itu berusaha mencari orang-orang lain yang menjadi penghuni rumah itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan gaduh di luar kelurahan dan dua belas orang itu ketika melihat betapa puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pemuda dusun dating sambil membawa segala macam senjata dengan sikap mengancam, mereka menjadi gentar juga. Mereka hanya dua belas orang dan sungguhpun mereka merupakan jagoan-jagoan tangguh, namun menghadapi demikian banyak orang mereka menjadi ketakutan dan segera dua belas orang itu melarikan diri sambil memutar senjata mereka untuk menjaga diri.
Para pemuda dusun Karang Tirta, setelah mengetahui bahwa gerombolan itu melakukan pembunuhan terhadap para penghuni rumah Ki Lurah, segera melakukan pengejaran sambil membawa obor. Akan tetapi, dua belas orang itu telah lenyap dalam hutan yang lebat. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk dusun Karang Tirta berduka setelah mengetahui bahwa Ki Lurah Pujosaputro yang mereka sayangi dan hormati telah dibunuh. Juga semua keluarganya dan para pelayan. Hanya ada seorang pelayan wanita yang lolos dari maut karena ia bersembunyi di tempat gelap sambil mengintai ketakutan. Gerombolan itu tidak melihatnya maka ia selamat.
Setelah mereka mengadakan penelitian, ada enam orang pemuda yang berjaga malam tewas, lainnya luka-luka, dan penghuni rumah kelurahan itu hanya seorang yang selamat, yang lainnya, Ki Lurah Pujosaputro dan isterinya serta keluarganya yang berjumlah sembilan orang berikut pelayan, semua tewas! Mereka juga mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi lenyap, dan ada yang melihat malam tadi bahwa wanita itu diculik, dipanggul dan dilarikan penjahat. Gegerlah dusun Karang Tirta!
Semua penduduk wanita menangisi musibah itu, dan yang laki-laki marah dan penasaran, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena ada yang mendengar percakapan para gerombolan itu bahwa mereka adalah orang-orang Kerajaan Wengker, anak buah Ki Lurah Suramenggala yang datang untuk membalas dendam dan menculik Nyi Lasmi yang dulu menjadi selirnya kemudian tidak mau ikut ketika Ki Sura-menggala terusir keluar dari Karang Tirta.
Para penduduk yang berkabung itu hanya dapat merawat semua jenazah dan menguburkannya. Ki Lurah Warsita, lurah dari Karang Sari yang terletak dekat Karang Tirta dan merupakan lurah yang baik dan menjadi sahabat Ki Lurah Pujosaputro, begitu mendengar musibah itu, cepat datang dan mengatur sendiri semua urusan di Karang Tirta.
Juga Ki Lurah Warsita lalu mengumpulkan para pemuda Karang Tirta dan karang Sari untuk bersatu melakukan penjagaan terutama di waktu malam untuk melawan kalau-kalau para pengacau itu datang lagi. Dia juga segera mengirim laporan tentang musibah itu ke kota raja Kahuripan. Utusan ke kota raja ini terdiri dari tiga orang, di pimpin oleh Ki Tejomoyo, seorang kakek yang dianggap sebagai sesepuh Karang Tirta.
Akan tetapi baru melakukan perjalanan setengah hari, utusan ini bertemu dengan rombongan terdiri dari dua kereta yang dikawal selosin prajurit. Melihat ini, tiga orang dusun Karang Tirta itu mengenal bahwa seregu prajurit itu adalah prajurit Kahuripan, maka mereka berhenti di tepi jalan dengan membungkuk hormat karena orang yang berada di kereta dan dikawal pasukan itu pasti seorang priyagung (bangsawan).
"Paman Tejomoyo...!"
Tiba-tiba seorang gadis melompat turun dari dalam kereta yang sudah berhenti dan begitu Tejomoyo mengenal siapa gadis yang mengenalinya itu, dia segera menghampiri, lalu berjongkok dan menangis.
"Aduh, Nak ayu Puspa Dewi...!" Dia tidak dapat melanjutkan karena sudah menangis mengguguk sambil mendeprok dan menutupi muka dengan kedua tangan. Dua orang temannya yang juga mengenal siapa gadis itu, memberi hormat dan juga tidak berani bicara, tidak sampai hati menyampaikan berita yang amat menyedihkan itu.
"Paman, ada apakah? Mengapa Paman bersikap begini? Berdirilah Paman dan ceritakan dengan tenang." Puspa Dewi memegang kedua bahu kakek itu dan membantunya bangkit berdiri.
Ki Tejomoyo berusaha menenangkan hatinya dengan menghela napas panjang berulang kali. Akhirnya dia dapat tenang dan menghentikan tangisnya.
"Mala petaka menimpa Karang Tirta..."
"Apa yang terjadi? Puspa Dewi, siapa orang itu dan apa yang terjadi?"
Tumenggung Jayatanu keluar pula dari keretanya dan melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan tinggi, Ki Tejomoyo dan dua orang temannya segera berjongkok dan menyembah.
"Eyang, ini adalah Paman Tejomoyo dan dua orang temannya itu saya kenal sebagai penduduk Karang Tirta pula. Paman Tejomoyo ini adalah Eyang Tumenggung Jayatanu, maka ceritakan apa yang terjadi, jangan membuat kami bingung dan penasaran."
"Ampunkah hamba bertiga, Gusti Tumenggung. Hamba tidak tahu bahwa Paduka yang lewat maka hamba tidak menyambut dengan hormat." kata Ki Tejomoyo dengan sikap hormat.
"Tidak mengapa, Ki Tejomoyo. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Karang Tirta sehingga Andika sampai menangis sedih."
"Aduh, katiwasan, Gusti! Baru kemarin malam terjadinya. Segerombolan orang berjumlah belasan datang menyerbu rumah Ki Lurah Pujosaputro dan mengamuk, membunuhi penghuni rumah kalurahan..."
Puspa Dewi menyambar lengan Ki Tejomoyo dan bertanya dengan nyaring,
"ibuku...! Bagaimana dengan Ibuku...?"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya yang juga sudah turun dan menghampiri mereka berkata. "Dewi tenanglah. Engkau menyakiti lengan Paman ini."
Puspa Dewi sadar dan melepaskan Lengan Ki Tejomoyo yang meringis kesakitan karena lengannya serasa dijepit besi!
"Nyi Lasmi... diculik gerombolan..."
Puspa Dewi berkelebat dan lenyap dari situ. Ia telah menggunakan ilmunya berlari cepat seperti terbang menuju dusun Karang Tirta. Prasetyo berkata kepada Ki Tejomoyo.
"Paman, ceritakan dengan ringkas apa yang telah terjadi."
Dia pun merasa khawatir sekali akan keselamatan Nyi Lasmi. Dengan singkat Ki Tejomoyo menceritakan tentang penyerbuan gerombolan yang membunuh seluruh penghuni rumah Ki Pujosaputro dan hanya seorang pelayan wanita yang lolos dari maut. Juga Nyi Lasmi lenyap diculik gerombolan. Tumenggung Jayatanu marah sekali. Wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan.
"Keparat! Akan kuhajar mereka! Hayo, Prasetyo, kita cepat membalapkan kereta menyusul Puspa Dewi ke Karang Tirta! Dan Andika, Ki Tejomoyo, tadinya hendak pergi kemanakah?"
"Hamba diutus Ki Lurah Warsita dari Karang Sari untuk pergi melaporkan peristiwa itu ke kota raja."
"Kalau begitu lanjutkan perjalananmu dan setelah tiba di sana laporkanlah peristiwa ini kepada Gusti Patih Narotama."
"Baik, Gusti Tumenggung."
Dua buah kereta itu dijalankan lagi dengan cepat menuju Karang Tirta dan tiga orang utusan dari Karang Tirta itu melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja Kahuripan Sementara itu Puspa Dewi telah memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta. Semua orang yang melihatnya menyambut dengan wajah sedih dan segera mengikuti gadis yang cepat lari menuju ke rumah kelurahan itu.
Jerit tangis para wanita menyambut kedatangan Puspa Dewi di rumah itu. Puspa Dewi dikepung banyak orang. Wajah gadis itu agak pucat, akan tetapi ia tetap tenang, lalu ia mengangkat kedua tangan memberi isyarat agar semua orang menghentikan tangis dan suara mereka yang bising.
"Kuharap Andika sekalian berhenti menangis dan saling bicara sendiri. Aku sekarang ingin mendengar keterangan yang sejelasnya tentang peristiwa ini. Siapa yang lebih mengetahui akan peristiwa ini? Aku mendengar Bibi Katmi lolos dari maut, tentu ia lebih mengetahui. Mana Bibi Katmi?"
Nyi Katmi yang tadinya menangis di sudut lalu maju menghampiri Puspa Dewi. la dipersilakan duduk berhadapan dengan Puspa Dewi, sedangkan orang-orang lain tidak gaduh lagi, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah, Bibi Katmi, hapuskan air matamu dan tenanglah. Sekarang ceritakan dengan rinci apa yang telah terjadi kemarin malam."
Nyi Katmi lalu menceritakan dengan suara terharu dan sambil menahan tangisnya. "Malam itu saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika saya keluar dari kamar saya melihat belasan orang berpakaian serba hitam membunuhi semua penghuni rumah dengan kejam. Mereka menggunakan klewang (golok). Karena takut, saya terkulai dan jatuh menelungkup dalam keadaan setengah pingsan. Akan tetapi saya masih dapat melihat Mas Ajeng Lasmi dipanggul seorang penjahat dengan kaki tangan terikat dan mendengar ia menangis dan memaki-maki. Karena tidak tahan melihat banjir darah yang terjadi malam itu, saya tidak dapat bangun dan hanya dapat pura-pura mati sambil menahan tangis. Mungkin mereka mengira bahwa saya telah mati, maka tidak ada yang mengganggu saya."
"Apakah engkau mendengar mereka bicara yang menunjukkan siapa mereka?" tanya Puspa Dewi.
"Saya mendengar percakapan singkat dua orang di antara mereka. Yang memanggul Mas Ajeng Lasmi berkata; ‘Wah, wanita ini masih denok lembut!’ Lalu orang ke dua menjawab, 'Awas, ia itu selir Bendoro Menggung Suramenggala, jangan main-main!' Hanya itulah yang saya dengar."
Wajah Puspa Dewi menjadi merah sekali dan ia mengepal tangan kanannya. "Jahanam Suramenggala yang melakukan ini, keparat!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang usianya sekitar dua puluh enam tahun berkata, "Saya juga mendengar percakapan dua orang tinggi besar yang memimpin gerombolan itu, Mas Ayu..."
Orang ini menderita luka serangan gerombolan dan lengan kanan dan paha kirinya masih dibalut.
"Hemm, bagus, Kakang Canang. Cepat ceritakan!" kata Puspa Dewi sambil memandang pemuda itu.
"Ketika itu saya dan teman-teman melakukan penjagaan di gapura desa ketika dua belas orang berpakaian hitam itu menyerbu masuk. Sebelum dapat berbuat banyak, kami telah mereka serang dan saya pun menderita luka-luka dan roboh. Pada saat itu, saya mendengar dua orang pemimpin mereka bicara. Yang seorang berkata, 'Kita harus berhasil, kalau tidak Gusti Adipati Linggawijaya tentu akan marah kepada kita'. Kemudian orang ke dua berkata, 'Bukan hanya Gusti Adipati, akan tetapi terutama sekali Tumenggung Suramenggala, ayah Gusti Adipati itu, tentu akan menghukum kita. Kabarnya dia lebih kejam dibandingkan puteranya'. Nah, itulah percakapan mereka."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya mendengar keterangan itu. Adipati Linggawijaya? Setahunya, adipati di Wengker bernama Adipati Adhamapanuda. Ah, tentu Linggajaya kini telah menjadi adipati di Wengker dan Ki Suramenggala sekarang menjadi Tumenggung Suramenggala karena dia Ayah Linggajaya. Tidak salah lagi. Tentu Ki Suramenggala dan Linggajaya yang mendalangi pembantaian keluarga Ki Lurah Pujosaputro dan menculik Ibunya.
Puspa Dewi lalu meninggalkan pesan kepada mereka yang berada di situ untuk melaporkan kepada Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya yang akan tiba di dusun itu tak lama lagi bahwa ia langsung melakukan pengejaran terhadap para pembunuh dan penculik Ibunya ke Kerajaan Wengker. Setelah meninggalkan pesan itu, Puspa Dewi segera melesat lenyap dan sudah berlari dengan cepat sekali keluar dusun Karang Tirta menuju ke kota raja atau kota Kadipaten Wengker.
Menjelang sore, dua buah kereta yang ditumpangi keluarga Tumenggung Jayatanu tiba di dalam dusun Karang Tirta. Para penduduk menyambut dengan hormat. Setelah Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya mendengar keterangan para penduduk tentang penyerbuan orang-orang Wengker dan membantai keluarga Ki Lurah dan menculik Nyi Lasmi, mereka menjadi marah sekali. Terutama Senopati Yudajaya selain marah juga merasa sedih dan iba kepada Nyi Lasmi, isterinya yang hidup terlunta-lunta setelah berpisah darinya.
Menurut gejolak hatinya. Ingin ia langsung menyusul Puspa Dewi yang oleh para penduduk dikabarkan melakukan pengejaran ke Kadipaten Wengker. Akan tetapi Tumenggung Jayatanu mencegahnya.
"Sungguh tidak bijaksana kalau engkau menyusul puterimu ke sana sekarang." kata Kakek itu.
"Kadipaten Wengker mempunyai banyak sekali orang sakti dan mereka juga mempunyai pasukan yang kuat. Engkau akan mencelakai diri sendiri dan tidak akan dapat menyelamatkan Nyi Lasmi kalau mengejar sendiri."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama! Lasmi dan Dewi berada di sana! Saya harus membela mereka!"
"Tentu saja kita harus membela mereka, akan tetapi bukan seorang diri. Kita melaporkan ke kota raja dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran ke pedalaman Wengker. Mengenal isterimu Lasmi dan puterimu Puspa Dewi, jangan terlalu dikhawatirkan. Penculik itu tidak akan membunuh Lasmi karena kalau demikian halnya, tentu ia sudah dibunuh bersama anggauta keluarga Ki Pujosaputro, tidak perlu susah-susah diculik. Dan tentang Puspa Dewi, tidak usah khawatir. Puterimu itu adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak sembarang orang dapat mengganggunya. Ia Pasti dapat menjaga diri, bahkan tidak mustahil ia akan mampu menolong Ibunya."
Tiba-tiba terdengar teriakan Nyai Tumenggung, "Aduh, cucuku Ken Harni menghilang...!"
Tumenggung Jayatanu dan Prasetyo cepat berlari memasuki rumah dan Nyai tumenggung dengan wajah pucat memberitahukan bahwa sejak tadi ia tidak melihat Niken Harni. Dicari-cari juga tidak dapat ditemukan.
"Tadi ia bersamaku, lalu bilang hendak keluar berjalan-jalan sebentar," kata Dyah Mularsih yang juga kebingungan dan khawatir. "Akan tetapi sampai sekarang ia tidak kembali!"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya cepat berlari ke belakang di mana kuda dan kereta berada. Akan tetapi kusir dan para Prajurit juga tidak melihat Niken Harni. Dia berlari keluar dan bertanya-tanya kepada semua orang yang dijumpai di dusun Itu. Akhirnya seorang pemuda yang berada dekat pintu gapura melaporkan bahwa tadi dia melihat gadis bangsawan itu berlari cepat meninggalkan dusun Karang Tirta.
Dengan jantung berdebar tegang dan hatinya gelisah sekali, Prasetyo kembali kepada mertuanya. "Ada yang melihat Niken berlari meninggalkan dusun!" katanya.
"Aduh, bocah ngeyel (tidak penurut) itu! Ia tentu pergi menyusul Puspa Dewi! Ia memasuki gua harimau, sungguh berbahaya sekali!" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Ah, bagaimana ini?" Nyi Tumenggung menangis.
"Kakangmas Prasetyo, Paduka harus cepat menyusul anak kita!" Dyah Mularsih mendesak suaminya.
"Tentu saja!" jawab Prasetyo. "Aku akan menyusul mereka sekarang juga, bahaya apa pun akan kutempuh untuk menyelamatkan mereka bertiga!"
Baru saja Prasetyo melangkah hendak keluar, Tumenggung Jayatanu memegang lengan mantunya. "Nanti dulu, Prasetyo. Sebagai seorang senopati, engkau tidak boleh sembrono. Semua harus diperhitungkan dengan matang agar dapat mengatur siasat sehingga usaha kita tidak gagal. Kalau engkau nekat hendak memasuki Wengker engkau bawalah selosin prajurit pengawal itu. Mereka adalah prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan tangguh. Sementara itu, aku akan cepat minta bantuan ke Kahuripan agar dikirim pasukan yang kuat dan aku akan memimpin sendiri pasukan itu menyusul ke Wengker."
Prasetyo mengangguk. "Sendika dhawuh (siap melaksanakan perintah), Kanjeng Rama!" Dia lalu memandang kepada isterinya. "Jangan khawatir, Diajeng, aku pasti akan dapat membawa pulang anak kita."
"Bukan hanya Niken yang kuharapkan akan dapat ditolong, Kakangmas, akan tetapi juga Puspa Dewi dan Ibunya." Kata Dyah Mularsih.
Prasetyo lalu mengumpulkan selosin orang prajurit pengawal lalu dia memimpin mereka naik kuda dan menuju keselatan, ke arah Kadipaten Wengker yang dianggap daerah berbahaya.
Sementara itu, Tumenggung Jayatanu cepat mengirim utusan yang menyusul perjalanan Tejomoyo dan dua orang temannya untuk minta bantuan kepada Ki Patih Narotama. Sambil menanti datangnya pasukan, Nyai Tumenggung, Dyah Mularsih dan Tumenggung Jayatanu sendiri bermalam didusun Karang Sari yang dekat dari Karang Tirta, di rumah Ki Lurah Warsita…..
********************
Komentar
Posting Komentar